Mungkin ini memang kenyataan untuk takdirku.
***
Matahari mulai terbit dari timur menampakkan cahayanya malu-malu. Setelah menunaikan kewajibanku disubuh tadi sebagai umat muslim. Aku kembali ke tempat tidur di mana kedua adikku masih terlelap dalam mimpinya. Hanya terdiam masih mengingat hari kemarin.
Setelah termenung sekitaran 15 menit aku langsung mencepol rambut seadanya. Memakai bedak putih sebelum keluar dari kamar. Tanpa mencari Ibu sudah aku duga beliau berada disamping rumah, di mana ada kebun kecil berukuran 5 x 5 cm untuk ditanami seperti sayur kangkung, wortel, tomat dan cabai juga ada bawang merah dan bawang putih.
Mengingat tanah yang ada di desa kami sangat subur sehingga sangat menguntungkan untuk menanam sayur ataupun buah. Bahkan beberapa orang dari kota memproduksi sayuran atau buah dari desa ini. Yang mereka sukai karena sayur dan buah dari sini sangat segar juga bersih.
"Ibu, hari ini hari pasar kita jual apa?" tanyaku ke Ibu ketika melihatnya sedang memetik sayuran.
"Kita jual tomat dan cabai dulu untuk hari ini, Nak. Ini buahnya banyak banget," kata Ibu dan melihat ke arahku.
"Yasudah sini Hena bantuin, Bu." Aku mengucek mataku sebentar. Ibu langsung saja mengangguk dan memberiku ember hitam kecil yang dia pegang tadi.
"Kamu petik dulu yang masak. Ibu mau ke tetangga kabarin besok kamu lamaran biar bisa bantu-bantu Ibu di rumah," ucap Ibu penuh semangat. Terlihat jelas terpancar kebahagiaan di wajahnya. Dari itu aku hanya tersenyum lalu mulai memetik tomat terpebih dulu.
Mungkin ini memang takdirku, menerima sebuah kenyataan bahwa hari besok adalah hari lamaran aku dengan sosok pemuda yang tak pernah aku kenal bahkan melihatnya sekalipun tidak. Dalam pikiran, orang tuaku tidak mungkin memilihkan kakek atau pria baya, 'kan?
"Mbak Halinu, mau ke mana?" sapa Ibu ketika melihat Mbak Halinu yang keluar. Mereka akhirnya mengobrol di depan rumah di mana aku masih bisa mendengar obrolannya.
"Ini, Mbak, Embun lagi muntah-muntah jadi mau aku bawa ke puskesmas terlebih dulu."
"Benarkah?"
"Iya Mbak, dua hari udah muntah-muntah jadi saya bilang ke puskesmas aja biar dikasih obat."
"Jangan-jangan Mbak Halinu bentar lagi nimang cucu, nih," ejek Ibu. Ya ampun Ibuku kenapa berpikir seperti itu padahal bisa jadi muntah-muntah karena salah makan bukan lagi ngidam.
"Moga-moga aja ya, Mbak. Iyakan, Nak?" tanya beliau ke anaknya sedang berdiri menutup mulut. Saat membuka mulutnya aku melihat wajah Embun pucat. Mungkin dia sedang salah makan. Perempuan itu hanya mengangguk sebagai jawaban dari orang tuanya.
"Kabarin aja ya Mbak kalau anaknya benera hamil."
"Pastinya dong, Mbak." Terjeda sebentar. "Itu Rhena, yaa? Sejak kapan pulangnya?" tanya Mbak Halinu ketika melihatku.
"Kemarin loh, Mbak. Saya ingin kabarin besok Rhena lamaran. Calonnya dari kota. Besok ke rumah ya Mbak bisa bantuin kami?" ucap Ibu sangat ramah. Terlihat senyum mekar di wajah Mbak Halinu.
"Wah, bentar lagi nikah dong. Pastinya saya datang, Mbak. Tidak boleh ketinggalan."
