Niko dan Mona kini sedang duduk berhadapan, Niko menghela nafas ketika melihat air mata yang sedari tadi menggenang di pelupuk mata Mona kini luruh. "Sebaiknya kau selesaikan dulu tangisanmu. Lalu kita bisa bicarakan ini di rumah. Tempat ini bukanlah milik kita. Aku merasa tidak enak hati pada Megantara," kata Niko. Mona tak menjawab. Air matanya justru semakin deras. Niko hanya duduk sembari menundukkan kepala. Tak ada upaya sedikitpun untuk menenangkan istrinya baik dengan sebuah pelukan atau sekedar usapan ringan di punggung istrinya. Setelah beberapa menit menangis, tangisan itu hampir reda. Mona buru-buru menghapus jejak air matanya lalu beranjak dari sofa empuk ruangan Megantara. Lalu berjalan keluar. Niko mengikuti langkah Mona. Sesampainya di lantai dasar, Mona hendak berjalan menuju pintu keluar namun dicegah oleh Niko. "Kau mau kemana? Tempat parkir ada di sana," kata Niko menggenggam lengan Mona."Aku lebih baik naik taksi saja," jawabnya. "Tidak. Tujuan kita sama. Unt
Sivia duduk seorang diri di bawah pohon yang berada di taman sekolah. Wajahnya murung. Ada genangan air mata yang sepertinya bisa segera meluncur keluar. Suasana taman ramai, tapi dia tetap sendiri. Tidak ada satupun teman yang menemaninya. Mereka semua sedang asyik bermain dengan riang gembira. Hanya Sivia yang suasana hatinya berbeda. Nalini mengamati dari kejauhan. Memang Sivia memiliki daya tarik tersendiri baginya. Dia selalu memusatkan perhatian pada Sivia meskipun dia bisa bersikap objektif jika sedang mengajar di kelas. Karena merasa khawatir dengan Sivia, Nalini memutuskan untuk berjalan mendekati gadis kecil itu. "Sivia sedang apa? Mengapa tidak bermain dengan teman-teman lain?" tanya Nalini saat dia sudah sampai di hadapan Sivia. Tangis Sivia pecah. Air mata yang sudah ia tahan sejak tadi tak bisa lagi terhenti. Tangisannya semakin keras. Membuat Nalini merasa khawatir. "Apa yang terjadi padamu, Sivia?" tanya Nalini sambil menghapus air mata dari pipi Sivia. Sivia me
Megantara baru saja memarkirkan mobil di tempat parkir salah satu mall terbesar di ibu kota. Satu jam yang lalu Nalini memberikan kabar bahwa dia mengajak Sivia ke sana karena Sivia ingin pergi ke zona bermainnya dan kebetulan mall itu terletak tak terlalu jauh dari hotel milik Megantara. Megantara berjalan memasuki mall dan mengedarkan pandangan. Dia menemukan zona bermain di lantai dasar. Dia segera berjalan ke arah zona bermain. Dari arah kejauhan Megantara sudah bisa menemukan sosok Nalini yang tinggi menjulang dan berambut panjang. Di sebelahnya ada Sivia, si gadis cantiknya. Megantara menghentikan langkahnya dan mematung, selama beberapa detik dia berpikir. Mengapa jika dilihat sekilas mereka berdua begitu mirip? Terutama sorot mata mereka yang memancarkan kelembutan.Dari dulu Megantara sudah menyadari bahwa bola mata milik Sivia mirip seperti milik ibunya. Dan kini Megantara menemukan satu lagi yang memiliki kemiripan dengannya. Jika orang asing melihat Nalini dan Sivia, me
Niko dan Mona berjalan bergandengan tangan. Setelah pertengkaran mereka tempo hari mereka mencoba untuk berbaikan lagi. Bertengkar adalah bumbu dari perjalanan pernikahan mereka. Megantara termasuk saksinya. Mona hari ini meminta ditemani berbelanja tas dan baju di mall. Dia ingin sekali mendapatkan perhatian dari suami. Dan sudah sangat lama pula Niko tidak pernah menemaninya berbelanja. Jadi, dia secara khusus meminta pada Niko untuk menuruti permintaannya dan untungnya Niko tak sesibuk rekan kerja sekaligus sahabatnya sehingga bisa menghabiskan waktu berdua bersama istri. Setelah lelah berkeliling mall dan mendapatkan barang yang Mona sukai, mereka memutuskan untuk makan di salah satu restoran kesukaan Mona yang terletak di dalam Mall. Dan tak di sangka, keputusan mereka untuk singgah justru membuat mereka bisa bertemu dengan Megantara yang saat itu sedang tidak sendiri. "Hey, sedang apa kalian di sini?" Niko berjalan mendekat ke meja tempat duduk Megantara, Nalini dan Sivia. Di
