Kensky terdiam. Ia hanya bisa melihat tubuh Dean yang berjalan keluar dari kamar mandi. "Ya Tuhan, kenapa bisa jadi seperti ini? Mom, aku harus bagaimana?" lirihnya pelan. Karena merasa urusannya sudah selesai, Kensky pun langsung keluar dari kamar itu dan pulang. Ia harus mencari Tanisa dan berbagi kesedihan itu bersama sabahatnya.
Sementara Dean yang tadi pergi mengambil minunan untuknya dan Kensky, kini kembali. Kamarnya kosong. Ia tampak panik saat melihat kamar itu sudah tidak ada siapa-siapa. "Sky?" panggilnya sambil menyusuri seluruh kamar, "Sky, kau di mana?"
Dean melepaskan dua kaleng soda yang masih dingin di atas nakas kemudian berlari keluar untuk mengejar Kensky. "Sky?" pekiknya seraya menuruni tangga, "Sky?"
"Ada apa, Bos?" tanya Matt begitu Dean keluar pintu.
"Apa kau melihat Kensky? Tadi dia bersamaku di kamar, tapi tiba-tiba gadis itu menghilang."
"Nona
Nah, lho, kok tiba-tiba Dean bisa muncul, ya? Jangan lupa untuk kasih vote ya, Sobat-Sobat yg baik ^^
Pria itu tersenyum lebar. "Ya, aku di sini." "Sedang apa kau ... " Ellena berdiri di hadapan Tania dan Dean. Diborongnya tubuh pria itu yang hanya mengenakan celana training hitam dan kaos oblong berwarna putih. "Terus kenapa kau bisa tahu kalau aku ada di sini?" "Kau kan calon istriku. Jadi sudah sepantasnya jika aku tahu di mana kau berada. Lagi pula salahmu sendiri kenapa pulang tanpa memberitahuku dulu." Ellena dan Tanisa saling menatap. Alis Ellena berkerut, sementara Tanisa menaikan kedua alisnya sebagai jawaban tidak tahu. "Kalian tidak menyuruhku duduk?" tanya Dean basa-basi. "Oh, maaf. Ayo silahkan duduk. Saya ambilkan minuman dulu," pamit Tanisa seakan melarikan diri. Ellena menatap tajam, sementara Dean mengambil posisi duduk di dekat gadis itu. Karena posisi mereka sangat dekat, Dean menarik tangannya hingga tubuh Ellena jatuh di atas
Ting! Tong! Bunyi bel rumah membuyarkan pikiran Kensky. Sementara Rebecca yang sudah mendengarnya dengan cepat menoleh ke arah pintu. "Mama harap ini bukan penagih hutang lagi." Ia berdiri meninggalkan Kensky sendirian. Sementara gadis itu kembali berkutat dengan pikiran-pikiran yang mengarah pada emosi Soraya tadi. "Jika dia hanya terobsesi, lantas kenapa dia begitu marah mendengar Dean mengajakku pacaran?" lirihnya. "Sky!" Suara Rebecca mengejutkannya. Dengan cepat ia menoleh dan berdiri saat melihat Mr. Lamber muncul bersama Rebecca. Jantungnya bahkan sudah berdetak cepat begitu tahu apa tujuan lelaki itu. "Sepertinya apa yang diluar pikiran Mama telah terjadi, Sky," kata Rebecca. "Maafkan saya, Miss, tapi baru saja Pak Dean menelepon karena masalah ini. Beliau ingin dalam minggu ini Kapleng Group akan dialihkan kepadanya
Kensky terdiam. Apakah ia siap menikah dengan pria yang belum pernah dilihatnya? Apakah ia akan mampu menjalin rumah tangga dengan pria yang tidak dicintainya? Wajah Dean tiba-tiba muncul kembali dalam benaknya. Entah kenapa ia membayangkan bahwa dirinya bersama Dean akan menikah dan hidup bahagia. "Sayang?" Suara pelan lelaki di balik telepon itu membuyarkan pikiran Kensky. "Eh, ya? Maaf." "Kenapa diam? Apa kau ragu padaku?" tanya pria itu. "Ti-tidak, kok, aku tidak ragu. Sumpah. Apalagi kan kau lelaki pilihan Mommy. Jadi aku yakin, pasti kau lelaki terbaik yang Mom siapkan untukku." "Meskipun kau tidak mencintaiku?" Zet! Pertanyaan pria itu membuat Kensky terkejut. Memang benar ia tidak mencintai pria itu karena mereka belum bertemu. Tapi apakah Kensky harus jujur padanya bahwa dirinya mencintai pria
Rebecca semakin garang. "Kubilang keluar dari rumah ini! Kalian tidak bisa seenaknya menggeledah rumah orang tanpa ijin!" Mr. Bla mendekatinya. "Nyonya, Oxley. Seandainya kalau Anda mau jujur soal keberadaan suami Anda yang tercinta itu, aku tidak akan melakukan hal ini. Tapi karena Anda sudah berbohong padaku, jangan salahkan aku jika anak buahku menemukan suami Anda." Rebecca semakin panik. Jantungnya bahkan berdetak cepat saat melihat beberapa anak buah Mr. Bla menaiki tangga menuju kamarnya. "Sebaiknya kalian keluar dari rumah ini sebelum aku menelepon polisi." "Bos! Mr. Oxley ada di sini," teriak salah satu pria dari lantai atas. Mata Mr. Bla menatap Rebecca. "Kau yakin itu Mr. Oxley?" "Iya, Bos." Seringai lebar semakin tampak dari wajah Mr. Bla. "Aku tak menyangka, suami dan istri ternyata sama-sama pembohong." Ia pun
