Setelah sarapan Dean mengajak Kensky untuk berbelanja. "Jadi hari ini kita belum langsung ke kantor?" tanya Kensky saat Dean mengumumkan kabar itu.
Mereka sekarang masih di posisi yang sama; duduk berdampingan dengan sebelah tangan saling bergenggaman.
"Hari ini mereka akan menyiapkan kedatanganku. Jadi kita masih punya waktu bersenang-senang sebelum besok disibukkan dengan pekerjaan."
"Baiklah, kalau begitu aku mandi dulu." Kensky hendak pergi, tapi Dean menahannya, "Ada apa?"
"Kau tidak ingin aku mandikan?"
Wajah Kensky bersemu merah. "Aku malu."
Dean tertawa. "Apa yang membuatmu malu? Bukannya kita sudah saling melihat satu sama lain?"
Kensky kembali duduk. "Itu beda, Dean."
"Tidak ada yang beda, Sky. Ayo, daripada kita saling berdebat, lebih baik kita mandi." Dean menggendong tubuh Kensky layaknya
Wow, beraninya Rebecca mengancam Bernar. Wah, bakal perang, nih. Oh, iya, makasih ya buat Kak Sitty Fatimah yg udh ngasih vote yg bnyak. Makasih juga buat KK2 yg udh kasih vote dan yg bru bergabung. Jgn lp untuk terus ikutin MC, ya. Karena nanti akan ada plot twist buat kalian semua. Hehehe.
Matt menunduk hormat, kemudian langsung melaksanakan perintahnya. Sementara Dean dengan emosi meluap-luap menatap ke arah lain. "Kau sudah salah mengancamku, Rebecca. Kita lihat saja siapa yang akan di penjara." Di sisi lain. "Bagaimana, apa kata Bernar?" tanya Soraya. Saat ini ia dan Rebecca sedang sarapan pagi berdua. "Sepertinya dia akan menghindar, tapi kau tenang saja. Dia tidak akan berani menginkar janjinya pada Mama. Oh, iya, apa kau punya kontak Kensky yang bisa dihubungi." Soraya menggeleng. "Tidak ada. Kenapa?" "Mama sudah membuat jadwal pertemuannya dengan Dr. Harvey minggu depan. Mama akan berbohong, memberitahukan bahwa ayahnya sekarat, agar dia bisa ke sini untuk menghadiri pertemuan pertama bersama Dr. Harvey." "Akan kucoba cari. Mungkin aku bisa mengirim email padanya." Rebecca girang. "Ya, ampun, Sayang, te
Setelah melihat Rebecca tenang, kepala kepolisian itu kembali mengambil alih. "Jadi bagaiamana, apa kami bisa bertemu dengan suami Anda, Mrs. Oxley." Rebeccan terperanjat. Ia tidak mungkin berkata jujur bahwa suaminya hilang dan dibawa oleh pria-pria berjas yang tidak dikenalinya. Jika dia mengatakan itu, sudah pasti dirinya akan disalahkan karena membiarkan suaminya hilang. Bahkan bisa saja mereka akan menuduhnya sebagai otak di balik penculikan suaminya. Padahal dia sendiri pun tidak tahu keberadaan Eduardus sampai sekarang. Mau tidak mau Rebecca harus berbohong. Dengan jantung yang masih berdetak cepat ia menatap si kepala kepolisian itu. "Suamiku sedang berada di sebuah desa kecil. Dia sedang melakukan terapi penyembuhan." "Bisa kami tahu penyakit apa yang dideritanya?" Rebecca memasang wajah sedih. "Aku tidak tahu, Pak. Tapi sejak penyakit itu menyerangnya, semua persendiannya sulit dige
"Gawat, aku harus bagaimana ini?" Rebecca mondar-mandir di ruang tamu tanpa memperdulikan dapurnya yang berantakan. Beberapa menit yang lalu kedua polisi itu kembali setelah mengantarnya pulang. Dan sekarang dengan jantung berdetak ia tak bisa berpikir apa-apa. "Mereka pasti akan menuduhku menyembunyikan Eduardus," rengeknya, "Tidak! Aku tidak menyembunyikannya. Aku bahkan tidak tahu di mana dia berada!" Rebecca semakin frustasi. "Eduardus, di mana kamu sekarang?" Dia terus mondar-mandir sambil berpikir, "Bernar! Aku harus meminta bantuannya," katanya begitu nama pria itu muncul dalam ingatannya. Dengan cepat ia meraih ponsel dan menghubungi pria itu. "Aku tidak mau di penjara. Bernar harus membantuku," katanya seraya menempelkan ponsel di telinga. "Ada apa?" Rebecca tersentak saat suara berat pria di balik telepon menyapanya. "Bernar, kumohon ban
