Share

Supir Taksi yang Sial

Kepala sang supir taksi itu kemudian menyembul keluar dari jendela mobil berjenis sedan. Wajah marahnya terlihat seakan ingin menerkam Zea. Sementara Zea hanya terdiam dengan tatapan kosong lurus ke arah depan.

"Hey, mengapa kau diam saja? Minggir, aku harus cepat!" teriak sang supir taksi dengan gemas.

Tak jua mendapat respon, akhirnya sang supir taksi itu keluar dari taksi-nya. Ia menghampiri Zeana masih dengan kesalnya. Menurutnya, Zea sangat mengganggu pekerjaannya.

"Kau tuli atau kau memang benar-benar ingin bunuh diri? Jangan libatkan aku jika kau memang ingin bunuh diri!" omelnya lagi kemudian bermaksud menarik paksa Zea.

Brukk …

Bukankannya mendapat jawaban, sang sopir malah ketiban sialnya, Zeana malah tiba-tiba pingsan dan jatuh tepat ke dada sang sopir. Ia dengan refleks menanggapi tubuh Zea, namun dengan kebingungan.

"Hey, kau! Apa-apaan ini?" Sang sopir taksi berusaha menjauhkan tubuh tak berdaya Zea.

"Sial! Dia benar-benar pingsan."

Perlahan sekali sopir taksi itu melajukan mobilnya. Sesekali melihat ke jok belakang berharap Zea terbangun dari pingsannya. Ia tidak tahu harus membawa Zea kemana, sedang ia juga harus bekerja mencari penumpang.

Fuhhh …

Sopir taksi itu menghela nafasnya melihat lagi dan lagi, tetapi Zeana belum juga terbangun. Baru saja ingin melajukan lagi menyetirnya setelah berhenti sejenak, tiba-tiba sebuah pikiran datang. Matanya sampai membelalak karena pikirannya itu.

"Apa dia meninggal!" monolognya menerka. Ia sangat ketakutan jika Zeana meninggal, karena tentu dia yang menjadi orang yang akan bertanggung jawab meskipun itu tidak seharusnya.

Sang supir taksi itu kemudian keluar lagi dan meninggalkan stir kendali mobil. Ia berpindah ke jok belakang dan mendekati Zeana. Dilihatnya lekat-lekat Zea yang masih saja terpejam mata. Namun, ia merasa ada yang tidak beres dengan wanita berwajah manis itu.

"Hey, dia semakin pucat saja! Apa yang harus aku lakukan?" monolognya sendiri.

"Baiklah aku akan membawanya ke klinik setelah itu aku akan pergi."

Bertanya sendiri dan menjawab sendiri pertanyaannya, sang supir taksi itu melanjukan lagi kendali setir mobilnya. Ini sudah bulat, dia akan membawa Zea ke klinik terdekat setelah itu dia akan terbebas dari wanita yang tidak dikenalnya sama sekali itu, tetapi sudah sangat merepotkannya.

Setelah sampai di Klinik terdekat, sang sopir taksi itu membawa Zea dengan menggendongnya. Ia terlihat peduli atau memang hanya seperti niatan awalnya, hanya ingin menyerahkan Zea pada Klinik itu lalu meninggalkannya.

"Permisi, wanita ini pingsan. Aku hanya menolongnya," ucapnya pada seorang penjaga resepsionis atau meja pendaftaran pasien.

"Baiklah, kami akan memprioritaskannya! Silakan masuk ke ruang periksa," sahut sang resepsionis beranjak dari duduknya lalu membukakan pintu mempersilakan sang supir taxi untuk masuk dan membaringkan Zea pada ranjang pasien.

"Jangan tinggalkan aku! Kau akan meninggalkanku dan lebih memilihnya, kan?" lirih Zeana, namun masih terpejam.

"Aku mencintaimu, tapi mengapa kau melakukan itu," sepertinya Zea mengigau tentang suaminya dan kejadian yang ia lihat tadi.

Tiga orang yang berada di dekat Zea saling menatap terdiam. Sang dokter, sang suster pendamping dan sang supir taksi. Sementara sang resepsionis sudah kembali ke tempatnya, ia hanya membukakan pintu lalu mempersilakan sang supir yang terlihat berat menggendong Zea untuk segera masuk tanpa menunggu antrian.

