Share

CHAPTER 9

“Aku memperingatimu untuk segera membatalkan pernikahan kalian jika tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi diantara kalian.”

Dylan terkekeh. Tidak menganggap peringatan yang Zunaira berikan dengan serius.

“Kau cemburu karena aku menikah lebih dahulu dari pada kau?”

“Aku serius Dylan!” suara Zunaira naik satu oktaf, merasa kesal karena Dylan tidak mempercayainya.

Ting!

Begitu pintu lift terbuka, Dylan memegang kedua bahu Zunaira kemudian mendorongnya pelan supaya segera masuk lift.

“Aku akan masuk kerja besok. Jangan lupa siapkan apa yang telah aku pinta,” pesan Dylan.

“Tapi Dylan, kau harus mempercayaiku. Atlanta bukanlah—”

“Sampai jumpa!” Dylan melambaikan tangan setelah menekan tombol pintu lift. Hal yang terakhir Dylan lihat adalah raut wajah kesal Zunaira sebelum pintu lift tertutup dengan sempurna.

Dylan menghela napas. Tidak ingin menganggap serius apa yang dikatakan oleh rekan kerjanya tersebut. Mungkin Dylan belum lama mengenal sosok Atlanta. Tapi apa boleh buat jika hatinya sudah terpaut dalam waktu singkat ini?

***

Disaat hari masih menunjukkan pagi buta Dylan sudah rapih menggunakan kaos oblong putih yang di tutupi jaket jeans. Sebelum berangkat kerja, Dylan membuatkan Atlanta sarapan sandwich dan segelas susu lalu meninggalkan selembar notes yang berisi,

‘Tidurmu sangat nyenyak, aku tidak tega membangunkanmu. Habiskan sarapanmu!’ 

Atlanta baru bangun saat jarum pendek jam menunjukkan pukul delapan pagi. Ketika Atlanta hendak mengambil segelas air putih, sepiring sarapann di atas meja berhasil menarik perhatiannya.

“Pasti Dylan berangkat pagi-pagi. Susunya sudah tidak panas.”

Selagi menunggu microwave selesai menghangatkan makanan dan minumannya, Atlanta memesan perangkat komputer dengan kualitas tinggi atas nama Dylan. Tinggal bersama orang lain memudahkan Atlanta untuk melakukan pembelian secara online untuk dirinya sendiri.

“Jika aku tahu akan semenguntungkan ini tinggal bersama orang lain, seharusnya aku mencari room mate sejak dahulu,” gumam Atlanta.

Tidak hanya komputer, Atlanta juga membeli beberapa paLayan mahal dan make up. Selama ini Atlanta memiliki uang sebanyak jutaan dollar tapi tidak bisa menggunakannya dengan sesuka hati.

“Kenapa aku baru tahu jika berbelanja tanpa perlu melihat nominal akan semenyenangkan ini? Apa gunanya aku mendapatkan penghasilan jutaan dollar jika hanya bisa menggunakan sebanyak seratus dollar? Ini semua karena Hilton.”

 Setelah memesan barang sangat banyak, Atlanta menghubungi Dylan. Tidak perlu menunggu lama untuk Dylan menjawab panggilannya.

“Dylan, apa aku mengganggumu?” tanpa sadar Atlanta menggigit bibir bawahnya, karena ini adalah pertama kalinya Atlanta menghubungi pria secara pribadi.

“Ah, tidak juga. Ada apa?” suara bariton yang lembut menyambut Atlanta dari sebrang sana.

“Aku memesan begitu banyak barang hari ini. Bolehkah?” tanya Atlanta pelan, meminta izin Dylan dengan ragu. Bagaimanapun juga Atlanta harus tetap menghormati Dylan, sebagai pemilik rumah sekaligus sebagai calon suami.

Suara kekehan terdengar. “Kau bisa menambahkan apapun barang kebutuhanmu. Tidak perlu meminta izinku lagi, sudah seharusnya.”

“Baiklah, terima kasih.”

“Mari kita mulai menyiapkan pernikahan setelah aku selesai bertugas. Aku usahakan aku pulang sepuluh hari lagi.”

Tanpa sadar Atlanta menaikkan kedua sudut bibirnya, lalu menganggukkan kepala walau Atlanta tahu jika Dylan tidak bisa melihatnya saat ini.

“Aku akan menunggumu. Selamat bertugas.”

***

“Bertugas?” Zunaira tertawa jahat mendengar kata yang Dylan gunakan kepada Atlanta.

“Maksudmu kau bekerja pagi, siang dan malam kemudian tidur di kantor?” Zunaira tidak bisa berhenti meledek Dylan.

