"kita harus bicara, Mirna." Laki-laki itu berdiri menyambutku yang baru saja membuka pintu. Sementara anak-anak yang sepertinya masih mengantuk, aku suruh mereka masuk ke dalam rumah."Mau bicara apa?""Aku tidak sanggup mengasuh mereka seorang diri, Mirna. Aku setuju kalau kita bagi harta gono gini." Aku tersenyum miring. Sebatas itukah kemampuan meng-handle anak-anak."Tapi kamu kembalikan dulu nafkah yang aku beri dulu, baru kita bagi harta gono gini.""Astaghfirullah, Bang. Apa lagi sih ini? Kamu belajar hukum di mana? Kenapa seperti ini?bukannya kemarin Ibu sudah menjelaskan panjang lebar ya. Aku kira kamu udah paham. Ternyata makin nge-hank gini sih.""Kan sudah aku turuti permintaan kamu untuk bagi harta gono gini. Sekarang aku juga minta hak aku lah.""Bang, kalau kamu pagi-pagi kesini cuma mau bicara masalah ini, sebaiknya kamu pergi. Aku akan tetap tuntut kamu di persidangan nanti." Aku berbalik badan dan menutup pintu, kumudian menguncinya, tapi ternyata ada yang lupa. La
Wanita berambut panjang sepinggang itu mengaduh kesakitan. Berulang kali aku pukul pantatnya menggunakan sapu lidi, bak kucing yang ketahuan sedang mencuri ikan di kulkas. Sangat lancang bukan?"Auuu ... Sakit. Berhenti!""Pergi kamu. Ngapain kami tidur di rumah ini? Pergi!" teriakku."Stop! Sakit ini.""Pergi kamu!" Aku terus memukuli wanita tak tahu malu itu."Hei Mbak! Jangan kasar gitu sama orang. Pantas aja suaminya lari ke aku. Orang istirnya aja kayak singa begini," cibir perempuan itu."Sama perempuan seperti kamu mah pantas dikasari." Aku tak berhenti mengayunkan sapu lidi ini ke badan perempuan itu."Udah Mbak! Stop! Aku teriak nanti. Kamu bisa ditangkap karena udah mukulin orang.""Teriak aja sana kalau berani. Ayo teriak!" Aku mendorong wanita itu sampai di pintu kamar. "Ayo teriak!" ujarku menantang wanita gatal itu"Kenapa? Nggak berani? Ayo sana teriak!""Dasar, Nenek-Nenek!" sungutnya."Hei betina! Cepat pergi, sebelum aku teriaki kamu maling, karena ini rumahku!""Ck
Aku tersenyum jahat di dalam mobil. Rasanya puas sekali aku bisa mengerjai kedua pasangan selingkuh itu. "Mirnaaaa," teriak laki-laki itu. Mungkin dia baru sadar jika akulah yang ada di dalam mobil itu. Aku bergegas turun dari mobil untuk membeli kue lupis kesukaannya Tante Anni. Kulihat sekilas laki-laki itu mengejarku. "Mirna, apa-apaan kamu ini. Lihat bajuku dan baju Nina jadi kotor begini. Kamu juga tega-teganya mukulin Nina pakai sapu dan ngusir dia dari rumah!" bentak laki-laki itu setelah mendekatiku."Peduli apa aku sama kalian? Itu rumah anak-anak, jadi aku berhak mengusir perempuan itu! Emang siapa dia, istri kamunjuga bukan kan cuma simpanan!""Gara-gara ulah kamu, aku jadi belikan dia emas.""Lho ... Lho ... Kok jadi gara-gara aku? Gundikmu saja yang matre!""Dia bukannya matre, tapi berkelas! Itu karena kamu mukulin dia, jadi dia merajuk dan minta hadiah emas. Sini ganti rugi! Kamu harus ganti uang untuk membeli emas karena ulah kamu.""Yaa Allah, kemanalah otak laki-l
Tante Anni menahanku untuk menginap di rumahnya, katanya dia sangat rindu sekali dengan Fauzan dan Faisal. Tante Anni memang pernah membawa anak-anak nginap di rumah ini, tetapi waktu itu ada ibu mertua yang menemani.Kalau sekarang aku menginap di sini, apa kata orang, sedangkan di sini ada bujang setengah lapuk itu. Duh ... Bisa jatuh harga diriku."Lain Kali aja Tante, lagian nggak enak kalau Mirna ikut nginap di sini, apa kata orang nanti," tolakku."Isssh kepedean, siapa juga yang mau ngajak situ nginap? Orang yang di suruh nginep itu anak-anak kok," cibir laki-laki gondrong itu."Sssttt ... Jangan seperti itu. Dah sana kamu kalau mau ke kampus. Urus skripsi yang udah setahun nggak kelar-kelar," bela Tante Anni. Aku seperti di atas awan.Laki-laki itu berlalu sambil mengepalkan tangan, sementara aku menjulurkan lidahku."Kalian ini seperti anak kecil. Hemmm ...," tegur Tante Anni."Dia itu, Mam ngeledekin terus. Mending bujang lapuk daripada Baru 3 tahun nikah dah cere. Masa masi
Cukup lama aku terbengong mendengar pernyataan Ammar yang sangat mengejutkan. Sementara laki-laki terus menyerocos. Fauzan yang sedang memakan cemilan berlari ke arahku untuk menunjukkan mainan barunya"Mirna!" sentaknya. Laki-laki itu menepuk kedua tangannya tepat di depan wajahku."Heh ... biasa aja gitu kenapa. Pasti kamu syok kan aku terima perjodohan kita?""What? Kamu ngigo ya? Udah sana pulang! Aku capai, mau istirahat!" usirku."Catat baik-baik, Mir. Ini pertama dalam sejarah aku mau dijodohkan sama perempuan.""Jadi selama ini kamu seleranya laki-laki gitu?""Eh. Jangan sembarangan kalau ngomong. Ya ceweklah. Kamu nggak usah jual mahal gitu, kemarin kamu malu aja kan mau terima perjodohan kita.""Stop Ammar. Aku nggak mau dengar lagi ocehan kamu. Sekarang kamu pulang sana. Aku ini masih sah menjadi istri Bang Fahmi. Jadi nggak etis kalau ngomongin perjodohan. Belum tentu juga aku mau sama kamu!"Laki-laki itu mencibirku, lalu dia bangkit. "Kesempatan tidak datang dua kali.""
