MasukAbiyaksa mendorong pintu ruangan dan mendatangi Meisya, yang terdiam dengan tatapan mata yang kosong.Abiyaksa telan salivanya lebih dulu dan kemudian datang memeluk, saat istrinya itu menoleh dan genangan air mulai keluar dengan sangat deras dari kedua matanya."Mas... anak kita udah nggak ada. Padahal aku nggak ngapa-ngapain tadi. Tapi kenapa dia pergi begitu, Mas... aku nggak apa-apain dia. Aku cuma pergi ke kamar mandi tadi. Tapi kenapa dia malah pergi..." Meisya menangis tersedu-sedu. Dia benar-benar tak kuasa menahan kesedihan serta kekecewaannya. Padahal sudah seminggu ini tidak pergi kemana-mana. Sudah makan dengan baik dan bahkan lebih banyak menghabiskan waktunya di atas tempat tidur. Tapi kenapa masih juga bisa mengalami kejadian yang tidak pernah ia sangka-sangka ini? Rasa-rasanya, Nayanika malah melakukan pekerjaan yang lebih berat darinya. Dia kelihatan kurus juga. Tapi kenapa anaknya bisa bertahan sampai perutnya besar? Perutnya belumlah sebesar perut Nayanika dan bah
"Apa cuma perasaan Mentari aja ya, Kak? Tapi asli mirip banget sih ini. Kayak versi kecil sama versi perempuannya," ucap Mentari lagi."Ya itu cuma perasaan kamu aja," ucap Nayanika yang kini mengunyah makanan yang ada di dalam mulutnya dan tidak mempedulikan apa yang sang adik katakan.Kepikiran sudah pasti. Tapi ya mau bagaimana lagi? Anak itu memang anaknya dia. Jadi kalau pun mirip ya pantas sajalah.Di tengah rasa heran yang melanda, Mentari jadi ingat dengan apa yang dilihatnya tadi."Oh iya, tadi Mentari baru aja abis lihat suaminya Kak Meisya. Dia gendong-gendong Kak Meisya ke IGD. Nggak tahu sakit apa. Tadi Mentari langsung pergi cari makanan sih. Jadi nggak samperin ke sana," ujar Mentari."Oh." Respon singkat yang Nayanika berikan kepada sang adik. Tidak aneh kalau mendengar Meisya digendong-gendong. Tapi sedikit penasaran juga, dengan apa yang mereka lakukan di sini. Hanya saja, tidak terlalu ia pikirkan. Bukan ranahnya dan bukan juga urusannya.Urusannya hanyalah merawat
Sementara itu di tempat yang lain. Abiyaksa tengah yang sempat terlelap sesaat itupun mendadak bangun. Dia segera menoleh ke samping dan sudah tidak menemukan Meisya di sampingnya seperti tadi."Sayang??" panggil Abiyaksa sembari turun dari atas tempat tidur. Dia melihat ke arah kamar mandi yang sedikit terbuka pintunya, lalu mendekati pintu tersebut."Sayang? Apa kamu di dalam?" tanya Abiyaksa yang sudah menyentuh pintu kamar mandi itu, lalu mendorongnya pelan-pelan, hingga tubuh Meisya yang tengah mematung itu terlihat olehnya."Sayang? Kamu sedang apa di situ?" tanya Abiyaksa yang tadinya hanya fokus pada wajah Meisya yang nampak pucat, berantakan dan juga banyak mengeluarkan keringat."Mas, perut aku sakit tadi. Terus ini, tiba-tiba begini," ucap Meisya seraya memutar bola matanya ke bawah dan melihat darah segar mengalir, dari kedua paha dan kini pelan-pelan sampai ke kakinya."Astaga, Sayang!" pekik Abiyaksa yang secepatnya mendekat tapi Meisya malah tumbang dan untungnya tertan
Nayanika berada di ruang bersalin dengan jarum infus yang sudah menancap di punggung tangan kirinya. Ia yang tengah merebahkan tubuhnya itupun sesekali mencengkram sisi tempat tidur dengan kencang, saat rasa mulasnya itu datang kembali dan lebih sering."Dek..." panggil Nayanika yang raut wajahnya kelihatan pucat pasi ini."Iya, Kak. Kenapa? Mentari ada di sini kok," timpal Mentari yang berada di sisi ranjang pasien ini."Mama gimana, Dek? Mama nggak apa-apa di rumah?" tanya Nayanika yang masih sempat-sempatnya memikirkan orang lain, daripada keadaannya sendiri. "Mama aman kok, Kak. Kakak nggak usah khawatir, Mentari udah titipin Mama ke temen sekelasnya Mentari kan tadi.""Dia bisa jaga Mama kan? Kalau nggak kamu pulang aja. Kakak nggak apa-apa sendirian di sini," ucap Nayanika sambil menggigit bibir bawahnya."Apa sih, Kak? Kakak butuh ditemenin sekarang. Kok malah nyuruh Mentari ninggalin kakak di sini. Kakak tenang aja, Mama aman kok. Temen Mentari itu baik. Dia juga cuma tinggal
"Oh, Nayanika. Kamu juga sedang periksa di sini?" sapa Abiyaksa, yang baru sadar bila Nayanika duduk sejajar dengannya dan di dekat sang istri."Iya, Mas. Mau check up rutin," jawab Nayanika."Kapan perkiraan lahirnya?" tanya Abiyaksa lagi. "Eum, kemungkinan bulan depan. Bulan depan lahirnya," jawab Nayanika."Cepat sekali ya? Nggak terasa, sudah mau lahir saja," ucap Abiyaksa."Iya. Cuma tinggal sedikit lagi," ucap Nayanika.Meisya hanya diam saja sambil terlihat acuh tak acuh. Dia sedang merasakan sensasi mual pusing dan sebagainya. Malas bicara dan juga malas sekali basa-basi. Toh wanita yang ada di sampingnya tidaklah penting dan sudah tidak lagi menjadi ancaman, karena suaminya tidak akan pernah meninggalkan seorang istri sah yang sedang mengandung darah dagingnya."Antrian nomor sembilan," panggil suster yang baru saja keluar dari dalam ruangan."Ayo, Mas. Saya duluan. Ayo, Mei," ucap Nayanika yang bersusah payah untuk bangun dari kursi dan segera berjalan masuk ke dalam ruang
Bumi: [Aku bakalan sibuk banget akhir-akhir ini, Nay. Udah mulai susun skripsi nih. Jadi jangan mikir yang macem-macem ya, kalau aku gak ada kabar dan gak dateng ke sana. Tapi kalau kamu ada perlu apa-apa, telepon aja. Ok?]Satu pesan yang masuk ke ponsel Nayanika dan dibaca bolak balik olehnya. Setelah berunding dan mendiskusikan tentang masa depan, akhirnya Bumi kembali pada rencananya diawal. Bereskan kuliah dulu. Bekerja. Baru setelah itu datang untuk meminangnya.Nayanika melakukan helaan napas yang cukup berat. Bukan batal tapi hanya ditunda. Tapi setidaknya, rasa takutnya sedikit berkurang sekarang. Tidak lagi memikirkan bagaimana nanti keluarga Bumi melihatnya. Untuk sementara bisa lega. Tetapi nanti tidak tahu harus bagaimana. Yang jelas, ia mau jalani saja yang ada dulu sekarang. Fokus kepada anaknya ini dan kepada waktu kelahiran anaknya nanti.[Iya. Semangat skripsinya. Semoga berhasil tanpa banyak revisi.]Pesan yang Nayanika kirimkan untuk membalas pesan Bumi. Lalu kemu







