Terlihat jelas ada genangan air mata yang menghiasi wajah gadis cantik itu. Rasa laparnya pun seketika menghilang ketika Tio melakukan hal yang biasa dia lakukan kepadanya dulu. Jelas saja, memori yang selalu ingin dilupakan Arini kembali hadir dan terasa perih. Dia meletakkan sendoknya lalu pergi meninggalkan Tio. Gadis itu berlari dengan kencangnya, dia tidak ingin sakit hati untuk kedua kali dengan orang yang sama. Tidak bisakah dia hanya ada dalam ingatan saja. Mengapa kita harus bertemu kembali?
Tio terkejut melihat Arini pergi meninggalkannya dengan mata yang berkaca-kaca. Tio bergegas membayar sarapannya lalu berusaha mengejar Arini.
Terlihat punggung Arini yang perlahan menjauhi dirinya.
“Rin, tunggu,” panggil Tio.
Arini berpikir, dia ingin Tio mengejarnya, seperti saat dulu ketika dia merajuk. Lama Arini menunggu, Tio tidak kunjung datang. Gadis itu menyeringai, dia seperti orang bodoh menunggu sesuatu yang tidak pernah menggapainya.
Perlahan air matanya tumpah, dia berjongkok di depan pematang sawah. Menangisi perasaannya yang masih teringat masa lalu. Ayah Arini kebetulan saja akan berangkat bekerja. Dia sangat terkejut saat melihat anaknya sedang berjongkok sambil terisak.
“Hei,” Menepuk bahu Arini. Hal ini tentu saja mengejutkan gadis itu. Dia terperosok masuk ke sawah yang masih basah.
“Aaaaarrrggghhh,” pekik Arini.
Ayah Arini tidak menyangka putrinya akan terkejut seperti itu. Dia bergegas menolong putrinya. Bibirnya tidak bisa menahan tawa saat melihat wajah putrinya penuh dengan lumpur sawah.
“Hahahahaa, aduh Putri Bapak sampai kayak begini,” tawa Ayah Arini mengulurkan tangan.
“Bapak!” kesal Arini melihat ayahnya tertawa begitu puas. Pipinya mengembang dengan mulut yang dimajukan ke depan seperti bebek.
“Mandi sana! Anak gadis harus cantik pagi-pagi, bukan cemong kayak gini,” seru Ayah Arini sambil menepuk bahu anaknya. Dia kemudian pamit untuk berangkat bekerja.
Kesal, Gadis itu berjalan sambil menghentakkan kakinya. Bodoh sekali dia bisa terperosok seperti itu, memalukan!
Pada saat dia hampir sampai di depan rumahnya, Tio tiba-tiba ke luar dari pagar besar rumahnya. Matanya langsung tertuju pada Arini yang penuh dengan lumpur.
“Astaga Rin! Kamu kenapa?” Raut wajah Tio berubah, alisnya mengerut hampir menyatu dengan garis bibirnya yang melengkung ke bawah.
“Jangan lihat! Malu tau!” Arini enggan dilihat seperti ini. Dia seperti bebek yang baru saja mandi lumpur.
“Tapi kamu tidak apa kan?” tanya Tio sekali lagi.
“Tio, aku mandi dulu ya,” pungkas Arini berjalan masuk ke rumahnya.
Mimpi apa dia semalam, hal aneh terus terjadi padanya. Pertama dia bertemu dengan cinta pertamanya, kedua dia terperosok jatuh ke sawah. Ibu Arini terkejut melihat penampilan anaknya yang penuh lumpur.
“Rin, perasaan di rumah kita air banyak, kenapa kamu mandi lumpur?” kelakar Ibu Arini menarik garis bibirnya ke atas.
“Ibu juga! Ini semua gara-gara Bapak yang kagetin Rini. Jadi aku masuk ke sawah,” kesal Arini sambil mengambil handuk yang dijemur di belakang rumah,
“Hahaha, ya sudah kamu mandi saja sekarang!” ucap Ibu Arini sambil meneruskan memasak.
Selesai mandi, Arini berdiam di kamarnya. Dia membaringkan tubuhnya di kasur kesayangannya. Kembali teringat saat Tio menyibakkan rambutnya. Jantungnya berdebar dengan sangat kencang. Mengapa lelaki itu tetap saja membuat dia berdebar.
