"Ketika kamu merasakan bahwa seseorang itu istimewa. Saat itu pula kamu akan takut kehilangannya."
****
Pukul delapan lewat lima menit malam ini, Lura baru saja selesai berpakaian, dan sekarang perempuan yang mengenakan dress hitam dengan luaran jaket jeans itu tengah duduk di depan meja rias untuk mencatok rambutnya.
Sementara ponselnya yang terletak di atas meja berdering, Lura berdecak membaca nama si penelepon.
"Nggak sabaran banget," gerutunya pelan tanpa mengangkat telepon. Selang beberapa menit kemudian, Lura telah selesai mencatok rambut dan memoles make-up tipis pada wajahnya, lalu setelah itu keluar dari kamar.
Gerlan sudah berada di basement, maka dari itu dia menelepon Lura agar cepat turun karena dia sudah lama menunggu.
Sosok gadis terlihat masuk ke area basement, dia tampak berjalan santai seolah tak tahu jika Gerlan sudah menunggunya selama setengah jam lebih di dalam mobil. Itu membuat lelaki yang berada di balik kemudi mendengus kesal.
Pintu yang berada di sampingnya terbuka, Lura masuk ke dalamnya lalu duduk tanpa mengatakan apapun.
"Lo mandi apa lagi bertapa? Nggak tau gue nunggu berapa lama?" tanya Gerlan dengan nada tak bersahabat. Dia mulai menjalankan mobilnya meninggalkan area basement.
Lura menoleh sekilas ke arahnya, "Ya sorry," balasnya acuh, lalu kemudian menyandarkan tubuh dan melipat kedua tangan di depan dada. Kepalanya menoleh ke arah jendela, memandang jalanan pada malam hari dari sana.
Bisa-bisanya Lura sempat berpikir jika Gerlan mungkin menyukainya hanya karena perlakuannya itu. Mencium pipinya tiba-tiba dan menggengam tangannya. Apa maksud dari itu semua?
Namun kini Lura sudah menyakini, jika Gerlan mungkin sengaja melakukan itu karena menganggap dirinya akan terbawa perasaan. Ya, Lura akui, dia memang sempat merasa baper. Tapi sakarang dia justru merasa kesal, karena Gerlan seolah mempermainkan perasaannya.
Selang beberapa menit kemudian ponsel lelaki itu berdering, dan Gerlan lantas menepikan mobilnya untuk menerima panggilan.
"Kenapa, Ma?" ucap lelaki itu pertama kali, membuat Lura menoleh ke arahnya.
"Maaf ya sayang, Mama sama Papa tiba-tiba ada urusan mendadak. Jadi harus pergi sekarang. Kamu sama Lura datengnya besok aja, ya?"
"Oh gitu. Oke."
"Baik-baik ya, kalian. Oh iya, sampein salam Mama buat Lura, ya. Jangan berantem mulu, loh."
Gerlan menghela napas pelan, "Hm."
"Yaudah, Mama tutup dulu ya. Love you sayang."
"Love you too," balas Gerlan dan setelah itu menutup panggilan. Dia memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket, lalu kemudian menoleh ke arah Lura.
"Kita besok ke rumah, nggak jadi hari ini," ucap Gerlan singkat dan kembali menjalankan mobil.
"Kenapa?"
"Mama sama Papa gue ada urusan mendadak."
Lura hanya mengangguk pelan, dan kemudian bersandar dengan mata yang menatap lurus ke depan.
"Trus ini mau ke mana?" Lura bertanya kala Gerlan membelokkan mobilnya ke arah kanan, yang berarti bukan jalan untuk kembali ke Apartemen.
"Makan," jawab Gerlan. Balasannya yang kelewat singkat itu membuat Lura mendengus pelan. Apa dia marah? Karena telah menunggu lama di Basement tadi? Jika benar karena itu, dia berlebihan.