"Dokter, pasien ini pingsan. Sebaiknya kita mendahuluinya," katanya tadi.

"Baiklah," sambut Dokter wanita itu.

"Semoga pasien lain memaklumi dengan keadaan pasien ini," katanya lagi lalu kembali pada tempatnya.

Beberapa pasien yang duduk di bangku tunggu dan mengantri, mereka memaklumi. Meski ada sedikit rasa kecewa yang seharusnya saat ini adalah gilirannya. Klinik itu memang terbilang klinik kecil dengan terlihat ruangan yang tak besar dan hanya satu ruang tindakan. Mungkin karena klinik itu klinik terdekat dan harga berobat yang tak mahal, jadi cukup lumayan mendatangi pasien-pasien yang menderita penyakit ringan.

"Silakan Anda menunggu di kursi, Pak. Kami akan memeriksa pasien," ucap sang Dokter.

"Tapi aku …." ucap sang supir taxi terhenti, ia tak tega juga ketika pandangannya melihat Zeana.

"Baiklah, tolong segera tangani dia." Sang supir taksi akhirnya menurut.

Sang Dokter dan suster pendampingnya mulai memeriksa Zeana. Perlahan dan teliti memeriksa Zeana ke beberapa bagian tubuhnya, sang dokter terhenti pada bagian perut Zea. Ia mulai meraba dan sedikit menekan bagian bawah perut Zea.

"Augh!" teriak Zea pelan, ketika perutnya sedikit ditekan.

"Bu! Oh, siapa nama Anda? apa kau sudah tahu keadaanmu? tanya sang Dokter.

Zea tak menyahut, ia kembali dengan tatapan kosong walaupun baru saja berteriak. Ya, teriakkan itu hanya refleks saja.

"Dokter, apa dia pingsan karena lapar?" tanya sang supir taksi. Ia juga sempat terkejut ketika Zea berteriak tadi, lalu melihat Dokter itu tengah menekan perut Zea dan membuatnya berteriak.

"Tidak, Pak," sahut sang Dokter.

Dokter itu kemudian duduk menghadap mejanya. Di depan mejanya itu ada sang supir taxi yang duduk di kursi. Sementara Zea masih terbaring belum merubah posisinya. Pikirannya masih tertuju pada suaminya dan peristiwa tadi.

"Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan kalian sebagai suami istri! Apa kalian tidak mengetahui ada janin di dalam perut istrimu itu, Pak," ungkap sang Dokter.

"Janin?" kaget sang supir taksi.

"Ya, kurasa istri Anda sedang hamil! Anda bisa memeriksanya lebih lanjut pada Dokter kandungan," ungkap sang Dokter.

"Apa Anda tidak berbahagia dengan kabar ini? Setidaknya ini adalah kabar baik di tengah pertengkaran kalian … oh, maaf, aku hanya menduga itu karena istrimu mengigau tadi," ucap lanjut sang Dokter yang menurunkan intonasi bicaranya di akhir ucapnya yang sempat terjeda sesaat.

Zea terbelalak mendengar ucapan sang Dokter yang baru saja memvonisnya hamil, sedang ia sendiri tidak tahu hal itu. Kesadarannya mulai terkumpul penuh, seketika peristiwa menyakitkan yang ia lihat tadi buyar begitu saja. Perlahan ia menoleh pada sang Dokter.

"Tapi aku tidak peduli itu, aku hanya akan pergi sementara dia sudah siuman! Silakan tanyakan saja tentang keluarganya," ucap sang supir taksi mulai beranjak dari duduknya.

"Pak, kau kejam sekali jika begitu. Istri Anda hamil dan kau akan meninggalkannya?" ucap marah sang suster pendamping yang telah selesai merapikan peralatan medis saat memeriksa Zeana tadi.

"Dia bahkan terlihat sangat sedih! Apa kau baru saja menyakitinya?" marah sang suster yang masih sangat muda itu.

"Hey, kalian ini Dokter dan suster yang sangat kompak! Kalian seenaknya saja mengatakan aku sudah menyakitinya! Dia bukan istriku, bahkan aku tidak mengenalnya sama sekali! Argh, Sial sekali!" marah sang supir taksi berhenti dari melangkah untuk keluar.