Di restoran yang sama dengan tadi pagi, Dean baru saja selesai makan siang bersama seorang pria yang merupakan pengacara asli Eduardus. "Ini adalah bukti rekaman pembicaraanku dengan Rebecca." Dean meletakan ponselnya dan memutar rekaman suara yang ternyata adalah pembicaraan terakhir antara Dean dan Rebecca. 'Itulah yang membuatku takut, Bernar. Aku ingin secepatnya kau membayar Kapleng Group agar aku dan Soraya bisa kabur dari sini. Aku sudah tidak peduli dengan rumah ini. Jadi kalau mereka kembali untuk menagih hutang ataupun jaminan, setidaknya aku dan Soraya sudah tidak ada di sini lagi.'Suara Rebecca di balik rekaman itu membuat si pengacara terkejut. "Saya tidak menyangka jika selama ini Mrs. Oxley memang mengingkan perusahan itu. Dia tidak punya hak sama sekali atas kepemilikan Kapleng Group. Dan kalaupun dia ingin menjualnya, harus ada persetujuan langsung dari putri kandung Mr. Oxley." Dean menyeringai. "Aku memang menginginkan perusahan itu,
"Kau serius?" tanya Dean. "Aku serius. Asal dengan satu syarat." "Apa?" "Berhentilah memanggilku sayang. Dan kalau perlu berhentilah menggangguku, karena sebentar lagi aku akan menikah." Dean menunduk sesaat sebelum matanya kembali menatap Kensky. "Baiklah jika memang hal itu yang kau inginkan, akan kulakukan." Dean menarik napas panjang. "Terima kasih karena kau sudah meluangkan waktu untuk hari ini. Sampai ketemu lusa nanti. Jam delapan malam akan kujemput kau di rumahmu." Mata Kensky terbelalak. "Jangan! Jangan jemput aku di rumah." Alis Dean berkerut. "Kenapa?" "Pokoknya jangan. Tapi kalau Anda memang ingin menjemputku, Anda bisa menjemputku di apartemen temanku yang kemarin." Dean mendekikan bahu. "Baiklah. Sampai ketemu lusa." Dean pun bergerak mengintari meja, melewati tubuh Kensky yang masih be
Rebecca sontak berpura-pura. "Ya ampun, Sayang, maafkan Mama. Mama belum sempat memberitahukanmu. Lagi pula saat Mama ingin meneleponmu, nomor kamu sudah tidak aktif." Alis Kensky berkerut. "Ada apa?" Rebecca mendekati Kensky. "Begini, kebetulan ada kerabat Mama yang menceritakan tentang penyakit yang diderita suaminya yang sama seperti ayahmu, dia merekomendasikan pengobatan tradisional itu kepada Mama. Jadi saking bahagianya, Mama pun langsung membawa ayahmu ke tempat itu untuk di rawat. Nah, karena pengobatannya tradisional, pemilik klinik itu menyuruh ayahmu menginap sampai saraf-saraf di tubuhnya berfungsi lagi. Jadi setiap hari Mama harus ke sana untuk mengecek keadaan ayahmu." "Perawatan tradisional, maksud Mama dipijat?" "Iya, Sayang. Itu lebih bagus lho, lebih murah lagi. Jadi kita tidak perlu mengeluarkan uang banyak untuk pengobatan ayahmu." Rebecca memasang wajah sedih, "Seandainy
Dalam perjalanan Kensky dan Dean saling diam. Namun di balik sikap diam mereka, tersirat hati yang menggebu-gebu untuk meluapkan kerinduan. "Kenapa dia diam saja. Pegang tanganku, kek," kata Kensky dalam hati. Ia kesal karena sejak tadi Dean tak mau mengacuhkannya. Namun tiba-tiba ide gila muncul dalam benaknya. Buk! Ia menjatuhkan tas tangannya dan itu sengaja ia lakukan untuk menarik perhatian Dean. Dengan pelan ia menunduk untuk mengambil tas itu, tapi sabuk pengaman yang melingkar di tubuh membuatnya terhalang. "Biar aku saja," kata Dean. Dalam hati Kensky tersenyum lebar. Rencananya untuk menarik perhatian Dean pun akhirnya berhasil. Dean menyeringai tajam. Dengan cepat ia menepikan mobil untuk berhenti. Ia lalu melepaskan sabuk pengaman, menunduk, kemudian meraih tas tangan yang kini berada di kaki Kensky. Pria itu tahu kalau Kensky sengaja