Share

lima 7

Author: ananda zhia
last update Last Updated: 2024-06-04 16:54:24

"Hah, saya menyesal telah menyetujui pernikahan Adelia denganmu! Seharus nya kamu ini dilaporkan ke polisi karena menelantarkan anak saya! Gaji kamu seperti nya lebih dari cukup jika kamu berikan pada anak saya untuk uang nafkah!" ujar Wati emosi membuat Wahyudi dan Ambar berpandangan.

"Eh, bu Wati! Dulu itu saat saya baru menikah dengan almarhum bapaknya Wahyudi, semua cukup-cukup saja tuh! Uang lima ribu bisa makan enak dengan kenyang.

Bahkan sampai saya sampai punya anak pun saya dan anak-anak bisa makan puas tanpa kelaparan! Saya bahkan rajin nanem-nanem singkong, tomat, lombok dan pisang, beberapa tanaman juga saya rawat sehingga bisa dimasak. Saya juga miara ayam, kambing dan sapi buat bantu perekonomian keluarga.

Dasar Adelia nya saja yang malas. Dia mana pernah kepikiran untuk berhemat dan menabung untuk masa depan anak-anak nya kelak! Bisanya memboroskan uang suaminya. Jadi perempuan itu harusnya bisa membantu suami cari duit!" ucap Ambar berapi-api.

Sanusi dan Wati yang hendak menanggapi ucapan Ambar terlambat, mereka melongo saat seorang emak - emak tetangga yang diundang sebagai saksi kasus keluarga mereka menyambar dengan kata-kata pedas.

"Aduh, pantas saja serti fikat rumah kamu dijaminkan kepada rentenir, kalau saya atau anak saya yang ada di posisi mbak Adel, sudah saya gadaikan suami seperti kamu!"

"Iya nih. Aneh banget. Perumpamaan nya jaman dulu dengan jaman sekarang kan jelas beda. Dulu harga bahan makanan masih murah. Sekarang melonjak, cabe aja sekilo sembilan puluh ribu. Ngadi-ngadi nih si ibu."

"Belum lagi nanem-nanem kan bisanya di desa. Kalau di kota, haduh, jangan kan nanem-nanem, punya halaman agak lebar aja buat parkir mobil sudah untung, kasihan banget mbak Adel. Mau-maunya sih menikah dengan orang pelit, medit, claper bin ndaimen!" omel warga yang lain memojokkan keluarga Wahyudi.

"Iya, perhitungan sekali! Kalau aku jadi pak Sanusi dan bu Wati, mungkin sudah kusuruh pisah. Hidup sekali jangan mau lah menderita!"

Gumaman-gumaman warga terdengar memenuhi ruang tamu rumah Sanusi, membuat Wahyudi hanya bisa menelan ludah dengan susah payah.

Laki-laki itu berpandangan dengan ibunya.

"Ck, pokok nya saya enggak mau tahu. Saya minta ganti rugi atas serti fikat rumah Wahyudi yang digadaikan oleh Adelia!" ujar Ambar berang.

"Nggak bisa, Bu! Yang salah itu anak Ibu. Masih beruntung mbak Adel nggak de presi mempunyai suami bakhil!"

"Eh, tetangga nggak usah ikut campur masalah keluarga kami! Kalian kan cuma orang luar!"

"Eh, ibu lupa ya kalau ibu tadi yang ngeyel untuk mengajak tetangga masuk sebagai saksi?" sahut seorang warga.

Ambar terdiam.

"Saya mau lapor polisi. Ini namanya pencurian!"

"Laporkan saja, Bu! Polisinya akan tertawa saat tahu kalau mbak Adelia cuma dinafkahi 5000 sehari!" sahut Wati akhirnya.

Mendadak Wahyudi berbisik ke telinga Ambar. "Bu, kita nggak bisa lapor polisi. Karena rentern*r itu punya surat kuasa yang telah kutandatangani diatas materai untuk menja minkan serti fikat rumah saat Adelia memin jam uang."