Melihat cahaya lampu warna-warni dari depan sana membuat mata Lura terpaku. Itu adalah pasar malam, dan dia sangat jarang mendatangi tempat yang tak setiap hari selalu ada itu. Bahkan jika dingat-ingat, baru tiga kali Lura ke pasar malam. Itu pun bersama kedua orang tuanya sewaktu dia kecil.
"Gue turun di sini aja," ucap Lura saat mobil berhenti tak jauh dari pintu masuk pasar malam. Banyaknya pengunjung membuat jalanan besar itu sedikit macet.
"Mau ngapain lo?"
"Lo nggak liat ada pasar malam? Ya mau mampir lah," balas Lura, dia sudah bersiap membuka pintu.
"Kalau lo mau pergi, ya pergi aja. Gue bisa pulang sendiri ntar," lanjutnya lagi kemudian langsung turun tanpa mendengar jawaban lelaki itu.
Lura masuk ke dalamnya dan sesekali celingak-celinguk mencari penjual ice cream. Dia selalu membeli itu ketika mendatangi pasar malam. Yaah, walaupun rasanya sedikit aneh karena datang sendiri, namun daripada terus-terusan bersama Gerlan yang akan membuat mood-nya turun, lebih baik dia menjauh saja.
Lura berhenti ketika melihat penjual ice cream yang berada tak jauh dari tempatnya kini. Dengan seulas senyum kecil dia pun mendekat ke sana. Ada beberapa anak kecil yang antre untuk membelinya.
"Bang, es krimnya satu, ya. Rasa stoberi," ucap Lura setelah anak-anak tadi telah pergi dengan ice cream-nya.
"Siap, Kak. Sebentar ya," sambil menunggu, Lura meneliti satu per satu wahana yang ada di sana. Sepertinya datang ke sini bersama Gauri dan Jean akan terasa lebih seru. Dia ingin menaiki wahana berbentuk kapal yang berayun seperti ayunan itu.
Beberapa remaja lelaki datang menghampiri, mereka berdiri di samping Lura sambil sesekali melirik ke arah gadis itu dari atas hingga bawah. Mungkin saja karena Lura memiliki wajah yang cantik dengan kulit yang bersih serta rambut hitam panjang bergelombang. Maka dari itu tak sedikit lelaki yang melirik ke arahnya.
"Ini, Kak. Sepuluh ribu aja," Abang penjual ice cream pun memberikan satu cup ice cream pada Lura. Dan gadis itu pun memberikan uang cash yang sudah ia siapkan.
"Sendiri aja, Kak?" salah satu remaja laki-laki yang sejak tadi berbisik-bisik pada temannya itu bertanya dengan tersenyum menggoda.
Lura menoleh ke sampingnya, kedua alisnya lantas tertaut, dia bingung apakah lelaki itu bertanya pada Lura atau pada yang lain.
Saat bibirnya terbuka hendak menjawab, ada satu tangan kekar yang melingkar di pinggang Lura, membuat gadis itu refleks berbalik karena cukup kaget.
"Udah?" ucap Gerlan seraya menunduk menatap gadis itu.
Lura menatapnya aneh, seolah mengatakan,
"Kenapa lo tiba-tiba ada di sini?"
Namun dia tak berucap apapun, dan malah diam saja saat Gerlan membawanya pergi dari sana. Hingga tetesan ice cream yang cair mengenai tangannya membuat dirinya sadar dan segera menjauh.
"Apaan sih, ngapain lo ke sini?" tanya Lura ketus, sambil memakan ice cream-nya.
"Ada yang ngelarang? Ini tempat umum, suka-suka gue, lah," balas Gerlan. Jawabannya sudah pasti, karena dia tidak tenang meninggalkan perempuan ini sendirian di tempat ramai. Jika dia tiba-tiba hilang atau diculik bagaimana? Bukan apa-apa, Gerlan hanya tak ingin disalahkan oleh para orangtua itu.
Jawaban Gerlan membuat Lura menatapnya sinis. Padahal dia ingin ke pasar malam agar menghindar dari Gerlan. Eh taunya dia ada di sini. Rasanya Lura ingin pulang saja.
