"Tidak perlu dengan ucapan untuk menunjukkan rasa cinta."
****
Gadis yang mengenakan atasan berwarna hitam dengan rambut yang dibiarkan tergerai itu berjalan pelan di koridor kampus dengan wajah tak bersahabat.
Matanya menatap tajam ke depan, hingga berhasil membuat orang-orang yang berselisih dengannya enggan untuk melihat wajahnya yang menakutkan.
Lura seperti ini bukan tanpa alasan, sejak pulang dari The Blue Hill kemarin malam itu, dia sangat ingin melampiaskan amarahnya karena cowok sialan itu sudah berani mencium bibirnya tanpa izin.
Cih, dia pikir Lura perempuan murahan? Dia juga punya harga diri.
Ditambah lagi dengan ucapannya semalam, yang mengatakan dia Lura adalah miliknya, mengingat itu membuat Lura berdecak dalam hati. Dia siapa? Bukan berarti mereka telah menikah, Lura bisa menjadi miliknya begitu saja.
"Ck, dasar gila. Orang kayak lo adalah orang yang paling gue benci di dunia! Udah bukan siapa-siapa, tapi suka banget ngatur-ngatur hidup gue," gerutu Lura geram. Yang berhasil menarik perhatian beberapa mahasiswi, mereka bahkan berbisik-bisik, karena Lura berbicara sendiri dengan wajah penuh emosi.
"Apa lo liat-liat?!" sentak Lura pada gadis yang menatapnya intens, hingga orang itu kaget dan berlari kecil menjauh dari sana.
Lura berdecih pelan, dia mengibaskan rambutnya ke belakang lalu melanjutkan perjalanan menuju kelasnya yang terletak di gedung seberang. Dia sengaja melewati koridor di lantai satu gedung ini kerena enggan untuk berjalan di tengah-tengah terik matahari, bisa-bisa kulit putihnya akan terbakar.
"Aduh aduhh, masih pagi muka lo kusut amat," Jean yang datang dari arah samping pun mengangkat kipas mini portabelnya ke depan wajah Lura seraya terkekeh pelan.
"Kenapa, sih?" tanyanya kepo.
"Nggak papa, cuma lagi kesel doang," balas Lura tanpa minat. Dia hanya menatap lurus jalanan di depannya.
"Ya pasti ada alasannya dong?"
"Nggak ada," jawabnya singkat.
Jean lantas maju selangkah ke depan, dia memutar kepala ke arah Lura dan menyipitkan matanya.
"Masa? Gue nggak percaya. Jelas-jelas kalau muka lo udah masem begitu pasti ada yang buat lo kesel, kan? Iya, kan? Ayoo dong kasih tau gue!" desak Jean. Ini memang tidak terlalu penting, namun Jean memiliki tingkat keingintahuan yang tinggi hingga dia akan terus mendesak Lura untuk memberitahunya. Karena jika tidak, bisa-bisa dia tak akan tenang.
"Buat apa gue kasih tau?"
"Hm..," Jean memasang wajah berpikir, "Kalau lo kasih tau gue, gue bakal ngasih pelajaran sama orang yang udah buat lo kesel! Kalau perlu, gue bakal bawa dia ke gudang trus gue kunciin! Atau.., gue kunci di toilet trus gue guyur pake air biar---, aduh!" Jean mengusap-usap dahinya karena menabrak seseorang akibat berjalan sambil melihat Lura.
"Aww, sakit tau! Kalau jalan tuh--," Jean terdiam dengan mulut terbuka, dia mengangkat wajah menatap Gerlan yang melihatnya dengan sebelah alis terangkat, membuat Jean refleks menutup mulutnya dan berjalan mundur, dia berdiri di belakang Lura dengan takut.
"Pergi yuk, Ra," cicitnya sambil menarik-narik ujung baju Lura.
Lura berdecak pelan, bukannya tadi Jean terlihat begitu berani?
Lura hanya melihat sekilas ke arah Gerlan, dan dengan wajah datarnya dia langsung menarik tangan Jean agar pergi dari sana. Namun suara itu membuat langkah Jean terhenti hingga Lura juga terpaksa untuk berhenti.