Ambar tercengang mendengar kata-kata Wahyudi. Dia melotot ke arah anaknya. "Kamu kok enggak cerita sih pada ibu?!"

"Aku lupa, Bu!" bisik Wahyudi.

Ambar berdiri menatap satu persatu orang yang ada di sana, lalu menoleh ke arah Wahyudi dan Wawan yang duduk terdiam.

"Ya sudah. Kami pulang dulu. Ck, rugi banget menikahkan anak saya dengan anak kamu!" ujar Ambar kesal lalu segera keluar dari rumah Sanusi tanpa menoleh ke belakang lagi.

***

"Sekarang kamu punya sim panan berapa?" tanya Ambar pada Wahyudi setelah dia dan kedua anaknya sampai di rumah Wahyudi.

"Hm, lima juta, Buk. Tapi... "

"Sini ibu bawa tiga juta dulu untuk menambah biaya adik kamu lamaran!"

"Wah, jangan dong, Bu! Bukannya ibu selama ini mengkoleksi emas perhiasan dari uang yang kukirimkan? Apalagi ibu sebenar nya punya toko sembako kan di pasar? Kenapa masih minjam aku sih? Seharus nya ibu yang meminjamkan aku uang agar rumah ini bisa bebas dari rent*rnir?"

Ambar mendelik mendengar kan kata-kata anaknya.

"Ck, emas perhiasan yang ibu punya itu untuk acara lamaran dan pernikahan adik kamu! Mau ditaruh dimana muka ibu kalau orang yang punya hajatan nggak makai perhiasan! Bisa jadi omongan orang, ah!"

Wahyudi memeluk kaki ibunya. "Ayoklah, Bu. Dua puluh lima juta aja sampai bulan depan. Mulai besok aku akan rajin ambil lemburan di pabrik. Kalau perlu, aku akan ngojol sepulang kerja untuk nyicil perhiasan mami dan ngasih uang ke mami juga. Yudi mohon, Ma," ujar Wahyudi memelas.

Wawan yang tidak tega menatap kakaknya memelas seperti itu akhirnya buka suara.

"Buk, lamaran ku sederhana saja. Secukupnya uang tabungan aku. Ibu nggak usah bantu lamaranku, bantu mas Yudi saja. Nanti untuk resepsi, bisa kuambil dari uang mobil. Aku bisa menunda punya mobil. Yang penting punya rumah dulu," sahut Wawan.

Ibunya menghela napas panjang.

"Ya sudah. Ibu transfer dua puluh lima juta sekarang," ujar Ambar lalu mengotak-atik ponsel nya.

Tak lama kemudian, Ambar menatap ke arah Wahyudi.

"Sudah ibu transfer. Usahakan kamu ambil kembali serti fikat rumah ini. Ibu nggak mau ke depannya ada masalah lagi," ujar Ambar.

Wahyudi berdiri dan memeluk ibunya. "Terima kasih, Ibu! Ibu sangat membantu masa depanku!" ujar Wahyudi swraya tersenyum lebar.

"Ya sudah, ibu pulang dulu. Lalu tentang perceraian kamu, kamu terlalu ceroboh sehingga bisa dikadalin Adelia. Lebih baik, kamu nggak usah datang di acara mediasi. Lepaskan aja lah Adelia! Percuma cantik kalau nggak mau diajak hemat, ga bisa diajak nabung, dan nggak bisa dididik agar menghormati mertua!" ujar Ambar serius.

"Tapi Wahyudi masih cinta banget sama Adelia, Bu."

"Ck, makan tuh cinta! Udah deh! Jangan nyari cewek cantik, cari yang biasa! Yang bisa diajak hemat, berbakti pada mertua, dan bisa nanem-nanem!" sergah Ambar sebelum benar-benar pergi dari rumah Wahyudi.

***

Wahyudi menghela napas panjang. Dia sudah lega karena menemukan solusi untuk empat bulan ke depan tentang rumah nya. Tanpa terasa perutnya berkeruyuk lapar. Dia melirik jam bulat yang menempel di tembok ruang tengah, ternyata sudah jam sembilan malam lebih lima belas menit.

