Share

Bab 5 Saling Balas

"Aku benci karena kau yang menaburnya. Tapi, iba masih setia hadir di sanubari. Lalu, jika rasa lain tumbuh, siapa yang salah?"

 

~Aruna Ardhani~

 

๐ŸŒบ๐ŸŒบ๐ŸŒบ

 

Matahari masih malu menampakkan cahaya. Bulan sabit yang mulai memudar pun setia menggantung di cakrawala pagi. Jangan lupakan dengan sepoi angin mengusik ketenangan dari sela ventilasi udara.

 

Baru pukul 04.00, tapi Aruna harus berurusan dengan setumpuk pakaian yang Arsen beri. Entah apa tujuannya? Pagi buta menggedor pintu kamar hanya untuk menyuruh Aruna setrika baju.

 

"Nah, elu kan udah jadi istri gue. Jadi, noh baju-baju gue setrikain. Hari Senin gini harus rapi, kan?" Arsen berkacak pinggang seraya menunjuk-nunjuk pakaian putih-abu yang akan dikenakan olehnya.

 

"Tapi, ini masih terlalu pagi untuk setrika, Sen," rutuk Aruna sembari melirik jam dinding yang menunjukkan angka tiga lebih tiga puluh menit.

 

Arsen hanya mengedikkan bahu dan berlalu begitu saja. "Woi! Mau ke mana?" Aruna bertanya dengan kesal.

 

Arsen hanya menguap, dia kembali menjauh dan hilang di balik pintu kamar gadis itu. 

 

โ€œDasar kurang ajar!โ€ rutuk Aruna, kesal.

 

Laki-laki yang punya sebutan kebo itu berniat sekali bangun di pagi buta. Sudah dipastikan untuk mengerjai Aruna. Nasib tak beruntung berpihak padanya, punya suami model si Arsen. 

 

Dengan menahan kesal, Aruna tunaikan tugas. 

 

โ€œBiarlah kali ini Arsen menang, tapi tidak akan kubiarkan sampai di sini. Tunggu saja pembalasanku.โ€

 

***

 

Aruna mematut diri di depan cermin mini, memastikan penampilannya rapi. Pergi ke sekolah harus cantik dan wangi, biar enggak keki. Betul, 'kan?

 

Setelah memastikan penampilan rapi, Aruna bergegas pergi ke dapur. Sarapan sudah menanti. Namun, sebelumnya gadis itu sempatkan ke kamar Arsen. Tidak perlu mengetuk pintu, toh dia tidak akan mendengar. Kebo tidur, siapa yang bisa bangunkan? Jawabannya, nope.

 

Aruna mengintip di balik pintu kamar. Laki-laki itu masih tertidur seperti biasa, terlentang dengan telanjang dada. 

 

Dasar aneh!

 

Suara dengkurannya terdengar jelas oleh Aruna, sudah dipastikan dia tertidur begitu pulas. Apalagi sebelumnya sengaja bangun demi menunaikan niat mengerjai gadis itu. 

Sekarang, gilirannya untuk balas dendam.

 

Aruna kembali menutup pintu, menyeringai dan tertawa dalam hati. Dia tidak akan bangun kalau tidak dibangunkan, dan sekarang tugas itu beralih pada Aruna. 

 

โ€œMembangunkan kebo tiap pagi. Ck, memalukan.โ€ Aruna menyeringai.

 

Gadis itu bersenandung sembari berlalu ke dapur. Sudah ada Ibu mentuanya di sana. 

 

"Sini, Sayang. Ayo duduk!" serunya menepuk kursi di sisi kanan.

 

Aruna mengangguk dan duduk manis di sana. Memulai sarapan dengan bahagia. Lalu, pertanyaan muncul ke permukaan. 

Membuatnya salah tingkah.

 

"Lho, Sayang. Arsen di mana?"

 

Susah payah Aruna menelan makanan yang sudah dikunyah. Benaknya terus mencari alasan tepat agar Bu Ningrum tak curiga.