"Iya, Mbak. Saya juga mau infoin ke tetangga lain buat besok datang juga," ujar Ibu menunjuk rumah-rumah tetangga.
"Yasudah Mbak. Saya juga mau antar Embun ke Puskesmas. Suaminya lagi kerja jadi saya yang bawah."
Setelah itu Mbak Halinu pamit ke Ibu. Mereka akhirnya berpencar di mana Ibu ke rumah tetangga lain. Seperti itu kebiasaan desa kami. Jika ada satu acara atau kegiatan maka satu orang akan datang dari rumah ke rumah untuk memberi kabar.
Senang melihat kekompakan mereka, desa kami memang kecil tapi kekompakan bisa dikasih jempol. Satu hal yang tidak aku sukai di mana aku menyadari setelah tinggal di kota. Orang kota tidak memperdulikan orang lain, tidak ingin mencampuri urusan orang lain meskipun itu tetangganya.
Sedangkan di sini, desa kami, perkumpulan ibu-ibu sering berkumpul hanya untuk bergosip, bicara dengan hebohnya. Bahkan jika anak perempuan pulang bersama laki-laki di mana dia akan membawa ke rumahnya siap-siap tetangga lain akan membuat perkumpulan lalu bercerita.
Seakan urusan orang lain sudah mendarah daging. Mereka juga mencampuri ketika ada satu masalah. Bukannya berdiam diri saja kenapa harus bericerita di mana kebenaran yang mereka tahu belum tentu sebenarnya terjadi. Apa juga salahnya jika seorang gadis belum menikah pulang diantar seorang laki-laki.
Di kota hal itu biasa saja. Tetangga hanya bertanya atau mengejek itu pacarnya. Tidak ada gosipan atau apa-apa. Mereka sudah percaya dengan didikan anak masing-masing. Beberapa senang jika mereka membawa langsung ke rumah dari pada bertemu sembunyi-sembunyi. Sedangkan di desa aku yang pacaran rata-rara bertemu sembunyi-sembunyi.
"Kakak ibu mana?" tanya Lika yang masih mengucek matanya. Adik perempuanku, teman bertengkar tapi kami selalu menyayangi.
"Ibu lagi ke rumah tetangga."
"Owh, oh iya, Kak, kata ibu bentar lagi Kakak nikah. Katanya besok lamaran," ujar Lika. Spontan sejenak terhenti memetik cabai setelah tomat masak sudah kupetik semua.
"Iya kenapa?" tanyaku dan melanjutkan memetik.
"Nggak apa, berarti besok rame kita makan enak," kata Lika lalu memutar badan merasa senang. Dasar! Dia tidak tahu saja jika aku sedang berkutat dengan psikisku. Semoga aja selalu bahagia seperti ini, Dek, batinku.
"Seni sudah bangun?"
"Belum, Kak."
"Yasudah tungguin bangun lalu rapikan tempat tidurmu."
"Baik, Kak."
"Eh, Lika juga liburkan?" panggilku ketika Lika ingin masuk ke rumah.
"Iya, Kak. Kan udah ujian semester."
"Yasudah nanti kamu bersihin diri, mandi yang cantik nanti temanin Kakak ke pasar jual ini." Lika hanya mengguk lalu mengakat tangannya memberi jempol kemudian berlari ke dalam.
Setelah selesai, mataku tiba-tiba terarah ke pasangan tak jauh dari rumah. Kelihatan sekali mereka dari kota hanya melihat penampilannya saja. Tampan, batinku. Pemuda itu membuka kecamata hitam yang dia pakai tadi lalu menarik pergelangan tangan seorang perempuan di belakangnya. Siapa dia?