Tidak lama, ada yang mengetuk pintu rumah. Ibu Arini meminta anaknya untuk membukakan pintu. Ternyata ada Farhan, teman semasa kecil Arini. Lelaki keturunan Arab, ibunya yang seorang TKW di Jeddah menikah dengan seorang warga negara Arab Saudi. Penampilannya benar-benar seperti orang Arab menggunakan gamis dan juga sorban. Hidungnya mancung dengan bulu mata lentik.
“Farhan!” Arini membelalakkan matanya.
“Arini! Ah sudah lama kita tidak bertemu ya,” ucap Farhan penuh kerinduan.
“Farhan, ada apa kamu ke sini?” tanya Arini.
“Tadi Umi bilang kalau aku harus memberikan ini pada ibumu.” Menunjukkan kantong belanjaan yang ada di tangannya.
“Masuk Farhan, Ibu ada di dapur.” Membuka pintu lebar-lebar. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan sahabatnya itu. Enam tahun mereka tidak bertemu, Farhan saat itu sedang pergi ke Arab Saudi karena permintaan ibunya.
Farhan benar-benar berbeda, dia tidak menyangka sahabatnya sekarang menjadi tampan. Seperti orang Arab kebanyakan. Tampangnya semakin alim, berbeda dengan penampilan Arini yang menyukai pakaian terbuka. Seolah dunia mereka berdua itu berbeda.
Farhan asik berbicara dengan ibunya, Arini hanya menyeringai. Seakrab itukah Farhan saat ini dengan ibunya. “Farhan kapan kamu pulang ke Indonesia?” tanya Arini memulai pembicaraan.
“Aku tidak lama di Jeddah Rin, hanya enam bulan saja. Pas aku pulang ternyata kamu sedang ikut audisi kata Ibu,” jawab Farhan dengan ramah.
Farhan kemudian berpamitan pada Ibu Arini untuk pulang. Tentu saja, Arini masih ingin banyak berbincang dengan sahabatnya itu. Dia ke luar lalu mengikuti ke mana Farhan pergi. Ternyata dari balik rumah megah itu, Tio sedang mengambil potret dari lantai tiga rumahnya. Dia menangkap gambar Arini sedang berjalan berdua dengan lelaki lain.
Melihat hal itu, ada perasaan tidak senang. Tangannya menggenggam erat kamera. Seharusnya dia yang berjalan bersama Arini saat ini. Dia tidak boleh membiarkan Arini dan lelaki itu dekat. “Jangan dekat dengan lelaki lain, aku tidak rela!” seru Tio.
Dia berbalik arah lalu berjalan menuruni tangga dengan perlahan. Untuk sesaat dia menarik napas dalam. Dia memegang dadanya yang terus berdebar dengan sangat kencang. “Tenang Tio, kamu harus tenang,” monolog Tio.
Di tempat lain,
Arini dan Farhan berjalan di pematang sawah, mereka bernostalgia mengingat semua kedekatan mereka saat sekolah dulu. Entah bagaimana Arini selalu menganggap Farhan itu adalah belahan jiwanya, tetapi bukan cinta. Perasaan seperti seorang adik kepada kakaknya. Dia selalu mengagumi Farhan yang pintar sedangkan dia tidak pintar dalam akademik.
“Farhan, kamu bekerja di mana?” tanya Arini.
“Aku hanya mengajar di madrasah,” jawab Farhan sambil tersenyum pada Arini.
“Wah hebat, itu kan cita-citamu sejak dulu ya,” sahut Arini.
“Hebat bagaimana, aku hanya mengajar anak SMP,” sanggah Farhan.
“Iya, tetap saja cita-cita kamu itu bisa terwujud. Lah, aku ingin jadi artis tapi tenggelam,” Arini merutuki nasibnya.
“Hidup kamu masih panjang, yakin saja suatu saat cita-citamu akan terwujud,” ucap Farhan.
Gadis itu tersenyum pada sahabatnya. Setidaknya jika dia berbincang dengan orang lain, beban di hatinya akan berkurang.
Tio melihat Arini semakin dekat bahkan sampai tertawa bersama lelaki yang ada di sampingnya. “Siapa lelaki itu?”
Tidak tahan, Tio sengaja ingin mengganggu kedekatan mereka berdua. Dia memanggil nama Arini dengan lantang.
“Arini!” panggil Tio.
