Share

Mémoire
Mémoire
Author: Bass Ind

1. Kutukan

        Sèanne membulatkan matanya tak percaya, air matanya luruh tanpa bisa dibendung lagi.

Diduga batal bertunangan, Liam Mcgregory berkencan dengan Kayla Hwang.

Apa kata berita itu? Batal bertunangan? Yang benar saja, apa-apaan juga foto Liam dan seorang wanita asing yang belum pernah sèanne lihat itu. Sejak tiga hari terakhir Sèanne sibuk dengan banyaknya aktifitas dan pulang dalam keadaan lelah, tapi tak sekalipun dia melupakan Liam, hanya saja mereka sekedar saling mengirim pesan tanpa panggilan video seperti biasanya. Sèanne menghapus air matanya kasar, tak ingin kejadian salah faham di masa lalu terulang kembali. Dia langsung menekan panggilan pada Liam, dering telepon ketiga panggilan tersambung.

"Halo?" Sèanne merasakan hawa dingin merambati tulang belakangnya,  seketika berita itu kembali memenuhi kepalanya.

"A-ah, ini siapa? Kenapa mengangkat teleponnya? Liam kemana?" Hening sebentar di seberang sana, Sèanne menggigiti kukunya dengan cemas.

"Aku Kayla, Liam sedang tidur sekarang. Aku tak mau mengganggu karena dia kelelahan makanya aku mengangkat teleponnya. Ada perlu apa? Aku akan menyampaikannya saat dia bangun," Sèanne merasakan matanya kembali memanas, suara lembut wanita di seberang telepon ini seolah membenarkan berita yang baru saja dilihatnya. Belum lagi saat wanita itu mengatakan bahwa Liam tertidur karena kelelahan, seolah ingin memberitahu bahwa dialah yang membuat Liam lelah.

"Tidak." Sèanne memutuskan sepihak sambungan teleponnya, dia menutup mulutnya yang mulai terisak dalam tangisan pilu. Apa salahnya sekarang? Kenapa Liam berbuat seperti itu kepadanya? Apa Liam bersenang-senang melihatnya sakit hati seperti ini? Liam  sengaja membiarkan perempuan itu mengangkat teleponnya? Apa Liam tidak memikirkan perasaannya? Lalu apa maksud Liam mengejarnya jika hanya berakhir seperti ini?

*

Liam meletakkan ponselnya di depan telinga mendengarkan Sharon yang membacakan laporan sahamnya. "Baik, aku paham sekarang. Aku akan segera menyusulmu ke London bersama dengan Ben" Liam bersiap memutuskan sambungan teleponnya sepihak sebelum Sharon mencegahnya.

"Liam, jangan matikan teleponnya," Sharon segera mencegah sebelum Liam benar-benar memutuskan sambungan, Liam kembali menempelkan ponselnya ke telinga.

"Ada apa beruang?" Liam memang suka memanggil Sharon dengan sebutan itu, apalagi jika dia sedang berjauhan seperti sekarang.

"Apa Kayla masih bersamamu?" Liam tersenyum tipis mendengarnya, mendengar Sharon menanyakan Kayla yang terlelap di atas sofa ruang tengah apartemennya. Liam memutar tubuhnya dan mendapati pemandangan lucu Kayla yang sebelah kakinya terjuntai ke bawah sedangkan dia berbaring miring.

"Ya, dia masih bersama denganku." Liam menjawab mantap.

Sharon melirihkan kalimatnya. "Ku harap kau menjaganya dengan baik, aku tahu kau lebih sanggup menjaganya sekalipun aku tak bisa membantumu." Senyuman Liam mengembang mendengar harapan Sharon.

Liam terkekeh mendengar nada serius gadis itu. “Aku akan menjagannya semampuku, jangan khawatirkan itu.”

"Bagus." Sharon terdengar lebih lega sebelum mengakhiri panggilan mereka, Liam hanya menatap ponselnya dengan keteguhan hati yang bulat untuk menjaga Kayla.

Liam menggendong Kayla ke dalam kamar dan membaringkannya hati-hati, tapi Kayla yang merasa terusik justru membuka matanya menatap Liam heran."Jam berapa sekarang?" 

"Jam sembilan." Liam sekilas melirik arloji yang dia kenakan, mungkin jika dalam kondisi normal dia sudah ada di ruangannya menatap kertas-kertas yang jumlahnya membuat mual.

