Penampakan sukma Nay terlihat berbeda. Mengenakan kain batik bercorak gajah oling berwarna hitam dengan lukisan tumbuhan berwarna emas. Terlihat kontras dengan baju beludru hitam tanpa lengan yang dipakai Nay. Kelat bahu berornamen bunga terlihat apik. Ompok berwarna emas dengan cundhuk mentul menghias kepala menambah ayu wajahnya. Tak lupa selendang kuning yang selalu tersampir di bahu dan kipas berwarna merah menyala terselip di pinggangnya. Serupa dengan penari gandrung Banyuwangi.Makhluk yang merasuki tubuh Pak Bram keluar dari tubuh inangnya. Dia berdiri di depan Nay. Tubuhnya terus meninggi dengan jari-jari tangan yang semakin memanjang. Kepalanya terus membesar menyerupai gurita. Jemari yang memanjang berubah menjadi delapan lengan. Bulatan-bulatan di bagian bawahnya sesekali terlihat saat tentakel itu bergerak ke atas. Dari situ pula Nay dapat merasakan aliran energi yang besar siap mencengkeram."Beraninya kau gadis sombong!"Nay hanya tersenyum tipis. Namun hal itu justru
Belum sempat Pak Bram menjawab, suara tawa seseorang tiba-tiba terdengar menggelegar."Dia bukan ayahmu!" kata suara laki-laki yang tidak terlihat sosoknya."Siapa kau?" tanya Nay geram."Kau akan tahu nanti. Akulah yang mengurung Bramantyo di sini. Kau ingatlah baik-baik suaraku. Kelak kita bertemu lagi. Kali ini aku membiarkanmu hidup. Pergilah!"Tempat itu seketika berguncang. Langit dan tanah pun terbelah dengan cepat. Nay menyambar tangan Pak Bram. Secepat kilat dia membawa sukma itu kembali. Bila tempat itu runtuh mereka tidak akan punya kesempatan lagi.Gantari menarik mereka dengan kekuatan penuh. Energinya terkuras, begitupun Nay. Pandangannya buram, tubuhnya limbung. Tak berapa lama Nay terjatuh ke lantai.***"Please, Nay! Bangun!" Rey menepuk-nepuk pipi Nay. "Apa harus kucium di depan orang-orang supaya kamu bangun?" bisik Rey kemudian."Awas kalau kau lakukan itu!" Nay menjawab pelan. "Aku masih bisa mendengar, hanya tubuhku saja yang susah kugerakkan."Rey mengangkat bah
Ada dua kantin tak jauh dari lapangan basket. Nay sudah sering makan di situ. Yang satu punya Pak Slamet dan satunya lagi punya Bu Saminah. Sama-sama asal Jawa satu kampung pula. Namun, ada perbedaan yang sangat mencolok dari kantin keduanya. Kantin Pak Slamet lebih ramai. Sedangkan kantin Bu Saminah biasa-biasa saja. Malah dulu pembelinya sangat sedikit. Sampai malam jualannya masih banyak. Bukan tidak enak, tetapi kalah rasa dengan makanan di kantin Pak Slamet. Makanan yang bercampur liur makhluk gaib bercita rasa sempurna bagi orang awam yang tidak peka.Ada tiga pocong di kantin Pak Slamet. Yang satu berdiri di depan, yang satunya lagi berdiri di deretan wadah makanan di dapur. Dia bertugas memberi bumbu penyedap dengan meneteskan air liur. Sedangkan yang terakhir berdiri di pintu belakang. Siapapun yang masuk ke kantin itu pasti membeli. Tapi tidak untuk orang-orang sensitif seperti Nay.Sangat bisa Nay mengerjai kantin Pak Slamet tetapi dia memilih untuk membantu Bu Saminah. Bel
Nay mendekati pria itu. "Kembalikan uang mereka! Atau Anda yang saya santet!" ancam Nay dengan mata mendelik.Buru-buru dia mengembalikan amplop tadi pada suami Bu Saminah. Dia tidak berani menatap Nay."Silakan Anda pulang dukun gadungan! Ini kali terakhir saya melihat muka Anda! Jangan sampai saya bikin Anda terkencing-kencing di celana!"Pria itu mengambil tasnya. Tanpa pamit dia keluar dengan langkah cepat. Bu Saminah dan suaminya terbengong-bengong. Pria gagah berperawakan tinggi besar dengan kumis tebal melintang terbirit-birit mendengar perkataan seorang perempuan seperti Nay."Lah, kok dia bisa begitu. Pulang tidak pamit lagi. Takut kelihatannya sama kamu, Nay," kata Bu Saminah dengan raut wajah heran. "Tadi itu dukun palsu. Biarkan saja, Bu. Oh, iya di mana kamar anak Ibu?" tanya Nay.Suami Bu Saminah menunjuk ke arah pintu berwarna hijau di sebelah kanannya. "Bapak dan Ibu di sini saja. Biar saya masuk sendiri. Tidak perlu khawatir. Doakan saya berhasil menyembuhkan Dewi.