Terdengar ada suara yang memanggil Namanya, gadis itu menoleh. Dari suaranya dia sudah menduga jika itu suara Tio. Pada saat dia menoleh, benar saja jika pemilik suara itu adalah Tio. Farhan melihat lelaki lain sedang berjalan perlahan menghampiri Arini. Tentu saja Farhan juga tidak terlalu menyukainya. Dia pikir dengan kembalinya Arini ke kampung halaman, hubungannya dengan Arini akan berubah kea rah yang lebih serius.
“Rin, kamu mau ke mana?” tanya Tio terengah.
“Aku mau main ke rumah temanku,” jawab Arini santai.
“Apa aku boleh ikut?” tanya Tio memelas.
Arini menoleh ke arah Farhan, apakah sahabatnya akan megizinkan lelaki lain ikut bergabung bersamanya. Matanya tertuju pada lelaki yang berperawakan tinggi itu.
“Boleh, kamu boleh berkunjung ke rumahku,” jawab Farhan dengan terpaksa.
Tio dan Farhan saling berjabat tangan memperkenalkan diri satu sama lain. Tio banyak menanyakan asal usul Farhan, begitu pun sebaliknya. Di sini, Arini malah menjadi canggung. Keduanya berbincang seolah tidak ada orang lain. Angin bertiup sangat kencang, rok yang dikenakan Arini tersingkap. Sepasang mata kedua lelaki itu seketika melebar. Wajah cantik itu seketika memerah tatkala melihat ekspresi kedua lelaki yang ada di hadapannya. ‘Mata lelaki semua sama,’ kesalnya dalam hati. Farhan dan Tio memalingkan wajah mereka, tidak mungkin bagi mereka melewatkan pemandangan langka seperti itu. Sisi lainnya mereka pun merasa seperti lelaki hidung belang jika mereka melihatnya dengan tatapan berhasrat. Suasana menjadi sangat canggung setelah kejadian tadi. Sesampainya di rumah Farhan, Arini berjalan dengan santainya memasuki rumah yang menjadi kenangan masa kecilnya. “Farhan, kamu masih ingat t
Pagi ini, garis bibir Tio sudah terangkat sempurna. Sungguh dia benar-benar menantikan hal ini. Skenario yang sudah disimpan selama lima tahun, kini bisa terwujud. Arini adalah pemeran yang sangat pas. Kisah ini memang ditujukan untuknya. Parfum yang sudah lama tidak pernah dia gunakan setelah lima tahun akhirnya dia kenakan kembali. Aroma musk menyeruak ke sekitarnya. Dia melihat jam di dinding kamarnya, baru jam tujuh pagi. Dia sudah tidak sabar ingin segera menjemput Arini. Melihat tingkah putranya yang tidak biasa, membuat Cintami (Ibu Tio) penasaran. Anak lelaki kesayangannya itu menghampiri lalu berpamitan kepadanya. “Mam, Tio pamit ya mau syuting,” ucap Tio. “Kamu mau ke mana Sayang? Ingat kamu baru dua tahun loh, jangan terlalu lelah,” tanya Cintami sambil mengusap rambut anaknya. “Mami, akhirnya Tio bertemu dengan Arini. Rasanya Ti
Setelah menghabiskan seluruh makanan di atas meja, mereka pulang. Selama di perjalanan, Arini dan Tio diam seribu bahasa. Lelaki yang disukai Arini itu terlalu pendiam. Terkadang membuat gadis itu sulit mengerti apa yang sedang dipikirkan olehnya. “Tio, memangnya kamu ingin ikut festival di mana?” tanya Arini membuyarkan keheningan. “Oh, aku akan mengikuti festival di Jepang. ‘Shorts Shorts Film Festival’ kamu tahu, kan,” tutur Tio sambil tersenyum manis. “Ah serius mau ikutan festival itu?” Mata Arini terbelalak dengan membuka mulutnya lebar-lebar. “Serius.” Menganggukkan kepala. “Semoga saja film kita masuk nominasi,” harap Arini berbunga-bunga. “Amiin, aku pun berharap demikian.” Tio menepikan mobilnya. Akhirnya dia sampai di depan gerbang rumah Arini. Tio kembali membukakan pi
