Zunaira dan Orion tersenyum kaku ketika Dylan membukakan pintu untuk mereka. Mereka berdua kompak tersenyum seperti orang bodoh. Satu detik kemudian Zunaira dan Orion kompak berdecih sinis karena Dylan yang muncul, bukan Atlanta.
“Aku kira Kakak cantik yang membukakan pintu,” rungut Orion.
Setelah Dylan memastikan jika Atlanta belum menyadari tamu mereka telah datang, Dylan menarik Zunaira dan Orion keluar dan menutup pintu dari luar.
“Ada apa?” tanya Orion.
“Apa sesuatu terjadi?” tambah Zunaira.
“Apakah dalam tiga hari ini ada kasus penyerangan di sekitar sini? Radius lima kilo meter.”
“Dalam tiga hari ini hanya ada kasus perampokan mini market dan tabrak lari. Tidak ada kasus penyerangan secara fisik,” jawab Zunaira.
“Ada apa memangnya?” tanya Orion penasaran.
“Atlanta mendapatkan banyak luka lebam tiga hari yang lalu. Jelas-jelas itu luka semacam penyerangan atau penganiayaan. Dia bilang orang asing yang meluLaynya tiba-tiba,” jelas Dylan secara rinci.
“Sayangnya tidak ada laporan seperti itu, atau mungkin Kakak cantik memang sengaja tidak membuat laporan.”
Dylan menghela napas. “Mungkin saja. Sudahlah, ayo masuk,” ajaknya.
Atlanta menyambut dengan senyuman melihat kedatangan Zunaira dan Orion. Kali ini mereka resmi berkenalan.
“Kita berkenalan lagi, panggil saja aku Orion.” Orion menyambut salaman Atlanta dengan antusias.
“Halo, kita bertemu lagi. Aku Atlanta. Terima kasih sudah mempertemukanku dengan Dylan,” balas Atlanta formal.
Selanjutnya Atlanta beralih bersalaman dengan Zunaira. “Kau bisa memanggilku Atlanta.”
Zunaira tersenyum miring. “Baiklah jika itu maumu. Aku Zunaira Keith.”
“Atlanta kenalkan, Zunaira adalah teman sekolahku dulu sekaligus teman kerjaku sejak lebih dari lima tahun yang lalu. Sekarang Zunaira bekerja sebagai pramugari, satu maskapai denganku. Sementara Orion adalah seorang penulis travel, dia juga juniorku waktu kuliah dulu.” Dylan memperkenalkan kedua rekan kerjanya kepada calon istri.
Atlanta tersenyum. “Senang bisa berkenalan dengan temanmu. Sayangnya aku tidak mempunyai teman, jadi tidak ada yang bisa aku kenalkan kepadamu.”
Zunaira membuang muka kemudian berdecih pelan. Muak dengan cerita Atlanta.
“Kalian berbincang-bincanglah supaya lebih akrab. Aku pergi ke dapur terlebih dahulu untuk menyiapkan makanan,” pesan Dylan sebelum meninggalkan ruang tamu.
Zunaira menyenggol lengan Orion. “Pergi bantu Dylan,” bisiknya.
“Untuk apa membantunya? Tidak perlu. Dia bisa mengatasi semua hal sendiri,” tolak Orion mentah-mentah.
Zunaira melototkan mata dan memberikan kode dengan tegas supaya Orion pergi dari hadapan mereka. Orion mendengus lalu pergi ke dapur menyusul Dylan.
“Kita bicara di luar.” Zunaira menunjuk balkon menggunakan dagunya.
Atlanta membuntuti Zunaira pergi ke balkon. Sebelum memulai pembicaraan mereka, Zunaira memastikan pintu balkon telah di tutup rapat-rapat supaya tidak terdengar dari dalam.
Zunaira menghela napas, menikmati pemandangan kota dari lantai atas walau pikirannya sedang berkelana saat ini.
“Bagaimana kau bisa masih hidup setelah membunuh seseorang?” Zunaira memulai pembicaraan.
“Apa maksudmu? Aku tidak mengerti maksudmu.” Atlanta berusaha mengelak. Tak ingin lagi terjebak di masa lalu yang buruk.
Kesal karena Atlanta bersikap pura-pura tidak tahu, Zunaira menarik kerah baju Atlanta. “Kau tahu sikap seperti itu tidak akan bisa mempengaruhiku,” desisnya.