Setelah Wahyudi menutup pintu depan dan menarik sl*t pagar, dia melajukan motornya keluar rumah mencari warung penyetan.

Baru saja Wahyudi memarkirkan motor nya di pinggir jalan dekat warung, saat dia melihat sosok Adelia melintas keluar dari warung.

"Astaga! Adelia!" seru Wahyudi.

Next?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • NAFKAH LIMA RIBU   bab 44 (tamat)

    "Halo, selamat sore. Ini dari kepolisian. Pemilik ponsel ini ditahan atas laporan para korban investasi bodong. Kalau bapak merasa menjadi salah satu korbannya, silakan datang ke kantor polisi untuk memberikan kesaksiannya besok," ujar suara seberang membuat Wahyudi merasa lemas seketika."Astaga, tidak mungkin kalau teman saya menipu saya! Bapak pasti bercanda kan?! Mana teman saya? Saya ingin memastikan kalau dia sedang becanda dengan saya," ujar Wahyudi berusaha untuk tidak panik, walaupun di dalam hatinya, dia merasakan cemas bukan main. "Saya sedang tidak bercanda. Jika bapak tidak percaya, silakan datang ke kantor polisi sekarang," ujar suara dari seberang membuat Wahyudi hanya bisa menelan ludah dan menghela napas berat. ***"Aku ditipu, Bu. Aku ditipu teman ku. Uang dari pemkab habis semuanya. Aku harus bagaimana, Bu?" tanya Wahyudi panik setelah pulang dari kantor polisi. "Kamu sih, Mas, nggak bisa hati-hati kalau investasi, sekarang jadinya harus seperti ini kan?" sahut W

  • NAFKAH LIMA RIBU   bab 43

    Suasana pantai yang indah dengan deburan ombak saat matahari tenggelem membuat suasana semakin indah. Angin semilir memainkan rambut Adelia hingga mengembang bergelombang semakin indah. Roni mengajak Adelia ke pantai dan melihat ke arah laut lepas. Mereka duduk di warung sea food pinggir pantai. Adelia menatap ke arah lautan dengan senyum terkembang. "Kamu senang dengan pantai kan?” tebak Roni. Adelia mengangguk. " Iya, senang banget. Biasanya kalau liburan sekolah, aku dan keluarga jalan-jalan ke pantai. Hm, darimana kamu tahu soal itu, Mas?" tanya Adelia penasaran. Roni tersenyum penuh misteri. "Sebenarnya aku juga mendekati bapak dan ibu kamu. Aku sering menyapa beliau dan menanyakan makanan dan tempat favorit," sahut Roni serius. Tapi Adelia mendelik. "Apa? Kamu serius, Mas? Bapak dan ibuku termasuk orang tua yang kaku dan susah didekati lho." Roni tersenyum. "Bukti nya aku mendapatkan informasi tentang pantai dan seafood dari bapak dan ibu kamu. Rasanya aku menemukan kedua

  • NAFKAH LIMA RIBU   bab 42

    "Dasar pelakor! VAlakor kamu ya! Gatel! Kamu telah selingkuh dengan suami saya kan?! Dan sekarang kamu hamil dengan suami saya. Saya tidak terima!! Huh, sialan! Pelakor kurang ajar! Akan ku seret kamu ke kantor polisi!" seru perempuan bertubuh subur itu dan di samping perempuan itu tampaklah Jarot dengan wajah pucat dan tangan gemeteran berusaha melerai istrinya dan Wina yang saling menjambak dengan kencang. "Astaga! Apa tadi kata istri pak Jarot?!" desis Wahyudi dengan suara parau. Dia ingin melangkah maju ke arah istrinya, tapi kesulitan karena ada beberapa orang di depannya termasuk kedua satpam yang berjalan lebih dulu yang segera melerai Wina dan istri Jarot. "Jangan membuat keributan di sini! Kalau ada masalah pribadi, selesai kan saja di luar," ujar salah seorang satpam seraya berusaha melepaskan cengkeraman tangan istri Jarot dari rambut Wina. "Nggak bisa begitu, Pak! Ini urusan kami bertiga! Bapak jangan ikut campur! Jalang ini sudah berselingkuh dengan suami saya!" seru i