"Jean. Bisa tinggalin gue sama Lura bentar?" ucapan Gerlan itu membuat Jean tak percaya hingga dia kembali menutup mulut. Dia tak percaya jika Gerlan tahu namanya. Padahal sebelumnya mereka tidak pernah berinteraksi secara langsung.
"H-hah?" cengonya. Lalu tak lama kemudian mengangguk dan menarik tangannya dari Lura.
"O-oke, bye," ucapnya lalu kemudian pergi dengan berlari kecil.
Lura mendengus pelan, bisa-bisanya Jean nurut begitu saja.
Ponselnya yang berada di dalam tas terdengar berdering, Lura lalu mengambil ponselnya dan diam melihat nama si penelepon.
"Ngapain lo nelpon gue?" tanyanya dengan nada yang tak mengenakan. Gerlan lalu mematikan sambungan telepon dan tanpa mengucap apapun dia langsung merampas ponsel Lura dari tangannya.
"Heh! Siniin hp gue!" ucap Lura dengan tangan yang hendak meraih ponselnya.
"Mau ngapain lo, hah?" tanyanya kesal, dia sudah berusaha merebut ponselnya namun tak berhasil karena Gerlan lebih tinggi darinya.
Mengingat jika ponselnya memiliki kode sandi Lura pun diam tak berusaha merebut lagi, dia tersenyum miring, "Lo nggak bakal bisa buka hp gue," ucapnya dengan sangat yakin jika Gerlan memang tidak akan bisa membuka kunci pada ponselnya.
Namun senyumnya perlahan memudar karena Gerlan memperlihatkan layar ponselnya yang telah terbuka.
"Sayangnya gue tau, tanggal lahir lo, kan?" ucap Gerlan tersenyum miring, lalu kemudian mengotak-atik ponsel gadis itu.
"Heh! Tau dari mana lo?! Siniin hp gue!" Lura mulai panik, dia pun berjinjit ingin merampas ponselnya namun tak kunjung berhasil.
Setelah Gerlan menyelesaikan tujuannya, dia pun memberikan ponsel itu pada Lura.
"Jangan diubah," katanya sebelum pergi dari sana.
Lura yang takut data-data pribadinya hilang pun langsung mengecek ponselnya, namun setelah membuka beberapa aplikasi, tidak ada yang berbeda di sana. Dia lalu beralih membuka kontak dan mencari nama lelaki itu.
Membaca nama kontaknya di sana membuat Lura berdecak sinis. Apa-apaan ini? Baru melihatnya saja sudah membuat Lura merasa mual.
Gerlan sayang.
****
"Dari mana aja lu?" tanya Felix pertama kali saat melihat Gerlan masuk ke basecamp dan duduk di sofa yang tepat berada di depannya.
"Ada urusan bentar," jawabnya seraya membuka kaleng minuman soda dan meminumnya hingga tersisa setengah. Sebenarnya dia menemui Lura tadi bukan dengan niatan ingin mengubah nama kontaknya, melainkan menghapus nomor Leo dari ponsel Lura.
Mengingat jika Lura menuliskan nama Leo dengan sebutan 'Leonard' membuatnya merasa kesal. Apakah mereka begitu dekat? Hingga Lura tahu nama panjangnya.
Mereka berdua kini berada di Basecamp yang dulunya adalah gudang yang terletak di belakang gedung perpustakaan. Gerlan memerintahkan beberapa orang untuk membersihkannya dan meletakkan beberapa barang di dalamnya seperti sofa, lemari es, televisi, rak buku, serta meja billiard. Ruangan berukuran lumayan besar ini juga dilengkapi dengan AC, hingga membuat mereka betah berlama-lama berada di sini.
Wajar saja jika keluarga Gerlan merupakan donatur terbesar di kampus, jadi lelaki itu bisa melakukan apapun asal tidak mencoreng nama kampusnya.
"Maxel mana?" Gerlan bertanya karena tidak melihat lelaki itu di sini.
"Belum dateng kali," jawab Felix dengan mata yang fokus pada game di ponselnya.
Pintu ruangan itu terbuka, Maxel datang dengan napas tak beraturan dan berjalan ke arah dua lelaki yang tengah menatapnya.
"Nah, panjang umur, baru juga diomongin," kata Felix.
