Share

Dibayang-bayangi

last update Last Updated: 2025-09-08 16:35:04

Nayanika mendorong ibunya yang duduk di kursi roda dan mensejajarkan dengan posisi kursi, yang baru saja ia duduki. Nayanika telan salivanya dan melirik pria, yang sedang membaca rekam medis milik ibunya.

Garis wajah yang tegas. Model rambut side part, yang memberikan kesan dewasa dan juga berkelas. Kulit putih dan bibir yang terlihat merah muda, karena pria yang ditatapnya juga bukanlah seorang perokok. Wajar sekali, untuk ukuran seorang dokter, yang pastinya mengutamakan kesehatan. Belum lagi tangannya yang terlihat kekar, dengan urat-urat tangannya yang nampak  menonjol itu.

Nayanika memejamkan mata dan menggelengkan kepalanya sekali. Saat bayang sentuhan tangan itu, malah terbesit di dalam kepalanya juga. Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Jangan membayangkan yang bukan-bukan. Karena kenyataannya, laki-laki yang duduk di hadapannya sekarang, adalah suami orang.

"Nama pasien, Ibu Renata ya?" ucap pria tersebut sembari menatap Nayanika, yang malah berpaling muka ke bawah.

"Iya, dok," jawab Nayanika seraya mengangguk. Rasa canggungnya tercipta, sungguh dengan cukup luar biasa. Ia bahkan sampai tidak berani menatap laki-laki, yang duduk di depannya sekarang.

"Em, kalau tidak salah, kamu ini temannya istri saya ya??" ucap pria ini, yang akhirnya menyadari juga. Nayanika kira dia sudah melupakannya. Ternyata tidak. Dia ingat akan dirinya. Tetapi tidak tahu, dengan siapa dia menghabiskan malam pertamanya waktu itu.

"Em, iya, dok," jawab Nayanika sembari memberikan senyuman yang kaku.

"Saya Abiyaksa. Mungkin kamu sudah mengenali saya. Karena saya ini, adalah suami teman dekat kamu. Em, ngomong-ngomong, Dokter Emil berhalangan hadir hari ini. Jadi, saya yang bertugas untuk menggantikan beliau. Tapi tidak apa-apa. Saya sudah membaca rekam medis milik ibu Renata dan akan membantu untuk fisioterapi hari ini. Ayo," ucap Abiyaksa yang kini bangkit dari kursi dan hendak memulai terapi.

Ranjang pasien diturunkan, guna memudahkan untuk membawa wanita yang sedang sakit itu ke atasnya.

Nayanika pun sudah mengambil ancang-ancang, untuk menggotong ibunya bersama. Namun ditolak.

"Jangan, tidak usah. Kamu tidak boleh angkat-angkat yang berat. Biar saya saja," ucap Abiyaksa, yang kini mengambil ancang-ancang di tengah, lalu mengangkat tubuh dari sisi Nayanika.

"Suami kamu tidak ikut?" tanya Abiyaksa sesaat setelah ibunya ditaruh di atas ranjang pasien ini.

"Suami? Saya nggak punya suami," jawab Nayanika sembari menundukkan pandangannya.

"Oh ya? Mungkin pacar??" tanya Abiyaksa lagi.

"Nggak ada juga," jawab Nayanika sembari menggeleng dengan perlahan.

Abiyaksa yang sedang memakai sarung tangan medis itupun mengerutkan keningnya. Karena ia ingat jelas, bila wanita ini, sudah melakukan pemeriksaan kehamilan dan ia lihat sendiri hasilnya kemarin. Tapi kenapa dia tidak punya hubungan dekat dengan laki-laki?? Apa dia korban pelecehan?? Atau mungkin, kekasihnya mengakhiri hubungan??

"Lalu siapa yang mengantar ke sini?? Yang angkat ibu ke kursi roda juga??" tanya Abiyaksa.

"Saya. Dibantu driver mobil online tadi," jawab Nayanika.

Abiyaksa kembali termenung. Sedang hamil begini, harus sambil mengurus orang tua yang sakit juga dan sendirian??