Lelaki itu menoleh ke arahnya, dia mendengus pelan melihat cara Lura memakan ice cream. Tidak ada anggun-anggunnya sama sekali, hingga beberapa noda ice cream menempel pada pipi dan sudut bibirnya.
"Ck, lo ikut lomba makan es krim apa gimana? Pelan-pelan aja makannya, gue nggak bakal minta," ucap lelaki itu sembari mengeluarkan sapu tangannya dari dalam saku jaket. Dia lalu berdiri di hadapan Lura, dengan satu tangan yang menangkup pipi gadis itu, dan tangan satunya lagi mengusap noda ice cream yang menempel pada wajahnya.
Tindakan Gerlan itu membuat Lura seketika terdiam. Matanya mengerjap menatap Gerlan yang menunduk melihatnya, tatapan lelaki itu terlihat fokus mengusap noda pada pipinya, membuatnya tak bisa mengeluarkan suara karena jantungnya kembali berdetak cepat.
"Kok dia ganteng?"
Setelah membersihkan noda ice cream pada wajah Lura, Gerlan pun menurunkan tangannya. Tatapan beralih menatap gadis itu, lalu kemudian menarik pelan ujung hidung mancungnya.
"Kenapa ngeliatin gue?" tanyanya, membuat Lura tersadar dan menggeleng cepat.
"Hah, apaan? Nggak tuh," sangkalnya gugup dan kemudian berjalan cepat mendahului Gerlan. Sesekali dia menghela napas panjang dan menyentuh dadanya sendiri.
"Gue kenapa, sih? Jangan bilang gue sakit jantung?" tanya Lura resah dalam hatinya.
Sementara di belakangnya, Gerlan menatap punggung Lura dengan menarik sudut bibir tipis. Dia menggeleng pelan melihat tingkah gadis itu.
"Istri gue gemesin juga."
****
"Halo, Bos."
"Dia ada di pasar malam."
"Ikutin terus, jangan sampe lo kehilangan jejak," seseorang yang duduk di dalam sebuah Kafe bergaya klasik itu pun membalas. Dia menghisap rokoknya dalam-dalam, lalu menghembuskannya ke udara. Sesekali bibirnya menyunggingkan senyum miring menatap gadis yang duduk terikat dengan luka memar pada seluruh tubuhnya itu.
"Siap, Bos," balas anak buahnya. Posisinya yang berada tak jauh dari dua orang itu membuatnya dapat memotret dengan jelas sosok Lura menggunakan kameranya.
Sedangkan di salah satu bangku yang terletak di sana, Lura duduk sembari menatap kora-kora yang berayun di depannya. Melihat orang-orang berteriak saat menaiki itu membuatnya merasa penasaran. Apakah semenakutkan itu? Perasaan biasa saja.
Gerlan datang lalu duduk di samping Lura seraya menyodorkan sebotol air mineral yang sudah ia buka tutupnya. Lura lantas menerima itu dan meminumnya sedikit.
"Mau masuk rumah hantu nggak?" tanya Gerlan, melirik bangunan yang terdapat gambar hantu pada dindingnya.
Lura menatap bangunan berwarna gelap itu dengan wajah penuh keraguan. Baru melihat gambar hantu di dindingnya saja sudah membuatnya bergedik ngeri.
Ekspresi yang Lura tunjukkan membuat Gerlan bersuara.
"Takut lo?" ucapnya terdengar meremehkan.
Lura lantas bangkit berdiri, dengan penuh keberanian dia menjawab, "Buat apa gue takut? Hantu boongan doang."
Gerlan tersenyum kecil, dia tengah berlagak sok berani. "Yaudah, ayo."
Lura menelan salivanya, dia mengikuti langkah Gerlan dengan lambat. Sebenarnya dia takut pada hal menyeramkan. Bahkan menonton film horror pun dia akan berpikir seribu kali. Namun jika dia menolak, lelaki itu akan mengatainya penakut.
Setelah membeli tiket, mereka pun berjalan masuk tempat itu, posisi Lura yang berada di depan membuatnya berhenti melangkah dan menoleh ke belakang.