"Dari mana aja lo?" Gerlan bertanya setelah Maxel duduk disampingnya dengan peluh yang membasahi dahi.
"Lo ngehajar Leo kemarin?" bukannya menjawab pertanyaan Gerlan, Maxel malah bertanya hal lain.
"Hah? Serius?" timpal Felix, yang sudah meletakkan ponselnya ke atas meja.
"Tau dari mana?" Gerlan membalas, lelaki yang mengenakan t-shirt hitam dengan jaket yang dilampirkan di bahu kirinya itu menghisap vapenya.
"Tadi gue dihadang anak buah Leo di jalan, mereka mau balas dendam sama lo," perkataan Maxel membuat Gerlan tersenyum miring. Dia menghembuskan asap vapenya ke udara.
"Besok jam delapan malam di Jalan Rajawali. Suruh mereka temui gue di sana," kata Gerlan santai tanpa berpikir panjang.
"Lan, lo serius? Mereka banyak, ga sebanding sama kita yang cuma bertiga," ujar Felix tak yakin. Walaupun Gerlan memang hebat dalam hal bela diri dan selalu memenangkan pertarungan, tapi tetap saja, selain banyak anggota mereka juga terkenal licik.
"Gue nggak takut," lelaki yang bersandar di sofa seraya menghembuskan vapenya ke udara itu menjawab dengan nada santai.
"Kenapa lo ngehajar Leo?" Maxel bertanya.
Gerlan sempat diam sejenak, kedua matanya menatap lurus ke depan dengan sorot dingin.
"Karena dia udah ganggu cewe gue."
Perkataan Gerlan membuat Felix dan Maxel menatapnya dengan penuh tanya.
"Hah? Cewe lo? Sejak kapan lo punya pacar?"
****
Kelas baru saja selesai tepat pukul tiga lewat lima belas menit. Beberapa mahasiswa pun perlahan berjalan meninggalkan ruangan. Gauri yang duduk di samping Jean terlihat meraih tasnya, hingga lengan bajunya tersingkap ke atas.
"Loh, tangan lo kenapa, Gau?" Jean bertanya seraya hendak menyentuh lengan Gauri yang tampak lebam, namun gadis itu lebih dulu menutupnya dengan lengan baju.
"Ah, nggak papa, cuma lebam dikit," jawabnya, kemudian bangkit berdiri dengan gerakkan sedikit terburu-buru.
"Gue balik duluan, ya," Gauri kemudian berjalan cepat meninggalkan Lura dan Jean yang menatapnya heran.
"Gauri kenapa?" tanya Lura setelah memasukkan ponselnya ke dalam tas. Dia tidak pernah membawa buku ke kampus, yang dia bawa hanya pulpen. Dan jika ada hal penting yang perlu di catat, Lura hanya menulisnya di ponsel atau memotretnya, walaupun di kemudian hari itu sama sekali tak berguna.
Jean mengedikkan bahu menjawab pertanyaan Lura. Gadis yang ditangannya terdapat kipas mini portabel berwarna pink itu berdiri, dan berjalan keluar kelas bersama Lura.
"Eh btw, tadi Gerlan ngomong apa ke elo?" tanya Jean kepo, karena jarang sekali dia melihat Lura berbicara berdua dengan Gerlan.
"Nggak ada," balasnya acuh. Mendengar nama lelaki itu saja moodnya mendadak turun.
"Ah masa sih? Orang dia nyuruh gue pergi biar bisa ngomong berdua sama lo," ucap Jean membuat Lura menghela napas gusar.
"Nggak ngomong apa-apa Jean sayang, nggak penting juga."
Jean menekuk wajahnya, mengapa Lura tidak jujur saja? Padahal dia adalah orang yang bisa menjaga rahasia. Katanya.
Seseorang yang berhenti di depan mereka membuat Jean seketika menegakkan tubuhnya. Matanya mengerjap dengan tangan yang menyelipkan rambut ke belakang telinga. Dia tiba-tiba menjadi gugup.
"Kelas lo udah kelar?" tanya lelaki yang mengenakan t-shirt putih dengan luaran jaket berwarna hitam.
Lura mengangguk menjawabnya, "Hm, baru aja."
"Mau makan bareng nggak? Kebetulan gue belum makan siang."
