Happy reading ;)
-------------------
"Aku minta maaf padamu atas kejadian di masa lalu," Christian berusaha meraih jemari itu, namun Emily terlalu muak akan kata maaf yang keluar dari bibir pria yang pernah ia cintai sebelumnya.Mike hanya mendengus pelan, ia terpaksa berpindah meja saat suasana tegang tadi hampir tak terkendali. Mike meminta menyelesaikan permasalahan dengan baik walaupun manik legam itu menatapnya tak suka.
"Maafmu tak akan merubah apapun, keparat!"
"Yeaah i know, setidaknya aku telah meminta maaf padamu," Christian mengangkat bahu acuh kemudian menyesap Vodka perlahan.
Emily tersenyum masam, terlalu banyak kata maaf dari mulut para bedebah yang berharap urusannya selesai. Manusia biadab, yang berlaku seperti binatang dengan sikap dan perkataannya kemudian meminta maaf dengan mudah itu sama saja keparat gila yang menginginkan mati dengan tak manusiawi. Baik, ia akan mengabulkan permohonannya.
"Apa itu sebuah permohonan sebelum tanganku membelah tubuhmu menjadi beberapa bagian?" Seringai iblis itu kembali mengisi wajah keangkuhan wanita bersurai golden blonde yang menatap manik hazel Christian dengan kasar.
"Hentikan pekerjaan kotormu, Em."
"Bahkan kau dan keluarga mu terlampau kotor dari apa yang aku kerjakan sekarang, Christian."
Pria itu menghela napas berat, ia tahu keluarga nya bertindak tak manusiawi pada istrinya dahulu dan bodohnya ia justru percaya semua kebohongan yang mereka katakan hingga perceraian itu terjadi. Namun, bagi Christian keluarga adalah keluarga, dan ia harus melindunginya bukan?"Harusnya, saat itu aku percaya padamu Em,"
"Jika tak ada hal lain yang kau bicarakan, sebaiknya kau tak meminta izin bossku untuk pertemuan sampah seperti ini."
Emily beranjak hendak pergi, dengan cepat Christian meraih jemari Emily berharap ia dapat kembali bersama. Siapa sangka, Emily meraih pisau lalu menekan ujung pisau itu pada leher Christian.
"Jangan menyentuhku sedikitpun jika tak ingin pisau ini merobek tenggorokan mu, Christian Cloves." teriakan pengunjung di restoran tersebut menggema seiring darah yang dihasilkan oleh ujung pisau itu menetes sedikit demi sedikit. Mike terkejut dan segera meraih jemari Emily yang mengeras penuh amarah, Mike memberikan sentuhan hangat berharap wanita itu menghentikan aksinya agar tak berhubungan dengan pihak kepolisian, pasalnya restoran yang ia tempati merupakan restoran terkenal di New York.
"Kau menyakitinya Em, jangan gunakan tanganmu untuk membunuh pria kotor sepertinya," Emily menghela napas dalam, menaruh kembali pisau yang sempat ingin merobek kulit leher Christian, manik legam itu tetap menghunus menyerang manik hazel pria bodoh didepannya. Christian mengerang kesakitan ditengah debaran rasa takut dan cemas sekaligus.
"Kali ini kau lolos dariku, brengsek!"
Emily berderap keras meninggalkan pria itu, nafas yang berderu tak bisa ia tahan. Ia harus segera mencari pelampiasan sepulangnya nanti."Emily!" Seruan Mike menghentikan langkahnyanya. Mike setengah berlari untuk menyamai langkah lebar wanita itu.
"Kau harusnya tak melakukan itu.." Kalimat Mike mampu menyulut kembali emosi dengan segala cacian yang hampir ia utarakan. Hatinya menekan itu semua mengingat posisi dirinya saat ini hanya sebagai bodyguard.
"Maafkan aku, Sir." Emily menunduk hormat, pandangan nya kembali dingin. Berusaha menetralkan hatinya yang kian bergejolak penuh emosi.
"B-bukan begitu, maksudku..."
"Urusanku telah selesai." potong Emily cepat.
***Suasana hening didalam mobil membuat Mike serba salah, ia begitu penasaran pada permasalahan yang dialami oleh mereka berdua. Namun ia tak cukup berani menanyakan hal yang bersifat pribadi itu pada Emily mengingat kemarahan dan kesedihan yang terpancar pada sorot matanya. Ia yakin kesalahan Christian di masa lalu sangat mendominasi bagi kehidupan wanita mungil itu sekarang."Ehem, aku tidak tahu kau memiliki masa lalu dengan..."
