"Bagiku, obat untuk patah hati. Adalah dengan membenci."****Beberapa menit yang lalu Lura baru saja selesai membantu Ochi untuk membereskan meja makan. Dan kini langkah kecilnya itu berjalan menuju halaman samping rumah Gerlan yang terdapat taman dan juga kolam renang dengan beberapa lampu yang menerangi setiap sudutnya.Dia duduk di salah satu bangku dan menatap lurus pemandangan di depannya. Seusai makan malam tadi Gerlan lebih dulu beranjak bersama Verald karena ada hal penting yang ingin dibicarakan Papanya itu. Makanya Lura menjadi sedikit tenang karena manusia menyebalkan itu tidak mengusiknya.Mengingat perkataannya tadi seketika membuat Lura merasa kesal, apa maksudnya mengatakan hal yang menggelikan itu? Jika saja tidak ada Mama dan Papanya, Lura pasti sudah menendang kakinya sembari mengucapkan kata-kata mutiara. Namun yang dia lakukan tadi hanya tersenyum terpaksa pada Gerlan sambil menjawab,"Hehe, kenapa nggak lo aja yang hamil?"Dan ucapannya itu berhasil mendapat taw
"Bukannya takut jatuh cinta. Hanya saja terlalu malas untuk mengulang sakit yang sama."****Ada waktu dimana ketiga lelaki itu mendatangi basecamp mereka yang terletak di gedung belakang kampus. Yang pasti, pagi-pagi seperti ini adalah waktu yang sangat langka dimana Felix mendapati Gerlan yang tengah duduk santai bersama beberapa kaleng soda yang terletak di atas meja.Dia tercengang ketika baru saja membuka pintu, mungkin jika yang berada di sana adalah Maxel, Felix bisa memaklumi karena lelaki itu memang yang paling rajin di antara mereka. Dia pasti selalu datang tepat waktu. Tapi Gerlan yang selalu bolos kuliah? Bagaimana mungkin dia sudah berada di kampus pagi-pagi seperti ini?Lelaki itu tampak mengangkat kepalanya yang semula menunduk menatap Felix yang beberapa detik lalu baru saja duduk di sampingnya."Kenapa lo ngeliatin gue?" tanya Gerlan datar seraya kembali menenggak minuman sodanya.Felix menggeleng pelan, "Lo ada masalah apa, sih?" "Masih soal kemarin? Lo masih kesel
"Tak bisa bersatu bukan karena tidak saling cinta. Tapi karena sejak awal, tujuan kita tak pernah benar-benar sama."****Pintu kamar yang dibuka dengan gerakan kasar itu menampilkan seorang gadis yang kini berjalan masuk ke dalam kamarnya dan duduk dipinggiran ranjang. Dia tak menjawab perkataan Gerlan tadi karena jujur, dia terlalu kaget saat lelaki itu tiba-tiba datang lalu memeluknya. "Ck, jangan bikin gue jatuh cinta sama lo?" ulang Lura dengan nada mengejek. "Siapa juga yang mau bikin lo jatuh cinta sama gue. Amit-amit dah, ogah banget gue disukai sama cowo kayak lo," gerutu Lura lagi. Anggap saja dia memang benar-benar kesal dan jantungnya tidak berdegup kencang. "Gue nggak baper!" ucapnya entah kepada siapa. Pikirannya mengatakan jika dia harus marah dan semakin membenci Gerlan karena perlakuannya itu. Namun hatinya terlalu sulit untuk diajak bekerja sama."Haha," Lura tertawa hambar, dia mengibaskan tangan kanannya ke depan wajah."Nggak mungkin lah, gue orangnya nggak mud
"Aku ingin kamu menjauh, pergi dan melupakanku. Agar meninggalkanmu bukan menjadi beban bagiku."****Sepasang kaki yang dibalut sneakers putih itu berjalan pelan menyusuri taman kota seorang diri. Dia menarik napas dalam, menghirup udara malam yang sedikit menenangkan perasaannya. Sepulang dari rumah sakit tempat Anna dirawat tadi, dia langsung berjalan kaki menuju tempat ini yang jaraknya memang tidak terlalu jauh. Melihat ada dua ayunan yang terlihat kosong, gadis yang mengenakan atasan rainbow crop sweater itu pun lantas menuju ke sana dan duduk sambil menganyunkan kedua kakinya. Lura hanya ingin menghabiskan waktu sendirian, meskipun itu akan mengingatkannya akan kenyataan yang terlalu mustahil untuk dapat berubah. "Lura, kamu harus memberitahu orang tua kamu.""Ini bukan masalah sepele karena menyangkut keselamatan kamu."Lura menghentikan langkahnya, mengingat ucapan Dokter beberapa minggu yang lalu membuatnya kini tak bisa menikmati hari-hari dengan tenang. Jika biasanya o