Tak ada pilihan lain, sang sopir taksi itu mengajak Zea untuk kembali menaiki taksinya. Ia memberikan bangku belakang untuk Zea tempati.

"Silakan beritahu alamat Anda, aku akan mengantarmu pulang," ucap sang supir taksi melihat dari kaca spion atas.

Zea masih dengan terdiamnya, pikirannya banyak dipenuhi bayang-bayang. Ia baru saja tahu kalau dia hamil, dia juga baru melihat suaminya berselingkuh. Apa yang harus ia lakukan saat ini? Zea belum menemukan jawaban.

"Atau kau akan menunggu suami mu menjemput?" tanyanya lagi. Zea masih tak menyahuti.

"Ckk! Argh!" decak kesal supir taksi itu.

"Jujur, kau sudah membuang-buang waktuku! Aku harus mengejar setoran! Kau mengerti?!" Ia mulai marah lagi dan meninggikan intonasi bicaranya.

"Aku tidak tahu harus kemana?" jawab Zea akhirnya. Namun, masih dengan tatapan kosong.

"Hey, bagaimana kau bisa mengatakan kau tidak tahu harus kemana? Kau banyak pilihan, kau bisa menghubungi suamimu, atau kau beri tahu alamatmu, kau juga bisa menghubungi keluargamu. Kau pilih saja cepat, aku harus bekerja!" Supir taksi itu masih menatap gemas Zea.

"Aku tidak punya keluarga lain," sahut Zea masih berposisi sama.

"Apa? Lalu suamimu?!" Supir taksi itu semakin kebingungan dengan Zea.

Ditanya suami, Zea menangis lagi. Peristiwa tadi terputar lagi dalam memorinya, bagaimana ia melihat suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya sendiri. Hal itu juga membuat sang supir taksi bertambah kebingungannya.

"Argh! Aku tidak mungkin menurunkanmu."

Supir taksi itu kemudian melanjutkan lagi melaju mobilnya. Merasa kasihan juga dengan Zeana, ia hanya punya satu pilihan. Mobil komersial itu terus melaju dan melaju tanpa ada pembicaraan lagi antara Zea dan sang supir taksi.

Berhenti di sebuah rumah kecil, sang supir taksi kemudian turun dari mobil taksi-nya lalu membukakan pintu untuk Zea. Zea melihat ke arah rumah itu. Rumah yang sedikit terbuka pintunya itu menandakan ada penghuninya.

"Turunlah!" titah sang supir taksi.

"Tapi, ini dimana?" tanya Zea.

"Sudah, turun saja!" tak ingin menjawab banyak.

Zea menuruti, ia keluar dari taksi itu sambil terus melihat pada rumah kecil di hadapan mereka. Sang supir taksi melangkah di depan Zea yang langkah begitu pelan. Ia merasa takut dan asing akan rumah itu.

"Bu!" panggil sang supir taksi.

Tak mendapat sahutan sang supir taksi kemudian membuka pintu sebuah kamar. Namun hanya sesaat, hanya melongok sedikit kepalanya kemudian keluar lagi. Sepertinya ia tidak menemukan seseorang yang dicarinya, seseorang yang tadi ia panggil ibu.

"Kau duduklah dulu, aku akan mencari ibuku," tawarnya pada Zea yang sedari tadi melihat diam pada sang supir taksi yang terlihat sedikit khawatir.

"Ini rumah mu?" tanya Zea.

"Ya, tapi kemana ibuku?" jawab sang supir taksi sambil melihat ke arah dapur.

Tak menunda lagi, sang supir taksi kemudian melangkah menuju dapur. Ia berpikir ibunya ada di ruang dapur atau mungkin di kamar mandi yang terletak di area dapur. Jarak dari ruang tamu dan ruang dapur tidaklah jauh, karena rumah itu memang berukuran kecil. Hanya ada dua kamar tidur, ruang tamu dan dapur.

"Ibu! Ibu sedang apa? Apa ibu akan memasak?" tanyanya pada ibunya yang sudah ditemuinya.