"Berhentilah ikut campur urusanku, jika kau tak ingin ku serahkan pada musuhmu." manik legam itu menatap tajam kaca spion.
"A-apa?!" Mike melirik ke belakang dan mendapati dua mobil hitam yang mengikutinya sedari tadi. Kaki kanan Emily menendang seat slide, mendorong tubuh Mike terlentang di atas jok mobil, sedangkan jemari nya meraih revolver Magnum dibalik celana jeans dan mengarahkan ujung senjata itu kearah luar jendela kaca Mike yang telah dibuka.
Dor! Dor! Dor!
Tiga kali tembakan peluru mampu membuat orang yang berada dibalik kemudi itu mati dan mobil hilang kendali menabrak trotoar. Emily menutup kaca sebelum mengarahkan Magnum revolver miliknya pada mobil hitam satunya lagi yang siap membalas.
Untuk sesaat Mike terpana dengan aksi Emily yang begitu tangkas dan setiap tindakannya ia yakin telah diperhitungkan dengan sempurna. Satu tangan memegang kemudi, satu tangan lagi diisi oleh senjata Magnum revolver yang siap menembak musuh. Kepala wanita itu hanya keluar sedikit namun dengan pas jemari itu menekan trigger melepas peluru hingga bunyi keras dari pecahan ban terdengar begitu menyeramkan bersamaan dengan mobil tersebut menghantam mobil lainnya yang terpakir tak jauh dari sana.
"Wow! Awesome!" Mike kembali membenarkan joknya, jantung yang berdebar kencang tak juga membaik meski ia telah jauh dari tempat kejadian, hingga sampai di halaman utama mansion Mike masih menggeleng tak percaya pada apa yang telah terjadi. Emily tersenyum remeh, menurutnya pria rupawan dengan tubuh atletis sempurna seperti Mike tak perlu tegang seperti ini. Bagaimana bisa ia memiliki tubuh sempurna namun tak berani berbuat sedikitpun untuk keselamatan nya sendiri.
"Kau tak apa, Sir?"
Kalimat serupa bisikan itu membuat Mike menatap manik Emily tak sengaja, ia mencoba menyelami walnut itu berharap menemukan getaran khawatir untuknya didalam sana. Tapi nyatanya ia justru tersesat dalam ruang gulita tanpa arah. Ruang itu teramat hampa dan kosong. Bagaimana wanita bersurai golden blonde itu hidup dengan kegelapan yang melingkar erat pada dirinya?"Sir? Apa kau terluka?" Kening Emily mengerut dalam bersamaan pupil yang melebar, karena kini ia tak mendapat jawaban serupa suara dari pria itu, namun belaian lembut pada bibir mungilnya terasa asing dan memabukkan. Meruntuhkan dinding keras yang telah lama ia bangun. Sesaat Emily merutuki dirinya begitu mudah menikmati kelembaban indah yang ia dapat dari pria disampingnya, Mike Delwyn.
