Kini, Nayanika pun baru berani memutar kepalanya dan menatap sahabatnya, Meisya.
"Ha? Gimana?" tanya Nayanika. "Gugurin anak itu, Nay! Jangan kamu biarin dia lahir! Gugurin dari sekarang juga!!" pekik Meisya, sampai tatapan ngeri itu, Nayanika tujukan untuk sahabatnya ini. "Kenapa?? Kenapa aku harus lakukan itu??" tanya Nayanika. "Kenapa?? Kamu tanya kenapa??? Jangan tinggalkan jejak apapun! Jangan sampai Mas Abiyaksa tahu, kalau kamu itu pernah tidur dengan dia dan lagi mengandung anaknya!!" seru Meisya, dengan amat sangat menggebu-gebu. Dia yang memulai permainan ini dan sekarang, dia juga yang panik sendiri. Meisya kira, Nayanika akan mengambil uang yang ia berikan. Namun, hal yang selanjutnya terjadi, malah membuat Meisya semakin tidak habis pikir jadinya. Amplop cokelat yang berisi uang tadi, kini malah ditaruh pada dashboard mobil, lalu diikuti dengan kata-kata yang dilontarkan oleh Nayanika juga. "Aku nggak bisa terima itu," ucap Nayanika dan Meisya pun sontak tersenyum masam. "Kenapa?? Kurang??? Mau berapa emangnya hm?? Aku tambah lagi nanti. Atau sekarang juga aku tarik di Bank, terus aku kasih ke kamu!" "Aku nggak mau. Aku... Aku nggak mau gugurin anak ini," ucap Nayanika sembari memegangi perut, dengan kedua telapak tangannya itu. Kedua bola mata Meisya seakan-akan keluar. Ia tidak suka. Ia tidak menyangka, bila Nayanika menolak uang yang dia berikan. Bahkan, dia juga malah berusaha keluar dari mobilnya juga. Apa wanita ini sudah gila??? "Gugurin gue bilang, Nay!!" paksa Meisya bahkan hampir sambil memekik kencang. "Ini anak aku, Mei. Kamu nggak berhak atur-atur hidupnya. Karena aku yang mengandung dia. Dia anakku. Bukan anak kamu!" tegas Nayanika. Ia sadar, bila semua ini salah. Ini semua termasuk ke dalam kesalahannya juga. Akan tetapi, ia tidak mau mengorbankan nyawa, yang bahkan tidak tahu apa-apa. Anak ini tidaklah berdosa. Dia berhak dilahirkan, biar tanpa seorang ayah. Ada ia ibunya. Ada ia, yang akan melakukan hal apapun, untuk melindungi dan membesarkan anak ini. Biarpun pasti tak akan mudah. Meisya mengambil amplop Cokelat yang Nayanika simpan di dashboard mobilnya, lalu melemparkannya lagi kepada Nayanika. "Ambil! Pake! Cari dokter kandungan atau dukun beranak kek! Yang pasti, gue mau itu anak ilang dari perut lo!! Jangan sampai Mas Abiyaksa tahu!! Jangan sampai dia tahu, lo itu pernah ngandung anaknya dia!!" pekik Meisya dengan teramat frustasi. Nayanika mengembuskan nafas. Ia lemparkan lagi amplop tebal itu ke dashboard mobil, lalu kemudian keluar dari mobil tersebut. "Nay!! Lo mau kemana!!? Ambil uangnya gua bilang!! Ambil ini, Nay!!!" seru Meisya pada Nayanika , yang sudah kembali menaiki motor matic-nya lagi. Ia gunakan helm-nya dan melaju pergi, tanpa peduli dengan teriakan Meisya kepadanya. Nayanika, menarik dan mengembuskan nafas di sepanjang perjalanannya. Air bening di pelupuk mata, terasa ingin keluar. Tapi, ia tahan sendiri. Ia kuatkan hati. Ia kuatkan pikirannya. Demi ibu, adik dan sekarang ditambah satu calon anggota baru, yang masih ada di dalam rahimnya kini. Nayanika memberhentikan motornya di area parkir cafe. Ia lepaskan helm dan ia masuk ke dalam cafe, dimana tempatnya mencari nafkah. Biarpun sedikit pusing maupun masih ada rasa mualnya juga, Nayanika tahan itu semua. Ia bisa. Ia sanggup untuk menjalani hidupnya yang terasa berat. Sebenarnya butuh pundak. Butuh sandaran. Tapi ia tidaklah memiliki tempat itu. Hatinya kosong dan hampa. Di dalam kepalanya hanyalah tertanam soal pekerjaan