"Lo duluan," ucap Lura sembari menukar posisi menjadi di belakang Gerlan. Suara kuntilanak dan suara menyeramkan lainnya mulai terdengar, membuat bulu kuduk Lura berdiri seketika.
Gerlan tersenyum tipis, dari tampangnya saja sudah kelihatan jika dia penakut. Tapi berusaha sok berani.
Saat masuk ke dalamnya, Lura tidak berani melihat sekeliling, dia hanya menunduk dengan menarik ujung jaket Gerlan. Ruangan ini begitu gelap, hanya ada cahaya berwarna merah yang mendominasinya. Hingga Lura merasa was-was sendiri, takut jika hantu itu tiba-tiba muncul di hadapannya.
Sampai pada akhirnya, dia merasa jika ada tangan dengan tekstur yang kasar menyentuh kulitnya, membuatnya berteriak hingga refleks memeluk Gerlan dari belakang.
"AAAA! ADA YANG MEGANG TANGAN GUEE!" ucapnya keras.
Mendengar teriakan nyaring gadis itu dan Lura yang memeluknya terlalu erat, membuat Gerlan tertawa pelan. "Yang megang tangan lo itu manusia, bukan hantu beneran," balasnya. Bukankah tadi Lura tidak takut karena hantu di sini bukan hantu asli?
"Sama aja bego! Gue takut!" Lura menyembunyikan wajahnya dipunggung Gerlan, matanya terpejam dengan kaki yang terasa bergetar.
Karena merasakan ketakutan gadis itu, Gerlan lantas melepaskan tangan Lura yang melingkar pada pinggangnya, lalu beralih merangkul gadis itu agar berjalan disampingnya. Dan Lura tidak protes sama sekali karena dia benar-benar merasa takut.
Jika bukan karena terpaksa, dia juga tidak mau berdekatan dengan Gerlan. Meskipun dia sendiri yang menempel pada lelaki itu.
"Cemen lo, tadi katanya berani," ejek Gerlan. Seharusnya Lura akan membalasnya dengan nada ketus dan penuh kekesalan, namun kini dia hanya diam. Bahkan dia merangkul lengan Gerlan dan menyembunyikan wajahnya di sana. Sudah persis terlihat seperti anak kecil yang tengah ketakutan.
Beberapa langkah di depan mereka terlihat sosok hantu yang berjalan mendekat, dan Gerlan lantas menunduk ingin membisikkan sesuatu pada Lura dengan niatan menakut-nakutinya.
"Itu hantu apa coba? Kuntilanak apa sundel bolong?" tanyanya, dan dengan polosnya Lura malah melihat ke arah objek yang Gerlan tunjuk, hingga dia kaget dan spontan bergerak ingin memeluk lelaki itu.
Namun sialnya karena Gerlan menunduk dengan kepala menyamping, membuat wajah mereka saling menempel. Lura mematung seketika, ia mengedipkan matanya perlahan. Karena bukannya memeluk, dia malah mencium lelaki itu.
Bukan hanya Lura, Gerlan juga kaget karena itu terjadi tiba-tiba. Hingga dia hanya diam tanpa melakukan apapun. Sampai akhirnya Lura tersadar dan segera menjauhkan diri.
Dia lalu mengusap bibirnya dan mengatakan sesuatu dengan nada terputus-putus.
"I-itu, itu nggak disengaja," kata Lura dengan wajah memanas. Dia kemudian berbalik pergi dengan berjalan cepat, mengabaikan hantu tadi yang berdiri mematung di dekatnya.
Rasa takut Lura tiba-tiba lenyap begitu saja, digantikan dengan rasa gugup dan juga malu. Ahh, bisa-bisanya dia mencium lelaki itu. Dia ingin segera lenyap saja sekarang.
Setelah keluar dari sana, Lura lantas menarik napas dalam-dalam. Dia berhenti sebentar untuk mencari jalan keluar, namun karena ramainya pengunjung membuatnya kesusahan.
