Aku klik blokir di nomor WhatsApp Bang Fahmi. Satu-satunya cara agar laki-laki itu tidak menggangguku dan juga menjaga hati agar tetap waras. Setelah itu aku blokir semua akun sosial media mantan suamiku, setelah aku merusuh di postingannya.Aku tersenyum menang ketika teman-teman dari Bang Fahmi mencibir dan menghina Nina sebagai pelakor. Perempuan itu memang pantas mendapatkan julukan itu. Siapa suruh memasuki rumah orang dan mengambil isinya tanpa permisi. Namun kenapa perempuan itu kini yang seolah merasa terzolimi dengan keadaannya sekarang? Hanya karena aku mengatakan jika aku masih istri sahnya. Ah ... Memang pelakor jaman sekarang, dia yang menyakiti dia pula yang merasa tersakiti.Apalagi Bang Fahmi, sudah tahu belum juga sah bercerai, dia sudah memposting foto mesra bersama perempuan lain, siapa yang tidak panas melihat hal itu? Tidak bisakah dia menahan jarinya untuk mengunggah foto mesranya setelah proses perceraian kami selesai. Secara agama, memang kami sudah bercerai,
Pov: Fahmi"Mas, tolong, Mas!" Seorang siswi berseragam putih abu-abu khas anak SMA, tiba-tiba masuk ke dalam mobilku ketika aku tengah menunggu lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau."Ada apa ini?" tanyaku tak mengerti. Gadis itu merunduk di bawah jok mobilku."Ayo jalan! Buruan!" Gadis itu memerintahku seenaknya."Kamu ini siapa? Jangan seenaknya main perintah saja," protesku."Nanti kalau aku udah aman, aku ceritain semua," ujarnya."Imbalannya apa?" Tantangku."Apapun yang kau minta, sekarang buruan jalan."Wah ... Apapun. Otak jahatku meulai meronta-ronta. Malaikat berjubah hitam di pundakku mulai merayuku agar mau menerima ajakan gadis itu.Aku melajukan mobilku menjauh dari lampu lalu lintas. Gadis itu terlihat panik dan ketakutan, seperti ada yang mengejarnya, tetapi kalau lihat-lihat dia cantik dan manis. Hemm ... Bisalah untuk selingan.Di rumah aku sudah pusing dengan keadaan apalagi istriku, Mirna sudah tak pandai merawat dirinya. Terlebih ketika Fauzan dan Faisal
"Cepat bilang, Mas. Ini sudah tersambung." Nina menyodorkan handphone-ku ke arah telinga dan terdengar suara Mirna dari seberang."Bilang apa?" bisikku."Ya bilang kalau dia harus transfer sejumlah uang untuk kompensasi karena telah mempermalukanku."Dengan terpaksa aku menuruti permintaan Nina. Sebenarnya aku sudah tidak mau lagi menurut ide gi*a perempuan yang baru aku halalkan beberapa hari yang lalu."Kenapa, Mas?""Telponnya dimatikan sama Mirna," jawabku. Sudah pasti mantan istriku itu akan mematikan handphone-nya setelah mendengar perkataanku."Sini, coba lihat!" Nina kembali merebut ponsel di tanganku. "Sial," umpat Nina, lantas perempuan itu melempar gawaiku di atas ranjang hotel."Kenapa dilempar?" Aku bergegas mengambil telepon genggam itu dan memeriksanya. Tenyata Mirna telah memblokir semua sosial mendiaku dan juga nomor WhatsApp-ku."Mas, bilangin sama mintan istri kamu itu, buruan suruh dia bayar kompensasi karena dia sudah mempermalukan aku!""Sudahlah Nina, lebih bai
Belum sebulan aku menikahi perempuan itu, tetapi dia sudah membuat kepalaku ingin pecah. Aku bergegas memeriksa saldo rekeningku memakai m-banking. Dan ternyata saldo di dalamnya hanya tersisa lima puluh ribu saja. Padahal sebelumnya ada sekitar lima belas juta, sisa tabunganku selama ini.Aku kembali menyugar rambutku dengan kasar. Uang yang akan aku gunakan untuk membeli sepeda incaranku sudah lenyap.Tok ... Tok ... Tok ....Suara ketukan di pintu mengejutkanku. Lantas aku membenahi rambutku, yang tadi berantakan karena aku acak-acak."Masuk!" jawabku."Maaf, Mas Fahmi, saya di suruh Pak Bambang untuk konfirmasi mengenai serah terima jabatan yang akan di lakukan lusa.""Hum," gumamku. Aku muak sekali melihat tampang Hendra."Hari ini saya akan melakukan briefing pertama di awal bulan ini, nanti Mas Fahmi turut hadir ya.""Iya kalau saya tidak sibuk," jawabku sekenanya. Jangankan ikut dia briefing, melihat wajahnya saja aku sudah tidak selera.Bisa dibayangkan bukan? Rasanya di pimp