dan uang. Bila ada uang, hidup akan terasa lebih mudah. Ia tidak akan bingung maupun takut kekurangan. Ada tiga orang yang harus dinafkahi, ia harus perkuat lagi pundaknya. Ia tak boleh menyerah di sini. Biar berat. Ia pasti bisa lalui semua ini. Ia yakin akan hal itu. Ia yakin, setiap pengorbanan yang ia lakukan tidaklah sia-sia, apa lagi, itu bagi orang-orang yang dicintainya. "Nay, lap dulu semua meja ya?? Cepetan. Kita udah mau buka lima menit lagi," ucap Annisa, yang langsung memberikan lap, saat Nayanika baru selesai mengganti seragamnya. Nayanika termenung sesaat. Ia perhatikan meja-meja yang berjajar rapi dan satu persatu harus ia bersihkan, dalam waktu lima menit?? Tidak ada banyak waktu. Nayanika mulai dari meja yang terdekat. Ia lap dengan cepat. Hingga peluh sebesar biji jagung, sudah mulai bertebaran di dahinya. Tapi hanya ia usap dengan punggung tangannya saja. Dengan napas yang terengah-engah, meja terakhir sudah selesai di lap dan untungnya, belum ada pelanggan yang datang. Nayanika pergi ke belakang untuk minum dulu. Harus cukup air putih. Agar tidak lemas dan agar tidak pingsan mendadak di tempat kerja. Jam kerja masih lama dan perjuangannya pun masih lah panjang. Malamnya setelah sampai di rumah kembali. Nayanika menyantap makanan biarpun sambil merasakan mual. Ia harus makan demi anaknya. Biar sedang tidak nafsu pun, ia harus tetap mengisi perut dan meminum vitaminnya juga. Beberapa macam vitamin sudah berada di genggaman tangannya. Sekarang, ia masukkan ke dalam mulutnya sekaligus dan kemudian ia dorong dengan segelas air putih. Nayanika yang sedang duduk di kursi dapur itupun, nampak menyentuh area perutnya sendiri. Begah dan tidak terasa benjolan perutnya, karena memang usia kandungannya masihlah muda. Bagaimana, kalau perutnya membesar nanti?? Pasti, akan sulit ditutupi. Akan susah bekerja dan akan bagaimana juga ke depannya nanti?? Ah semua itu membuatnya pusing. Belum lagi, Meisya malah menyuruhnya untuk menggugurkan anak ini. Dia pasti takut ketahuan. Padahal santai saja. Kalaupun mau, ia pasti sudah mengatakan hal ini kepada suaminya itu kemarin. Tapi tidak ia lakukan kan?? Nafas berembus dengan lumayan panjang dari mulut Nayanika. Rasanya jadi tidak menentu. Tidak masalah menjadi ibu tunggal. Tapi yang jadi masalahnya, bagaimana bila saat anaknya besar nanti, dia malah bertanya tentang ayahnya?? Apa yang harus ia katakan?? Tidak mungkin memberitahukan siapa ayahnya. Karena kenyataannya, dia adalah suami orang. Nayanika menghela nafas dengan sangat panjang dan pergi untuk mencuci piring. Lalu setelahnya pergi tidur. Karena besok, adalah jadwalnya ia mengantarkan sang ibu, untuk pemeriksaan rutin di rumah sakit. Keesokan harinya. Nayanika mengantarkan sang ibu untuk melakukan serangkaian pengobatan ke dokter bedah syaraf, demi mengobati penyakit stroke yang dideritanya. Untung saja, masih banyak uang tersisa. Jadi, Nayanika tidak perlu lagi merasa pusing, karena harus mencari-cari uang kesana kemari. Namun begitu, bukan juga menjadi alasannya untuk bermalas-malasan. Ia tetap berusaha untuk bekerja juga. Karena uang sebanyak apapun pasti akan habis ujung-ujungnya. Jadi tetap harus menghasilkan uang, biarpun masih ada pegangan uang. Nayanika, terlihat menunggu di depan ruangan fisioterapi. Menunggu dokter yang biasanya menangani ibunya ini datang. Hanya berduaan saja dengan sang ibu, karena adiknya yang duduk di bangku sekolah menengah atas tingkat pertama, masih belum pulang sekolah juga. Nayanika