"Boleh tuh, lo juga belum makan siang kan, Je?" Lura menoleh ke arah Jean yang terlihat gelagapan sendiri.
"Hah? Oh, gue--gue udah makan, kok. Kebetulan bentar lagi ada kelas sama Pak Adion," jawab Jean seraya tersenyum terpaksa.
"Halah, telat dikit nggak papa kali," balas Lura lagi. Namun Jean menggelengkan kepalanya.
"Takut ah gue, lo kan tau Pak Adison itu galak," ucapnya dengan lagi-lagi tersenyum.
"Gue duluan, ya! Dah!" serunya dengan melihat Maxel sekilas, lalu kemudian berlalu dari sana.
Senyum Jean perlahan memudar, dia melangkah pelan lalu kemudian menolehkan kepala ke belakang, menatap punggung Lura dan Maxel dari belakang.
Melihat Maxel dan Lura saling melempar senyum membuat Jean juga ikut mengembangkan senyumnya. Ia menunduk sekilas, menahan sesak pada hatinya.
Dia tidak cemburu pada Lura, tidak. Dia bahkan merasa jika Lura adalah orang yang tepat untuk Maxel. Maka dari itu dia berbohong jika ada kelas, padahal Jean hanya tak ingin menjadi perusak suasana.
Mereka sudah berteman cukup lama, dan mustahil jika salah satu dari mereka tidak ada yang menyimpan rasa.
Jean menghela napas pelan sembari tersenyum miris dalam hati.
"Sadar, Je. Lo itu nggak pantes buat Maxel."
****
Suasana Delight Coffee pada sore hari ini cukup padat di isi oleh mahasiswa Harbert dari berbagai jurusan. Maxel dan Lura terlihat duduk di sudut Kafe, karena hanya meja ini yang terlihat kosong.
Di depan mereka sudah tersusun makanan dan minuman yang mereka pesan. Ada Waffle ice cream pesanan Lura, dan Chicken fingers pesanan Maxel.
"Jadi nyokap bokap lo tinggal di Jerman?" tanya Maxel setelah mendengar cerita Lura yang mengatakan jika kedua orang tuanya sudah tinggal di Jerman.
"Hm," angguk Lura seraya menyuapkan wafflenya ke dalam mulut.
"Trus, lo tinggal sendiri sekarang?"
"Eng--," Lura lantas mengatupkan bibirnya, dia berdehem sebentar karena hampir keceplosan. Hampir aja dia mengatakan jika tinggal bersama Gerlan.
"Enggak, gue tinggal bareng Bi Nurma," ucap Lura seraya tersenyum kaku. Bi Nurma adalah asisten rumah tangganya dulu.
"Oh, terus--," perkataan Maxel tertahan karena dua orang yang tak diundang tiba-tiba datang lalu bergabung bersama mereka.
"Lu makan kagak ngajak-ngajak kita," cibir Felix yang duduk di samping Maxel, sedangkan Gerlan mengambil tempat di samping Lura, membuat gadis itu menatapnya sinis dan menggeser duduknya ke samping.
"Ngapain lo berdua ke sini?" tanya Maxel, seperti keberatan jika dua temannya ikut bergabung.
"Lo nggak liat semua meja penuh?" jawab Gerlan, lelaki itu mengeluarkan pod vapenya, dan meletakkan benda itu di atas meja.
Tak lama kemudian pesanan Felix dan Gerlan tiba, yaitu segelas Blue ocean soda dan Apple cooler milik Felix.
"Lura, lo udah punya pacar belum?" tanya Felix tiba-tiba, membuat gadis itu menoleh ke arahnya.
"Kenapa?" Lura balik bertanya.
"Jangan mulai deh lo," celetuk Maxel, yang sudah tahu niat Felix, karena jika dia sudah bertanya seperti itu, berarti dia memiliki niat untuk PDKT.
"Mulai apa sih, orang gue cuma nanya doang," Felix menjawab perkataan Maxel. Dia lalu kembali tersenyum menatap Lura.
"Eh, itu di bibir lo," Felix lantas menarik selembar tisu dan mengulurkan tangannya hendak mengusap noda ice cream di sudut bibir Lura, namun belum saja tisu itu menyentuh bibir Lura, Gerlan langsung merampas tisu itu dan mengelap pod vapenya yang tidak terlihat kotor.
