Share

lima 6

Penulis: ananda zhia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-05-20 03:59:20

Wahyudi seketika mendelik mendegar kata-kata sang adik.

"Aduh, Gusti! Cobaan apa lagi ini?"

Wahyudi segera berdiri dari posisi berbaringnya di kursi. Dia nyaris terjatuh tersandung kaki meja saat kepalanya terasa mendadak pusing.

"Astaga! Ada apa sih?! Jangan-jangan kolesterol atau tekanan darah ku naik karena selama ini aku jarang banget nakan sayur. Hanya awal menikah dulu saja. Setelah empat bulan menikah, Adelia mulai masak yang enak-enak. Dan sembilan bulan pernikahan ini, dia minggat begitu saja. Tanpa pesan pula," gumam Wahyudi duduk di lantai dengan duduk di kursi sofa ruang tamunya.

"Hah! Adelia bikin stres aja. Belum lagi ibu ini, kenapa justru cari ribut dengan pak Sanusi sih? Padahal ibu tahu kalau bapaknya Adelia itu kayak preman pasar. Tapi kok bisa-bisanya sih ibu cari keributan di sana. Gimana kalau bapaknya Adelia tahu aku memberikan nafkah lima ribu pada anaknya? Tapi, aku kan cuma ngajari Adelia agar berhemat agar kami bisa mulai menabung jika dia hamil?" gumam Wahyudi.

Laki-laki itu menghela napas panjang lalu berdiri perlahan dan berjalan ke arah pintu.

Mendadak ponsel nya berdering. "Astaga, kenapa Wawan menelepon lagi sih?" gerutu Wahyudi setelah dia melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Dengan segera, dia menerima panggilan telepon dari adiknya itu.

"Halo, Wan? Ada apa lagi sih?"

"Halo, Mas. Kamu lama amat sih nyampeknya? Aku kerepotan misahin ibu nih!"

"Heh, iya-iya. Aku mau otewe kerumah pak Sanusi. Tolong jaga mereka agar nggak ada baku hantam," pinta Wahyudi lagi.

Klik. Tak ada sahutan dari Wawan karena adiknya itu memutuskan sambungan telepon.

Wahyudi menutup pintunya dengan gusar. "Duh,bahaya enggak ya kalau aku meninggalkan rumah ini tanpa dikunci? Dulu biasanya saat aku keluar rumah, ada Adelia yang menunggu di rumah sehingga tidak perlu dikunci. Tapi sekarang, duh, gimana ya kalau nggak dikunci? Mana udah jam delapan malam," keluh Wahyudi lagi.

Laki-laki itu berpikir sejenak. "Ah, embuh, aku pasrah saja, yang penting sekarang aku harus memisahkan ibu dengan pak Sanusi daripada terjadi per ang du nia ketiga," gumam Wahyudi.

Lelaki itu lalu mengunci sl*t pagar yang agak macet lalu segera melajukan motor nya menuju ke rumah mertuanya.

"Nah, itu dia baru datang! Sumber dari segala sumber masalah kaburnya Adelia pasti kamu, Yud! Ngaku kamu! Kamu pasti berbuat ja hat pada Adelia! Kalau kamu tidak mendahului berbuat sesuatu yang salah, Adelia tidak akan minggat! Saya tahu siapa anak saya!" seru pak Sanusi seraya menunjuk ke arah Wahyudi.

"Heh, Pak! Jangan sembarangan kalau ngomong! Anak bapak itu yang tidak bisa dididik menjadi istri soleha! Anak saya itu sedang mengupayakan anak bapak agar bisa menabung sebagai persiapan hamil dan melahirkan. Eh, Adelia malah kabur. Gimana sih? Makanya pak, Bu, kalau punya anak, dididik yang benar dong! Jangan sampai membuat anak saya kesusahan!" omel Ambar.

"Hah? Apa ibu bilang? Siapa yang tidak bisa mendidik anak dengan benar?! Ibu atau saya?! Saya yakin kalau Wahyudi telah menyakiti hati anak saya!" sergah Wati, ibu Adelia dengan berang seraya menuding wajah Ambar yang berang.

