Share

Part 2. Menerima Kenyataan

Mungkin ini memang kenyataan untuk takdirku.

***

Matahari mulai terbit dari timur menampakkan cahayanya malu-malu. Setelah menunaikan kewajibanku disubuh tadi sebagai umat muslim. Aku kembali ke tempat tidur di mana kedua adikku masih terlelap dalam mimpinya. Hanya terdiam masih mengingat hari kemarin.

Setelah termenung sekitaran 15 menit aku langsung mencepol rambut seadanya. Memakai bedak putih sebelum keluar dari kamar. Tanpa mencari Ibu sudah aku duga beliau berada disamping rumah, di mana ada kebun kecil berukuran 5 x 5 cm untuk ditanami seperti sayur kangkung, wortel, tomat dan cabai juga ada bawang merah dan bawang putih.

Mengingat tanah yang ada di desa kami sangat subur sehingga sangat menguntungkan untuk menanam sayur ataupun buah. Bahkan beberapa orang dari kota memproduksi sayuran atau buah dari desa ini. Yang mereka sukai karena sayur dan buah dari sini sangat segar juga bersih.

"Ibu, hari ini hari pasar kita jual apa?" tanyaku ke Ibu ketika melihatnya sedang memetik sayuran.

"Kita jual tomat dan cabai dulu untuk hari ini, Nak. Ini buahnya banyak banget," kata Ibu dan melihat ke arahku.

"Yasudah sini Hena bantuin, Bu." Aku mengucek mataku sebentar. Ibu langsung saja mengangguk dan memberiku ember hitam kecil yang dia pegang tadi.

"Kamu petik dulu yang masak. Ibu mau ke tetangga kabarin besok kamu lamaran biar bisa bantu-bantu Ibu di rumah," ucap Ibu penuh semangat. Terlihat jelas terpancar kebahagiaan di wajahnya. Dari itu aku hanya tersenyum lalu mulai memetik tomat terpebih dulu.

Mungkin ini memang takdirku, menerima sebuah kenyataan bahwa hari besok adalah hari lamaran aku dengan sosok pemuda yang tak pernah aku kenal bahkan melihatnya sekalipun tidak. Dalam pikiran, orang tuaku tidak mungkin memilihkan kakek atau pria baya, 'kan?

"Mbak Halinu, mau ke mana?" sapa Ibu ketika melihat Mbak Halinu yang keluar. Mereka akhirnya mengobrol di depan rumah di mana aku masih bisa mendengar obrolannya.

"Ini, Mbak, Embun lagi muntah-muntah jadi mau aku bawa ke puskesmas terlebih dulu."

"Benarkah?"

"Iya Mbak, dua hari udah muntah-muntah jadi saya bilang ke puskesmas aja biar dikasih obat."

"Jangan-jangan Mbak Halinu bentar lagi nimang cucu, nih," ejek Ibu. Ya ampun Ibuku kenapa berpikir seperti itu padahal bisa jadi muntah-muntah karena salah makan bukan lagi ngidam.

"Moga-moga aja ya, Mbak. Iyakan, Nak?" tanya beliau ke anaknya sedang berdiri menutup mulut. Saat membuka mulutnya aku melihat wajah Embun pucat. Mungkin dia sedang salah makan. Perempuan itu hanya mengangguk sebagai jawaban dari orang tuanya.

"Kabarin aja ya Mbak kalau anaknya benera hamil."

"Pastinya dong, Mbak." Terjeda sebentar. "Itu Rhena, yaa? Sejak kapan pulangnya?" tanya Mbak Halinu ketika melihatku.

"Kemarin loh, Mbak. Saya ingin kabarin besok Rhena lamaran. Calonnya dari kota. Besok ke rumah ya Mbak bisa bantuin kami?" ucap Ibu sangat ramah. Terlihat senyum mekar di wajah Mbak Halinu.

"Wah, bentar lagi nikah dong. Pastinya saya datang, Mbak. Tidak boleh ketinggalan."

"Iya, Mbak. Saya juga mau infoin ke tetangga lain buat besok datang juga," ujar Ibu menunjuk rumah-rumah tetangga.

"Yasudah Mbak. Saya juga mau antar Embun ke Puskesmas. Suaminya lagi kerja jadi saya yang bawah."

Setelah itu Mbak Halinu pamit ke Ibu. Mereka akhirnya berpencar di mana Ibu ke rumah tetangga lain. Seperti itu kebiasaan desa kami. Jika ada satu acara atau kegiatan maka satu orang akan datang dari rumah ke rumah untuk memberi kabar.

Senang melihat kekompakan mereka, desa kami memang kecil tapi kekompakan bisa dikasih jempol. Satu hal yang tidak aku sukai di mana aku menyadari setelah tinggal di kota. Orang kota tidak memperdulikan orang lain, tidak ingin mencampuri urusan orang lain meskipun itu tetangganya.

Sedangkan di sini, desa kami, perkumpulan ibu-ibu sering berkumpul hanya untuk bergosip, bicara dengan hebohnya. Bahkan jika anak perempuan pulang bersama laki-laki di mana dia akan membawa ke rumahnya siap-siap tetangga lain akan membuat perkumpulan lalu bercerita.

Seakan urusan orang lain sudah mendarah daging. Mereka juga mencampuri ketika ada satu masalah. Bukannya berdiam diri saja kenapa harus bericerita di mana kebenaran yang mereka tahu belum tentu sebenarnya terjadi. Apa juga salahnya jika seorang gadis belum menikah pulang diantar seorang laki-laki.

Di kota hal itu biasa saja. Tetangga hanya bertanya atau mengejek itu pacarnya. Tidak ada gosipan atau apa-apa. Mereka sudah percaya dengan didikan anak masing-masing. Beberapa senang jika mereka membawa langsung ke rumah dari pada bertemu sembunyi-sembunyi. Sedangkan di desa aku yang pacaran rata-rara bertemu sembunyi-sembunyi.

"Kakak ibu mana?" tanya Lika yang masih mengucek matanya. Adik perempuanku, teman bertengkar tapi kami selalu menyayangi.

"Ibu lagi ke rumah tetangga."

"Owh, oh iya, Kak, kata ibu bentar lagi Kakak nikah. Katanya besok lamaran," ujar Lika. Spontan sejenak terhenti memetik cabai setelah tomat masak sudah kupetik semua.

"Iya kenapa?" tanyaku dan melanjutkan memetik.

"Nggak apa, berarti besok rame kita makan enak," kata Lika lalu memutar badan merasa senang. Dasar! Dia tidak tahu saja jika aku sedang berkutat dengan psikisku. Semoga aja selalu bahagia seperti ini, Dek, batinku.

"Seni sudah bangun?"

"Belum, Kak."

"Yasudah tungguin bangun lalu rapikan tempat tidurmu."

"Baik, Kak."

"Eh, Lika juga liburkan?" panggilku ketika Lika ingin masuk ke rumah.

"Iya, Kak. Kan udah ujian semester."

"Yasudah nanti kamu bersihin diri, mandi yang cantik nanti temanin Kakak ke pasar jual ini." Lika hanya mengguk lalu mengakat tangannya memberi jempol kemudian berlari ke dalam.

Setelah selesai, mataku tiba-tiba terarah ke pasangan tak jauh dari rumah. Kelihatan sekali mereka dari kota hanya melihat penampilannya saja. Tampan, batinku. Pemuda itu membuka kecamata hitam yang dia pakai tadi lalu menarik pergelangan tangan seorang perempuan di belakangnya. Siapa dia?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status