"Tangannya masih lengkap, nggak perlu elo yang ngelapin," Gerlan berujar dengan nada tak mengenakan.
Lura mengelap bibirnya sendiri dengan tisu, dia mencibir mendengar ucapan Gerlan. Sedangkan Felix melipat kedua tangannya di depan dada, dia bersandar sembari menatap Gerlan dengan tatapan menyelidik.
"Cemburu lo?" pertanyaan Felix membuat Gerlan menoleh ke arahnya.
Lelaki itu berdecih sinis, dia melirik Lura sekilas, kemudian menjawab, "Gile aja lu gue cemburu sama dia."
"Yakin?" Felix menaikkan sebelah alisnya, sebenarnya dia hanya berpura-pura mengatakan jika akan mendekati Lura. Dia cuma ingin melihat reaksi Gerlan. Dan sekarang dia sudah seratus persen yakin jika tebakkannya benar.
"Lo nggak suka sama Lura?" pancing Felix lagi, kini lelaki itu beralih menatap Lura yang terlihat tidak peduli.
"Perlu gue jawab?" hanya itu balasan dari Gerlan. Dia mengangkat pod vapenya dan menghisap benda itu dalam-dalam. Namun kala mendengar perkataan Felix selanjutnya membuat Gerlan diam tanpa menjawab.
"Kalau lo nggak suka sama dia, ngapain lo mukulin cowok yang udah ngambil foto dia diam-diam?"
"Lo mukulin tuh cowok di tangga rooftop, karena dia udah ngefoto Lura di kafe ini. Lo nggak inget?"
Lura sontak terbatuk, dia langsung meraih minuman milik Gerlan karena hanya minuman itu yang terletak persis di dekatnya.
"Itu karena dia udah kurang ajar," balas Gerlan, menarik gelasnya dari Lura karena gadis itu meminumnya hingga tersisa setengah.
"Yakin? Nggak percaya gue."
Gerlan tertawa pelan, dia kemudian menunjuk Lura dengan jarinya, "Lo liat aja tampangnya, makan ice cream aja masih belepotan. Lo pikir gue bakalan suka sama cewe model begini?"
"Heh!" balas Lura langsung.
"Lo pikir gue mau disukai sama cowok bar-bar kayak elo? Gue juga ogah kali!"
"Stt, udah-udah," sela Felix, lelaki itu terkikik geli melihat Gerlan dan Lura saling melempar tatapan penuh kebencian.
"Biasanya nih ya, kalau cewe sama cowo hobinya berantem mulu, ujung-ujungnya bakalan nikah."
"Jadi ati-ati aja dah lo pada."
****
Lura langsung menuju toilet setelah keluar dari kafe, dia pun sudah menolak dengan halus tawaran Maxel yang hendak mengantarkannya pulang. Dan Gerlan? Lelaki itu tidak mengatakan apapun, dia langsung pergi begitu saja.
Lura berjalan menuju wastafel untuk mencuci muka, setelah itu mematikan keran air dan hendak berjalan keluar, namun tiga orang wanita yang masuk ke dalamnya membuat langkah Lura terhenti.
Perempuan yang berdiri ditengah itu tampak maju mendekati Lura seraya bertepuk tangan.
"Wahh, jadi ini cewek murahan yang udah berani-beraninya nampar adek gue?" ucap gadis bernama Flora itu. Dia menatap remeh Lura dari atas hingga bawah.
"Lo siapa?" balas Lura dingin.
"Lo nggak tau siapa gue?" tanya balik Flora dengan menunjuk dirinya sendiri. Dia maju beberapa mendekati Lura.
"Gue kakaknya Frea, dan lo! Lo udah berani nampar dia! Lo pikir gue bakal diem aja?" ucap Flora sembari memberi aba-aba pada kedua temannya untuk memegang tangan Lura.
"Apa-apaan lo! Lepasin gue!" sentak Lura menarik tangannya. Namun kedua perempuannya memegangnya terlalu erat. Entah mereka yang terlalu kuat atau Lura yang terlalu lemah.
Plak!
"Itu balasan karena lo udah nampar adek gue," ucap Flora setelah menampar pipi kanan Lura.