Ambar mendelik dan nyaris menjambak rambut Wati. Di sebelah Ambar, Wawan berusaha menahan tangan Wati agar tidak terulur dan menarik rambut lawan bicaranya. Wahyudi segera turun dari motor dengan wajah memucat dan berusaha menghalau para tetangga yang berdiri di depan pintu rumah mereka. Bahkan beberapa di antaranya berkerumum di depan pintu gerbang.

"Bu! Bu! Sudah, Bu! Jangan membuat keributan. Kita bisa kan mencari mbak Adelia dengan hati-hati? Malu sama tetangga, Bu!" desis Wawan. Ambar mendelik.

"Kalau ibu tidak bertindak, kakak kamu bisa kehilangan rumah pemberian ibu karena digadai ipar kamu, Wan! Hal ini tidak dapat dibiarkan! Keluarga Adelia harus bertanggung jawab atas kejadian ini!" seru Ambar berapi-api.

"Bu Ambar!" seru pak Sanusi dengan tegas.

Ambar segera menatap ke arah Sanusi dengan berkacak pinggang.

"Ada apa?! Apa perkataan saya salah?" tanya Ambar.

"Kita selesai kan di dalam! Ada beberapa pertanyaan yang ingin saya tanyakan pada Wahyudi. Kalau memang Adelia yang salah, kami sebagai orang tua akan bertanggung jawab. Tapi sebaliknya, jika Wahyudi yang salah, saya minta kalian harus sportif dan bertanggung jawab juga! "

Ambar berpikir sejenak.

"Baiklah, saya berani! Wahyudi sini kamu, hari ini semua masalah kamu harus sudah clear!"

Ambar memanggil Wahyudi untuk mendekat. Anaknya menatap ke arah ibunya dengan ragu.

"Sekalian juga panggil pak RT atau warga biasa untuk menjadi saksi tentang siapa yang salah!" tantang Ambar.

Sanusi pun menuruti permintaan besannya dan setelah semua orang siap, semua orang duduk di kursi ruang tamu rumah Sanusi.

"Baiklah, saya ingin bertanya pada Wahyudi, langsung saja tanpa basa basi, pertama apakah kamu pernah melakukan KDRT secara fisik atau psikis pada anak saya?"

Wahyudi menatap ke arah mertuanya dengan tegas.

"Saya tidak pernah melakukan KDRT pada Adelia sedikit pun!"

"Tuh, kan benar! Anak saya ini tidak bersalah!" cetus Ambar dengan nada puas.

"Pertanyaan belom selesai, Bu!" ujar Sanusi. "Pertanyaan kedua, Wahyudi, apakah kamu pernah selingkuh?"

"Tidak pernah! Saya sangat setia pada istri saya!" tegas Wahyudi, membuat ibunya semakin bangga dan puas.

"Nah, kalian kini harus membayar ganti rugi rumah milik Wahyudi yang sertifikat nya diserahkan oleh Adelia pada rentern*!" seru Ambar menepuk dada.

Sanusi tetap tenang dan mengarahkan pandangan nya ke arah Wahyudi. Sedang kan Wati hanya melotot ke arah besannya.

"Pertanyaan ketiga, berapa nafkah yang kamu berikan pada anak saya?!"

Wajah Wahyudi seketika memucat. Tapi sebelum menjawab pertanyaan dari mertuanya, ibunya lebih dulu menukas, "Seratus ribu! Iya kan, Yud?!" tanya ibunya dengan mengedikkan sebelah matanya.

Wahyudi menatap ke arah ibunya lama. "E, e, itu... "

"Tunggu sebentar! Ada yang terlupa. Seharusnya saya melakukan nya sejak tadi."

Sanusi masuk ke dalam ruang tengah rumahnya dan saat keluar, dia sudah membawa kitab al-quran di tangannya.

"Bersumpah lah di atas Al-Qur'an dan membawa nama Allah jika ketiga jawaban kamu tadi benar!" instruksi Sanusi seraya menyerah kan Al-Qur'an pada menantunya.

Wahyudi menerimanya dengan kikuk.

"Jawab pertanyaan saya! Bukan hanya orang-orang di sini yang menjadi saksi. Tapi Allah juga. Berapa nafkah perhari atau perbulan yang telah kamu berikan pada anak pertama saya?!" tanya Sanusi sekali lagi.

Wahyudi menelan ludah dengan susah payah. Ambar mendadak menghela napas berat.