"Terkadang, saling mencintai pun belum tentu akan bahagia bersama sampai mati."****Setelah memarkirkan mobilnya di basement, Gerlan langsung turun tanpa mengatakan sesuatu ataupun menoleh pada manusia yang duduk disampingnya.Lelaki bertubuh tinggi yang memiliki tatto dileher dan tangannya itu berjalan memasuki gedung apartemen, membiarkan Lura yang baru saja turun menatapnya tanpa ekspresi.Gadis itu sengaja berjalan dengan langkah sedikit lambat agar mereka tidak satu lift. Lura hanya malas jika berdekatan dengan lelaki itu. Melihatnya saja sudah membuat suasana hati Lura buruk.Tapi sepertinya hari ini bukan hari keberuntungannya, karena ternyata lelaki itu baru masuk ke dalam lift yang kosong. Dan mau tak mau, Lura terpaksa ikutan masuk karena enggan menaiki tangga.Jika unitnya berada tiga lantai dari sini, Lura mungkin sudah memilih naik tangga, tapi jika harus melewati 15 lantai lagi, dia lebih baik satu lift dengan Gerlan dari pada kakinya mati rasa.Lura yang berada di sudu
"Apa yang kamu harapkan dari seseorang yang tidak akan hidup lama?"****"Lo nggak lupa kan, sama janji lo?"Flora menghela napas berat, jika tahu pemilik nomor ini adalah psikopat itu, Flora tak akan mengangkatnya. Karena sangat menganggu."Gue punya dendam pribadi sama dia. Jadi setelah gue balas dendam, gue bakal bawa dia hidup-hidup ke elo."Di dalam ruangan yang didominasi cahaya biru itu, lelaki dengan pakaian hitamnya duduk sambil menatap beberapa foto gadis yang tertempel di cermin. Mereka semua tampak begitu mengenaskan."Oke, seminggu dari sekarang. Kalau sampai lo telat satu hari aja, nyawa lo sebagai gantinya," katanya lirih diakhir kalimat. Setelah itu memutuskan sambungan telepon.Flora yang berada di balkon kamarnya menggepalkan tangan marah. Dia tak suka diperintah, namun dia juga tak bisa melawan karena lelaki itu bukan orang sembarangan."Floraaa!" teriakan Frea dari dalam kamar membuat gadis itu masuk dengan langkah terburu-buru."Apaan lo teriak-teriak?"Frea menun
"Aku hanyalah pengagum dalam gelapmu.Hanya sekadar bayangan yang tampak kalbu, dan hanya sepercik luka yang tak akan lekas sembuh."****Pagi hari yang cerah seperti ini seharusnya membuat orang-orang semangat untuk menjalani aktivitas seperti biasa. Namun itu tak berlaku pada gadis yang baru saja turun dari taksi. Baru saja melangkah memasuki gerbang, suara-suara menyebalkan itu sudah terdengar. "Eh eh, itu dia.""Cantik sih. Tapi sayang, jadi pelacur. Ups!""Kalo gue jadi orang tuanya udah malu banget sih, auto ga di anggap anak!""Dia ga punya malu banget tetep dateng ke kampus.""Tau tuh, fotonya juga udah ke sebar dimana-mana."Lura menghela napas jengah, jika saja dia ingin mencari banyak masalah, sampah di dalam tong berwarna kuning itu mungkin sudah ia ambil lalu memasukkannya ke dalam mulut mereka satu per satu. Karena memang itu tempat sampah yang seharusnya.Namun kini perempuan dengan atasan berwarna putih dan rok berwarna hitam itu hanya dapat mengunci mulutnya dan teta
"Haruskah aku pergi meninggalkannya? Dan membiarkannya bahagia bersama seseorang yang dapat berada di sampingnya untuk waktu yang lama?"****Setelah menghadiri kelas terakhirnya di siang hari ini, Lura pun berencana untuk segera pulang. Kini dia tengah berjalan di koridor kampus seorang diri hendak menuju gerbang depan untuk menaiki taksi seperti biasa. Jean dan Gauri mungkin sudah pulang duluan karena mereka tidak mengambil mata kuliah yang sama dengannya. Tidak, lebih tepatnya Lura mengulang mata kuliah, maka dari itu semester ini dia kembali bertemu dengan mata kuliah yang sama.Langkahnya melambat karena dering pada ponselnya. Ada panggilan video dari seseorang, melihat itu Lura pun langsung menerima panggilan."Halo kak, Lura! Kakak apa kabar?"Seorang gadis dengan pakaian berwarna pink itu tersenyum cerah ke arahnya."Hai, Anna! Kakak baik. Anna gimana?""Anna juga baik, Kak," jawab gadis itu, di belakangnya terlihat tiang infus, yang berarti dia masih berada di rumah sakit.