Plak!
"Dan itu balasan karena lo udah nggak sopan sama senior!"
Lura tersenyum miring, wajahnya yang semula berpaling pun kini beralih menatap Flora dengan tajam, "Nama lo Flora? Kenapa nggak Fauna aja? Biar sama kayak kelakuan lo yang mirip sama binatang!"
"Sialan," desis Flora, dia berjalan mendekat hendak menjambak rambut Lura, namun gadis itu langsung menendang perutnya hingga dia jatuh tersungkur dan merintih kesakitan.
"Flora!" dua gadis yang memegang tangan Lura lantas berlari ke arah gadis itu dan membantunya untuk berdiri.
"Ups, sorry, gue sengaja," kata Lura tersenyum mengejek.
Namun Flora tak mungkin diam saja, dia langsung berjalan cepat ke arah Lura lalu menjambak rambut gadis itu dan terjadilah aksi saling jambak-jambakkan, baik Lura maupun Flora, keduanya tak ada yang mau mengalah.
Flora menyingkut dagu Lura dengan sikunya hingga Lura melepaskan jambakkan karena sakit pada dagunya. Kesempatan itu Flora ambil dengan membenturkan kepala Lura pada dinding yang berada di belakangnya.
Flora tersenyum puas melihat Lura mengadu kesakitan, tak berhenti sampai di situ, dia menarik kembali rambut Lura hingga gadis itu mengadahkan wajahnya ke atas.
"Masih berani lo sama gue?"
Karena tak ingin kalah dari Flora, Lura membalasnya dengan menendang tulang kering gadis itu menggunakan ujung sepatunya. Dan itu berhasil membuatnya merintih.
"Ahhh kaki gue!"
Lura merapikan rambutnya dan berdecih sinis, "Gue nggak pernah takut sama lo," tepat pada saat Lura mengatakan itu, ponselnya yang berada di dalam tas berbunyi.
"Ambil hp nya," perintah Flora pada salah satu temannya yang berdiri di dekat tas Lura.
"Heh, siniin hp gue!" Lura hendak meraih ponselnya, namun satu teman Flora lainnya menahan tubuhnya agar tidak berjalan mendekat.
Perempuan yang memegang ponsel Lura itu memperlihatkan layar ponselnya pada Flora, membuat gadis itu tertawa dan bangkit berdiri.
"Gerlan sayang?" ucapnya dengan tertawa terbahak-bahak.
"Lo lagi mimpi?" lanjutnya meremehkan.
Lura menghela napas kasar, bisa-bisanya dia lupa mengganti nama Gerlan.
"Balikin hp gue!" tangan Lura terulur meraih ponselnya, namun Flora berhasil mengelakkan.
"Gila, lo ngehayal Gerlan jadi pacar lo apa gimana? Sadar diri dong coy! Cowok kayak dia nggak selevel sama cewek rendahan kayak elo!" ejeknya, seraya tertawa pada kedua temannya. Satu dari mereka memegang ponsel merekam momen itu sejak tadi.
Flora mengambil alih ponselnya yang dipakai untuk merekam itu, dia lalu mengarahkan kameranya ke arah dirinya dan juga Lura.
"Eh eh guys! Liat deh! Nih cewe, nulis nama Gerlan di hpnya dengan sebutan Gerlan sayang! hahaha, kasian banget nggak sihh?" katanya lagi tanpa menghentikan tawa. Lura sama sekali tak mengatakan apapun, dia hanya diam menatap kelakuan Flora dengan wajah datarnya.
"Duh, selain murahan, lo juga nggak tau diri yaa," tawa Flora seketika terhenti karena pintu toilet dibuka seseorang dengan kasar. Orang itu langsung merebut ponsel Flora dan melemparnya hingga benda itu retak.
Kedatangannya sukses membuat Flora dan dua temannya terdiam karena kaget.
"Barusan lo bilang dia murahan?" tanya Gerlan tajam melirik ke arah Lura, dia kembali merebut ponsel milik gadis itu yang dipegang oleh teman Flora, dan beralih menarik tangan Lura agar mendekat ke arahnya.