"Lain kali, ajak kakak, adik, atau mungkin saudara ya? Jangan terlalu sering angkat-angkat yang berat. Pasti ada penekanan di perut. Nanti itu malah...,"

"Dok, gimana keadaan Mama saya??" ucap Nayanika yang cepat-cepat mengalihkan. Sejak tadi, dirinya terus yang dibahas. Biarpun ibunya ini tidak bisa bicara. Tapi dia bisa mendengar. Jangan sampai ibunya juga tahu, bila dia sedang mengandung sekarang.

"Em, sebentar ya, saya cek dulu," ucap Abiyaksa yang mulai membantu melakukan pergerakan, agar otot-otot yang kaku menjadi lebih lentur.

Nayanika terdiam sambil memandangi ibunya dan juga sesekali, memandangi suami orang juga. Salah besar memang. Tapi ia punya mata, yang biasa digunakan untuk melihat. Walaupun tak seharusnya ia perhatikan juga dia. Bukan suka. Tapi, ia masih merasa tidak menyangka, bila mereka berdua akan memiliki anak bersama.

Setelah serangkaian terapi dilakukan. Hingga berpuluh-puluh menit ke depan. Abiyaksa mengangkat sendiri tubuh ibunya Nayanika dan meletakkannya, di atas kursi rodanya lagi.

Setelah itu, segala penjelasan mengenai perkembangan pun diucapkan dan tetap, karena belum ada perubahan yang berarti. Jadi, Nayanika harus kembali lagi ke sini. Namun begitu, Abiyaksa selaku dokter yang memeriksa, malah menawarkan solusi lainnya.

"Em, tidak usah kembali lagi ke sini ya?" ralatnya dan tentu saja Nayanika memunculkan kerutan di dahinya, saking herannya.

"Kenapa emangnya, dok?? Mama saya belum sembuh kan?? Apa dokter sudah menyerah dengan kondisinya sekarang???" cecar Nayanika.

Abiyaksa tersenyum tipis. "Bukan. Bukan begitu maksud saya. Kamu tidak punya kerabat dekat, atau siapa yang mengantar ke sini kan?? Maka dari itu, saya sarankan kamu, untuk melakukan fisioterapi dari rumah saja. Jadi, kamu tidak perlu bolak-balik ke rumah sakit. Hanya tinggal menunggu di rumah."

"Caranya??" tanya Nayanika.

"Kamu bisa melakukan pendaftaran dan...," Abiyaksa berhenti berucap dan terlihat memutar bola matanya ke samping sambil berpikir.

"Nanti saya yang datang ke rumah kamu saja," ucap Abiyaksa yang sontak membuat Nayanika menelan salivanya.

Dia, datang ke rumah?? Itu artinya, pertemuannya bukan hanya untuk kali ini saja?? Mereka berdua, akan sering bertemu??

Ah ya ampun. Ingat. Pertemuan ini adalah untuk pengobatan saja. Jangan berpikiran yang lain. Jangan aneh-aneh. Hanya sekedar bertemu untuk usaha penyembuhan ibunya saja. Tidak lebih dari itu.

"Bagaimana? Apakah kamu setuju?? Karena saya, butuh persetujuan dari kamu. Daripada kamu kewalahan sendirian. Apa lagi, di kondisi kamu yang sekarang ini," ujar Abiyaksa.

"Iya. Boleh," ucap Nayanika sembari menelan salivanya.

"Ya sudah. Kalau begitu, saya boleh minta nomor kamu? Saya akan mengabarkan, kapan kiranya jadwal saya kosong. Jadi nanti, di hari itulah saya akan datang ke sana," ucap Abiyaksa seraya mengeluarkan ponsel dari saku bajunya dan sudah siap-siap mengetik angka-angka, yang Nayanika sebutkan.

Sekitar dua belas angka Nayanika sebutkan dan Abiyaksa ketik, lalu ia coba melakukan panggilan telepon, setelah terhubung, baru ia simpan di dalam ponselnya.