menatap sang ibu dan kemudian menghela napas lelah. Lalu ia lihat ke depan lagi dan dilihatlah, sesosok laki-laki, yang tengah berjalan dengan menggunakan jas berwarna putih dan rambut yang di sisir dengan rapi. Tegukan saliva dibuat oleh Nayanika, yang sambil memalingkan wajahnya, saat laki-laki itu sempat menoleh dan menatap dirinya. Jantungnya bergemuruh dengan sangat kencang, seolah-olah tengah berusaha untuk mendobrak tulang rusuknya ini. Tidak tahu kemana perginya. Tetapi, saat gilirannya dipanggil dan Nayanika mendorong ibunya masuk ke dalam ruangan tersebut. Laki-laki yang sempat dilihat olehnya saat berada di luar tadi, kini malah sedang duduk pada sebuah kursi, yang biasanya dokternya duduki. "Ayo, silahkan duduk," perintah laki-laki itu kepada Nayanika, yang hanya tertegun sambil berdiri saja. Kenapa, malah dia yang ada di sini??? Apakah ia salah jadwal ??? Harusnya, Dokter Emil kan sekarang?? Tapi kenapa, yang duduk di sana itu malah laki-laki yang itu??? Laki-laki yang merupakan suami temannya dan sekaligus, ayah dari anak yang sedang dikandungnya sekarang ini??Nayanika membekap wajahnya sendiri. Ia sedang berusaha keras, untuk menghentikan aliran air yang mengalir deras dari kedua matanya ini. Terlalu sering menahan, sekalinya air itu keluar, malah tidak mau berhenti juga sedari tadi. "Nggak apa-apa. Aku bisa. Aku kuat kok," ucap Nayanika, kepada dirinya sendiri. Tidak ada yang memberikannya support. Maka, dirinya sendirilah yang akan melakukannya.Nayanika terus menerus menarik dan mengembuskan nafas. Ia tenangkan dirinya yang penuh dengan kekalutan. Ia usap lagi pipinya yang basah dan kemudian, ia berjalan pulang kembali ke rumahnya. Setibanya Nayanika di rumah. Dia bergegas masuk ke dalam rumahnya lagi. Dia pergi ke dalam kamar dan melepaskan jaketnya di sana, lalu naik ke atas tempat tidur dan meringkuk di atas ranjangnya itu.Rasa laparnya belum hilang. Keinginannya pun masih belum padam dan sekarang, malah ditambah dengan mood yang hancur habis-habisan. Harusnya tadi, ia tidak perlu keluar. Tida
"Kak?? Kakak kok udah pulang jam segini?? Masih sore lho ini, Kak," tanya Mentari, yang sedang menyuapi sang ibunda di teras rumah."Iya. Kakak berhenti, Dek," jawab Nayanika lesu."Kenapa berhenti, Kak??" tanya Mentari."Ada masalah sedikit di tempat kerja. Jadi harus berhenti. Tapi nanti kakak cari kerjaan yang lain kok. Kamu sekolah aja yang bener ya?? Nggak usah mikir macem-macem. Spp bulan ini udah kan??" tanya Nayanika."Iya, Kak. Udah sih, Kak," jawab Mentari yang tetap kelihatan lesu. Ia tidak tahu bagaimana keuangan sang kakak sekarang. Kalau tidak bekerja, siapa yang akan mencari untuk ia dan juga ibu mereka??"Apa Mentari ikut cari uang aja ya, Kak??" ucap Mentari dan Nayanika malah terlihat membuat senyuman masam."Buat apa? Kalau kita kerja semua, nanti siapa yang jagain Mama?? Kamu tinggal belajar aja yang rajin. Masalah kerjaan, biar kakak yang urus. Kakak masih punya pegangan uang lumayan banyak kok. Kamu nggak us
"Jadinya mau pesan apa??" tanya Nayanika, tanpa peduli dengan ocehan Meisya tadi."Berikan yang paling mahal dan yang paling enak!" cetus Meisya sambil meletakkan daftar menu ke atas meja dengan agak kasar."Baik. Kalau begitu, ditunggu. Akan segera kami siapkan," ucap Nayanika, yang kini pergi dari hadapan sahabatnya sendiri."Pesan apa, Nay??" tanya Andre yang sudah siap-siap di dapur, untuk membuat pesanan."Mau yang paling mahal dan paling enak katanya," ucap Nayanika."Ah? Ya apa dong??" tanya Andre, karena takut salah."Macha latte sama beef bowl kan??" ucap Nayanika."Jadi, buat itu aja??" tanya Andre lagi."Ya iya," jawab Nayanika yang pergi untuk mengerjakan pekerjaan yang lain, saat customer yang benar-benar customer sudah datang."Ini, silahkan," ucap Annisa seraya menaruh pesanan milik Meisya."Kok kamu yang antar?? Waiterss yang tadi mana??" tanya Meisya dan Nayanika yang sedang mencatat menu bagi pelanggan yang lainnya, pun langsung menajamkan indra pendengarannya, saat