"Adam! Bagaimana kau sudah pulang? Apa kau sakit?" ucap sang ibu balik bertanya sambil menyentuh kening dan wajah putra tercintanya.

"Ibu aku baik-baik saja," timpal sang sopir taksi yang ternyata bernama Adam, sambil menurunkan tangan ibunya dengan lembut.

"Apa terjadi sesuatu?" tanya ibunya lagi.

Jam kerja seorang sopir taksi itu bebas, tetapi kalau di jam yang masih terbilang belum tengah hari sudah pulang, tentu hal itu akan menjadi pertanyaan sang ibu. Adam sendiri tak biasanya pulang lebih awal, bahkan ia akan pulang lebih malam. Ia akan menghubungi ibunya hanya untuk menanyakan keadaan saja.

"Lalu ada apa, Adam? Kau lapar?" sang ibu masih saja bertanya penuh kekhawatiran.

"Ibu cukuplah pertanyaanmu, sekarang mengapa kau memasak? Aku tidak mengizinkan ibu memasak!" marah Adam sambil menyingkirkan apa-apa yang yang ada di hadapan ibunya itu sebagai acara memasaknya.

"Ibu ingin memasak untukmu, Adam."

"Sudah, tidak perlu memasak untukku! Ayo, Bu, aku …."

Belum selesai Adam berbicara, bermaksud untuk mengajak ibunya menemui Zea di ruang tamu. Ibunya Adam sudah melihat Zea lebih dulu.

"Adam, apa ada seseorang di ruang tamu?" tanya ibunya.

"Ya, itulah yang ingin ku beri tahu, Bu," jawab Adam.

Ibunya Adam kemudian melangkah menuju ruang tamu, ia sangat penasaran dan ingin melihat siapa seseorang yang datang bersama Adam. Betapa terkejutnya setelah yang ia lihat adalah seorang wanita. Ia menatap detail pada Zea kemudian.

"Adam, siapa wanita ini?" tanya ibunya Adam dengan sedikit berbisik.

"Hey, kau bisa memperkenalkan diri!" pinta Adam.

Perlahan Zea mengulurkan tangannya pada ibunya Adam. Ia bahkan belum memperkenalkan diri pada Adam juga. Saat keadaan Zea sudah mulai rileks, kejadian tadi sedikit terlupakan untuk saat ini.

"Zea," ucap Zea menyebut namanya.

"Kau kekasih Adam?" tanya ibu Adam tiba-tiba, membuat Adam terbelalak.

"Tidak, Bu! Dia hanya penumpangku," elak Adam.

"Lalu kau membawanya kesini?" ucap ibunya Adam dengan nada bertanya.

"Ya, dia sedang ada masalah. Aku juga tidak tahu persis, Bu," jawab Adam. Zea tertunduk sedih.

"Masalah? Bagaimana kau tahu dia sedang ada masalah? Apa dia mengisahkannya padamu? Oh, sedekat itu penumpangmu, Adam." Ibu Adam merasa keanehan.

"Jadi namamu Adam," ucap Zea.

"Terima kasih, kau sudah baik seperti ini! Kurasa, aku sudah merepotkanmu," lanjut Zea berkata dengan terjeda-jeda.

Ibunya Adam semakin kebingungan dengan kedua insan itu yang malah baru saling mengetahui nama mereka. Padahal ibunya Adam sempat berpikir jika Zea adalah kekasih putranya dan ibunya itu tidak akan menyetujui jika Adam mempunyai kekasih. Jadi, dengan diketahuinya Adam dan Zea baru saling mengenal membuatnya sedikit merasa lega.

"Kau tidak perlu berterima kasih! Aku hanya ingin kau beristirahat sejenak di sini, barulah setelah itu kau pikirkan kau akan kemana dan bagaimana. Aku harus kembali bekerja! Ibuku akan menemanimu," balas Adam. Zea mengangguk pelan.

"Ibu aku menitipkan wanita ini padamu! Dia hanya sebentar dan aku harus kembali ke jalan, baru setelah itu aku kembali membawakan makanan untuk kalian! Ingat, Ibu jangan memasak atau mengerjakan pekerjaan apa pun," pesan Adam panjang lebar sebelum akhirnya ia melangkah untuk kembali bekerja.