  • NAFKAH LIMA RIBU   bab 41

    Beberapa saat sebelumnya, Wahyudi memastikan bahwa tidak ada satupun CCTV yang terpasang di kafe ini. Setelah membulatkan tekad, dia memutuskan untuk menjalankan rencana jahatnya. "Awas saja kamu, Del! Aku tidak akan tinggal diam melihat kamu hidup dengan bahagia, sementara aku dan ibuku hidup menderita. Aku akan membuat usaha kamu bangkrut dan rugi, Del!" gumam Wahyudi lirih. Dia lalu mencabut tiga helai rambut dan menggigit kukunya lalu memasukkannya ke dalam mangkuk. Selanjutnya dia berteriak sambil berseru jijik. "Astaga! Pelayan! Pelayan! Apa-apaan ini! Kenapa jorok sekali makanan di sini!" Beberapa pelanggan menatap dengan penuh tanda tanya pada Wahyudi. Sementara itu Wahyudi tampak semakin merasa marah karena tidak ada pelayan yang mendatangi nya dan dia merasa tidak dipedulikan. "Woi! Pembeli adalah raja! Awas ya kalian! Karyawan dan pemilik kafe di sini akan ku viralkan! Saya mau protes! Saya tidak terima dengan pelayanan kafe ini!" ujar Wahyudi dengan nada tinggi. Suar

  • NAFKAH LIMA RIBU   bab 40

    Ambar menjerang air di dalam panci kecil. Lalu setelah mendidih, dia memasukkan mie nya kedalam panci. Saat dia meraih sendok sayur untuk mengaduk mie di dalam panci, Ambar merasa kepalanya pusing sekali. Dan dalam waktu cepat, pandangan mata nya juga menggelap. Akhirnya tubuh Ambar jatuh berdebum di lantai dapur meninggalkan kompor yang masih menyala. Kompor yang menyala secara terus menerus menghanguskan kan air dan mie yang ada di dalam panci kecil dan bahkan menyambar lap dapur yang ada di samping nya. Tak perlu menunggu lama, api yang telah melahap lap dapur, menyambar dinding dan sekitarnya. Lidah api sudah mencapai tabung LPG, tapi Ambar masih belum tersadar dari pingsan nya. Seketika tabung gas LPG meledak dan menyambar seluruh dinding dan pintu dapur yang menghubungkan dengan halaman belakang rumah Wahyudi. Roni yang rumahnya hanya berjarak lima ratus meter dari rumah Wahyudi, dan saat itu baru saja pulang dari menemui Adelia terkejut saat melewati jalan setapak di belaka

  • NAFKAH LIMA RIBU   bab 39

    "Oh, jadi selama ini kamu bersekongkol dengan orang ini untuk berpura-pura menjadi debt colector dan menipu anak saya?!" Sebuah suara keras yang mendadak terdengar dari arah belakang membuat Adelia dan Agus terkejut. Tampak Ambar dengan berkacak pinggang melotot pada mantan menantunya itu. Adelia menoleh ke arah mertuanya dan tersenyum lebar. "Hai, Bu Ambar! Apa kabarnya? Rukonya sudah laku," ujar Adelia tenang. Ambar semakin keki dan kesal. Dia maju beberapa langkah dan langsung mengayunkan tangannya ke arah Adelia. "Kamu ya? Benar-benar parasit!" teriak Ambar.Tangan Roni hampir menangkap tangan Ambar, tapi rupanya Adelia sudah lebih dulu menangkap tangan mertua nya. Dikibaskannya tangan Ambar perlahan. "Tenang, Bu Ambar. Apa ibu tahu jika penganiayaan bisa dipenjarakan? Apa ibu mau terus menerus membayar kerugian yang saya alami akibat perbuatan ibu dan anak ibu sampai uang ibu habis?" tanya Adelia tenang. Ambar hanya bisa mendelik dan mengepal kan tangan tanpa menyentuh Ade

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status