Flora ingin marah, jelas saja karena ponsel mahalnya hancur akibat ulah Gerlan. Namun jujur saja dia takut pada lelaki itu. Jadi yang bisa dia lakukan hanyalah menarik napas dalam-dalam untuk merendam emosinya.
"Lo nggak tau? Dia buat nama lo dikontaknya dengan sebutan apa? Dia nulis--,"
"Gue sendiri yang bikin, bukan dia," potong Gerlan, membuat Flora mengatupkan bibirnya.
"Sekali lagi gue ngeliat lo macam-macam sama dia, cari kampus lain. Lo cuma jadi kotoran di sini," kata Gerlan tajam. Flora menggepalkan kedua tangannya, wajahnya pun sudah memerah karena emosi. Tapi sayangnya, dia tidak dapat melakukan apapun.
Gerlan kemudian membuka tasnya lalu mengeluarkan cek dari sana, dan menuliskan nominal uang, kemudian meletakkannya di atas wastafel.
"20 juta, udah cukup buat ganti hp lo, kan?" katanya, lalu tanpa mendengar jawaban dari Flora, Gerlan langsung pergi dari sana sambil menarik tangan Lura.
Lura diam menatap tangannya yang digenggam oleh Gerlan, hingga saat mereka tiba dikoridor kampus yang tampak sepi, Lura menarik tangannya.
"Sampe sini aja," ucap Lura kemudian hendak melangkah pergi. Namun langkahnya tertahan karena Gerlan mencekal pergelangan tangannya.
Lelaki itu tanpa berucap apapun mendekat ke arah Lura. Dia merapikan rambut gadis itu yang terlihat berantakkan, lalu kemudian menatap wajahnya.
Melihat pipinya yang memerah, membuat Gerlan mengangkat tangannya menyentuh pipi gadis itu. Dan mengakibatkan Lura tak bisa bernapas normal karena jarak mereka begitu dekat.
"Sakit?" tanyanya pelan sembari mengusap pipi Lura.
Sedangkan Lura sendiri hanya diam menatap Gerlan, lalu seakan tersadar, dia langsung memundurkan langkah.
"Nggak usah sok peduli deh lo," balasnya jutek. Bisa-bisanya Lura hampir terbawa perasaan.
Gerlan menghela napas pelan, "Gue cuma nanya. Kenapa lo yang sewot?"
Tuh kan, seharusnya Lura tidak usah berpikir jika Gerlan peduli padanya. Lihat saja sekarang, dia kembali pada sifat aslinya. Yaitu menyebalkan.
"Siapa yang sewot? Biasa aja tuh gue," Lura menjawab dengan melipat kedua tangannya di depan dada.
Gerlan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket, dia lalu menoleh menatap Lura, "Lo nyadar kan kalau gue senior lo di kampus?"
"Trus? Lo mau gue panggil Kakak?" balas Lura. Lagi pula mereka beda jurusan, toh, untuk apa dia harus berlagak sopan?
"Jaga sikap lo, ngomong halus dikit emang nggak bisa?"
"Nggak kalau sama lo," jawab Lura lagi. Bagaimana dia bisa bicara secara halus jika lawan bicaranya selalu berhasil membuatnya jengkel?
Hujan tiba-tiba turun, membuat Lura mendengus kesal karena dia harus berlama-lama di sini.
Sedangkan Gerlan yang berdiri disampingnya, terlihat melirik jam tangan hitamnya. Hari sudah mulai gelap, dan tadi Mama meneleponnya untuk meminta mereka berdua datang ke rumah jam tujuh malam nanti. Maka dari itu Gerlan mencari Lura.
Lelaki itu beralih melepas jaketnya, menyisakan kaus hitam polosnya. Dia kemudian menoleh ke arah Lura, dan menarik tangan gadis itu agar berdiri di dekatnya.
"Ngapain lo?" tanya Lura heran.
"Mobil gue diparkir deket sini, jadi basah dikit nggak papa, kan?" ucapnya seraya mengangkat jaketnya di atas. Gerlan terpaksa harus mengorbankan jaketnya agar mereka bisa sampai ke mobil tanpa basah kuyup.
Lura sempat diam sejenak, dia lalu merapatkan dirinya ke arah Gerlan. Namun itu belum cukup, dia bisa basah karena mereka tidak memakai payung.
"Deketan lagi."
