"Kak? Mentari berangkat ya?" ucap sang adik, saat keesokan harinya.Nayanika yang sedang membuat adonan sambil melamun itupun menoleh dan melakukan gerakan alis yang naik ke atas."Hm? Kenapa?" tanya Nayanika."Mentari berangkat dulu kakak. Udah siang. Oh iya, pesanannya Bu Lisa mana?" tagih Mentari."Oh iya. Tunggu sebentar," ucap Nayanika yang dengan segera meninggalkan pekerjaannya terlebih dahulu dan pergi mengambil apa yang ditanyakan oleh sang adik tadi."Kak Bumi tumben belum ke sini, Kak."Satu kalimat yang sudah membuat Nayanika diam membeku dalam beberapa waktu."Dia udah nggak mungkin ke sini lagi," ucap Nayanika seraya menaruh dimsum ke dalam sebuah tas penyimpanan makanan."Lho, kenapa emangnya, Kak?" tanya Mentari."Nggak apa-apa. Pokoknya, dia udah nggak mungkin ke sini lagi aja," ucap Nayanika sembari menutup freezer dan memberikan tas tersebut kepada Mentari."Ini, pesanannya guru kamu. Em, SPP bulan ini udah kan ya?" tanya Nayanika."Iya, Kak. Aman. Ya udah, Mentari
Esok malamnya.Pria yang selalu datang ke tempatnya bekerja, kini datang lagi ke sini. Biasanya, dia yang menyapa Nayanika duluan. Tetapi sekarang, Nayanika lah yang lebih dulu mengajaknya berbicara."Em, jaketnya masih di rumah, Mas. Belum sempat aku cuci," ucap Nayanika yang sedang mengeluarkan barang belanjaan Abiyaksa dari dalam keranjang."Iya. Nggak apa-apa kok. Aku kan udah bilang kemarin. Aku ambil saat jadwal kunjungan ke sana," timpal Abiyaksa."Ada lagi yang lain, Mas?" tanya Nayanika yang sudah hampir menscan semua barang belanjaan Abiyaksa ini."Oh iya, susu promil yang esensis kalau nggak salah ya. Saya mau itu satu. Untuk Meisya, supaya nutrisinya terpenuhi," ucap Abiyaksa.Wajah Nayanika berubah datar. Dia menscan dulu semua barang belanjaan Abiyaksa dan mengambilkan yang satu itu."Yang ini ya, Mas?" tanya Nayanika."Ah iya yang itu. Tolong berikan dua ya? Sekalian untuk stok," pinta Abiyaksa."Oh iya, baik," ucap Nayanika sambil memaksa bibirnya untuk tersenyum.Naya
"Ada yang baru pulang ngapel nih. Kok tumben, udah pulang aja jam segini. Biasanya juga nanti malam baru pulang." Kata-kata sambutan, yang diberikan oleh seorang kakak kepada adiknya laki-lakinya yang baru saja datang dan kini menaruh paper bag di atas meja, kemudian tubuhnya dijatuhkan di atas sofa yang berada di sisi sang kakak."Apa nih? Dimsum?" tanya kakaknya Bumi."Bukan. Itu baju. Buat Lala," jawab Bumi yang diiringi hembusan napas dan juga wajah yang nampak kusut."Tumben inget keponakan. Biasanya, kalau udah pacaran yang diinget pasti tentang pacarnya terus," ucap kakaknya itu lagi."Kamu masih berhubungan dengan dia?" tanya ayahnya Bumi, dengan mata yang tadinya tertuju pada koran yang tengah ia pegang, kini jadi kepada anak lelaki satu-satunya itu."Berhubungan gimana, Pa?," ucap Bumi yang tatapannya hanya lurus ke depan saja."Ya itu, kamu masih pacaran sama dia? Papa kasih tahu, pentingnya punya calon istri yang sederajat. Bukan mau merendahkan. Tapi daripada kamu dan kel
