Mendengar suara telepon kantor berbunyi, Zunaira langsung mengangkat panggilan tersebut. Setelah berbicara sebentar, Zunaira memanggil Dylan.
“Dylan, anggota SWAT ini ingin bicara denganmu. Ryan Gold,” kata Zunaira.
Dylan mengerutkan dahi bingung karena anggota SWAT mau bicara dengannya mengingat Dylan sedang tak menangani kasus yang membutuhkan bantuan para anggota SWAT.
“Berikan padaku.” Dylan mengambil alih gagan telepon tersebut sebelum duduk di kursi kerja Zunaira.
“Hai Jordan! Sudah lama aku tidak berbicara denganmu,” sambut Ryan dari sebrang sana.
Dylan mengiyakan hal tersebut. “Hmm, sudah satu tahun kita tak berbincang. Aku kira kau sudah di telan buaya di sungai A****n. Ada apa? Tumben sekali kau menghubungiku.”
Suara renyah Ryan terdengar dari sebrang sana mendengar jokes Dylan yang terdengar datar. “Hahaha, sialan kau. Apa kau senggang? Mari kita bertemu. Ada sesuatu yang ingin aku beritahu padamu. Kabarnya kau
“X sangat hebat. Kemampuannya setara dengan komandan SWAT-ku. Dia seperti seorang profesional.”“Memangnya apa pekerjaannya? Dia terdengar sangat hebat,” tanya Dylan bingung.“Katanya dia seorang penerjemah, maka dari itu dia menegaskan jangan menghancurkan jari-jarinya selama bertarung kemarin. Tapi bukankah itu tidak masuk akal jika seorang penerjemah bisa sehebat itu?” Ryan benar-benar curiga sekaligus bingung dengan dua orang wanita tak biasa tersebut.“X juga mengendarai sebuah mobil mewah. Sepertinya itu merek Buggati Chirron, aku pernah melihat mobil mewah seperti itu di berita. Mobil mewah yang sangat terbatas dengan harga fantastis. Coba kau pikirkan, bagaimana bisa seorang penerjemah memiliki mobil mewah yang langka itu?” Ryan meminta pendapat Dylan.Masih bersikap santai, Dylan menyahut. “Mungkin dia penerjemah orang-orang elite. Apakah dia seorang mata-mata? Mendengar dari betapa hebatnya d
Akhir-akhir ini Atlanta lebih sering bekerja di gedung Hilton daripada di apartemennya sendiri. Suasana apartemen tanpa seorang Dylan tidak lah lengkap.Sambil memegang segelas kopi yang baru saja Atlanta buat menggunakan mesin kopi, Atlanta berjalan kembali ke meja kerjanya. Melihat Atlanta lewat, Lay segera menegur Atlanta.“Leona, jangan lupa carikan transaksi terakhir perdana menteri dan berikan kepadaku.”“Aku tahu, aku akan mencarinya tengah malam nanti. Kau lupa jika siang hari semua akses pemerintah jauh lebih aman dikarenakan banyaknya perangkat yang aktif?”Atlanta menghela napas setelah kembali duduk di kursi kerja. Suasana hati Atlanta menjadi lebih baik setelah meneguk kopi buatannya.“Siapa yang membeli kopi ini? aku ingin juga untuk di rumahku,” kata Atlanta.“Aku membeli kopi itu secara online. Di laci masih ada dua kotak lagi, kau bawa saja. Aku akan memesan lagi yang baru,&rdq
“Lay, kau dimana? Segeralah kembali, pesananmu sudah siap,” kata Atlanta melalui telepon.“Baiklah, tunggu aku sepuluh menit.”Atlanta menaruh ponselnya di atas meja secara kasar. Punggungnya terasa sangat pegal karena telah menghabiskan waktu lama hanya untuk duduk. Atlanta baru menyadari jika tersisa dirinya dan Leonis saja di gedung Hilton.Melirik jam yang terdapat di sudut layar komputer, sudah menunjukkan pukul satu dini hari.Setelah mematikan komputer, Atlanta membereskan barang-barangnya. Tak lupa Atlanta meletakkan pesanan Lay di atas meja kerja Lay. Atlanta menepuk-nepuk pipi Leonis pelan untuk membangunkannya.“Leonis, bangunlah. Ayo kita pulang.”Atlanta tidak bisa membawa Leonis ke apartemennya karena berpotensi ketahuan Dylan yang katanya hari ini akan pulang. Lebih repot urusannya nanti jika Dylan dan Leonis kembali di pertemukan.“Ayo bangun Leonis.&rdq
