Share

CHAPTER 7

Siulan Dylan memecah keheningan sepanjang Dylan berjalan menuju Apartemen. Hari ini pekerjaannya tidak membuat Dylan sibuk sehingga Dylan bisa pulang lebih cepat. Hari yang jarang terjadi.

“Ah, tidak biasanya aku pulang ke rumah bersemangat seperti ini. Apa karena pekerjaan hari ini tidak banyak? atau karena kini ada seseorang yang menungguku di rumah?”

Dylan dibuat terkejut bukan main mendapati sosok Atlanta yang hilang kesadaran di depan pintu Apartemennya. Dylan langsung memangku Atlanta dan menepuk-nepuk pipinya berulang kali.

“Atlanta! Atlanta! Bangun! Atlanta sadarlah!”

“Ada apa dengan wajahnya? Kenapa pipinya sangat merah?” 

Dylan segera menggendong Atlanta ala bridal style ke dalam ruangan. Dylan langsung membaringkan Atlanta di ranjang. Berniat mengganti hoodie Atlanta yang sudah di basahi oleh keringat, Dylan melepaskan hoodie tersebut dan mendapati banyak luka lebam di tubuh Atlanta.

“Luka seperti ini sudah sangat jelas menunjukkan adanya penganiayaan. Tapi siapa yang berani memukul wanita dingin sepertinya?”

Dylan segera menghubungi Dokter pribadinya untuk datang dan mengobati luka Atlanta. Rasa khawatir, cemas dan panik tengah menghantui Dylan saat ini.

   ***

Atlanta mengerjap-ngerjapkan matanya dan disambut harum bubur panas. Tubuhnya terasa sakit, bak telah di remukkan. Meski ini bukanlah kali pertama Atlanta mendapati luka seperti ini, tetap saja rasa sakitnya menyiksa Atlanta walau masih bisa ditahan.

Mendapati tubuhnya tak lagi berbalut hoodie, Atlanta menghela napas pelan menyadari bahwa Dylan sudah mengetahui tentang luka ini. Jadi, Atlanta perlu memikirkan alasan yang tepat.

“Kau sudah bangun?” suara bariton yang lembut itu seakan terdengar seperti kata ‘selamat datang kembali di realita’.

Atlanta tidak menjawab dan terus menatap Dylan yang berjalan ke arahnya dengan semangkuk bubur panas, segelas air putih dan segelas susu hangat. Bahkan ketika masih tinggal di panti asuhan saja Atlanta tidak pernah mendapat perlakuan seperti ini saat sakit.

Dylan meletakkan nampan yang dibawanya di atas nakas, lalu membantu Atlanta duduk bersandar supaya lebih mudah untuk makan dan minum.

“Bagaimana? Masih sakit?”

Bibir Atlanta masih terkunci rapat, tapi tatapannya tak lepas dari gerak-gerik Dylan.

“Dokter sudah memberimu obat. Makanlah terlebih dahulu supaya bisa minum obat.”

Dylan membantu Atlanta minum air putih sebelum di suapi bubur oleh Dylan. Walau Atlanta mengunyah buburnya perlahan, Dylan tetap sabar menyuapi Atlanta hingga habis tak tersisa.

“Apa bibirmu masih sakit? Terlalu sulit untuk makan?”

Dylan meniup pelan luka di sudut bibir Atlanta. Belum mengeluarkan suara, Atlanta hanya menjawabnya dengan anggukan.

Melihat perlakuan hangat Dylan, Atlanta menjadi merasa bersalah saat mengingat kejadian Dylan melamarnya. Orang baik dan kompeten seperti Dylan tidak pantas untuk seorang penipu. Dylan terlalu baik untuk Atlanta.

“Dylan,” panggil Atlanta pelan.

“Iya? Ada apa? Kau membutuhkan apa atau ingin apa? Akan aku kabulkan,” sahut Dylan sigap.

Alih-alih bertanya ‘siapa pelakunya?’ atau ‘apa yang terjadi?’, Atlanta tersentuh  dengan tindakan Dylan yang lebih dahulu mementingkan kebutuhan dan keinginan Atlanta.

“Apa ajakanmu Minggu lalu masih berlaku?” tanya Atlanta dengan susah payah. Rasa sakit di bibirnya tidak main-main.

“Ajakan? Memangnya aku mengajakmu pergi kemana?” Dylan terdiam sesaat, berusaha mengingat ‘ajakan’ yang Atlanta maksud.

“Ah, maksudmu lamaran?” koreksi Dylan.

Ahena menganggukkan kepalanya secara perlahan. Membenarkan.