Atlanta membuang muka. “Lepaskan sebelum Orion dan Dylan melihat kau sedang mengancamku.”
Zunaira menghempaskan tangannya dan kembali menghadap balkon. “Jadi, selama ini kau memalsukan kematianmu dan mengubah identitas menjadi Atlanta?”
“Aku baru menggunakan identitas Atlanta setelah bertemu Dylan belum lama ini,” jawab Atlanta jujur.
“Bagaimana dengan identitasmu sebelumnya selama lima tahun terakhir?”
“Aku tidak membutuhkan identitas tetap. Aku mengganti identitas setiap kali menjalankan misi.”
Zunaira menoleh, memasang raut wajah terkejut. “Jangan-jangan, kau masih—”
“Iya, aku masih bekerja dengan Hilton,” pungkas Atlanta.
“Apa kau gila?” Zunaira tidak menyangka jika Atlanta masih bertahan, sebab Zunaira tahu betul keadaan organisasi jahat tersebut.
Atlanta tersenyum miring. “Iya aku gila karena telah bekerja dengan Hilton lebih dari sepuluh tahun.”
“Jadi lukamu?” Zunaira menunjuk luka lebam di tulang selangka Atlanta.
“Iya, aku mendapatkannya karena gagal menjalankan misi kemarin.” Atlanta mempertagasnya, membuat Zunaira semakin terperangah.
“Oh ya, kau sungguh menjadi seorang pramugri sekarang?” Atlanta mengalihkan pembicaraan.
“Eum, ya.” Zunaira terpaksa harus mengikuti kebohongan Dylan karena tidak mungkin memberitahu Atlanta bahwa ia sudah bekerja sebagai agen Interpol.
Hilton adalah organisasi yang paling di buru oleh agen Interpol. Bisa saja Zunaira melaporkan ke atasannya saat ini juga bahwa ia telah menangkap salah satu agen rahasia terbaik Hilton. Tapi Zunaira tidak menginginkan bekerja dengan cara seperti itu.
Atlanta menghela napas. “Aku senang kau telah menemukan pekerjaan terhormat yang pantas untukmu,” ujar Atlanta tulus.
Zunaira tersenyum kaku. “Aku harap kau bisa lepas dari Hilton juga.”
“Aku ingin sebenarnya, tapi—” Atlanta memamerkan jari-jarinya kepada Zunaira. “Aku tidak bisa menyia-nyiakan kekuatan tangan dewaku. Aku mengikuti kemana perginya uang,” sambungnya.
Zunaira terkekeh ringan mendengar alasan itu, disusul oleh kekehan Atlanta.
“Jadi bagaimana? Sudah berapa banyak uangmu sekarang?” ledek Zunaira.
“Aku tidak akan berhenti sampai bisa memiliki gudang untuk menyimpan tumpukan emas,” balas Atlanta sombong.
“Kalau begitu kau bisa kehilangan anggota tubuhmu jika tetap bekerja dengan Hilton hingga mempunyai gudang emas.”
Atlanta tertawa renyah. “Sudahlah, ayo masuk. Pasti Dylan hampir selesai menyiapkan makanan,” ajaknya.
Sebelum Atlanta membuka pintu, Zunaira segera mencegahnya dan bertanya, “Leona, apa alasan yang membuatmu ingin menikah dengan Dylan? Aku pikir orang sepertimu tidak akan pernah memiliki keinginan untuk menikah.”
Atlanta tersenyum tipis. “Awalnya aku juga tak menginginkan hal itu. Kemudian aku tersadar, jika aku ingin memiliki kehidupan baru yang sesungguhnya. Seperti dirimu.”
***
“Bagaimana? Apa kalian cocok berteman?” tanya Dylan di tengah santapan makan siang mereka.
Atlanta tersenyum “Aku rasa kami lumayan cocok.”
Zunaira mengangguk. “Lumayan. Mungkin kita akan semakin cocok jika menghabiskan waktu bersama lebih lama,” tambahnya.
“Baguslah. Aku senang mendengarnya.”
Makan siang berlangsung lancar ditemani obrolan santai. Tidak ada hal spesial lainnya. Selepas menyelesaikan makan siang, Zunaira dan Orion segera pamit undur diri.
“Dylan, kau pergi antar mereka ke lift. Biar aku saja yang mencuci piring.”
