Hampir satu jam Amilie berada di kamar mandi. Ia masih menangis meratapi hidupnya yang menyedihkan. Hatinya patah dan jiwanya bagai ditarik ke jurang masalah. Mentalnya benar-benar hancur. Walaupun kini ia sudah menikah dengan pria yang peduli dengan dirinya. Tetapi, ia merasa sangat bersalah karena ada janin di dalam kandungannya yang merupakan benih dari Stephen. "Apa yang harus aku katakan padanya sekarang? Dia Pasti akan sangat kecewa kalau tahu aku sedang mengandung anak orang lain?" Perlahan, Amilie menanggalkan bajunya satu persatu. Lalu, ia menyalakan shower yang kemudian membasahi seluruh tubuhnya. Sesekali Amilie menjambak rambutnya yang panjang dengan air mata yang tak henti-hentinya membanjiri pipi. Sedangkan, Theo khawatir dengan Amilie yang tak kunjung keluar membuatnya menghampiri kamar mandi itu. "Amilie! Kamu tidak apa-apa, 'kan?" Tok Tok Tok. Theo berseru sembari mengetuk-ngetuk pintu kamar mandi. Tetapi, Amilie tak kunjung menyahutnya. Ia hanya menoleh ke ara
Theo kembali ke hadapan Amilie setelah selesai berbicara lewat telepon dengan sekretarisnya. Pikirannya berkecamuk, tetapi ia menyembunyikan itu dibalik senyuman. Ia tidak mau Amilie mengetahui masalahnya. "Ada apa? Apa yang terjadi?" tanya Amilie. Ia merasa bahwa Theo ini memang sedang digencat kuat oleh masalah dalam hidupnya. Tidak tahu apa, tetapi perasaan Amilie mengatakan itu. Entah apa masalah yang menimpanya, Amilie tidak tahu. Namun, apapun itu ia harus membantu suaminya jika memang bisa. "Tidak apa-apa. Aku hanya akan pergi keluar sebentar. Nanti aku akan kembali," kata Theo sembari menatap sepasang mata Amilie dan beranjak pergi dari kamar tersebut. "Ah, baiklah." Meski khawatir, tetapi Theo pun tidak bisa meninggalkan masalahnya begitu saja. Walau saat ini ia masih ingin berada di samping Amilie. Tok Tok Tok! Suara ketukan pintu dari luar kamar terdengar begitu nyaring. Sontak Amilie dan Theo pun menoleh secara bersamaan. 'Siapa lagi itu? Apa itu orang tua Kak Theo'
8. Dijaga Bagai RatuDi dalam sebuah kamar, Alissia merenungi hidupnya. Dirinya benar-benar sedih dengan keadaan ini. Kenyataan buruk ini begitu menyiksa dirinya. Pengkhianatan yang belum sanggup ia terima."Tidak bisa terus begini, dia juga harus merasakannya."Amilie menyeka air matanya dan kemudian bangkit dari duduknya. Ia lekas berjalan keluar dari dalam kamar tersebut untuk kemudian menuruni tangga."Nyonya, Anda mau pergi ke mana?" tanya Reza dari belakang secara tiba-tiba.Ia menoleh ke arah suara itu dan kemudian menjawabnya dengan singkat."Aku mau pergi keluar sebentar."Lantas, Amilie pun melanjutkan langkah kakinya kembali.Reza panik, ia tidak bisa membiarkan Amilie keluar sendirian tanpa penjagaan."Nyonya, lebih baik Anda di rumah sampai Tuan pulang," pinta Reza. Namun, Amilie tak menyahutnya ia terus berjalan. Bahkan, ia mempercepat langkah kakinya tersebut. Sedangkan, Reza mengejarnya -- berusaha menghentikan Amilie."Nyonya, Tuan bisa marah kalau Anda pergi sendiri!