"Ok, sudah saya simpan ya?? Kalau begitu, kita akhiri sesi pertemuan hari ini ya. Untuk pertemuan berikutnya, akan saya kabari kamu langsung nanti," ucap Abiyaksa seraya memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku kemejanya.

"Iya, dok. Terima kasih," ucap Nayanika sembari bangun dari kursi dan mendorong kursi rodanya keluar seorang diri.

Nayanika termenung sambil berjalan pelan dan dengan mendorong kursi roda. Ia sedang memikirkan lagi, apa hal ini bagus untuk dilakukan?? Pertemuan mereka, mungkin akan jadi lebih sering. Kalau Meisya tahu, apa dia tidak akan marah?? Meskipun niatnya hanya untuk terapi, ia tidak yakin juga, bila Meisya akan santai-santai saja.

Ah tapi, ini adalah bagian dari pekerjaan suaminya kan?? Lagi pula, bukan ia yang meminta, tetapi suaminya itu yang menawarkan dan memang, ia cukup kewalahan juga, bila harus bolak balik rumah sakit untuk mengantarkan ibunya.

Nayanika mengembuskan napas dan berjalan terus saja, sampai ke kendaraan online, yang sudah ia pesan sebelumnya.

Lantas, setelah mengantarkan ibunya pulang, Nayanika beristirahat sebentar. Ia terlelap di atas sofa dan tidak berapa lama, dibangunkan oleh sang adik, yang baru saja pulang sekolah.

"Kak?? Kakak???" panggil Mentari sembari mengguncangkan bahu Nayanika.

Nayanika membuka mata dan mengerjap-ngerjapkan matanya juga. Lalu menyipit untuk menatap sang adik.

"Eh, kamu udah pulang," ucap Nayanika seraya bangun dan duduk di atas sofa.

"Iya, Kak. Baru sampe. Kakak capek banget ya? Kok malah tidur di sini??" tanya Mentari.

"Iya nih. Ngantuk capek. Oh iya, jam berapa sekarang??" tanya Nayanika dan Mentari pun menatap jam yang tertempel di dinding ruang tamu ini.

"Jam dua, Kak."

"Kok cepet banget ya? Ya udah deh. Kakak mau mandi dulu. Mau siap-siap kerja. Oh iya, tadi pagi kakak udah masak. Kamu makan gih sana. Jangan lupa angetin dulu," perintah Nayanika seraya turun dari sofa dan berjalan ke kamarnya.

"Iya, Kak. Mentari mau ganti baju dulu," ucap sang adik yang pergi ke kamar juga.

Setelah menghabiskan waktu sekitar lima belas menit untuk melakukan persiapan. Kini, sudah saatnya Nayanika berangkat bekerja. Lelah. Tapi tidak boleh mengeluh, apa lagi bermalas-malasan. Hanya beberapa jam saja dan setelahnya, ia bisa pulang dan beristirahat di rumah. Lalu pagi bangun lagi dan mengurusi ibu maupun rumah juga.

Nayanika sudah sampai dan sudah menggunakan seragam kerjanya. Ia juga sudah merapikan meja maupun kursi cafe. Cuma tinggal menunggu pelanggan yang datang. Namun, pelanggan yang satu ini, agaknya kurang membuatnya senang.

"Tolong menunya dong!" panggil orang yang baru saja duduk di kursi, sambil melambaikan tangan kepada Nayanika yang sedang berdiri.

Nayanika menghela nafas dan mendekati pelanggan pertamanya, yang ia yakini, datang bukan karena ingin mencicipi apa yang ada di cafe ini.

"Ini, silahkan menunya," ucap Nayanika sembari tersenyum ramah.