Kayla membulatkan matanya kaget. "Yak!!! Aku ada wawancara jam sepuluh, bodoh kenapa kau tak membangunkanku?"

Kayla berlari ke dalam kamar mandi sementara Liam menggelengkan kepalanya tak mengerti, harusnya yang marah Liam urusan kantornya tertunda karena menunggui Kayla tidur.

*

"Daddy, Aku ingin pertunanganku dan Liam di batalkan." Masson tersentak kaget melihat anak bungsunya sudah berdiri menjulang di depan meja kerjanya tiba-tiba.

Dia sama sekali tak mendengar derit pintu ataupun langkah kaki putrinya, mungkin karena terlalu fokus pada laporan bulanan yang baru saja dikirimkan sekretarisnya.

Mason mencerna ucapan anaknya, sebelum menarik napas pelan. ”Kenapa? Apa karena berita itu? Jangan terburu-buru sayang, tanya dulu pada Liam. Dengarkan penjelasan Liam, bisa jadi ini hanya kesalahpahaman.”

Sèanne menggeleng tegas. Dia sekuat tenaga menahan agar air matanya tak mencuat keluar di depan ayahnya. "Perempuan itu yang mengangkat telepon Liam dan mengatakan Liam sedang tidur, tidak kah itu membuktikan mereka dalam satu ranjang?"

"Tidak akan ada yang membatalkan pertunangan kecuali kau sudah bicara dengan Liam!" Jika putrinya bisa keras kepala maka Mason lebih dari bisa bertindak sama. Sèanne menahan amarahnya dan berlalu pergi sebelum dia meledak di depan ayahnya. Dia kesal karena ayahnya terus membela pria itu tanpa mau tahu tentang perasaannya.

Seketika amarah kembali menguasai dirinya karena Liam. Dia menggertakkan rahangnya kuat menahan api yang terlanjur berkobar di hatinya.

Aku harap kau mati Liam, agar aku tak merasakan sakit hati melihatmu bersama gadis lain.

Sèanne memejamkan matanya membiarkan air mata mengalir deras mengiringinya yang memacu mobilnya keluar dari kawasan kantor sang ayah. Dia masih tak menyangka setelah perjuangan mereka yang bertahun-tahun hanya ini akhir dari kisah cinta mereka, pengkhianatan adalah hal terakhir yang ingin dia temui dalam hubungannya bersama Liam.

*

Sèanne berkutat dengan gitarnya berusaha menghilangkan rasa sakit di hatinya yang siap merobek jiwanya kapan saja, dia mengambil pulpen dan mulai menulis di sana.

Sebuah lirik lagu tentang perasaan Sèanne yang selalu mengingkan Liam mengingatnya meski jarak mereka membuat keduanya tak bisa berdampingan, segalanya terasa sia-sia sejak berita tentang Liam mencuat. Dia bukan tak berusaha mencari jawaban pada sang kekasih, namun Liam seolah sengaja mengganti nomor telepon hingga Sèanne kesulitan menghubunginya. Dia terbangun di pagi hari dan membencinya, ketika matanya terbuka untuk pertama kali justru pikirannya melayang pada Pria tampan yang menggores hatinya.

Sèanne mendesah lemah, akhirnya dia harus menghadapi ini semua. Sèanne hanya berusaha menjadi satu-satunya dalam hidup Liam, tapi tampaknya Liam menganggap mereka sudah cukup atau justru tidak cukup? Kenapa Liam harus datang dan memberinya pengalaman pahit ini?

Mata Sèanne memerah dan butiran air mata mulai berjatuhan membasahi pipinya tanpa bisa dia cegah. Dia menangis sendirian mengingat kembali tentang rasa sakit hatinya pada Liam. Entah kenapa Liam sanggup membuat Sèanne menyerahkan seluruh hatinya yang sekarang malah mati rasa, sanggupkah Liam merasakan hatinya yang sakit saat ini? Bisakah? Tak ayal Sèanne benci ada seseorang yang lain di samping Liam selain dirinya. Dia mengutuk Liam habis-habisan dan akan menganggap Liam mati bersama cintanya, Sèanne meletakkan gitarnya dan terduduk di lantai, semua perasaannya dia tumpahkan dalam lagu itu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
menarik nih ceritanya.. pengen follow akun sosmed nya tp ga ketemu :( boleh kasih tau gaa?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status