***
-To Be Continued-
Karya Luna Lupin yang lain ---> My Brilliant Doctor (On Going)Happy reading ;)--------------Emily seolah melayang kala pria itu mempersilahkan dan menatap detail setiap pergerakan Emily. Loginova mengulurkan tangan membawa Emily menuju altar. Senyumnya merekah indah namun berbeda dengan degup jantungnya seolah bersorak.Sementara bridesmaid berada di belakang mengiringi langkah Emily. Ribuan lampu berbentuk lilin yang berbentuk kristal mengisi langit langit gedung dengan pola melingkar hingga menyatu tepat di atas altar.Beberapa bunga mawar merah tersedia di setiap sudut meja para tamu, serta background dengan air terjun memenuhi keseluruhan tempat dimana mereka akan mengucap janji sehidup semati.Jalan yang ia tapaki seolah menyambut kedatangan Emily seperti seorang ratu juga di bagian sisi kiri dan kanan terdapat bunga anggrek putih yang menggumpal dan panjang
Happy reading ;)----------------"Sebenarnya, Celline datang ke mansion untuk meminta maaf pada kita." Mike terdiam begitupun dengan Emily di sebrang sana."Lalu?" tanya Emily santai namun ia segera membentengi hati jika pernyataan Mike membuatnya luka atau melebihi itu."Tak ada perbincangan serius, kami hanya berbincang tentang kejadian yang menimpa kita," jawab Mike pasti. Emily pun tersenyum mendengar nada pria itu yang jujur."Oke."Mike terdiam dan merubah posisi menjadi telungkup. "Hanya, oke?" tanyanya memastikan."Ya, memang kau mau apa lagi?""Tidak. Hanya itu."Emily tergelak di sebrang sana. Dua jam berlalu mereka sama sama tak ingin melepaskan ponsel dari telinga mereka, walau panas tapi setidaknya mereka akan sama sama tidur terlelap.***Satu bulan berlalu, Mike benar benar memajukan tanggal pernikahan mereka, dan kini hari itu tiba. Ia tak sabar untuk segera bertemu dengan calon
Happy reading ;)-----------------"Mike, bisakah kita bicara?" Wanita itu bergegas berdiri menghentikan langkah Mike yang acuh tak peduli. Sementara Egbert menepuk pundak sang anak dan berlalu pergi.Halaman utama mansion menjadi pilihan Mike untuk mengabulkan keinginan wanita itu. Sebenarnya jengah, namun Mike tak bisa menolak jika pertemuan mereka adalah yang terakhir mengingat Celline akan segera pergi ke Jepang dalam waktu yang lama."Langsung saja, tak ada waktu." Mike melirik jam tangan dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Pandangannya lurus tak menoleh bahkan berhadapan dengan mantan kekasihnya dulu."Aku tahu aku salah saat itu, aku hanya ingin minta maaf juga pada Emily. Tapi, luka yang ku buat tampaknya begitu membekas dalam ingatan kalian." Celline menunduk seraya mengusap lengannya ketika angin menusuk ke dalam lapisan kulit.Ia tersenyum pahit, dulu Mike akan segera menutupi tubuhnya dengan long coat atau jaket yang ia
Happy reading ;)----------------"Siapa?" tanya Emily menatap ponsel Mike yang telah ia matikan. Mike mengacungkan layarnya kembali. "Jeff.""Ada apa dia menghubungimu?""Aku berjanji akan berlatih dengannya hari ini, aku melupakan itu."Emily mendesah samar. Mereka kembali berjalan menatap ke sekeliling gedung milik sahabat Egbert "Bagaimana?" tanya Dirk seraya menatap bagian gedung yang akan dijadikan altar untuk janji suci mereka.Mike mengangguk setuju dan menoleh pada wanitanya. "Kau suka?""Tentu." Senyum keduanya mengembang. Mike melirik jam tangan menunggu wedding organizer yang berjanji akan menyusul mereka.Seorang pria berlari tergesa dan menunduk hormat ketika berhadapan dengan Mike. "Sir, maaf atas keterlambatannnya, saya Stefan." sapanya canggung. Mike hanya membuang nafas kasar namun tak segan menjabat uluran tangannya."Kau dari mana saja?" sentak Eveline kesal."Jalanan macet, kau bahkan tiba tib
Happy reading ;)-------------------"Mike benar, ia harus melindungimu dan keluarganya nanti seperti yang selalu dilakukan oleh Daddy," ujar Alice seraya berjalan menghampiri keduanya.Emily melirik pada Mike yang memandang ibunya dengan kesal. "Mike, ibumu hanya mencemaskanmu walau berlebihan. Ayolah, jangan seperti ini." Egbert merentangkan kedua tangannya kemudian duduk di sofa."Itu benar, aku tahu kau menyayangi Alice," sambung Emily meyakinkan. Mike terdiam seolah pikiran dan hatinya beradu antara kasih sayang dan kekecewaan.Hingga akhirnya Mike mengangguk memutuskan mengakhiri sifatnya yang kekanakan. "Aku minta satu hal padamu," tegas Mike dengan matanya yang tajam."Ya, apapun untukmu." Alice mengangguk dan duduk di sisi ranjang berhadapan dengan putranya yang ia kasihi."Jangan ganggu hubungan kami untuk sekarang bahkan selamanya," pinta Mike dengan tatapannya yang mengeras. Sementara Alice tersenyum simpul. "Tentu, aku ta