"Ah, ya! Sebaiknya kau segera periksakan kehamilan mu dan katakan pada suamimu. Kurasa itu lebih," imbuh Adam kemudian melanjutkan lagi langkahnya. Zea terdiam saja begitupun dengan ibunya Adam yang sama sekali tak mengerti.

"Jadi kau sudah bersuami dan kau sedang hamil? Tapi … tapi mengapa kau bersama putraku?" tanya ibunya Adam setelah Adam benar-benar telah pergi.

"Iya, Bu. Aku hanya penumpangnya! Aku … aku belum bisa pulang untuk saat ini," sahut Zea ragu.

"Tapi tadi Adam bilang kau hamil?" tanyanya lagi begitu menyelidik sambil melihat ke arah perut Zea.

"Aku … aku belum tahu, Bu," jawab Zea.

"Bagaimana kau belum tahu, apa kau tidak merasakan tanda-tandanya?" Ibunya Adam sangat ingin tahu sekali, karena ia benar-benar ingin memastikan kalau Zea bukan kekasih Adam.

"Tidak, aku tidak merasakan apa-apa," jawab Zea, yakin.

Ibunya Adam menghela nafasnya. Walaupun Zea sudah mengatakan hanya penumpang putranya, tetapi ia tetap saja merasa cemas. Ia tidak ingin ada seorang wanita pun mendekati putranya. Ya, begitulah yang sebenarnya ada, Ibunya Adam bahkan tak ingin Adam menikah.

"Baiklah, kau bisa membantuku memasak?"

"Memasak? Bukankah tadi putramu sudah melarang untuk mu memasak!"

"Ya, memang bukan aku yang memasak, tapi kau."

Zea terdiam seketika, seorang ibu yang baru saat itu juga ia mengenalnya langsung menyuruhnya memasak. Walaupun demikian, Zea menuruti saja. Itu hanya sebagai ucapan terima kasihnya kepada Adam.

"Baiklah, Bu. Aku akan memasak! Di mana dapurnya?" Zea antusias.

Ibunya Adam tersenyum mengandung arti. Ia berpikir dengan menyuruh Zea memasak, itu akan membuat wanita cantik yang belum apa-apa, tapi sudah membuatnya cemburu itu akan pergi dengan cepat karena kapok.

Sudah berada di ruang dapur, ibunya Adam menyerahkan apa-apa yang tadi untuk acara memasaknya. Dia hanya menyerahkan bahannya tanpa merequest satu masakan apapun untuk dimasak Zea. Zea pun belum tahu apa yang harus dimasaknya dengan bahan-bahan tersebut.

"Apa yang harus ku masak, Bu?" tanya Zea.

"Terserah padamu saja, yang jelas masakan itu harus enak," jawab ibunya Adam dengan tandas.

Ibunya Adam kemudian pergi meninggalkan Zea sendiri di dapur. Sementara ia belum tahu apa pun tentang dapur itu. Namun, Zea sudah terbiasa memasak. Tampaknya ia tidak akan kesulitan, meskipun rumah dan dapur itu sangat asing baginya.

Zea mulai memainkan tangannya untuk mengolah masakan dengan beberapa bahan saja yang tersedia. Dapur yang tidak besar membuatnya mudah untuk mondar-mandir bergerak. Namun, peralatan memasak yang tak lengkap membuatnya harus mencuci dulu peralatan yang sudah ia pakai untuk dipakai kembali.

Selesai memasak dalam waktu empat puluh lima menit. Zea merasa kelelahan. Bahkan ia merasa keram di bagian perut bawahnya. Zea belum pernah merasakan hal itu sebelumnya. Sambil memegang perutnya, Zea duduk di lantai. Ruang dapur itu memang tak memiliki meja makan yang lengkap dengan kursinya.

"Hey, kau duduk-duduk saja apa kau sudah selesai memasak? Sebentar lagi, Adam pulang untuk makan! Ya, dia memang selalu pulang untuk makan siang hanya bersamaku," ucap dan tanya ibunya Adam.

"Aku sudah selesai memasak, Bu. Itu di atas meja! Tapi entah mengapa perutku terasa kram," jawab Zea.