Dikarenakan ingin cepat menghindar dari Gerlan, Lura segera melangkahkan kakinya ingin menjauh dari area rumah hantu itu. Namun saat Lura baru saja berjalan, Gerlan menahan pergelangan tangannya dari belakang.
"Mau ke mana lo?"
Lura hanya melihat Gerlan sekilas, dan langsung mengalihkan pandangan, "Ya--ya mau pulang, lah!" balasnya jutek.
"Jalan keluarnya ada di sana, lo salah jalan," ucap Gerlan, dia sudah hendak kembali menarik tangan Lura. Namun langsung ditarik oleh gadis itu.
"Gue bisa sendiri," Lura memberi jarak dengan melangkah sedikit jauh dari Gerlan. Dia berusaha melupakan insiden tadi, namun sialnya itu terus-terusan muncul dalam pikirannya.
Berbeda dengan Lura, Gerlan malah terlihat santai. Seolah kejadian tadi tidak mengganggu pikirannya sama sekali.
Melihat wajah Lura yang memerah, Gerlan lantas bersuara, "Itu nggak disengaja, nggak usah lo pikirin."
"Siapa yang mikirin?" balas Lura dengan nada tak mengenakkan.
"Pipi lo merah, tangan lo kerasa dingin, lo juga jaga jarak dari gue. Itu maksudnya apa kalau lo nggak gugup?"
Lura mengatupkan bibirnya, dia mengerjapkan mata beberapa kali, "Gue--gue cuma takut sama hantu tadi," elak Lura. Dan detik berikutnya dia kembali melanjutkan ucapannya.
"Lo pikir cuma karena nggak sengaja nyium lo tadi, gue bakalan gugup? Nggak tuh, gue nggak ngerasain apa-apa," Lura berusaha memasang wajah santai, seakan-akan kejadian tadi tak membuat perasaannya terasa aneh.
Gerlan menarik sudut bibirnya, dia tidak sebodoh itu. Gelagat Lura terlihat jelas hingga siapapun mungkin tidak mempercayai ucapannya barusan.
"Yaudah, kalau gitu jalan disamping gue. Ngapain lo jauh-jauh?"
Lura bersedekap, "Gue cuma males deket-deket sama lo."
"Males atau lo gugup?" Gerlan membalas dengan menarik satu alisnya ke atas.
Lura menghela napas kasar, "Gugup? Udah gue bilang, gue nggak ngerasain apa-apa," sangkal Lura lagi seraya menoleh ke arah Gerlan. Tapi karena tak memerhatikan langkah, dan beberapa anak kecil yang berada di depan Lura terlihat berlari kencang, membuat Gerlan menarik pinggang gadis itu agar mendekat ke arahnya. Karena jika tidak, mereka pasti sudah menabrak Lura akibat lari tanpa melihat sekitar.
Lura tertegun, lagi-lagi karena tindakan Gerlan yang tiba-tiba. Perlahan pandangan Lura turun melihat tangan kekar bertatto itu yang melingkar dipinggangnya.
"Ck, dasar bocah," decak Gerlan pelan, tatapannya yang semula melihat anak-anak kecil itu, kini beralih melihat Lura yang juga tengah menatapnya. Perempuan itu hanya diam, dia tak mengatakan apapun, hanya pipinya saja yang memerah.
Itu membuat ide jahil Gerlan muncul, kini entah mengapa dia jadi suka menggoda gadis itu, melihat pipinya yang memerah dengan tingkah gugupnya, itu terasa menyenangkan bagi Gerlan. Karena dia memang hobi membuat Lura emosi.
Kepalanya lantas menunduk, mendekatkan bibirnya pada telinga Lura untuk membisikkan sesuatu.
"Lo bisa ngeliat gue tiap hari, jadi nggak perlu diliatin terus. Lo mau gue cium di sini?" katanya hingga berhasil membuat Lura menjauhkan diri.
"Dih! Gila lo ya?" Lura menatap Gerlan nyalang. Dia mendengus pelan, berusaha menyadarkan dirinya jika Gerlan itu brengsek, dia amat menyebalkan, dan selalu membuat hari-harinya terasa suram.