“Jangan. Kau istirahat saja. Aku akan mencuci piring setelah mengarar mereka,” larang Dylan sebelum pergi keluar untuk mengantar para tamunya hingga di lift.
Ketika hendak masuk lift, Zunaira mendesah. “Orion, kau pergilah terlebih dahulu. Ponselku tertinggal di dalam.”
Dylan menatap Zunaira bingung, sebab Zunaira memasukkan ponselnya ke dalam tas tepat di hadapan Dylan tadi. Sementara Zunaira memberi kode kepada Dylan jika ada hal yang ingin ia bicarakan. Hanya berdua.
“Baiklah. Aku akan menunggumu di depan pintu utama gedung,” pesan Orion.
“Terima kasih atas makananya!” Orion melambaikan tangan sebelum pintu lift tertutup.
Dylan dan Zunaira kompak membalas lambaian tangan Orion.
“Ada apa?” tanya Dylan.
“Aku hanya ingin memberitahumu jika Atlanta tidak semudah dan tidak sebaik yang kau kira.” Zunaira memberi peringatan serius.
“Apa yang telah kalian bicarakan sehingga kau membuat kesimpulan seperti itu? Lagi pula kau baru pertama kali bertemu dengannya bukan?”
Walau Dylan telah mengenal Zunaira sejak di bangku sekolah, sebenarnya pertemanan mereka yang sesungguhnya di mulai sejak lima tahun yang lalu saat Zunaira mulai bekerja sebagai agen Interpol.
Kepercayan Dylan bukanlah tergantung siapa orangnya. Melainkan Dylan hanya mempercayai segala sesuatu yang ia lihat oleh mata kepalanya sendiri.
“Aku memperingatimu untuk segera membatalkan pernikahan kalian jika tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi diantara kalian.”
Dylan meraba saku celana dan menemukan sebuah kuku palsu milik Atlanta ketika hendak menaruhnya ke dalam tumpukan pakaian kotor. “Kuku Atlanta?” Sejenak Dylan memperhatikan kuku palsu cantik tersebut dengan detail. Saat mengarahkannya ke arah sinar matahari, Dylan menyadari jika ada yang berbeda. “Ini bukan hiasan biasa. Ini chip. Manikur menanam chip.” Dlan bergegas untuk membuka data dalam chip tersebut. “Kapan Atlanta meninggalkan ini di dalam saku celanaku?” gumam Dylan. Mendapatkan info-info penting untuk menyelesaikan kasusu, Dylan mencetak informasi yang Atlanta tinggalkan untuknya. Ini sama seperti Atlanta meninggalkannya sebuah peta dengan keterangan rinci. Hal yang harus Dylan lakukan adala mengikuti semua ptunjuk yang telah Atlanta tinggalkan untuknya. “Pelaku pembunuhan hilton selama ini adalah Olivia? Ayah Olivia juga membunuh Ibu kandung Atlanta? Oliver selama ini menggunakan replika sidik jari Atlanta untuk menutupi jeja
Johnattan menggebrak pintu kantor Interpol. Ada Leondra membuntuti Johnattan. Tak lupa Johnattan membawa beberapa ajudannya. Johnattan datang ke kantor dengan penuh emosi setelah mendapati kabar darii Dylan apa yang terjadi dengan putri kesayangannya.“DIMANA ANAKKU?” bentak Johnattan.Ketika ada salah seorang anggota Interpol yang hendak menenangkan Johnattan, dengan cepat Johanattan menghempaskan tangan tersebut lalu memaksa untuk masuk.Langkah kaki Johnattan berhenti ketika melihat Dylan berdiri lesu. Hidung dan mata Dyan merah, menunjukkan Dylan telah nangis untuk waktu yang lama.“Apa yang terjadi dengan anakku? Aku tahu jika anaku pergi jauh untuk keluar dari orginasasi sialan itu, tapi bagaimana bisa Atlanta bunuh diri?” Johnattan mencengkram kemeja menantunya.Dylan sendiri diam saja. Perasaan Dylan sama hancurnya dengan Johnattan saat ini. Dylan tak bisa mengatakan apa-apa selain kata,“Maaf,” gu