"Mam, num." Suara Faisal menghentikan aktivitasku. Aku seka sudut mataku yang sudah berembun. Kenapa ini mata tidak bisa diajak kompromi baramg sebentar. Baru lihat begini sajanudah cengeng, rutukku"Iya, Sayang." Aku lantas beranjak menuju dapur untuk mengambilkan air putih untuk Faisal."Sudah makanan, Dek?" tanyaku. Bocah dua tahun itu mengangkat piringnya yang sudah kosong."Kalau sudah, kita berangkat ya." Aku usap kepalanya. Selanjutnya aku bopong tubuh Faisal dan mendudukkannya di car seat. Lantas aku ambil tas yang sudah aku siapkan tadi.Setelah memastikan kompor tidak menyala dan juga jendela dan pintu sudah terkunci, aku langsung masuk ke dalam mobil. Terkadang aku masih suka ceroboh, meninggalkan kompor masih dalam keadaan menyala. Bahkan kemairn pernah aku sedang menghangat sop, kemudian aku tinggal untuk menidurkan anak-anak di kamar dan tak terasa aku tertidur.Saat aku terbangun, panci yang aku pakai memanaskan sop sudah hitam. Air sop sudah menguap tak tersisa. Isi da
Aku klik blokir di nomor WhatsApp Bang Fahmi. Satu-satunya cara agar laki-laki itu tidak menggangguku dan juga menjaga hati agar tetap waras. Setelah itu aku blokir semua akun sosial media mantan suamiku, setelah aku merusuh di postingannya.Aku tersenyum menang ketika teman-teman dari Bang Fahmi mencibir dan menghina Nina sebagai pelakor. Perempuan itu memang pantas mendapatkan julukan itu. Siapa suruh memasuki rumah orang dan mengambil isinya tanpa permisi. Namun kenapa perempuan itu kini yang seolah merasa terzolimi dengan keadaannya sekarang? Hanya karena aku mengatakan jika aku masih istri sahnya. Ah ... Memang pelakor jaman sekarang, dia yang menyakiti dia pula yang merasa tersakiti.Apalagi Bang Fahmi, sudah tahu belum juga sah bercerai, dia sudah memposting foto mesra bersama perempuan lain, siapa yang tidak panas melihat hal itu? Tidak bisakah dia menahan jarinya untuk mengunggah foto mesranya setelah proses perceraian kami selesai. Secara agama, memang kami sudah bercerai,
Pov: Fahmi"Mas, tolong, Mas!" Seorang siswi berseragam putih abu-abu khas anak SMA, tiba-tiba masuk ke dalam mobilku ketika aku tengah menunggu lampu lalu lintas berubah warna menjadi hijau."Ada apa ini?" tanyaku tak mengerti. Gadis itu merunduk di bawah jok mobilku."Ayo jalan! Buruan!" Gadis itu memerintahku seenaknya."Kamu ini siapa? Jangan seenaknya main perintah saja," protesku."Nanti kalau aku udah aman, aku ceritain semua," ujarnya."Imbalannya apa?" Tantangku."Apapun yang kau minta, sekarang buruan jalan."Wah ... Apapun. Otak jahatku meulai meronta-ronta. Malaikat berjubah hitam di pundakku mulai merayuku agar mau menerima ajakan gadis itu.Aku melajukan mobilku menjauh dari lampu lalu lintas. Gadis itu terlihat panik dan ketakutan, seperti ada yang mengejarnya, tetapi kalau lihat-lihat dia cantik dan manis. Hemm ... Bisalah untuk selingan.Di rumah aku sudah pusing dengan keadaan apalagi istriku, Mirna sudah tak pandai merawat dirinya. Terlebih ketika Fauzan dan Faisal