Pandangan terindah ketika Atlanta bangun tidur adalah mendapati sosok Dylan yang sedang terpejam. Atlanta menatap suaminya penuh kagum. Jari-jari lentik Atlanta perlahan menyentuh wajah Dylan secara lembut, mulai dari dahi, turun ke pipi, geser ke hidung lalu turun ke bibir.Ada banyak sekali yang ingin Atlanta katakan. Mulai dari identitas sebenarnya hingga hal-hal yang baru terjadi kepadanya. Atlanta juga ingin membagi kesehariannya dengan Dylan seperti pasutri pada umumnya.“Sedang mengagumi ketampanan suamimu?” suara Dylan membuyarkan lamunan Atlanta.“Selamat pagi,” sapa Atlanta.“Apakah jam sebelas siang masih pagi?” Dylan mengecup dahi Atlanta dengan lembut.Dylan menarik tangan Atlanta untuk membantu istrinya bangun tidur. “Ayo bangun, kita sarapan. Ah tidak, waktu sarapan sudah habis. Mari kita makan siang.”Atlanta menggelengkan kepala, enggan bangun dari kasur. Pekerjaannya selama sa
Menu makan siang yang Dylan buat cukup sederhana tetapi berhasil menggugah selera makan. Ada ayam panggang, mashed potato, salad buah, kacang-kacangan dan air putih. “Apa ini tidak berlebihan?” tanya Atlanta ragu begitu melihat Dylan menyajikan makanan dengan porsi lebih di atas meja makan.“Wajahmu terlihat sangat lelah. Kau membutuhkan asupan makan lebih banyak. Tidak masalah jika kau tidak bisa menghabiskannya,” jawab Dylan.Ketika Atlanta hendak menyupa makanan ke mulutnya, ponsel Atlanta bergetar, mengurungkan niat Atlanta makan. Refleks, Atlanta kembali menaruh garpunya ke piring karena kesal.Tanpa pikir panjang Atlanta langsung menolak panggilan nomro tidak di kenal yang sangat ia hapal dan memblokir nomor Leondra supaya tidak bisa lagi menghubunginya.“Kenapa tidak di angkat?” Dylan tampak bingung melihat reaksi Atlanta.“Hanya iklan tawaran asuransi. Aku sudah memblokir nomorny
Atlanta menoleh pada Dylan. “Kenapa kau mengajakku ke hotel mewah ini?”Pasalnya hotel ini adalah hotel milik keluarga Adams. Hotel Adams, salah satu properti milik keluarga Adams. Menginjakkan kaki di rumah mewah Adams saja Atlanta sudah tidak ingin, apa lagi berkunjung ke hotel milik keluarganya.Mendadak perasaan Atlanta menjadi cemas. Menghadapi sesuatu yang berkaitan dengan Adams jauh lebih sulit dari pada Atlanta harus melumpuhkan seorang musuh yang sangat hebat. Berkaitan dengan keluarga membuat perasaan Atlanta menjadi tak tenang. Perasaan buruk masa kecil terkadang kembali menghantuinya. “Kita sudah hampir satu tahun menikah, tapi kita tidak pernah pergi bulan madu karena aku terlalu sibuk. Maafkan aku.”Atlanta masih heran mendengar alasan yang Dylan berikan walau kaki mereka tak berhenti melangkah masuk ke dalam gedung mewah hotel Adams. Tangan Dylan setia merangkul Atlanta, ingin menunjukkan kepada dunia bahwa wa
Atlanta terus melamun sepanjang koridor, membuntuti Dylan yang membawanya menuju kamar. Saat Dylan hendak membuka kunci kamar mereka, Atlanta membuka suara.“Sayang, aku ingin makanan penutup di restoran bawah lagi untuk aku bawa ke kamar. Makanan penutup mereka sangat lezat,” ungkap Atlanta.Dylan menoleh. “Tiba-tiba? Kalau begitu ayo kita turun.”Atlanta memegang lengan Dylan, menahan Dylan supaya tidak ikut dengannya. “Aku bisa sendiri. Hanya sebentar, tidak akan lama. Kau istirahat dulu saja di dalam kamar.”Dylan menatap Atlanta ragu. “Kau yakin? Sendirian? Tidak perlu aku temani?” tanyanya meyakinkan Atlanta.Wanita itu tersenyum. “Aku hanya sebentar, aku janji.”“Tapi—"Atlanta mendorong pelan punggung Dylan dan memaksanya segera masuk ke dalam kamar. “Hanya sebentar, aku bisa sendirian. Percaya padaku. Aku janji akan segera kembali.”&ld
Dylan mengambil alih makanan penutup tersebut kemudian meletakkan ke atas meja yang tak jauh dari mereka. Belum selesai disitu, Dylan menarik pinggang Atlanta dan mulai mencium bibir Atlanta dengan lembut.“Kau pikir aku membawamu kemari hanya untuk makan?” bisik Dylan di tengah cumbuan mereka.Atlanta menahan senyuman dan membalas ciuman Dylan tak kalah panas. Tangan Dylan perlahan bergerak untuk menurunkan gaun Atlanta. Tapi ciuman mereka berhenti ketika Dylan merasakan sesuatu yang basah di punggung Atlanta.Mata Dylan sukses membulat sempurna melihat jari-jarinya yang terkena darah setelah menyentuh punggung Atlanta. Dylan langsung menyingkap rambut Atlanta dan melihat punggung istrinya.Benar saja, lagi-lagi tubuh Atlanta mendapatkan luka. Padahal mereka baru berpisah selama dua puluh menit.“Sayang, apa yang terjadi?” suara Dylan terdengar panik.“Hah?” Atlanta masih melongo karena Dylan yang mengakh