"Gadis bernama Nalini itu, apakah benar-benar memiliki hubungan spesial dengan Megantara?" tanya Mona pada Niko saat perjalanan pulang. "Mereka punya keterikatan yang tidak bisa dihindari. Dan itu diluar kendali Megantara," jawaban Niko semakin membuat istrinya penasaran. "Keterikatan semacam apa? Hutang piutang?" tanya Mona lagi dengan nada polos. Niko menggeleng, "Bukan begitu maksudku. Entahlah aku tidak bisa menjelaskannya. Yang jelas jika melihat interaksi antara Sivia dan Nalini, sudah sangat terlihat jelas jika Sivia menyukai Nalini."Mona menghela nafas, "Harusnya kau membantu adikmu untuk bisa mendapatkan hati Megantara. Mengapa kau tidak membantunya? Kau tidak menyayangi adikmu satu-satunya itu?""Justru karena aku menyayangi Starla. Aku tidak ingin Starla tidak mendapat kebahagiaan jika harus memaksakan perasaannya terhadap Megantara. Lagipula kau tau sendiri karakter Starla yang sangat manja. Dia pasti tidak akan bisa sanggup jika harus menjalani peran menjadi ibu sambu
"Ayah terlalu percaya diri. Aku dan nenek sama sekali tidak membicarakan ayah," kilah Sivia. Nenek hanya diam tak berkutik. Megantara masih tetap belum percaya, "Sivia, jangan sekali-kali berbohong pada ayah."Sivia hanya nyengir kuda. Dia tak ingin membuat ayahnya marah. Dia juga tak bisa membohongi ayahnya. Sang ayah datang menghampiri Sivia lalu segera menggelitik perut Sivia sampai Sivia kegelian dan mencoba kabur dengan berlari mengejar sang ayah. Merekapun berakhir kejar-kejaran. ***Malam ini, di teras rumah kontrakan, bu Rini, Mela dan Noni sedang berkumpul dan mengobrol. Nalini yang baru pulang berbelanja dari minimarket ikut duduk di sana. "Lin, tadi sore siapa yang mengantarmu pulang dengan mobil mewah?" tanya Mela langsung pada intinya. Tanpa berbasa-basi. Nalini yang ditanya secara mendadak jadi diam mematung beberapa detik lalu mengedarkan pandangan ke arah tiga teman kontrakannya bergantian. "Sebenarnya Noni yang melihat. Tapi Noni malu jika harus bertanya sendiri,"
"Semua chef dan asisten chef, saya mengumpulkan kalian di sini karena ingin mengumumkan sesuatu," kata Kepala Chef di hadapan para pegawainya. Semua mendengarkan dengan seksama termasuk Nalini."Malam ini akan ada perjamuan rekan bisnis Pak Megantara dari luar negeri di restoran ini. Kita ditugaskan untuk menyiapkan hidangan yang super super istimewa untuk menjamu para tamu. Ini sebenarnya bukanlah sebuah kompetisi, tapi bagi koki yang menarik perhatian tamu istimewa kita pasti akan mendapatkan hadiah yang sangat istimewa dan menguntungkan," terang Kepala Koki. Semua antusias dan semangat serta bersorak mendengar pengumuman yang disampaikan kepala koki. "Saya sudah memilih tiga orang koki yang akan mengkoordinasi timnya. Saya memilih berdasarkan kinerja kalian dalam satu bulan terakhir ini dan testimoni dari pelanggan. Koki yang bertugas mengurus menu appetizer adalah Vero, menu main course saya percayakan pada Robert, dan Nalini bertugas mengurus dessert. Silakan siapkan masing-mas
"Dimana Nalini?" tanya Megantara saat dia sudah memasuki restoran hotelnya. Saat ini dia benar-benar sudah geram dan harus bertemu dengan Nalini. Semua pegawai terlihat ketakutan melihat ekspresi marah sang bos. Ini seperti situasi gawat. Nalinipun juga belum ditemukan sampai saat ini dan tak bisa dihubungi. "Pak, maaf jika saya lancang. Ada permasalahan apa kalau boleh tau?" Kepala chef mendatangi Megantara dengan tergopoh-gopoh. Karyawan lainpun berkumpul di sana termasuk para koki di dapur. Kebetulan pengunjung restoran hanya sedikit. "Kau pasti tau Chef. Makanan yang diantar ke ruanganku bukan buatan Nalini kan?" tanya Megantara. Sang kepala Chef terkejut. Begitu pula Vero yang memasaknya. Bagaimana Megantara bisa mengetahuinya. "Apakah Nalini belum kembali?" tanya Megantara."Ya Pak. Maafkan saya. Nalini belum ditemukan," jawab Kepala Chef."Jika dia tidak ada harusnya kau berterus terang. Tidak perlu membawakan makanan buatan orang lain," kata Megantara dengan nada kesal.