“Ssssttt. Jangan keras-keras,” kata Kepala Chef pada Nalini dan Nalini menjawab dengan anggukan. “Aku yakin seratus persen, barusan Vero memperingatkanmu untuk tidak bersikap genit dan menggoda Pak Megantara,” kepala Chef menebak.“Ya, tebakan Anda tepat sekali, dan aku sempat heran tapi kini aku sudah memahaminya,” Nalini terkekeh.“Pak Megantara memang high quality duda di dunia ini, kau harus merasa beruntung bisa berkomunikasi langsung dengan beliau. Jadi jangan kaget jika banyak pegawai di hotel ini merasa iri padamu,” kepala Chef ternyata bukan orang yang pendiam. Dia adalah pria yang banyak bicara. Mungkin juga bisa dikategorikan suka menggosip. Nalini tertawa dalam hati.“Padahal aku merasa biasa saja, dan sesungguhnya aku tidak ingin mencari musuh di sini,” kata Nalini. Nadanya sedikit miris mengingat pengalaman bekerjanya di luar negeri yang begitu pahit.“Kalau begitu, tunjukkan pada mereka bahwa kau ada di sini murni karena kemampuanmu. Aku yakin kau bisa,” kata kepala Che
Megantara meninggalkan rapat pentingnya dan langsung menuju ke rumah sakit saat wali kelas Sivia memberitahunya bahwa Sivia terserang alergi. Megantara tak bisa melajukan mobilnya dengan cepat karena jalanan yang macet. Dia hanya berdoa semoga tidak terjadi hal buruk pada Sivia karena selama ini dia selalu mewanti-wanti pada anggota keluarganya agar menjauhkan makanan yang bisa mencetuskan alergi Sivia.Sesampainya di rumah sakit, dia berlari menyusuri memasuki IGD dan mencari keberadaan putri kecilnya.“Sivia,” seru Megantara lantang saat melihat Sivia terbaring lemah di ranjang rumah sakit.Dia berjalan mendekat dan menggenggam tangan Sivia, “Sayang, kau baik baik saja?” kata Megantara dengan lembut. Dielusnya pipi merah milik Sivia. Sivia membuka kelopak matanya dan tersenyum melihat kedatangan sang ayah.“Ayah,” Sivia duduk dan memeluk sang ayah.Megantara mengelus punggung sang anak. dia menghembuskan nafasnya lega. Anaknya baik-baik saja. Tapi mengapa keteledoran terjadi. Dia me
Megantara melihat ke arah jam tangannya. Sudah pukul sepuluh pagi, namun sarapannya belum juga datang. Dia sudah kelaparan. Sedari tadi dia hanya meminum kopi pahit dan mengerjakan pekerjaan.“Kemana gadis itu? Apakah sudah bosan bekerja di sini?” gerutu Megantara. Dia beranjak dari duduknya. Berjalan mondar mandir.“Apakah gadis itu marah padaku karena memarahinya dan tidak mau memasak untuknya lagi?” Megantara berpikir keras. Dan lalu menggelengkan kepala. Hal ini tidak boleh terjadi. Dia akan kehilangan seleranya lagi jika bukan gadis itu yang memasakkan makanan untuknya.Megantara berinisiatif mendatangi restoran sendiri. Dia berjalan keluar dari kantornya dan berjalan menuju restoran. Di dalam perjalanannya semua orang yang berpapasan dengannya menunduk dan memberi salam.Dia duduk di salah satu kursi di restoran. Secara otomatis beberapa pegawai langsung menghampirinya.“Selamat pagi Pak Megantara. Adakah yang bisa saya bantu?” tanya salah satu waiters senior di restoran.Para p
Wajah sang ibu memerah. Beberapa detik kemudian dia justru menangis sesenggukan. Dia tidak tau bagaimana cara menjelaskan pada Nalini tentang keberadaan sang adik. “Bu, mengapa ibu justru menangis? Ada apa dengan Nalita?” Nalini tidak tau maksud dari tangisan sang ibu. Sang ibu tetap belum sanggup merespon pertanyaan Nalini. “Apa Nalita juga kabur dari rumah karena tidak sanggup dengan paksaan ayah? Apa yang sudah ayah paksakan terhadap kehidupan Nalita, Bu?” Nalini mencoba menebak. Meskipun dia ragu dengan tebakannya sendiri. Nalita bukan gadis yang suka membangkang seperti dirinya. Apakah mungkin Nalita akan mengikuti jejaknya dengan berbuat nekat? Sang ibu menggeleng. Memberi tanda bahwa apa yang di katakan Nalini tidak tepat. Nalini mengusap pipi sang ibu dan membantu menghapus bulir air mata yang belum berhenti berjatuhan. “Tidak, Lin. Bukan seperti itu kenyataan yang terjadi. Ibu malah akan bersyukur jika Nalita memilih untuk kabur sepertimu,” jawaban dari sang ibu justru mem