Kensky ternganga sambil menatap Dean. Tapi sikap diamnya itu bukan karena terkejut dengan apa yang barusan keluar dari mulut Dean, melainkan rasa tidak percaya karena pria itu mau membongkar jati dirinya yang sebenarnya. Meskipun sudah tahu dari Mrs. Stewart, Kensky tidak ingin menunjukan pada Dean bahwa dia sebenarnya tahu. "Apa yang membuatmu berkata begitu?" Dean tak melepaskan tangan Kensky. "Aku serius. Aku bukanlah anak kandung mereka. Aku hanya anak angkat yang mereka adopsi saat usiaku delapan tahun." Hati Kensky merasa kasihan. Dan walaupun Dean belum menceritakan kenapa sampai dia diadopsi oleh keluarga Stewart, justru ia sudah bisa merasakan bagaimana kehidupan Dean saat itu. Dia bisa merasakan bagaimana hidup tanpa orang tua, karena di usia yang hampir sama, Kensky juga pernah merasakan bagaimana kehilangan orang tua. Meskipun saat itu sang ayah masih hidup sampai sekarang, tapi sikap Eduardus terhadapn
Kensky tersentak. "Apa ibumu meninggal?" Dean menunduk menatap Kensky. "Ya." Flashback On: Saat fajar menanti, Dean tebangun akibat suara sentakan kasar dari pemilik toko. Mereka diusir dan Dean bingung akan membawa ibunya ke mana, sementara kondisi ibunya semakin parah. Dean dengan penuh ketakutan terpaksa meminta tolong siapa saja yang ada di sana untuk menampung mereka, namun karena kondisi mereka seperti itu__ kotor akibat debu lantai__ membuat orang-orang tidak mau membantunya. Dean ingin membeli obat untuk ibunya, tapi tidak punya uang sementara dirinya juga lapar. Dia mengemis-ngemis pada orang yang lewat, tapi tidak ada satupun orang yang memeberikan uang padanya. Bahkan ada yang mendorongnya hingga jatuh karena tidak mau didekati. "Bu?" "Hmm," erangnya dengan mata yang masih terpejam. Badannya menggigil.
Kensky memeluknya. "Berarti kau memang sudah ditakdirkan untuk hidup bahagia selamanya." Dean balas memeluknya. "Hidupku akan lebih bahagia jika sudah memilikimu seutuhnya." Kensky mendongak menatap Dean. "Aku mencintaimu." Pria itu memunduk kemudian melumat bibir Kensky. Mereka berciuman. Ciuman yang panas dan membawa mereka ke atas ranjang. Dean perlahan melepaskan gaun tidurnya, sementara Kensky dengan penuh cinta menatap pria itu dengan mata sayu akibat gairah yang bergolak. "Kau mencintaiku?" tanya Kensky. "Sangat. Aku sangat mencintaimu." Kensky mengalungkan kedua tangan di lehernya. "Kalau kau mencintaiku, apa kau akan menuruti semua kemauanku?" Dean mengecup dahinya. "Apapun. Apapun itu akan kuberikan. Aku bahkan rela mati jika itu yang kau inginkan." Wanita itu tertawa. "Aku tidak ingin kamu mati, kalau kau mati aku juga bisa mati. Aku hanya ingin satu hal darimu malam ini." Dean menunduk untuk menjilat
Rebecca tak bisa berkata apa-apa. Keputusan Soraya sudah bulat dan itu artinya gadis itu rela melakukan apa saja demi mendapatkan Dean. "Soraya, kau tenang dulu. Nanti kalau Bernar sudah pulang dari Jerman, biar Mama yang akan bicara padanya." Soraya menatapnya. "Selama ini aku lihat Mama tidak ada pergerakan sama sekali. Mama terlalu takut pada Bernar, padahal bukti semuanya ada pada Mama. Harusnya Mama bisa mengambil keputusan sendiri dengan memanfaatkan semua bukti-bukti yang ada, bukannya ingin bertemu dan mendiskusikannya dengan dia. Buang-buang waktu itu namanya." Rebecca tersinggung. "Apa maksudmu, Soraya?" "Mulai sekarang urusan pernikahan adalah urusanku. Biar aku yang akan mencari cara bagaimana dia mau menikahiku. Mama urus saja urusan Mama sendiri." Soraya berlalu dan meninggalkan Rebecca sendiri di ruang makan. "Soraya! Soraya!" *** B
Kensky segera memutuskan panggilan. Tak ingin menunda waktu lagi karena memikirkan kondisi sang ayah, Kensky segera mencari kontak Dean dan menghubunginya. Dengan posisi yang masih sama ia menatap dinding sambil menunggu panggilannya terhubung. "Halo, Sayang?" sapa Dean dari balik telepon. Kensky tersenyum sayang. "Apa kabar? Apa aku mengganggumu?" "Kabarku buruk." Ekspresi Kensky mendadak berubah. "Kenapa, Sayang? Apa ada masalah di kantor?" Terdengar Dean tertawa. "Aku merindukanmu." Kensky mengendus. "Aku pikir kenapa." "Kamu sendiri sedang apa? Apa kau merindukanku?" "Aku sangat merindukanmu. Hari-hariku rasanya berat tanpamu, Dean." "Kalau begitu besok aku ke sana saja, bagaimana?" Kensky terkejut. "Jangan, Dean. Tidak usah. Justru aku yang mungkin akan ke sana." "Kau tidak perlu ke sini, Sayang. Biar aku saja yang ke sana." "Tidak, Dean. Aku ingin minta ijin padamu beberapa