Nay melai mengusap dari ujung kaki. Baru pada bagian kaki saja sudah memenuhi genggaman tangan Nay. Dia meletakkan benda-benda yang berhasil ditariknya pada sehelai kain yang dia bawa sebelumnya. Nay menyisir bagian-bagian tubuh Dewi dengan sabar. Ukuran benda-benda itu bervariasi. Dari yang sangat kecil sampai yang besar. Untuk menarik yang kecil diperlukan kesabaran, ketelitian dan energi ekstra. Kening Nay mulai berkeringat. Tenaganya banyak berkurang. Aliran energi ke tangannya harus tetap seimbang. Tidak boleh terlalu kuat ataupun lemah. Gantari terus membantu Nay menyalurkan energi. Bila tidak dia akan kelelahan dan gemetar.Di bagian perut Dewi benda-benda tajam berukuran lebih besar dari tempat lainnya. Tangan Nay terluka beberapa kali saat menariknya. Dia tidak boleh bersuara apalagi berteriak. Hal itu bisa mempengaruhi besaran energi tangannya. Sesekali Nay meringis menahan perih. Sedikit lagi semua benda di tubuh Dewi akan terangkat. Mata Dewi tetap terpejam. Nay memerin
"Nay, jangan menangis, Sayang." Sri mendekati Nay. Entah sejak kapan dia ada di situ. "Kau butuh bahu untuk bersandar. Seseorang untuk mendengarkan. Bukan makhluk tak kasat mata seperti aku ini."Nay tidak menanggapi. Dia masih membenamkan mukanya ke bantal. Tangisnya sudah mulai reda. "Mungkin kau benar, Sri." Nay mengangkat kepalanya. "Ketuk pintunya, Nay. Dia tidak jauh. Hanya butuh beberapa langkah saja dari sini.""Rey maksudmu?" Dahi Nay mengerut."Jangan bohong, Nay. Soal cinta aku lebih tahu. Jangan sampai kau terlambat menyadari. Dia tidak akan menunggumu terus." Sri mendekatkan mukanya di depan Nay. "Pergi sana! Ketuk pintunya.""Apa tidak memalukan perempuan mendatangi laki-laki? Gak mau ah!""Nayara, kamu ini gadis jaman batu, kah? Keras kepala banget!" "Zaman Dinosaurus! Puas!" Nay membalas ketus."Sudahlah, pergi sana! Simpan dulu gengsimu itu. Tenang aku tidak akan menggangu. Walau sebenarnya aku cemburu," kata Sri terkikik melayang pergi. Nay menghela napas. Mema
Pagi buta Nay menghubungkan diri dengan Nyi Asrita. Menanyakan tentang apa yang sempat dirasakannya saat menyentuh foto-foto ibunya."Nyi, apakah ibu pernah mengunjungi tempat yang banyak airnya. Seperti sungai, air terjun atau sejenisnya?""Kenapa tiba-tiba kau menanyakan hal itu, Nay?""Ada yang mengirimkan foto-foto ibu, Nyi. Aku bisa merasakan tempat itu. Namun, tidak terlihat jelas ""Dulu ibumu pernah berguru dengan seseorang bernama Ki Brojo di Sendang Awu. Mungkin tempat itu, Nay.""Oh, di situ. Aku tahu tempatnya, Nyi. Terima kasih. Mudah-mudahan hari ini juga aku bisa ke sana. Salam untuk Bu Mien ya, Nyi.""Iya, Nay. Tetap hati-hati. Selalu waspada," pesan Nyi Asrita mengakhiri telepati mereka. Sendang Awu lokasinya cukup jauh dari kota. Sebuah tempat angker yang juga dijadikan objek wisata oleh pemerintah daerah setempat. Bukan rahasia lagi kebanyakan orang yang berkunjung ke sana, untuk meminta sesuatu. Seringnya bersekutu dengan bangsa jin untuk menjadi kaya. Perjalanan
Ki Brojo menggerakkan tangan, membuat bulatan di udara. Perlahan muncul wajah seorang laki-laki dengan hidung bangir dan brewok tipis. Sekilas bentuk hidungnya memang mirip dengan Nayara. "Ini Manendra. Wajahnya tiga puluh tiga tahun lalu. Aku tidak bisa menangkap gambarannya sekarang. Hanya ini yang bisa aku tunjukkan. Dia akan mencarimu sebentar lagi. Orang-orang dari dunia bawah akan terlibat." "Maksudnya, Ki?" tanya Nay yang memang tidak paham dengan situasi saat ini. "Kau akan mengerti setelah mereka berhasil menemuimu. Dunia bawah terbagi dua. Di sisi putih dan hitam. Masing-masing tidak saling mengusik. Manendra berada di sisi hitam, dan dia bermaksud membunuhmu. Tentu kami tidak akan diam saja. Semua yang berhubungan dengan Hayuning Ratri harus mati, walaupun itu anaknya sendiri.""Jadi, Manendra itu ayahku, Ki?" tanya Nay dengan suara terbata."Iya, Manendra memperkosa Hayuning Ratri. Dia sengaja membiarkan ibumu terus hidup dalam pelarian sampai dia melahirkan kamu."Tubu