Dylan menyimpan ponselnya ke dalam saku dan melayangkan tatapan sinis kepada Zunaira. “Aku akan membalasmu saat kau menikah nanti.”

“Sayangnya itu tidak akan terjadi,” balas Zunaira penuh kemenangan.

Sontak Orion langsung menoleh mendengar balasan Zunaira yang menarik perhatiannya. “Kenapa? Kenapa kau tidak akan menikah?”

Zunaira berdecak dan mengibaskan tangannya. “Anak kecil diam saja.”

Orion berdecih sinis. “Anak kecil dari mana? jelas-jelas aku seumuran dengan Atlanta. Kau hanya lebih tua empat tahun dariku.”

Sebagai sentuhan terakhir, Dylan menggunakan topi Pilot dengan perasaan bangga.

“Cepat masuk mobil, Kim Hani sudah pergi ke Bandara. Kita harus melindungi informan kita.” Dylan memberi aba-aba untuk memulai operasi penangkapan mereka.

Orion sudah siap menggunakan paLayan casual seraya membawa laptop, menyusul Dylan. Sementara Zunaira yang sudah rapih menggunakan seragam pramugari masih sibuk memoleskan lipstik di bibirnya.

“Tunggu sebentar! Aku belum selesai menggunakan lipstik!”

***

Siang ini Atlanta berada di sebuah kafe yang ada di Bandara. Kaca mata hitamnya sengaja ia letakkan di atas meja dalm posisi terbalik. Memantulkan bayangan kedua orang yang sedang berbincang di belakang Atlanta. Selain pandai meretas, Atlanta juga pandai membaca mulut orang lain.

“Apa masih lama?” suara Lay terdengar melalui penghubung suara jarak jauh.

Atlanta bergumam. “Aku harus mendapatkan sidik jari Kim Hani supaya bisa menerobos ruang penelitian dan meretas komputernya.”

“Dapatkan juga iris mata Kim Hani. Tidak mungkin seorang jenius seperti dia hanya mengunci menggunakan sidik jari.”

“Maksudmu aku harus mengambil matanya?”

Lay mendesah. “Lupakan. Selesaikan saja tugasmu.”

Begitu Kim Hani pergi meninggalkan mejanya, Atlanta bergegas duduk di kursi Kim Hani sebelum ada pelayan yang membersihkan meja. Secara cepat Atlanta mengambil sidik jari Kim Hani mulai dari meja hingga gelas. Atlanta juga mengambil beberap helai rambut yang tertinggal.

“Kim Hani hanya berbicara dengan orang asing supaya ada seseorang yang menemaninya selagi menunggu pesawat. Dia pergi ke tempat check in.”

“Aku tahu. Tunggulah di mobil, aku akan menyelesaikan ini.”

***

Refelks Zunaira berhenti melangkahkan kaki ketika melihat sosok Atlanta yang tengah berjalan secara terburu-buru. Walau Atlanta menggunakan kaca mata hitam, tapi Zunaira masih bisa mengenali sosok Atlanta dengan jelas.

“Zunaira? Zunaira!” panggil Dylan karena Zunaira terus diam di tempat. “Ada apa?” tanyanya.

Zunaira menggelengkan kepala. “Tidak ada. Apa Orion sudah mendapatkan kabar?”

Melihat sikap biasa Dylan, Zunaira tahu jika Dylan tidak menyadari keberadaan calon istrinya disini. Jika Atlanta juga berada disini, pasti sesuatu yang buruk telah terjadi.

Orion lari dari arah timur menghampiri Dylan dan Zunaira. “Huft… Itu… Gawat… Kim Hani… Kim Hani tidak ada di dalam pesawat.”

Zunaira termenung. “Sepertinya Kim Hani di bunuh.”

“Apa?” Orion terkejut bukan main.

“Dari mana kau tahu?” Dylan tak kalah terkejut.

“Aku bilang ‘sepertinya’, kita belum menemukan bukti!”

“Orion, pergi periksa CCTV Bandara. Zunaira, pergi periksa pintu keluar Bandara. Aku akan menyisir area dalam.”

Setelah memberikan perintah, mereka bertiga segera berpencar uuntuk menjalankan tugasnya masing-masing. Ketika Dylan sedang berlari, terdapat kerumunan heboh di pintu toilet wanita yang menarik perhatiannya.

“Ada apa? Tolong minggir semuanya. Aku seorang polisi.” Dylan menerobos kerumunan dan  menemukan sosok Kim Hani yang sudah tidak bernyawa di lantai toilet. 

Dylan menekan alat penghubung suara di telinganya kemudian berbicara. “Zunaira, kau benar. Aku menemukan Kim Hani tewas di toilet wanita.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status