"Kau baru boleh duduk setelah kau persiapkan juga piring-piringnya. Apa kau mengerti?" tandas ibunya Adam terus saja memerintah.

Zea menyandarkan tubuhnya pada bahu sofa. Setelah selesai mengerjakan semua yang diperintahkan ibunya Adam. Melepaskan benar-benar tubuhnya, karena bukan hanya lelah tapi juga sakit. Ia mengatur nafasnya dengan tenang. Mulai terasa lebih baik tubuhnya dan rasa kram pada perutnya mulai berkurang.

"Bu!" panggil Adam tiba-tiba.

Posisi Zea yang berada di sofa membuat Adam langsung melihatnya. Ia melihat Zea terlihat pucat dan lelah. Adam mendekati Zea, namun dengan ragu-ragu mengingat Zea adalah seorang istri pria lain.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya.

"Ya, aku baik-baik saja," jawab Zea memperbaiki posisi duduknya.

"Di mana ibuku?" tanyanya lagi.

"Di dapur," jawab Zea.

"Ya ampun, apa dia memasak lagi. Dia tadi menelponku untuk tidak membeli makan siang."

Adam segera menuju dapur untuk menemui ibunya, tanpa mendengar lagi ucapan Zea. Sementara Zea hanya terdiam sambil terus melihat pada Adam yang melangkah menyusul ibunya di dapur. Zea kebingungan sebetulnya dengan sikap Adam yang entah sangat menyayangi ibunya atau bagaimana, ia sampai melarang sang ibu untuk memasak.

'Mengapa dia terlihat marah dengan ibunya memasak' gumam Zea sambil mengernyit dahi.

Zea memilih untuk menyusul ke dapur bermaksud memberitahu Adam, bahwa bukan ibunya yang memasak melainkan dirinya. Zea tak ingin Adam memarahi ibunya, ia juga ingin sekali tahu mengapa Adam begitu melarang ibunya memasak dan melakukan pekerjaan lainnya di rumah mereka sendiri.

"Adam, ibu memasak ini semua untukmu. Ibu sangat menyayangi mu, ibu ingin kau tahu itu."

Zea sudah berada di depan dapur, namun belum sampai masuk ke ruang dapur tersebut. Ia mendengar jelas apa yang dikatakan ibunya Adam.

'Hah! Apa? Dia yang memasak?' gumam Zea terkejut.

Ibu setengah baya itu mengatakan dengan yakinnya bahwa dia yang memasak. Gestur tubuh serta gaya ucapnya itu sangat meyakinkan seolah itu adalah hal yang nyata. Membuat Adam mempercayai begitu saja tanpa curiga atau apapun itu.

"Ibu aku tahu ibu menyayangiku, kau tidak perlu mengatakan atau membuktikan. Bagaimana aku tidak percaya? Tapi aku juga menyayangimu, Ibu! Ku mohon, ibu jangan memasak lagi," ucap Adam dengan ekspresi wajah yang sangat-sangat serius.

"Saat ini ibu sudah tampak sehat, aku ingin itu selamanya. Jadi, jangan lakukan hal apapun yang bisa membuat ibu sakit lagi." Adam memegang dua telapak tangan ibunya. Ia benar-benar sangat memohon.

"Ya sudah, Ibu tidak akan memasak lagi. Tapi sekarang kau makan dulu menu yang sudah terlanjur ibu masak ini." Ibunya Adam menangkup wajah Adam, satu hal yang bisa membuat Adam selalu luluh.

"Baiklah, Ibu! Aku mencintaimu," ucap Adam dengan tulusnya.

Tinggallah Zea yang masih bertanya-tanya dengan apa yang ia lihat itu. Ibunya Adam dan Adam sendiri, keduanya membuat Zea kebingungan.

Mereka memang sepasang ibu dan anak yang terlihat saling menyayangi, tapi ada yang aneh di sini. Mengapa ibunya Adam tidak mengatakan jika yang memasak adalah orang lain bukan dirinya, sedangkan putranya sendiri tak ingin ia memasak. Seharusnya ia menutupi hal itu, walaupun pada kenyataannya memang bukan dia yang memasak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status