"Maaf kalau saya agak terlambat," ucap Theo yang kemudian duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan kliennya.Klien Theo terlihat kecewa, ia bahkan tak menyahut permintaan maaf darinya. Namun, Theo tetap tenang menghadapinya."Bagaimana dengan kerjasama kita?""Maaf, Pak Theo. Sepertinya saya mengurungkan kerjasama bisnis ini dengan Anda."Pernyataan pahit yang dikatakan kliennya membuat Theo bertanya-tanya. Padahal, sebelumnya tampak baik-baik saja. Tak ada masalah yang muncul."Kenapa? Bukankah kita sudah sepakat untuk melakukan kerjasama ini?!" Theo protes. Ia merasa ada sesuatu yang aneh.Namun, kliennya tidak menjelaskan secara mendetil. Setelah membatalkan perjanjian bisnis dengan Theo, ia bangkit dari duduknya dan melangkah pergi keluar dari cafe tersebut.Ini membuat Theo semakin bertanya-tanya. Hingga, ia mengingat sesuatu."Aku tahu siapa pelakunya," ucap Theo geram.Theo meraih ponselnya yang ada di meja, ia pun mencari nomor Ayahnya untuk kemudian ia hubungi. Setelah m
Sedangkan di rumah, Amilie hanya diam sembari menunggu kepulangan Theo yang entah kapan. Perutnya berkali-kali berbunyi, tetapi ia enggan untuk memesan makanan. "Nyonya, apa mau saya buatkan makanan?" tanya Reza memberikan penawaran.Tetapi, Amilie terus menggelengkan kepalanya. Ia menolak pelayanan dari Reza."Tidak usah, aku tidak lapar," jawabnya lesu.Hingga, suara ketukan bel pintu terus berbunyi. Amilie terkesiap, ia bangkit dari duduknya dan siap menyambut kedatangan Theo. "Akhirnya dia pulang juga, aku akan meminta dia menemaniku makan," ucap Amilie dengan wajah berseri.Perlahan, ia membuka pintu itu dengan senyuman. Namun, senyuman itu berubah kecut saat yang ada di hadapannya bukanlah suaminya, Stephen -- mantan pacar yang membuat hatinya hancur. Pada saat Amilie hendak menutup pintu itu kembali, tangan Stephen menahannya dengan kuat. Sehingga, membuat Amilie kewalahan dan terpaksa membiarkan pintu terbuka."Mau apa kamu datang ke sini? Calon istrimu sekarang bukan lagi
"Lebih baik sekarang kamu pergi dari sini sebelum tulangmu patah!" usir Theo dengan suara serak.Namun, lagi-lagi Stephen hanya tersenyum masam. Dirinya begitu tenang saat berhadapan langsung dengan Theo."Kamu yakin mau mengusir aku dari sini, Kak?" sahut Stephen dengan dada membusung dan kepala mendongak, menatap wajah Theo."Pergi kamu dari sini! Aku tidak ingin melihat tampangmu di rumah ini!" teriak Theo.Bibir Amilie gemetar, jantungnya berdebat kencang. Ia ketakutan melihat rona merah pada mata Theo. Sebab, ini pertama kalinya ia melihat Theo Namun, demi sebuah kedamaian. Perlahan Amilie mendekat dan menggenggam tangan Theo. Ia mengelus lembut tangan itu, berusaha menenangkan suaminya yang tampak begitu marah.Theo yang merasakan genggaman Amilie pun langsung menoleh ke arah istrinya. Amilie lekas memberi isyarat mata, agar suaminya tidak terlalu meladeni Stephen.Hingga, tak lama kemudian suara langkah kaki memasuki rumah itu. Amilie dan Theo menoleh secara bersamaan. Dan Step
Sembari membawa dua koper di kanan-kirinya, Amilie dan Theo pun kemudian berjalan keluar dari rumah itu. Theo keluar dengan penuh kekecewaan terhadap Sanjaya yang bertindak tidak adil terhadap dirinya itu.Dalam hati, Stephen tertawa senang. Ia pun kemudian berjalan keliling rumah itu sembari memandangi langit-langit rumah yang kini telah menjadi miliknya."Aku tidak akan mau tinggal di rumah itu!"Theo memasukkan dua buah koper itu ke dalam bagasi dengan kesal sembari terus mengomel.BRAK!Dengan sekuat tenaga Theo menutup pintu bagasi itu begitu keras hingga menimbulkan suara yang mendenging di telinga Amilie. Suara itu membuat Amilie terhenyak seketika, tetapi ia berusaha memakluminya.Sanjaya melihat ke luar, ia menatap Theo yang memasuki mobil jok depan dengan Amilie. Reza berjalan menyusul majikannya, tetapi keegoisan Sanjaya menghentikan Reza."Kamu di sini saja bersama saya! Biarkan dia berdua dengan istrinya!""Maaf, Tuan. Tapi, saya biasanya bekerja untuk Pak Theo," sahu
Di jalan raya saat Theo tengah melempar gurauan pada Amilie. Terlihat dari kaca spion, ada sebuah mobil yang terus mengejar mobil miliknya. Mobil itu menyelinap diantara mobil yang lain dan terus mengikutinya ke manapun pergi.Theo mempercepat kemudi mobilnya, tetapi mobil itu terus berdekatan dengan mobilnya. Seolah tak mau tertinggal.Amilie yang juga melihat hal itu pun, membuatnya cemas. Ia terus menerus melihat ke belakang karena takut orang jahat mencegat mereka. "Bersiaplah untuk pegangan! Kita akan ngebut!" ujar Theo memberi aba-aba kepada Amilie.Sontak, Amilie pun memegang pegangan yang ada di atasnya. Ia berusaha mencengkeram kuat pegangan itu, karena seperti yang dikatakan oleh Theo. Ia mengemudikan mobil dengan kecepatan penuh. Ini membuat Alissia ketakutan. Tetapi, ia pun tidak bisa berbuat banyak selain menurut dengan permintaan Theo.Hingga, Theo pun akhirnya sampai di salah satu apartemen milik Grup J. Ia segera keluar dari mobil itu. Namun ternyata, mobil yang tadi