Nayanika bangun perlahan, lalu turun juga dari brankar dengan dibantu oleh Bumi. Kemudian, setelah menyelesaikan segala macam administrasi dan lainnya, baru lah mereka pergi dari rumah sakit tersebut.Bumi menyetir dengan resah. Ingin bertanya, tapi ia merasa jadi orang yang terlalu ikut campur dengan masalah orang lain. Tapi dia juga penasaran dan ingin sekali tahu, kenapa bisa hal ini terjadi. Mungkin Nayanika terlalu malu untuk bercerita. Karena seingatnya juga, tidak ada laki-laki yang pernah mendatanginya. Atau ini adalah ulah mantan pacarnya? Laki-laki itu tidak mau bertanggung jawab dan meninggalkan Nayanika begitu saja.Pantas, Nayanika selalu menolaknya terus. Mungkin juga karena hal ini. Karena dia sedang hamil dan entah oleh siapa itu."Maaf," ucap Nayanika, yang merasa harus meluruskan kesalahpahaman yang terjadi diantara ia dan Bumi. Biarpun tidak memiliki hubungan, ia merasa perlu memberikan penjelasan."Aku nggak bermaksud nipu kamu. Aku udah bilang kan, kalau kita ini
Nayanika diam sambil memalingkan wajah. Dia berharap tidak dikenali. Tapi laki-laki yang berteriak di sana, malah membuat kedua orang di sebelahnya menoleh."Nay! Ada ukurannya!" seru Bumi sambil menunjukkan pakaian bayi yang dipeganginya saat ini Meisya menganga dan Abiyaksa nampak membeliak dan sedikit tidak menyangka."Kamu di sini juga?" ucap Abiyaksa dan Nayanika pun mengangguk dengan kepala yang menunduk."Hei, Mei. Hai, Mas," sapa Bumi kepada sepasang suami-istri ini."Ngapain, Bum? Persiapan mau jadi bapak?" sindir Meisya."Ah bisa aja. Ini tuh buat keponakan aku. Bajunya lucu-lucu. Jadi ya sekalian aja deh beli. Mumpung di sini. Eh, kok kamu di sini juga? Lagi cari baju juga? Lagi hamil nih ceritanya?" tanya Bumi."Otw. Gue lagi persiapan mau buat anak yang banyak sama suami gue ini. Iya kan, Mas?" ucap Meisya sambil merangkul lengan Abiyaksa."Iya," ucap Abiyaksa mengiyakan.Nayanika tersenyum getir. Ayah anaknya, akan memiliki anak bersama dengan wanita lain. Dia akan memi
Nayanika terdiam kaku dan kemudian memutar bola matanya ke arah Bumi, yang tengah menatap tangan Nayanika, yang tengah berada di atas perutnya itu sendiri.Nayanika segera menjauhkan tangannya, saat menyadari apa yang Bumi lihat tadi. Kelopak matanya tertutup sejenak dan rutukan di dalam batinnya pun menggema.'Oh ya ampun! Kamu apa-apaan sih, Nay! Kenapa bisa nggak sadar kalau lagi sama Bumi sekarang!' jerit batin Nayanika."Eum, cacing-cacing di perutku juga suka sama buburnya," ucap Nayanika kemudian. Bukan ingin mengelabui Bumi. Sama sekali tidak. Tapi ini adalah aibnya, tidak sepantasnya ia umbar-umbar juga kan? Keluarganya sendiri saja tidak tahu, masa Bumi yang merupakan orang lain ini harus tahu keadaan ia yang sebenarnya."Oh... aku kira apa," ucap Bumi sambil tersenyum lagi dan kali ini terlihat lebih lepas dan juga lega. Sempat bingung juga tadi kan, dengan kelakuan Nayanika yang mendadak aneh."Nay, kita jalan yuk!" ajak Bumi ketika Nayanika sudah mulai menyantap makananny