“Tentu saja. Pertanyaan itu akan selalu berlaku sampai kau menerimanya,” balas Dylan mantap.

“Kalau begitu, lamarlah aku sekali lagi,” pinta Atlanta dengan suara parau.

Dylan terperangah, tidak menyangka jika Atlanta akan memberinya kesempatan kedua untuk melmar. “Benarkah?”

Atlanta menjawabnya dengan anggukan pelan.

“Tunggu sebentar.”

Mendapatkan kesempatan emas, Dylan melesat pergi keluar kamar untuk mengambil kotak cincin yang telah ia siapkan. Dylan mengatur napas sebelum masuk ke kamar Atlanta.

Sesampainya di hadapan Atlanta, Dylan berlutut kemudian membuka kotak cincin di hadapan Atlanta yang masih duduk lemas di atas kasur.

 “Aku akan mencintaimu sepenuh hati, melindungimu sepenuh kekuatan dan memprioritaskanmu semampuku. Aku akan berusaha menjadi orang yang paling bisa kau andalkan. Nyx Atlanta, maukah kau menikah denganku?”

Kali ini Atlanta menyambutnya dengan senyuman walau bibirnya masih terasa sulit untuk di gerakan. Atlanta merasa jika dirinya saat ini seperti orang yang berada di ujung maut. Mendapat lamaran ketika dalam kondisi terlemah.

Mendapatkan perlakuan lembut Dylan selama beberapa Minggu terakhir membuat hati Atlanta lemah. Atlanta sadar, bahwa yang ia butuhkan selama ini adalah seseorang yang selalu di sampingnya, bukan uang yang selama ini selalu Atlanta kejar.

“Ya. Aku mau. Aku mau menikah denganmu,” jawab Atlanta mantap.

Sebab inilah yang selama ini Atlanta inginkan, memulai kehidupan baru.

***

Pagi ini Atlanta duduk di pinggir ranjang dengan Dylan yang sedang fokus mengobati luka lebam Atlanta mulai dari kepala hingga kaki. Ini adalah pertama kalinya seseorang mengobati luka Atlanta. Biasanya Atlanta harus bersusah payah mengobati lukanya sendiri.

Sepertinya dalam pernikahan ini akan banyak kejadian ‘pertama kali’ dalam hidup Atlanta.

“Boleh aku tanya kenapa kau bisa mendapati luka seperti ini?” tanya Dylan hati-hati. Suaranya berhasil memecah keheningan diantara mereka.

“Oh ini.” Atlanta terdiam sesaat. “Kau tahu bukan ada banyak orang jahat yang tiba-tiba suka menyerang pejalan kaki tanpa sebab? Mungkin aku sedang sial,” dalihnya.

Atlanta beruntung karena posisinya tengah memunggungi Dylan saat menjawab. Jadi, Dylan tidak bisa melihat bagaimana raut wajah Atlanta sekarang.

Dylan menghela napas. “Lain kali akan menemanimu setiap keluar malam jika aku sedang tidak bertugas.”

Atlanta tersenyum miring dan menganggukkan kepala supaya Dylan bisa berhenti untuk khawatir.

“Apa ini pertama kalinya kau mendapatkan perlakuan seperti ini?” tanya Dylan curiga karena mendapati bekas luka lainnya di pundak Atlanta.

“Iya, pertama kali,” dusta Atlanta. Padahal dirinya sudah berkali-kali di siksa saat gagal menjalankan misi yang sebenarnya bukan salah Atlanta sepenuhnya.

Dylan tersenyum dan menutup kembali punggung Atlanta yang sudah di obati. “Sudah selesai. Apa kau perlu ke Dokter? Aku akan mengantarmu ke rumah sakit.”

“Tidak perlu, aku baik-baik saja. Terima kasih sudah merawatku.” Atlanta memberikan seulas senyuman tulus.

“Oh iya, aku mengundang rekan kerjaku kemari untuk memperkenalkanmu karena kita akan segera menikah. Bagaimana?”

“Kenapa kau selalu terburu-buru?” Atlanta terkekeh. “Aku tidak akan melarang tamumu untuk datang, lagipula ini rumahmu.”

“Rumah ini telah menjadi rumahmu juga. Aku berjanji akan membeli rumah yang jauh lebih besar saat kita memiliki anak nanti,” balas Dylan seraya mengacak-acakkan rambut Atlanta.

 “Beristirahatlah, aku akan memanggilmu saat tamu sudah tiba,” pesan Dylan sebelum meninggalkan Atlanta sendirian di kamar.

Setelah pintu tertutup, Atlanta menghela napas.

“Anak? Akankah pernikahan kita bisa bertahan dalam kebohongan sampai hari itu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status