Ibu Arini mencari putrinya. Dia mendapati Farhan dan Arini sedang di kamar berdua sambil berpegangan tangan. Dalam pikirannya menjadi semakin berkecamuk. Apakah putrinya dan Farhan sudah saling menyatakan perasaan. “Rin, kamu sedang apa sama Farhan?” tanya Ibu Arini sambil bersandar di kusen pintu. “Rini tadi kelilipan, jadi Farhan bantu tiup,” jawab Arini berbohong. Farhan ikut menganggukkan kepala, menyetujui ucapan Farhan. Jelas mereka berdua sedang berbohong, tidak mungkin kelilipan tapi pegangan tangan. Berarti hubungan mereka kini lebih dari sekedar teman, dalam hatinya. “Ya sud
Mata Arini langsung terbelalak saat bibir Farhan membentur bibirnya. Hangat bagi Farhan, menyakitkan untuk Arini. Lelaki itu terkejut lalu bangkit dari tempat tidur. Dia melihat ada luka di bibir Arini. Benturan yang keras menyebabkan bibirnya terkena gigi. “Ish! Farhaaan!” kesal Arini sambil memegangi bibirnya yang terasa perih. Farhan menyeringai, dia tidak sengaja melukai Arini. Tangannya mengatup memohon ampun. “Rin, aku minta maaf, tidak sengaja,” sesalnya. “Pergi!” Arini mengacungkan kepalan tangannya. Dia ingin Farhan segera pergi dari kamarnya. Farhan tersenyum malu sekaligus merasa bersalah. Ciuman pertamanya tidak terduga. Dilakukan dengan cara yang aneh dan meninggalkan bekas. Farhan memegangi dadanya yang terus berdebar. 'Seharusnya ini dilakukan dengan cara yang lebih manis lagi,' sesalnya dalam hati. * Keesokan harinya,  
Terbang, Arini merasakan tubuhnya seperti melayang di udara. Matanya yang tadi masih terpejam kini terbuka dengan perlahan. Sekilas dia melihat sosok Erik, dia mengedipkan kelopak matany berkali-kali untuk memastikan jika itu tidak mungkin terjadi. Arini kemudian mendapatkan penglihatannya dengan jelas. Lelaki yang dia lihat bukanlah Erik melainkan Farhan. Bola mata Arini lalu berputar, melirik ke kiri, dia tidak sedang berjalan. Ternyata dia sedang digendong oleh Farhan. Arini berpura-pura masih menutup mata. Dia ingin tahu, Farhan akan membawanya ke mana. Terdengar suara pintu berderit. “Farhan, Rini kenapa kamu gendong?” tanya Ayah Arini dengan khawatir. “Dia ketiduran di mobil. Farhan bantu gendong saja.” Farhan meneruskan langkahnya menuju kamar gadis itu. “Ya sudah, Bapak mau ke dalam dulu ya.” Ayah Arini masuk ke kamarnya. &n
“Ya ampun, Neng. Kenapa nyosor gitu sama Abah, Neng? Itu orang ganteng ada di belakang,” kelakar Kakek tua itu sambil menggelengkan kepalanya. Tio lekas menarik Arini. Wajahnya tidak dapat berbohong, dia ingin sekali tertawa saat Kakek tua itu berkata seperti itu. Arini melihat Tio ingin menertawakannya akhirnya menegur lelaki itu. “Ketawa aja sampe puas, iseng bener nolongnya sampai aku hampir berciuman dengan bandot tua,” sindir Arini sambil mencubit perut Tio pelan. “Hahaha, maaf ya.” Tio Terkekeh. “Untung kamu ganteng jadi aku maafin,” jawab Arini sambil mencolek pipi Tio. Dia hanya bermaksud untuk berkelakar saja. “Rin, seminggu atau bahkan satu bulan ke depan kita nggak bisa ketemu,” kata Tio sambil memegang jemari Arini. “Kenapa?” “Aku harus mengedit film tersebut, dan juga mengirimkan na
Kedua orang tua Arini lekas menyambut kehadiran tamunya itu. Mereka bersalaman seperti sudah mengenal satu sama lain. Setelah selesai membuatkan minuman, Arini mulai menyajikannya pada tamu itu. Ternyata di sana sudah ada Farhan yang duduk di samping kedua tamunya. Dengan santai, Arini terus melaju. Dia memberi Farhan kode untuk mengikutinya. Arini mengajak Farhan ke kamarnya. “Rin, kamu kenapa?” Farhan duduk di tempat tidur. “Kamu kenal dengan mereka?” tanya Arini penasaran. “Memangnya kenapa?” Farhan memastikan. “Ah sudahlah,” kesal Arini sambil mendorong Farhan ke luar kamar.