"Saya... Memberikan nafkah pada Adelia sejumlah lima ribu rupiah per hari," sahut Wahyudi dengan nada tercekat.

"Astaga! Kamu keterlaluan! Kamu tega sekali memberikan nafkah tak layak untuk anak saya! Untung anak saya tidak ma ti kelaparan!" seru Wati dengan segera mendekat ke arah Wahyudi dan dengan gerakan secepat kilat, ibu Adelia itu menam par pipi Wahyudi kanan dan kiri sekuat tenaga.

"Plaakk! Plakkk!"

"Hah, saya menyesal telah menyetujui pernikahan Adelia denganmu! Seharus nya kamu ini dilaporkan ke polisi karena menelantarkan anak saya! Gaji kamu seperti nya lebih dari cukup jika kamu berikan pada anak saya untuk uang nafkah!" ujar Wati emosi membuat Wahyudi dan Ambar berpandangan.

Next?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • NAFKAH LIMA RIBU   bab 44 (tamat)

    "Halo, selamat sore. Ini dari kepolisian. Pemilik ponsel ini ditahan atas laporan para korban investasi bodong. Kalau bapak merasa menjadi salah satu korbannya, silakan datang ke kantor polisi untuk memberikan kesaksiannya besok," ujar suara seberang membuat Wahyudi merasa lemas seketika."Astaga, tidak mungkin kalau teman saya menipu saya! Bapak pasti bercanda kan?! Mana teman saya? Saya ingin memastikan kalau dia sedang becanda dengan saya," ujar Wahyudi berusaha untuk tidak panik, walaupun di dalam hatinya, dia merasakan cemas bukan main. "Saya sedang tidak bercanda. Jika bapak tidak percaya, silakan datang ke kantor polisi sekarang," ujar suara dari seberang membuat Wahyudi hanya bisa menelan ludah dan menghela napas berat. ***"Aku ditipu, Bu. Aku ditipu teman ku. Uang dari pemkab habis semuanya. Aku harus bagaimana, Bu?" tanya Wahyudi panik setelah pulang dari kantor polisi. "Kamu sih, Mas, nggak bisa hati-hati kalau investasi, sekarang jadinya harus seperti ini kan?" sahut W

  • NAFKAH LIMA RIBU   bab 43

    Suasana pantai yang indah dengan deburan ombak saat matahari tenggelem membuat suasana semakin indah. Angin semilir memainkan rambut Adelia hingga mengembang bergelombang semakin indah. Roni mengajak Adelia ke pantai dan melihat ke arah laut lepas. Mereka duduk di warung sea food pinggir pantai. Adelia menatap ke arah lautan dengan senyum terkembang. "Kamu senang dengan pantai kan?” tebak Roni. Adelia mengangguk. " Iya, senang banget. Biasanya kalau liburan sekolah, aku dan keluarga jalan-jalan ke pantai. Hm, darimana kamu tahu soal itu, Mas?" tanya Adelia penasaran. Roni tersenyum penuh misteri. "Sebenarnya aku juga mendekati bapak dan ibu kamu. Aku sering menyapa beliau dan menanyakan makanan dan tempat favorit," sahut Roni serius. Tapi Adelia mendelik. "Apa? Kamu serius, Mas? Bapak dan ibuku termasuk orang tua yang kaku dan susah didekati lho." Roni tersenyum. "Bukti nya aku mendapatkan informasi tentang pantai dan seafood dari bapak dan ibu kamu. Rasanya aku menemukan kedua

  • NAFKAH LIMA RIBU   bab 42

    "Dasar pelakor! VAlakor kamu ya! Gatel! Kamu telah selingkuh dengan suami saya kan?! Dan sekarang kamu hamil dengan suami saya. Saya tidak terima!! Huh, sialan! Pelakor kurang ajar! Akan ku seret kamu ke kantor polisi!" seru perempuan bertubuh subur itu dan di samping perempuan itu tampaklah Jarot dengan wajah pucat dan tangan gemeteran berusaha melerai istrinya dan Wina yang saling menjambak dengan kencang. "Astaga! Apa tadi kata istri pak Jarot?!" desis Wahyudi dengan suara parau. Dia ingin melangkah maju ke arah istrinya, tapi kesulitan karena ada beberapa orang di depannya termasuk kedua satpam yang berjalan lebih dulu yang segera melerai Wina dan istri Jarot. "Jangan membuat keributan di sini! Kalau ada masalah pribadi, selesai kan saja di luar," ujar salah seorang satpam seraya berusaha melepaskan cengkeraman tangan istri Jarot dari rambut Wina. "Nggak bisa begitu, Pak! Ini urusan kami bertiga! Bapak jangan ikut campur! Jalang ini sudah berselingkuh dengan suami saya!" seru i