Jadi, tidak mungkin, kan? Jika Lura akan menyukainya?
Ah! Membayangkannya saja dia sudah bergedik. Itu jelas tidak mungkin.
Gerlan hanya tersenyum tipis melihat reaksi Lura. Ekspresinya yang tengah kesal itu entah mengapa terlihat lucu oleh matanya.
"Aduh!" seorang gadis yang berada tak jauh dari mereka terjatuh akibat tertabrak oleh wanita yang berjalan terburu-buru.
Melihat siapa gadis dengan rambut kuncir kuda itu, membuat Gerlan refleks menghampirinya, dan membantunya untuk berdiri.
"Lo nggak papa? Ada yang luka?"
Alea meringis pelan akibat lututnya terasa perih karena bersentuhan langsung dengan tanah, namun mendengar suara itu membuatnya mendongak, dia lantas bangkit berdiri dengan menampilkan senyumnya.
"Ah, Gerlan. Aku nggak papa, kok," ucap Alea.
Melihat wajah gadis itu membuat Lura yang berada di tempatnya tadi berdecih sinis dan memutar bola mata malas.
Ceritanya lagi reuni sama mantan, huh?
"Kak Elan? Kakak kemana aja kok nggak pernah main ke rumah lagi?" seru seorang gadis kecil berambut kepang dua itu, dia baru saja datang dengan gulali ditangannya. Kedua mata bulatnya terlihat berbinar kala melihat Gerlan.
Lelaki itu tersenyum seraya mengusap rambut cokelat gadis itu, "Hai, Adel."
Alea merangkul bahu Adiknya sambil kembali tersenyum ke arah Gerlan, "Makasih ya, Lan. Aku sama Adel balik dulu," kata Alea hendak melangkah pergi, tapi ucapan Gerlan selanjutnya membuat langkah Kakak beradik itu tertahan.
"Pulang naik apa?"
"Hm.., jalan kaki. Kebetulan rumah aku deket dari sini," jawab Alea. Senyum manisnya kembali menghiasi wajah cantik itu.
"Lo udah pindah rumah?"
Alea mengangguk menjawabnya.
"Kak Elan..., main dong ke rumah lagi. Adel kangen tau main sama Kak Elan," Adel menimpali, dengan suara khasnya yang imut.
Menanggapi itu Gerlan hanya menarik sudut bibirnya tipis. Apa yang akan dia jawab? Hubungannya dengan Alea telah berakhir.
"Mau gue anter?"
"Ah, nggak usah, Lan. Ntar ngerepotin, aku jadi nggak enak," tolak Alea halus.
Saat mengingat sesuatu, Gerlan lantas menolehkan kepalanya ke belakang. Namun Lura tak terlihat ada di tempatnya tadi. Arah matanya pun beralih ke segala penjuru pasar malam mencari keberadaan gadis itu, dan berhenti saat ia melihat Lura tengah duduk di dekat penjual ice cream. Dengan satu cup ice cream di tangannya.
"Kamu sendirian aja ke sini?" Alea akhirnya bertanya karena Gerlan terlihat mencari keberadaan seseorang.
"Nggak. Gue bareng temen," jawabnya. Karena mengatakan yang sejujurnya hanya akan membawa masalah. Bagaimana jika teman kuliahnya tahu? Pernikahan mereka harus dirahasiakan.
"Ohh," Alea mengangguk-anggukan kepalanya.
"Ayo gue anter, lagian rumah lo juga deket dari sini."
Alea terlihat berpikir sebentar, kepalanya menunduk melihat Adel yang tampak mengangguk semangat.
"Nggak papa, Lan? Temen kamu gimana?"
"Dia bisa jaga diri," balas Gerlan. Dan Alea pun mengiyakan.
Sedangkan di tempat duduk dekat penjual ice cream itu, Lura menatap mereka yang berjalan beriringan itu dengan decihan sinis. Mereka sudah terlihat seperti keluarga kecil yang bahagia.
