Share

Bab 6 Membongkar Aib

Hampir satu jam Amilie berada di kamar mandi. Ia masih menangis meratapi hidupnya yang menyedihkan. Hatinya patah dan jiwanya bagai ditarik ke jurang masalah. Mentalnya benar-benar hancur.

Walaupun kini ia sudah menikah dengan pria yang peduli dengan dirinya. Tetapi, ia merasa sangat bersalah karena ada janin di dalam kandungannya yang merupakan benih dari Stephen.

"Apa yang harus aku katakan padanya sekarang? Dia Pasti akan sangat kecewa kalau tahu aku sedang mengandung anak orang lain?"

Perlahan, Amilie menanggalkan bajunya satu persatu. Lalu, ia menyalakan shower yang kemudian membasahi seluruh tubuhnya.

Sesekali Amilie menjambak rambutnya yang panjang dengan air mata yang tak henti-hentinya membanjiri pipi.

Sedangkan, Theo khawatir dengan Amilie yang tak kunjung keluar membuatnya menghampiri kamar mandi itu.

"Amilie! Kamu tidak apa-apa, 'kan?"

Tok Tok Tok.

Theo berseru sembari mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi. Tetapi, Amilie tak kunjung menyahutnya. Ia hanya menoleh ke arah pintu dan buru-buru menyelesaikan mandinya.

Amilie mengambil handuk putih yang tersimpan rapi di rak khusus yang ada di kamar mandi itu. Lalu, setelah itu ia pun melingkarkan handuk tersebut ke dada. Sampai bagian dada sampai lutut tertutup handuk.

Di sisi lain, Theo membuka pintu kamar mandi tersebut untuk melihat keadaan Amilie. Ia takut terjadi sesuatu kepada istrinya.

Untungnya, saat pintu sudah terbuka Amilie sudah memakai handuk. Sehingga, dirinya bisa berhadapan dengan nyaman di depan Theo.

"Kamu kenapa lama sekali? Aku pikir terjadi sesuatu padamu," gerutu Theo.

Amilie menunduk, ia berusaha menyembunyikan matanya yang sembab.

Meskipun begitu, Theo tetap bisa melihat dengan jelas mata Amilie yang sembab itu. Ia tidak bisa dibohongi.

"Kenapa kamu menangis?" Theo menarik pergelangan tangan Amilie saat Amilie berusaha menghindarinya.

"Tunggu dulu!"

Amilie menepis tangan Theo darinya karena tidak mau jika dirinya dihujani dengan banyak pertanyaan. Tetapi, Theo menarik tangan Amilie lagi sehingga membuat keduanya berpelukan.

Pada saat itu, Amilie tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain memperlihatkan betapa sembabnya mata itu setelah beberapa saat yang lalu ia menangis.

Theo memegang pipi Amilie, ia menatap mata sembab Amilie yang mana air netra itu keluar begitu saja tanpa aba-aba.

"Lepaskan tanganku!" ujar Amilie.

"Kenapa kamu menangisinya? Apa yang kamu tangisi dari itu?"

Pertanyaan itu menghujani telinga Amilie saat wanita itu terus menangis. Theo juga menyeka air mata Amilie yang terus mengaliri pipi.

Lalu, ia pun memeluk Amilie -- memberikan pelukan hangat. Berusaha menenangkan wanita yang kini telah menjadi istrinya itu.

Amilie menerima pelukan itu. Jujur. Saat ini, yang Amilie butuhkan hanyalah kasih sayang yang tulus bukan kepura-puraan layaknya Stephen.

"Sudah-sudah. Jangan menangisi orang yang tidak peduli dengan perasaanmu!"

Tangisan itu kemudian berhenti dan Amilie berniat mengatakan hal yang sejujurnya kepada Theo. Apapun keputusan Theo akan ia terima, karena ia sadar bahwa dirinya tak layak untuk Theo yang sudah berbaik hati mau menikahinya.

"Oiya, aku akan memberimu obat karena sepertinya kamu masuk angin." Theo membalikkan badan dan pergi dari hadapan Amilie.

Amilie tidak mau membuang-buang waktu Theo, ia pun kemudian menghentikan langkah kaki pria itu.

"Tunggu!"

"Ada apa?" Theo menoleh.

"Jika kamu berpikir kalau aku mual-mual karena masuk angin ... Kamu salah, Kak Theo. Aku tidak masuk angin. Tapi, aku ... A--aku sedang hamil anak Stephen."

Sontak saja kedua bola mata Theo terbelalak seketika. Ia memutar tubuhnya dan menatap wajah Amilie. Sedangkan Amilie, ia hanya menunduk malu setelah ia mengungkap aibnya. Meski berat, tetapi Amilie mencoba jujur pada suaminya.

"Terserah kamu mau menceraikan aku atau tidak. Yang jelas, aku hanya ingin agar tidak ada kebohongan diantara kita. Sebelum pernikahan kita berjalan lebih lama, kamu bebas menentukan keputusan apapun dan aku akan menerima segala konsekuensinya," tutur Amilie, berusaha tegar.

Theo berjalan perlahan dengan pandangan terus mengarah pada Amilie. Langkah kakinya begitu lambat. Hingga, akhirnya ia berdiri di hadapan Amilie. Lalu, kedua tangan itu merayap -- memegang kedua pundak Amilie.

"Tatap mataku!"

Amilie masih belum berani mengangkat wajahnya, apalagi jika harus menatap wajah Theo. Sungguh, ini benar-benar memalukan sekali bagi Amilie.

"Kenapa kamu baru mengatakan hal ini sekarang? Kalau tahu kamu hamil, tentu aku tidak akan membiarkan mereka bertunangan. Adikku harus bertanggung jawab untuk ini."

Biji matanya memerah, ia merasa kesal dengan Stephen yang malah menerima pertunangan itu dan membiarkan Amilie dengan janin yang ada di dalam kandungannya.

Amilie gemetar ketakutan, setelah melihat Theo yang tampaknya sangat marah.

"Sekarang kamu sudah tahu aku mengandung anak dari lelaki lain. Kalau kamu mau menceraikan aku maka aku akan menerimanya."

Namun, Theo bukanlah lelaki semacam itu. Apa yang dipikirkan Amilie sungguh tidak benar. Theo menggelengkan kepala dengan tatapan lekat ke arah Amilie.

"Tidak. Tujuanku bukan ingin tubuhmu. Seperti niatku sejak awal, aku akan membantumu untuk membalas sakit hatimu padanya. Tidak peduli kamu sedang mengandung anak siapa, tapi pilihanku tetap sama ... Ingin membantumu!"

Kalimat yang terlontar dari mulut Theo itu membuat Amilie tercengang. Ia sungguh heran dengan pria yang ada di hadapannya.

'Bahkan setelah tahu aku hamil pun, dia masih mau menerimaku sebagai istrinya. Apa dia memang orang tulus atau ... Dia juga juga punya tujuan lain yang tidak aku ketahui sama sekali' pikiran yang terus bermunculan di kepala Amilie.

Hingga, suara dering telepon berbunyi. Theo mengambil ponsel itu dari saku celananya dan kemudian menjawabnya sebentar.

"Halo. Apa?!"

Belum selesai dengan masalah Amilie, ia harus menerima masalah lain yang menghalau hidupnya.

"Saya akan segera ke sana!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status