Masuk"Tante, Naya dan Nasya pulang dulu ya?" ucap Nayanika di depan pintu rumah."Oh iya iya. Ya sudah. Kalian hati-hati di jalan ya? Kamu juga jangan kebut-kebutan Abi," ucap sang ibu menasehati anaknya itu dulu."Nggak, Ma. Abi nggak akan kebut-kebutan kok. Keselamatan yang utama kan? Apa lagi, yang dibawa juga cucunya Mama," ucap Abi."Ayo, Pa. Abi pergi dulu," ucap Abi kepada ayahnya yang berdiri di samping sang istri."Iya. Jangan lupa cepat kabari kapan kalian akan menikahnya. Jangan lama-lama. Jangan tunggu Papa renta dan tidak bisa apa-apa dulu. Papa juga ingin bermain dengan cucu-cucu Papa nanti," ucap sang ayah yang masih juga menggebu. Tapi anaknya malah sedang garuk-garuk kepala karena bingung harus menjawab apa."Beres, Pa. Ayo," ajak Abi yang kemudian berjalan ke arah mobil dan membuka pintunya untuk Nayanika.Abi melambaikan tangannya dulu dari kaca mobil yang dibuka. Lalu dia pun mulai meluncur pergi dan mengantarkan N
Memang mirip dan bahkan sangatlah mirip. Tapi... anak mereka ini kapan menikahnya? Kenapa tiba-tiba sudah memberikan cucu? Mana kelihatannya sudah besar begini. Kalau dikira-kira, tidak mungkin hanya berusia bulanan."A-anak? Kamu kapan menikahnya Abi? Kok nggak beritahu kami dulu," respon sang ibu dan senyuman Abi pun berubah jadi masam."Eum, kami memang belum menikah, Ma. Tapi, Nasya ini anaknya Abi. Anak biologis. Jadi udah nggak perlu pakai test DNA lagi. Lihat, wajah kami mirip kan?" ucap Abi dengan santainya, hanya sang ayah yang kelihatan mengerutkan keningnya di sana. Merasa tak habis pikir, bisa-bisanya ada anak dulu sebelum pernikahan.Ibunya Abi tidak bisa berkata-kata. Bahkan ayahnya saja hanya diam sedari tadi dengan tatapan mata tajam, yang dia arahkan kepada putranya sendiri."Nasya... Itu lihat. Yang di sana Oma sama Opanya Nasya. Mereka orang tuanya Papa. Apa kamu nggak mau pergi ke mereka dulu?" ucap Abi dan Nasya pun hanya diam saja sambil menatap kakek maupun nene
"Kayaknya nggak usah deh, Mas," tolak Nayanika."Kenapa? Orang tua saya, pasti sangat ingin melihat cucunya. Jadi, saya ingin mereka bertemu dengan Nasya.""Ya tapi... Saya harus bilang apa ke mereka!?""Ya kamu nggak perlu bilang apapun. Biar saya yang bicara. Kamu cukup menemani Nasya di dalam.""Oh ya ampun, Mas. Bisa nggak sih, nggak usah aneh-aneh. Jangan persulit hidupku terus!" keluh Nayanika."Apa aku selalu menyulitkan kamu?" tanya Abi keheranan."Ya iya! Sekarang kalau orang tuanya Mas itu tanya-tanya tentang aku sama Nasya, aku harus jawab apa Mas!?""Ya katakan yang sejujurnya saja.""Ya nggak bisa gitulah, Mas. Aku punya tunangan! Nggak bisa aku datang ketemu orang tuanya Mas sembarangan!" omel Nayanika sampai Nasya jadi terbangun juga."Mama pipis. Naca mau pipis," ucap anaknya yang benar-benar tidak tahu tempat sekali. "Di rumah aja ya? Kita pulang dulu," bujuk Nayanika."Ahh... Naca mau pipis Mama. Naca mau pipis!" pekiknya."Jangan dipaksa. Kasihan. Menahan buang air