"Tau gini mending gue langsung balik," gerutu Lura dalam hatinya. Dia menyendok ice cream itu dengan kasar. Melampiaskan rasa kekesalannya.
"Gue denger-denger nih, ya. Gerlan sama Alea tuh pacaran lumayan lama. Mereka udah dekett banget. Bahkan nih, Gerlan katanya udah akrab sama keluarga Alea."
Mengingat ucapan Jean tempo lalu membuatnya tertawa hambar. Jika mereka sudah pacaran cukup lama, mengapa harus putus? Kalau mereka tetap pacaran kan, Lura tidak perlu dijodohkan dengan Gerlan. Dan pasti malam ini dia tengah berada di The Blue Hill, menikmati musik dan meminum alkohol kesukaannya.
Satu pesan masuk dari ponselnya yang terletak di dalam tas. Lura lantas meletakkan tempat ice cream-nya ke atas bangku, dan beralih mengeluarkan ponsel itu dari sana.
Gerlanjing
Gue nganter Alea pulang bentar. Lo tunggu di sana. Jangan ke mana-mana.
Paham lo?
"Cih, lo pikir lo siapa ngatur-ngatur gue?" kesal Lura kala membaca isi pesan itu. Tanpa membalas dia langsung memasukkan benda pipih itu ke dalam tas.
Lagipula untuk apa dia menunggu di sini? Belum tentu dalam waktu dekat dia akan datang. Jadi dari pada Lura menghabiskan waktu dengan percuma, lebih baik dia langsung pulang saja.
****
Mobil hitam milik Gerlan berhenti tepat di depan sebuah rumah bergaya modern dengan dua lantai itu. Alea yang duduk di sampingnya lantas tersenyum ke arah Gerlan.
"Sekali lagi makasih ya, Lan. Kamu udah repot-repot nganterin kita pulang."
"Kak.., Adel nggak mau pulang. Adel mau jalan-jalan sama Kak Elan. Kan udah lama Adel nggak ketemu Kak Elan," rengek Adel yang duduk dipangkuannya.
"Del, Kak Gerlan nggak bisa lama-lama. Kapan-kapan aja, ya?" jawab Alea dengan nada sehalus mungkin. Namun Adel tak mengiyakan, dia menggelengkan kepalanya.
"Nggak mau, lagian Adel juga laper. Gimana kalau kita makan ayam aja ditempat biasa?" ucap Adel lagi, memperlihatkan puppy eyes-nya. ia mendongak melihat Alea, dan beralih menatap Gerlan.
"Ya ya ya?"
"Del...," balas Alea seraya menggelengkan kepala.
Ponsel yang berada di dalam saku jaket Gerlan berdeting, pertanda ada satu pesan yang masuk. Lelaki itu lantas merogoh saku jaketnya. Dan membaca isi pesan itu.
Lura
Gue balik
Have fun deh sama mantan lo
Gerlan hanya membacanya tanpa membalas, dan kemudian beralih melihat Alea dan juga Adel yang tengah menatapnya.
"Ayo kita makan. Ke tempat biasa, kan?"
****
Saat tengah berada di dalam taksi yang akan membawanya ke Paradise Palms Residence, Lura mendengus kesal karena lelaki itu tidak membalas pesannya. Dia memasukkan ponselnya ke dalam tas dan melipat kedua tangan di depan dada.
Kesalnya bukan karena cemburu Gerlan tengah bersama Alea. Ck, itu terlalu lucu. Dia merasa jengkel karena lelaki itu selalu memperlakukannya dengan sesuka hati.
Melarangnya untuk tidak sendirian keluar pada malam hari? Lalu apa yang dilakukannya kini? Dia bahkan tak menanyakan dengan apa Lura pulang.
Gadis itu menatap jendela dengan mendengus keras. Liat saja nanti, dia tidak akan memerdulikan larangan lelaki menyebalkan itu. Dia akan melakukan apapun sesukanya. Jika dia tidak terima dan mengancam akan menyita kartu kredit atau fasilitasnya yang lain. Lura tidak akan peduli. Lagipula uang tabungannya juga banyak.