PT. Santosa Abadi, berdiri di gagah di depanku, rasa gerogi, deg-degan bercampur aduk menjadi satu. Jantungku seakan ingin loncat dari tempatnya. Baru kali ini aku merasa sangat gugup ketika mengantarkan berkas lamaran kerja. Berkali-kali aku memaut wajah baruku di depan cermin motor spocy-ku. Ya ... Wajah baru, karena baru kali ini aku mengenakan hijab setelah sekian lama aku tak memakanya. Terakhir aku memakainya ketika lebaran tahun kemarin, itu saja poniku masih terlihat.Ada rasa tidak percaya diri ketika aku melihat wajahku sendiri di dalam cermin spion motor. Ada rasa gerogi yang membuat aku setiap beberapa detik membenarkan ujung pashminaku.Produsen jilbab ini sangat besar, berbeda dengan apa yang aku pikirkan. Aku rasa perusahaan ini sudah masuk kelas nasional. Aku lantas memasuki gedung besar itu dengan debar yang semakin menjadi-jadi. Peluh dingin sudah membasahi telapak tanganku."Ah ... Iya. Aku kan mau menemui Mas Khairul terlebih dahulu." Aku memutar tujuan yang tad
Hariku kini disibukkan dengan segudang laporan, dari laporan bahan baku yang masuk dan bahan baku yang keluar. Tak hanya itu, aku juga diminta mempelajari alur penjualan. Angel membimbingku dengan baik dan telaten.Sudah satu minggu aku bekerja di sini. Sejauh ini aku belum mengalami kendala yang berarti. Hanya saja aku harus lebih teliti dalam bekerja. Karena masih ada beberapa kesalahanku dalam membuat laporan.Bergaul dengan Angel dan teman-teman yang lain, aku belajar banyak hal. Salah satunya yaitu kewajiban berhijab. Semakin hari aku aku semakin mahir menggunakan jilbab. Walaupun aku masih menggunakan jilbab yang nge-tren di saat ini, belum mampu menutup aurat dengan sempurna, tetapi buatku itu adalah pencapaian terbaikku di tahun ini.Sudah berkali-kali ibu mertua mengingatkanku untuk mengenakan jilbab, tetapi aku belum sanggup. Dan ketika beliau melihat aku menggunakan jilbab sewaktu mengantarkan anak-anak, beliau sangat terharu, bahkan sampai menitikkan air mata."Ibu senang,
Sore itu selepas Magrib aku baru bisa ke rumah ibu untuk menjemput anak-anak. Kedatangan perempuan itu membuat mood-ku hilang seketika. Gorengan yang tadi aku beli masih teronggok di atas meja ruang tamu. Semoga saja setelah bertemu anak-anak, mood-ku akan menjadi baik kembali.Telepon genggam yang tadi aku isi daya di dekat meja televisi berkedip-kedip, menandakan ada pesan masuk. Nama Ammar si bujang setengah lapuk memenuhi jendela notifikasi.[Dimana? Kenapa nggak dibalas] pesan terakhir yang kubaca. Sementara pesan sebelumnya belum aku buka.[Minggu depan aku ikut kamu sidang, ada sesuatu yang harus aku tunjukkan untuk bukti tambahan, biar kamu bisa menuntut hak asuh anak dan nafkah mereka] isi pesan pertama dari Ammar.[Aku sibuk apalagi melayani mahasiswa abadi seperti kamu. Lebih baik kamu urus saja skripsimu, setelah itu cari kerja! Jangan nanti setelah lulus minta kerjaan sama Om Tanto, malu dong][Pokoknya aku ikut!][Terserah!!!!][Kamu tunggu saja, aku bawa kejutan di hari
Suara direktur muda yang sangat familiar itu menerpa gendang telingku. Bahkan aku yang sedari tadi terkesan cuek dan acuh dengan kehadiran pria itu, kini ikut penasaran dengan rupa dari direktur muda itu."Selamat pagi, Pak," jawab para cewek-cewek dengan genitnya."Bagaimana kabar kalian pagi ini?" tanyanya lagi. Suaranya benar-benar membuatku penasaran dengan wajah pria itu. "Bapak lagi flu ya? Kok maskernya nggak dibuka?" tanya Angel dengan nada yang di buat-buat."Oh ... Nggak." Pria itu lantas berbalik badan dan terlihat dari gerakan tangannya kalau dia sedang membuka maskernya."Astaghfirullah halaazim, A-Ammar ...." ucapku tergagap Ketika melihat wajah direktur itu adalah Ammar. Pira itu lantas mengedipkan satu matanya. Pandanganku tiba-tiba buram dan gelap.Terasa badanku dibopong oleh sesesorang dan tak lama aku terbangun."Diminum dulu tehnya." Suara itu kembali menyapaku."Kamu belum sarapan ya? Kok pingsan sih. Jangan bilang kalau kamu pingsan karena bertemu denganku," le