 

"Em, ta-tadi Arsen sedang di kamat mandi, Ma. Mungkin buang air," jawabnya agak ragu.

Bu Ningrum menatap Aruna sekilas, dia 

seperti tengah berpikir. Tidak lama kemudian kekehan keluar dari bibir bergincu merah itu.

 

"Ah, pasti dia habis makan pedas. Ya, sudahlah, yang penting Arsen sudah bangun," papar Bu Ningrum.

 

Aruna membuang napas lega. Bisa gawat kalau rencananya gagal. Bu Ningrum kembali melahap makanan tanpa curiga dan Aruna pun kembali menyantap sarapan dengan penuh kemenangan. 

 

โ€˜Rasakan Arsen! Kamu salah berurusan dengan Aruna Ardhani,โ€™ batin Aruna.

 

***

 

"Eta terangkatlah."

 

"Tak dung ... tak dung."

 

"Eta terangkanlah ...."

 

"Tak dung ... tak dung."

 

"Arsen yang terlambat, karena telat bangun."

 

Aruna dan Hara menahan tawa melihat Ali dan Vando mengejek Arsen yang tengah berdiri di depan tiang bendera dengan posisi hormat di tempat.

 

Jangan lupakan teman-teman sekelasnya yang sudah riuh gemuruh dengan suara tawa. Kebetulan guru mata pelajaran Bahasa Indonesia belum masuk, jadi mereka malah menikmati tontonan gratis.

 

Ali menyanyi dipandu musik dari suara yang dihasilkan dari mulut Vando, menjadi melodi pelengkap tontonan gratisan ini. Dalam hati, Aruna bereuforia atas suksesnya rencana besar yang dicanangkan tadi pagi. Arsen terlambat di hari Senin.

 

"Ampunilah ... ampunilah, Arsen yang khilaf karena lupa bangun."

 

Ali masih setia bernyanyi ala penyanyi religi. Sedangkan Vando sudah tak kuasa untuk terbahak. Laki-laki oriental itu tertawa hingga mukanya memerah.

 

Di lain sisi, Arsen terlihat kesal. Dia tengah menahan panas dan juga malu, hingga wajahnya sudah semerah kepiting rebus. Sesekali matanya melirik Aruna tajam. Ada kebencian yang dia berikan lewat irisan retina. Aruna tak peduli, sekarang mereka impas.

 

โ€œLu nabuh genderang perang, Cewek bar-bar. Awas lu!โ€ gumam Arsen setia menatap benci pada Aruna.

 

"Na, kok bisa Arsen telat?" tanya Hara saat mereka masih setia menonton Arsen lewat jendela kelas.

 

Aruna hanya menggeleng, enggan untuk berbagi cerita menarik tentang ide gilanya. Kalau sampai Hara tahu, bisa gawat.

 

"Woi, Sen! Elu pentes dijuluki pangeran tidur!" teriak Ali yang langsung dibalas pelototan dari Arsen.

 

"Diem lu, Item! Gue pecat kadi temen baru tau rasa!" seru Arsen, langsung membungkam Ali.

 

"Ah, si Arsen bisa aje buat gue mati kutu," gumam Ali seraya masuk ke kelas.

 

Tontonan berakhir saat guru Bahasa Indonesia masuk. Mereka duduk ke tempat masing-masing, tapi tidak dengan Arsen. Dia dihukum selama satu jam mata pelajaran.

 

Dari tempat duduk Aruna, terlihat Arsen menggerak-gerakkan sebelah kakinya. Sesekali mengusap peluh yang sudah membanjiri wajah. Ada yang tercubit di dalam sana. Sedikit rasa tak tega hadir di antara kebencian yang ditumpuk Aruna sedari awal.

 

 Semua ini berawal dari Arsen, lantas haruskah Aruna diam berpangku tangan? Tentu tidak. Sesuai ucapan Aruna sebelumnya, dia tak kan membiarkan Arsen hidup dengan tenang.

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status