"Aku nggak suka main-main, Nay. Bisa, kamu turuti kata-kataku?? Itu pun, kalau kamu mau hidup tenang," ucap orang yang sedang menatap menu, tapi malah sambil berbisik dalam berbicara kepada Nayanika, yang langsung menghela nafas karena masih juga dikejar dan dibayang-bayangi, oleh sahabatnya sendiri.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • NAYANIKA: Gadis Pengganti di Malam Pertama    Membutuhkan Seseorang

    Nayanika membekap wajahnya sendiri. Ia sedang berusaha keras, untuk menghentikan aliran air yang mengalir deras dari kedua matanya ini. Terlalu sering menahan, sekalinya air itu keluar, malah tidak mau berhenti juga sedari tadi. "Nggak apa-apa. Aku bisa. Aku kuat kok," ucap Nayanika, kepada dirinya sendiri. Tidak ada yang memberikannya support. Maka, dirinya sendirilah yang akan melakukannya.Nayanika terus menerus menarik dan mengembuskan nafas. Ia tenangkan dirinya yang penuh dengan kekalutan. Ia usap lagi pipinya yang basah dan kemudian, ia berjalan pulang kembali ke rumahnya. Setibanya Nayanika di rumah. Dia bergegas masuk ke dalam rumahnya lagi. Dia pergi ke dalam kamar dan melepaskan jaketnya di sana, lalu naik ke atas tempat tidur dan meringkuk di atas ranjangnya itu.Rasa laparnya belum hilang. Keinginannya pun masih belum padam dan sekarang, malah ditambah dengan mood yang hancur habis-habisan. Harusnya tadi, ia tidak perlu keluar. Tida

  • NAYANIKA: Gadis Pengganti di Malam Pertama    Akan Tetap Mempertahankan

    "Kak?? Kakak kok udah pulang jam segini?? Masih sore lho ini, Kak," tanya Mentari, yang sedang menyuapi sang ibunda di teras rumah."Iya. Kakak berhenti, Dek," jawab Nayanika lesu."Kenapa berhenti, Kak??" tanya Mentari."Ada masalah sedikit di tempat kerja. Jadi harus berhenti. Tapi nanti kakak cari kerjaan yang lain kok. Kamu sekolah aja yang bener ya?? Nggak usah mikir macem-macem. Spp bulan ini udah kan??" tanya Nayanika."Iya, Kak. Udah sih, Kak," jawab Mentari yang tetap kelihatan lesu. Ia tidak tahu bagaimana keuangan sang kakak sekarang. Kalau tidak bekerja, siapa yang akan mencari untuk ia dan juga ibu mereka??"Apa Mentari ikut cari uang aja ya, Kak??" ucap Mentari dan Nayanika malah terlihat membuat senyuman masam."Buat apa? Kalau kita kerja semua, nanti siapa yang jagain Mama?? Kamu tinggal belajar aja yang rajin. Masalah kerjaan, biar kakak yang urus. Kakak masih punya pegangan uang lumayan banyak kok. Kamu nggak us

  • NAYANIKA: Gadis Pengganti di Malam Pertama    Kenapa Masih Dihancurkan Lagi?

    "Jadinya mau pesan apa??" tanya Nayanika, tanpa peduli dengan ocehan Meisya tadi."Berikan yang paling mahal dan yang paling enak!" cetus Meisya sambil meletakkan daftar menu ke atas meja dengan agak kasar."Baik. Kalau begitu, ditunggu. Akan segera kami siapkan," ucap Nayanika, yang kini pergi dari hadapan sahabatnya sendiri."Pesan apa, Nay??" tanya Andre yang sudah siap-siap di dapur, untuk membuat pesanan."Mau yang paling mahal dan paling enak katanya," ucap Nayanika."Ah? Ya apa dong??" tanya Andre, karena takut salah."Macha latte sama beef bowl kan??" ucap Nayanika."Jadi, buat itu aja??" tanya Andre lagi."Ya iya," jawab Nayanika yang pergi untuk mengerjakan pekerjaan yang lain, saat customer yang benar-benar customer sudah datang."Ini, silahkan," ucap Annisa seraya menaruh pesanan milik Meisya."Kok kamu yang antar?? Waiterss yang tadi mana??" tanya Meisya dan Nayanika yang sedang mencatat menu bagi pelanggan yang lainnya, pun langsung menajamkan indra pendengarannya, saat