"Papa duduk di sini. Terus Nasya di depan sini ya?" ucap Abi yang memposisikan sang anak di depannya."Ayo satu, dua, ti... ga!"Abi meluncur ke bawah dengan sedikit pelan dan Nasya nampak kegirangan saat merasakan sensasi yang baru pertama kali ia coba itu."Aman kan?" ucap Abi tapi Nayanika langsung mengangkat tubuh Nasya dan menggendongnya. Jantungnya hampir saja copot tadi. Karena harus melihat anaknya terjun ke bawah seperti itu."Mama agi, agi. Naca mau agi!" ucap Nasya sambil menggeliat di gendongan ibunya."Mau lagi? Yuk," ajak Abi yang sudah mengulurkan kedua tangannya lagi.Nasya berpindah tangan dan raut wajah Nayanika sudah seperti mengajak perang. Untungnya Abi paham situasi."Hanya satu kali lagi. Setelah itu, saya ajak Nasya main yang lain," ucap Abiyaksa kepada Nayanika."Iya," jawab Nayanika singkat tapi dengan menunjukkan raut wajah yang masam."Nasya, dengarkan Papa. Kita naik sekali lagi, habis itu kita coba yang lain ya?" ucap Abi tapi anaknya sudah tantrum dan ti
Nayanika kebingungan. Dia lirik adiknya ini dulu dan menatap kepada Abi juga."Mau diajak kemana emangnya?" tanya Nayanika."Ke Playground. Saya sudah berjanji untuk mengajak Nasya ke sana. Katanya, saya boleh mengunjungi Nasya kapanpun kan? Terus juga, saya ini ayahnya. Jadi boleh juga, kalau saya ajak Nasya main di luar. Ayo, kalau kamu mau ikut. Mungkin kamu kurang percaya kalau saya cuma mengajak Nasya sendiri. Nanti dikiranya, saya mau ajak Nasya tanpa mengembalikannya kepada kamu lagi," ucap Abi.Nayanika melirik adiknya lagi. Seperti meminta pendapat, tapi tidak dijelaskan secara gamblang saja. Namun Mentari juga paham dengan bahasa mata kakaknya ini."Ya udah, Kak. Kalau kakak mau pergi sama Nasya. Mentari udah pulang ini kan. Biar Mentari yang jaga Mama di rumah. Sekali-kali, ajak Nasya main di luar, Kak. Dia juga pasti bosen mainnya di rumah terus," ucap Mentari.Nayanika berpikir sejenak. Memang kasihan anaknya, tidak pernah pergi main ke dunia luar sana. Tapi, apa tidak ap
Siang harinya.Bumi datang lagi dengan membawa lauk makan siang. Baru juga sampai di depan pintu, raut wajah malasnya sudah kentara sekali saat melihat Abi yang berada di dalam rumah dan sedang bermain dengan Nasya."Main, Mas?" ucap Bumi hanya untuk basa-basi saja."Iya," jawab Abi sambil tersenyum dan mengajak Nasya bicara lagi saja."Nasya? Ini Om bawa apa?" ucap Bumi yang mengeluarkan satu boneka kecil dari dalam paperbag yang ia bawa.Nasya langsung bangun dan berlari kepada Bumi yang langsung memberikan boneka yang dipegangnya kepada Nasya. Nasya langsung memeluk boneka itu dan berucap dengan spontan kepada Bumi."Maacih, Om," ucap Nasya."Sama-sama anak cantik," ucap Bumi sambil mengelus kepala Nasya."Ayo, Om. Main. Ayo, Om," ajak Nasya sambil memegang tangan Bumi.Abi memperhatikan dan terdengar suara helaan nafasnya. "Nanti ya? Sekarang kita mam dulu yuk! Mama mana?" tanya Bumi."Macak, Om.""Ya udah. Yuk kita ke Mama," ajak Bumi sambil menggendong Nasya dan membawanya ke d