Sedangkan di belakang taksi yang Lura naiki, terdapat satu motor besar yang sudah mengikutinya sejak dia masuk ke dalam taksi tadi. Orang itu mengenakan pakaian serba hitam dengan wajah yang tertutup helm full facenya.
Namun karena ada satu kendaraan yang menyalip di depannya, membuat mobil yang berada di depan motor itu hampir menabrak kendaraan yang berada di depannya. Itu menyebabkan si pengendara motor berhenti, dia lantas mengumpat karena hampir saja menabrak mobil di depannya itu.
Dia lalu berbelok ke sisi jalan yang lain, namun karena di depan sana terdapat tiga taksi dengan warna yang sama, membuatnya bingung karena dia tak sempat melihat plat mobil taksi yang Lura naiki.
Si pengendara motor akhirnya menepi di pinggir jalan. Dia membuka helm full facenya kasar dan berdecak, karena telah gagal mengikuti gadis itu.
Tangannya terangkat merogoh saku jaketnya untuk mengeluarkan ponsel dari sana. Dan menelepon seseorang.
"Sorry, Bos. Gue kehilangan jejak."
****
Selang beberapa menit kemudian, taksi yang Lura naiki berhenti tepat di depan lobby Apartemen Paradise Palms Residence. Setelah membayar taksinya, Lura pun turun dan masuk ke dalam bangunan yang memiliki 40 lantai itu.
Saat berjalan masuk, Lura tidak merasakan apapun. Dia melangkah santai sesekali melihat notifkasi pada ponselnya. Namun pada saat dia hendak berjalan masuk ke dalam lift, ujung matanya tak sengaja menangkap seseorang dengan pakaian serba hitam tampak menatap ke arahnya.
Namun karena Lura pikir dia tengah berada dalam tempat yang memiliki sistem keamanan tinggi, membuatnya tak memikirkan hal-hal buruk.
Pintu lift terbuka, dan Lura lantas masuk ke dalamnya dengan menekan angka 25. Saat pintu itu hendak tertutup, sebuah tangan menghalangi hingga pintu lift kembali terbuka. Lelaki berpakaian serba hitam dengan masker yang menutup sebagian wajahnya itu masuk, lalu berdiri tepat di samping Lura.
Keberadaannya membuat Lura merasa tak nyaman, apalagi hanya mereka berdua yang berada di lift ini.
Lura menarik napas dalam, dan mengusap kedua tangannya, berusaha positif thinking jika orang yang berada di sampingnya itu bukanlah orang jahat. Namun pikirannya sendiri tak menampik jika dia tak bisa berpikir positif.
Mengapa dia tidak menekan nomor lantai?
Dan mengapa dia memakai pakaian gelap tertutup bak penjahat itu?
Lura bertanya dalam hatinya sendiri. Dia menatap angka yang tertera di atas lift. Mengapa lama sekali mencapai lantai 23? Lura sudah mulai merasa takut.
Saat pintu lift terbuka, Lura lantas berjalan cepat menuju unitnya, dia bahkan terlihat seperti berlari. Dan setelah berada di depan pintu, Lura buru-buru mengeluarkan kartu akses dari dalam tasnya, dan menempelkan benda itu di platform magnet yang terdapat disana. Lalu setelah pintu terbuka, dia segera masuk dengan langkah cepat.
Namun saat beberapa langkah memasuki Apartemennya, Lura berhenti ketika merasakan jika pintunya belum tertutup sempurna. Dia kemudian berbalik, dan melihat tangan yang dibalut sarung tangan berwarna hitam itu tengah menahan pintunya agar tak tertutup.
Lelaki itu masuk dengan berjalan selangkah ke depan, hingga Lura spontan melangkah mundur. Dia terdiam dengan detak jantung berpacu cepat. Matanya mengerjab perlahan lalu mengatakan sesuatu dengan napas tercekat.
"Lo--siapa?"