"Ini udah deket," balas Lura, dia bahkan sudah terlalu dekat dengan Gerlan. Bagaimana harus lebih dekat lagi?
"Tangan lo dipinggang gue, kalau gitu ntar bisa basah."
Lura diam tanpa melakukan apapun, haruskah begitu? Dia enggan untuk melakukannya.
"Yaudah kalau lo mau basah," putus Gerlan, lelaki itu sudah hendak melangkah, dan Lura langsung melingkarkan satu tangannya dipinggang Gerlan.
"Hati-hati pas lari, tali sepatu lo udah diiket kenceng belum?"
Lura menunduk menatap sepatu putihnya, "Udah."
"Oke. Gue hitung sampe tiga, pas dihitungan ke tiga kita lari."
"Satu."
"Dua," Lura mempererat peganganya pada pinggang Gerlan. Tidak apa-apa jika dia terlihat seperti memeluk lelaki ini, yang penting dia tidak basah kuyup dan bisa langsung pulang.
"Tiga."
Mereka pun berlari kecil menerobos hujan. Hingga berhasil menjadi pusat perhatian beberapa orang yang berteduh di koridor kampus. Tak sedikit dari mereka yang merasa baper karena itu terlihat seperti adegan romantis dalam film. Padahal mereka tidak tahu saja jika dua manusia itu tidak pernah akur.
Setibanya di mobil Gerlan, dia langsung membukakan pintu depan untuk Lura, lalu kemudian berjalan ke arah pintu kemudi dan masuk ke dalamnya.
Gerlan melempar asal jaketnya ke belakang. Dia lalu mengacak rambutnya sendiri yang basah dengan jemari. Sedangkan Lura yang duduk disampingnya hanya diam tanpa melakukan apapun karena tubuhnya tidak basah.
"Pake seat belt lo," ucap Gerlan. Dia sudah menghidupkan mesin mobil.
"Hah?" ulang Lura karena suara hujan membuatnya tidak dapat mendengar jelas suara Gerlan.
Lelaki itu menoleh ke arahnya, dia lalu mendekatkan diri hendak memakaikan seat belt gadis itu, namun karena pergerakkannya yang tiba-tiba membuat Lura kaget dan refleks menutup mulutnya.
Gerlan tersenyum tipis melihat Lura, "Lo pikir gue mau nyium?" ucapnya lalu memasang sabuk pengaman gadis itu.
Lura menghela napas pelan, dia lalu menurunkan tanganya. "Nggak tuh, gue cuma--," perkataan Lura terputus karena dia terkejut, Gerlan mengecup pipinya tiba-tiba.
Dia lantas memutar kepala melihat Gerlan tajam, namun lelaki itu terlihat santai mengendarai mobilnya. Seolah barusan dia tidak melakukan apapun.
"Kenapa lo ngeliatin gue? Kecewa karena cuma di pipi? Mau di bibir?" tanyanya menoleh sekilas ke arah Lura.
"Dih," Gadis itu mengusap kasar pipinya, dia lalu menyandarkan tubuhnya dengan mata mengarah pada jendela mobil.
Lura menarik napas pelan. Dia menyentuh dadanya sendiri, jantungnya mendadak berdetak tak karuan. Lura beralih mengusap kedua tangannya yang terasa dingin, padahal penghangat di dalam mobil sudah aktif, namun mengapa dia masih merasa kedinginan?
Gerlan menoleh ke samping, melihat gadis yang tengah mengusap telapak tangannya itu. Dan tanpa berucap apapun, dia lantas meraih tangan kanan Lura, dan menggengamnya.
Hal itu jelas saja membuat Lura kaget, dia menatap Gerlan yang tampak fokus pada jalanan di depannya dengan mata tak berkedip.
Seharusnya Lura marah dan menarik tangannya, sambil mengatakan dengan nada ketus,
"Ngapain lo megang-megang tangan gue?!"
Tapi nyatanya, dia tidak melakukan apapun. Tangan Gerlan yang hangat membuatnya tak lagi merasa kedinginan.
Lura menghela napas pelan, dia mengutuk dirinya sendiri yang justru merasa nyaman karena Gerlan menggengam tangannya, bukankah seharusnya dia merasa kesal?
"Sialan, gue baper."