  • NAFKAH LIMA RIBU   bab 41

    Beberapa saat sebelumnya, Wahyudi memastikan bahwa tidak ada satupun CCTV yang terpasang di kafe ini. Setelah membulatkan tekad, dia memutuskan untuk menjalankan rencana jahatnya. "Awas saja kamu, Del! Aku tidak akan tinggal diam melihat kamu hidup dengan bahagia, sementara aku dan ibuku hidup menderita. Aku akan membuat usaha kamu bangkrut dan rugi, Del!" gumam Wahyudi lirih. Dia lalu mencabut tiga helai rambut dan menggigit kukunya lalu memasukkannya ke dalam mangkuk. Selanjutnya dia berteriak sambil berseru jijik. "Astaga! Pelayan! Pelayan! Apa-apaan ini! Kenapa jorok sekali makanan di sini!" Beberapa pelanggan menatap dengan penuh tanda tanya pada Wahyudi. Sementara itu Wahyudi tampak semakin merasa marah karena tidak ada pelayan yang mendatangi nya dan dia merasa tidak dipedulikan. "Woi! Pembeli adalah raja! Awas ya kalian! Karyawan dan pemilik kafe di sini akan ku viralkan! Saya mau protes! Saya tidak terima dengan pelayanan kafe ini!" ujar Wahyudi dengan nada tinggi. Suar

  • NAFKAH LIMA RIBU   bab 40

    Ambar menjerang air di dalam panci kecil. Lalu setelah mendidih, dia memasukkan mie nya kedalam panci. Saat dia meraih sendok sayur untuk mengaduk mie di dalam panci, Ambar merasa kepalanya pusing sekali. Dan dalam waktu cepat, pandangan mata nya juga menggelap. Akhirnya tubuh Ambar jatuh berdebum di lantai dapur meninggalkan kompor yang masih menyala. Kompor yang menyala secara terus menerus menghanguskan kan air dan mie yang ada di dalam panci kecil dan bahkan menyambar lap dapur yang ada di samping nya. Tak perlu menunggu lama, api yang telah melahap lap dapur, menyambar dinding dan sekitarnya. Lidah api sudah mencapai tabung LPG, tapi Ambar masih belum tersadar dari pingsan nya. Seketika tabung gas LPG meledak dan menyambar seluruh dinding dan pintu dapur yang menghubungkan dengan halaman belakang rumah Wahyudi. Roni yang rumahnya hanya berjarak lima ratus meter dari rumah Wahyudi, dan saat itu baru saja pulang dari menemui Adelia terkejut saat melewati jalan setapak di belaka

  • NAFKAH LIMA RIBU   bab 39

    "Oh, jadi selama ini kamu bersekongkol dengan orang ini untuk berpura-pura menjadi debt colector dan menipu anak saya?!" Sebuah suara keras yang mendadak terdengar dari arah belakang membuat Adelia dan Agus terkejut. Tampak Ambar dengan berkacak pinggang melotot pada mantan menantunya itu. Adelia menoleh ke arah mertuanya dan tersenyum lebar. "Hai, Bu Ambar! Apa kabarnya? Rukonya sudah laku," ujar Adelia tenang. Ambar semakin keki dan kesal. Dia maju beberapa langkah dan langsung mengayunkan tangannya ke arah Adelia. "Kamu ya? Benar-benar parasit!" teriak Ambar.Tangan Roni hampir menangkap tangan Ambar, tapi rupanya Adelia sudah lebih dulu menangkap tangan mertua nya. Dikibaskannya tangan Ambar perlahan. "Tenang, Bu Ambar. Apa ibu tahu jika penganiayaan bisa dipenjarakan? Apa ibu mau terus menerus membayar kerugian yang saya alami akibat perbuatan ibu dan anak ibu sampai uang ibu habis?" tanya Adelia tenang. Ambar hanya bisa mendelik dan mengepal kan tangan tanpa menyentuh Ade

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status