Nayanika mendorong ibunya yang duduk di kursi roda dan mensejajarkan dengan posisi kursi, yang baru saja ia duduki. Nayanika telan salivanya dan melirik pria, yang sedang membaca rekam medis milik ibunya. Garis wajah yang tegas. Model rambut side part, yang memberikan kesan dewasa dan juga berkelas. Kulit putih dan bibir yang terlihat merah muda, karena pria yang ditatapnya juga bukanlah seorang perokok. Wajar sekali, untuk ukuran seorang dokter, yang pastinya mengutamakan kesehatan. Belum lagi tangannya yang terlihat kekar, dengan urat-urat tangannya yang nampak menonjol itu.Nayanika memejamkan mata dan menggelengkan kepalanya sekali. Saat bayang sentuhan tangan itu, malah terbesit di dalam kepalanya juga. Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Jangan membayangkan yang bukan-bukan. Karena kenyataannya, laki-laki yang duduk di hadapannya sekarang, adalah suami orang."Nama pasien, Ibu Renata ya?" ucap pria tersebut sembari menatap Nayanika, yang malah berpaling muka ke bawah."Iya, dok,
Kini, Nayanika pun baru berani memutar kepalanya dan menatap sahabatnya, Meisya."Ha? Gimana?" tanya Nayanika."Gugurin anak itu, Nay! Jangan kamu biarin dia lahir! Gugurin dari sekarang juga!!" pekik Meisya, sampai tatapan ngeri itu, Nayanika tujukan untuk sahabatnya ini."Kenapa?? Kenapa aku harus lakukan itu??" tanya Nayanika."Kenapa?? Kamu tanya kenapa??? Jangan tinggalkan jejak apapun! Jangan sampai Mas Abiyaksa tahu, kalau kamu itu pernah tidur dengan dia dan lagi mengandung anaknya!!" seru Meisya, dengan amat sangat menggebu-gebu. Dia yang memulai permainan ini dan sekarang, dia juga yang panik sendiri.Meisya kira, Nayanika akan mengambil uang yang ia berikan. Namun, hal yang selanjutnya terjadi, malah membuat Meisya semakin tidak habis pikir jadinya.Amplop cokelat yang berisi uang tadi, kini malah ditaruh pada dashboard mobil, lalu diikuti dengan kata-kata yang dilontarkan oleh Nayanika juga."Aku nggak bisa terima itu," ucap Nayanika dan Meisya pun sontak tersenyum masam.
"Mas salah liat mungkin!" cetus Meisya."Ah masa? Aku ingat jelas kok mukanya. Dia teman kamu, yang waktu itu jadi bridesmaid kan?? Masa salah orang.""Ya bisa aja kan? Orangnya cuma mirip-mirip," ucap Meisya sembari mengoleskan krim wajah dengan terburu-buru.Abiyaksa bergeming dan mengingat-ingat kembali kejadian tadi. Terutama, di bagian wajah wanita, yang ia temui saat di rumah sakit.Tapi setelah itu, ia menoleh kepada Meisya yang sibuk mengusap wajah dengan krim dan berucap kepadanya lagi."Kamu sudah terlambat datang bulan belum?" tanya Abiyaksa dan Meisya hanya melirik kaku dan nampak tak terlalu peduli, dengan pertanyaan yang Abiyaksa ajukan."Belum! Aku kan baru selesai datang bulan Minggu kemarin!" jawab Meisya dengan sedikit ketus. Abiyaksa menghela nafas. Ia ingin segera punya bayi juga. Tanpa tahu, bila diam-diam istrinya selalu rutin meminum pil kontrasepsi, sedari masih berpacaran. Dia belum terpikirkan ingin memiliki anak. Masih ingin have fun. Masih menikmati masa k