Atlanta pergi keluar setelah selesai berpakaian menggunakan kaos milik suaminya. Ketika membuka pintu toilet, Atlanta dikejutkan dengan kehadiran Dylan. Sesaat Dylan dan Atlanta saling menatap tanpa kata-kata. Detik selanjutnya Atlanta menarik kerah seragam Dylan dan mencium bibirnya. Dylan yang awalnya terkejut pun perlahan menetralkan reaksinya sebelum membalas cumbuan itu. Tangan Dylan terangkat untuk merengkuh pinggang Atlanta. Betapa besarnya kerinduan yang terpendam dalam diri mereka satu sama lain. Meskipun tidak ada kata-kata yang terlontar, tetapi Atlanta dan Dylan tahu betul bagaimana perasaan pasangannya yang sesungguhnya. “Aku merindukanmu dengan buruk. Sangat merindukanmu,” bisik Dylan begitu pangutan mereka berakhir. Atlanta mengulum senyum dan menundukkan kepala. Tak berani menatap Dylan sebagai seorang suami setelah apa yang ia lalui selama ini. “Maafkan aku. Sebenarnya aku—” “Aku tahu, aku tahu jika kau sebenarnya melakukan in
CHAPTER 146 Atlanta membaca satu persatu kertas tersebut. Pembunuhan, perampokan, sabotase, spionase Industri, penyerangan siber, dan penipuan. Lengkap sekali. “Kenapa sejak awal kalian tidak menunjukkan ku semua bukti ini? Jika sejak awal aku melihat ini, bukankah akan lebih cepat selesai?” Atlanta berdecak kagum membaca buku kasus dalam rentang tiga belas tahun yang mengarah kepada namanya, Leona. “Ini lebih buruk dari buku kasusku ketika masih SMU dulu,” komentar Atlanta. Atlanta memisahkan tumpukan dokumen bukti-bukti sesuai jenisnya. Pertama, Atlanta menyingkirkan tumpukan dokumen mengenai kasus pembunuhan. “Aku juga baru tahu jika sidik jariku pernah ada di bukti-bukti pembunuhan. Pasti selama sepuluh tahun terakhir, kalian kehilangan jalan untuk menyelesaikan kasus bukan karena bukti selalu mengarah kepada orang yang sudah meninggal. Menemukan sidik jari yang tidak ada pemiliknya. Tapi aku yakin jika sidik jarik
“Kau terlambat lima belas menit. Tidak ada waktu. Letakkan saja barang milik Leona di sini dan pergi dari sini,” pinta Lay dingin, tanpa menatap Dylan. “Apa?” Dylan mundur satu langkah, menyadari ada sesuatu yang janggal. Lay berbalik badan, melayangkan tatapan meremehkan kepada Dylan. “Aku pikir kau setampan dewa hingga Leona rela menjadi orang normal ketika menikah denganmu. Ternyata kau tidak sehebat yang aku bayangkan.” “Letakkan saja barang Leona disini. Aku akan membereskannya,” sambung Dylan. Dylan menaikkan alisnya sebelah. “Setidaknya kita harus berkenalan terlebih dahulu bukan? Aku rasa kita memerlukan sedikit formalitas.” Lay memasang kaca mata hitam. “Untuk apa? Bukannya aku sudah mengenalmu?” Dylan tersenyum miring dan melemparkan ransel hitam ke arah Lay. “Itu yang kau inginkan? Ransel Atlanta? Kau memintanya secara paksa seakan ini berisi harta karun,” Ketika Lay menunduk, Dylan menodongkan pistol ke arah Lay. Be
Dylan membuka video terakhir, video yang belum lama di ambil. Tepat hari jadi kedua tahun pernikahan mereka.“Hari ini adalah hari jadi tahun kedua pernikahan kita. Aku tidak menyangka jika pernikahan kita masih bertahan.”Di dalam video itu Atlanta tampil anggun menggunakan gaun putih pendek. Rambutnya yang penjang di sanggul dan membiarkan anak rambut menjuntai. Video ini diambil sebelum mereka makan malam.“Sayang, Atlanta, manis, cantik, kenapa aku sangat menyukai setiap panggilan itu setelah menikah denganmu? Setiap kali kau memanggilku ‘sayang’ atau ‘Atlanta’, aku sangat menyukainya hingga ingin melupakan namaku asliku.” Sejak detik pertama, di video terakhir ini Atlanta tersenyum sendu. Tidak ada lagi senyuman ceria yang ia pancarkan.“Mungkin, ini akan menjadi video terakhir yang aku rekam untukmu. Aku tahu jika Interpol mulai menyelidikiku. Untuk kali ini aku akan