Megantara membolak balik beberapa lembar foto para gadis beserta biodata lengkapnya. Ibunya mengumpulkan banyak informasi mengenai gadis yang dinilai cocok untuk dijadikan pendamping Megantara. Megantara meletakkan lembaran-lembaran itu dengan kasar. Dia menyandarkan kepalannya di sandaran kursi kerjanya dan mendengus. Ibunya benar-benar kurang kerjaan.Sudah berkali-kali dia mengatakan pada sang ibu bahwa bukan hal yang mudah untuk memutuskan mencari pasangan lagi. Ada Sivia yang harus dia jaga agar bertumbuh dengan bahagia. Megantara tidak mau egois dengan mengorbankan perasaan putrinya. Lagipula saat ini belum ada gadis yang benar-benar membuatnya jatuh cinta. Jujur termasuk sang istripun begitu.Rasa yang Megantara miliki untuk istrinya jika ditelusuri dengan baik bukanlah rasa cinta yang mendalam. Selama menikah, dia tidak pernah mencintai sang istri. Hadirnya Sivia kedunia inipun bukan karena saling cinta. Sivia hadir karena keteledoran Megantara di suatu malam saat dia begitu p
Megantara sedang menaiki mobilnya menuju ke rumah. Hari ini dia memutuskan untuk pulang ke rumah lebih awal karena dia sudah merasa kelelahan. Dia ingin sekali bertemu dengan putri kecilnya, bersenda gurau dan melepas penat. Di tengah perjalanan, dia melihat kios buah. Tiba-tiba terbersit di pikirannya untuk mengirimkan parcel buah ke sesorang yang saat ini sedang sakit. Siapa lagi kalau bukan Nalini.Megantara membuka tabletnya dan mencari file cv milik Nalini, mengingat-ingat alamat tempat tinggal Nalini. Lalu dia turun dari mobil dan memasuki kios buah. Setelah memesan parcel buah dan meminta sang penjual untuk mengirimkan ke alamat yang ditulisnya, dia kembali melajukan mobilnya untuk pulang.“Sivia, kau sedang apa?” tanya sang ayah saat mendatangi gadis kecilnya yang sedang duduk di taman sambil memegag pensil dan buku gambar di pangkuannya.“Aku sedang mencari inspirasi untuk tugas menggambar di sekolah,” jawabnya sambil tak lupa memberikan senyum termanisnya untuk sang ayah yan
“Apa yang ingin nenek tanyakan padaku?” tanya Sivia. Dia mengubah posisinya menjadi duduk.“Nenek ingin menanyakan tentang bu guru Sivia yang mengajar memasak. Yang tadi disebut namanya oleh ayahmu. Siapa namanya?” tanya nenek penasaran.Sivia langsung sumringah ketika membicarakan gurunya itu, “Bu Nalini?”“Oh, bu Nalini. Apakah kau mengenalnya dengan baik? Bagaimana orangnya?”Sivia mengangguk semangat, “Dia sangat cantik dan baik. Dia pintar memasak. Aku sangat suka pelajaran memasak di hari senin. Dan Bu Nalini juga yang menolong Sivia saat Sivia alergi.”“Kau tau usia bu Nalini berapa?” nenek masih menginterogasi cucunya.“Tidak tau. Tapi jika melihat wajah cantiknya, sepertinya dia lebih muda dari ayah,” kata Sivia mencoba menerka-nerka.Sang nenek tersenyum penuh arti, sepertinya dia memiliki sebuah ide brilian. Dia dengan semangat membisikkan sesuatu ke telinga Sivia dan Sivia terkekeh karena geli. Namun tetap mendengarkan apa yang dikatakan oleh neneknya dan menganggukkan kep
Awalnya Megantara tidak yakin apakah pelukannya akan bisa membuat Nalini menghentikan tangisannya. Tapi ternyata pelukan itu memang berpengaruh besar bagi Nalini. Nalini sudah lama tak merasakan pelukan senyaman itu dari seseorang. Perlahan-lahan nafasnya mulai teratur. Tangisannyapun mulai reda.Megantara masih terdiam di posisinya, dia tak tau mengapa dia rela menjadikan tubuh kekarnya sebagai sandaran gadis yang notabene bukan siapa-siapa baginya. Tapi yang jelas nalurinya sebagai seorang pria baik-baik menuntunnya.Ada sedikit rasa tidak tega melihat Nalini terpuruk. Megantara merasa, jika gadis yang ia kira kuat seperti Nalini bisa menangis dan terlihat rapuh seperti saat ini, berarti ada masalah yang benar-benar tak bisa ia hadapi.Nalini mulai tersadar saat tangisnya terhenti. Dia mulai bisa menggunakan akal sehatnya dan menyadari dia di posisi yang salah, siapa yang sudah berani ia peluk dan ia basahi bahunya? Nalini mengendorkan pelukannya dan menengadahkan kepala.Nalini ter