  • NAYANIKA: Gadis Pengganti di Malam Pertama    Dibayang-bayangi

    Nayanika mendorong ibunya yang duduk di kursi roda dan mensejajarkan dengan posisi kursi, yang baru saja ia duduki. Nayanika telan salivanya dan melirik pria, yang sedang membaca rekam medis milik ibunya. Garis wajah yang tegas. Model rambut side part, yang memberikan kesan dewasa dan juga berkelas. Kulit putih dan bibir yang terlihat merah muda, karena pria yang ditatapnya juga bukanlah seorang perokok. Wajar sekali, untuk ukuran seorang dokter, yang pastinya mengutamakan kesehatan. Belum lagi tangannya yang terlihat kekar, dengan urat-urat tangannya yang nampak menonjol itu.Nayanika memejamkan mata dan menggelengkan kepalanya sekali. Saat bayang sentuhan tangan itu, malah terbesit di dalam kepalanya juga. Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Jangan membayangkan yang bukan-bukan. Karena kenyataannya, laki-laki yang duduk di hadapannya sekarang, adalah suami orang."Nama pasien, Ibu Renata ya?" ucap pria tersebut sembari menatap Nayanika, yang malah berpaling muka ke bawah."Iya, dok,

  • NAYANIKA: Gadis Pengganti di Malam Pertama    Ingin Mempertahankan

    Kini, Nayanika pun baru berani memutar kepalanya dan menatap sahabatnya, Meisya."Ha? Gimana?" tanya Nayanika."Gugurin anak itu, Nay! Jangan kamu biarin dia lahir! Gugurin dari sekarang juga!!" pekik Meisya, sampai tatapan ngeri itu, Nayanika tujukan untuk sahabatnya ini."Kenapa?? Kenapa aku harus lakukan itu??" tanya Nayanika."Kenapa?? Kamu tanya kenapa??? Jangan tinggalkan jejak apapun! Jangan sampai Mas Abiyaksa tahu, kalau kamu itu pernah tidur dengan dia dan lagi mengandung anaknya!!" seru Meisya, dengan amat sangat menggebu-gebu. Dia yang memulai permainan ini dan sekarang, dia juga yang panik sendiri.Meisya kira, Nayanika akan mengambil uang yang ia berikan. Namun, hal yang selanjutnya terjadi, malah membuat Meisya semakin tidak habis pikir jadinya.Amplop cokelat yang berisi uang tadi, kini malah ditaruh pada dashboard mobil, lalu diikuti dengan kata-kata yang dilontarkan oleh Nayanika juga."Aku nggak bisa terima itu," ucap Nayanika dan Meisya pun sontak tersenyum masam.

  • NAYANIKA: Gadis Pengganti di Malam Pertama    Perintah Meisya

    "Mas salah liat mungkin!" cetus Meisya."Ah masa? Aku ingat jelas kok mukanya. Dia teman kamu, yang waktu itu jadi bridesmaid kan?? Masa salah orang.""Ya bisa aja kan? Orangnya cuma mirip-mirip," ucap Meisya sembari mengoleskan krim wajah dengan terburu-buru.Abiyaksa bergeming dan mengingat-ingat kembali kejadian tadi. Terutama, di bagian wajah wanita, yang ia temui saat di rumah sakit.Tapi setelah itu, ia menoleh kepada Meisya yang sibuk mengusap wajah dengan krim dan berucap kepadanya lagi."Kamu sudah terlambat datang bulan belum?" tanya Abiyaksa dan Meisya hanya melirik kaku dan nampak tak terlalu peduli, dengan pertanyaan yang Abiyaksa ajukan."Belum! Aku kan baru selesai datang bulan Minggu kemarin!" jawab Meisya dengan sedikit ketus. Abiyaksa menghela nafas. Ia ingin segera punya bayi juga. Tanpa tahu, bila diam-diam istrinya selalu rutin meminum pil kontrasepsi, sedari masih berpacaran. Dia belum terpikirkan ingin memiliki anak. Masih ingin have fun. Masih menikmati masa k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status