Happy reading ;) ----------------- Loginova tersenyum simpul pada Tara yang sempat berpapasan dengannya sebelum pergi. Wanita dengan midi dress suit di balut blezzer burgundy serta syal berbulu melingkar di lehernya membuat Mike menyadari betapa berkelasnya ia. Wanita itu menjentikkan jari memerintah anak buahnya untuk menaruh beberapa makanan vegetarian di atas nakas. Emily menaikkan kedua alisnya melihat tingkah sahabat ibunya yang berusaha untuk menjadi wanita normal. Entah itu dari lubuk hatinya atau hanya bepura pura se welcome ini pada orang baru seperti Mike. Loginova bahkan hanya sesekali bertemu dengan Mike dan tak ada perbincangan diantara mereka. Loginova menghampiri keduanya namun berakhir duduk di atas sofa tak jauh dari sana. Emily duduk di sisi ranjang menghadap wanita itu. Sementara Mike menoleh singkat pada wanitanya. "Aku hanya ingin bicara denganmu," tunjuk Loginova pada Mike dengan dagunya yang runcing. Emil
Happy reading :) --------------- Setelah berdebat panjang dengan kepala perawat, Mike akhirnya di biarkan pergi mengikuti Emily dengan satu perawat yang mendampinginya. Ia bahkan mencari tempat bersembunyi agar tak terlihat oleh Emily. Nyatanya ia tak menyesal bersusah payah untuk sampai ke lantai teratas gedung rumah sakit. Mike mendengar semua perbincangan mereka hingga ikut merasakan sakit terlebih saat Emily menangis dalam pelukan Loginova. Ia tahu lingkungan kriminal wanitanya hanyalah bentuk perlindungan diri. Fakta jika mereka akan saling melindungi lebih besar di banding orang orang yang sekedar teman atau sahabat biasa dengan menjalani harinya yang biasa saja. "Sir, waktumu tak banyak," peringat perawat. Mike mengangguk singkat. Ia kembali ke kamar dengan di bantu perawat tadi. Sesampainya di ruangan, Mike menaikkan selimut hingga pinggang dan matanya terpejam. Tetapi bayangan itu tak kunjung sirna, ia be
Happy reading ;)-------------------Angin malam menembus epidermis Emily melalui celah jaket kulit yang ia kenakan. Wanita itu sesekali melirik jam tangan menunggu kehadiran Loginova.Rambut golden blonde itu bergerak seiring lembutnya udara saat ini. Emily bersandar pada railing besi sesekali memainkan sepatu bersamaan dengan pandangan yang tertuju pada gemerlap kota di bawah sana."Baby, sudah lama menunggu?" tanya Loginova tepat di belakangnya. Emily menoleh menatap wanita tua yang sudah begitu berjasa dalam hidupnya.Bibir tipis yang selalu berucap sarkas dan kasar itu masih setia terbalut lipstik merah darah seolah menggambarkan dirinya sendiri. Emily menyunggingkan senyum dan duduk di kursi panjang.Sementara Loginova setia berdiri dengan melipat kedua tangannya. Tatapan matanya melekat pada gerak Emily yang berubah.Emily sengaja memilih bertemu di atas gedung karena banyak pembicaraan yang harus ia lakukan. Wanita itu menghem
Happy reading ;)-----------------Mike tak bisa menyembunyikan amarahnya setelah mendengar semua rencana, perbuatan mereka terhadapnya. Bukan, bukan hanya padanya tetapi pada hubungannya dengan Emily.Sebegitu besarkah keraguan mereka pada Emily? Atau apakah dirinya di anggap lelucon dan hal yang mudah untuk di mainkan? Mike menghembuskan nafas kasar.Ia tak dapat bergerak lebih mengingat luka di area perutnya masih terasa sakit. Sementara Emily terdiam mengamati raut wajah prianya yang mengeras menahan kesal."Mike, it's okay. Tenangkan dirimu." Emily mengusap tangan Mike lembut. Ia mengerti perasaan Mike, namun mengungkapkan amarah seperti tadi hanya akan membuat luka perutnya lebih sakit."Mengapa mereka bersikap seperti itu? Apakah kita seperti boneka yang bisa mereka mainkan sesukanya?" Kening Mike menukik dalam. Ada kekecewaan yang teramat besar yang berusaha ia tekan."Mike, aku mengerti. Aku pun ingin sekali marah tapi, jika