Tak ada yang tahu bagaimana jodoh datang, bisa saja seperti dengan melakukan satu perjodohan.***Rumah begitu rame pagi ini. Ibu-ibu tengah memasak untuk tamu. Ralat. Lebih tepatnya calon suamiku. Sumpah, aku tidak ikhlas mengatakannya. "Rhena, kamu belum siap-siap?" ucap satu tetangga yang baru saja datang."Iya nanti, Tante, ini masih pagi juga.""Ini udah jam 10 loh, bentar lagi siang kamu belum mandi juga?"Aku menyengir bagaikan kuda. Bagaimana mau mandi pagi sedangkan aku sibuk mengurusi tanaman samping rumah. Ibu sangat bersemangat mempersiapkan banyak hal sampai melupakan tanaman ini. Setelah itu aku harus membantu kedua adikku memilih pakaian juga menyetrikanya.
Dia adalah seorang gadis yang ceria meski psikisnya tetap saja sedang terluka.***Tinggal beberapa hari aku akan menjadi seorang istri dari direktur tampan. Hal yang tak pernah aku bayangkan sama sekali. Bahkan tak pernah kumimpikan sekalipun. Mungkin itulah dikatakan jodoh. Kata orang sejauh manapun dia jika berjodoh akhirnya akan tetap bertemu.Ada juga yang pacaran bertahun-tahun hanya menjaga jodoh orang di mana harus rela melepaskan dengan menerima yang sudah pasti. Tak heran juga, rata-rata seperti itu saling meninggalkan karena satu pilihan orang tua. Itu lebih baik, umurnya sudah mencukupi. Sedangkan aku? 18 tahun? Apa tidak terlalu muda? Meski ku akui di luar sana banyak yang sudah menikah diumur itu.Aku sendiri bingung bagaimana mengur
Pertemuan kami hanya sekadar kebetulan saja.***"Jangan ngelamun, Rhena!" tegur Nea membuat lamunanku buyar seketika."Astaghfirullah kaget." Aku mengusap dadaku. Semoga jantung di dalam sana tidak copot akibat Nea mengagetkan. "Menikah saja aku belum siap apalagi memikirkan persoalan anak," lanjutku."Terus kenapa menerima pernikahan ini?""Itu karena orang tuaku yang menjodohkan." Aku menunduk tak ingin menatap Nea. Ada perasaan malu di dalam jiwaku mengumbar. Andai bisa menghentikan dengan semudah membalikkan telapak tangan atau dengan membeli pakaian yang masih bisa dikembalikan ke penjual jika tidak cocok seperti pasar dikampung."Tolak aja sebelum terlambat, Rhena.""Nggak perlu, Nea, mungkin ini yang terbaik. Kata ortuku saja sepe
Mungkin pertemuan kita ini hanya sekadar pertemuan yang tak akan berarti apa-apa.***Hari demi hari berlalu begitu cepat. Tak terasa acara pernikahan akan terselenggarakan. Ibu, bapak, aku dan Nea ke kota mengecek gedung tempat berlangsungnya pernikahan. Bukan itu saja melainkan orang tua Deni memesang beberapa kamar di hotel di mana jarak antara gedung dan hotel cukup dekat hanya bersampingan saja.Ketika orang tuaku masuk gedung. Aku lebih memilih menarik Nea tidak masuk ke sana. Mengajak Nea berkeliling. Lebih tepatnya sedang mencari makan siang untuk kita berdua.Jujur saja aku tidak ingin ambil pusing persoalan pernikahan meski yang akan menikah itu aku. Aku hanya mengikut apa kata orang tuaku saja. Dan lebih memilih mencari makan disekitaran dari pada menghabiskan waktu di dalam gedung.
Kebahagiaan itu nyata, namun, bukan diperuntukkan kepadanya.•••Semua orang membaca doa ketika kata sah itu terlontar saat pemuda berumur 29 tahun mengucapkan ijab kabul yang kedua kalinya. Ucapan pertama kurang tepat karena terlalu gugup. Mungkin dia sedang memikirkan sesuatu dan tidak konsentrasi.Gedung putih terhiasi banyak bunga dan properti lain menambah kesan kememewahannya. Jujur saja aku sangat tercengang menatap semua ini saat pertama kali masuk di mana ibu berada disamping menuntunku duduk ditempat ijab kabul.Bukan lagi calon suami, lebih tepatnya suami. Yah beberapa detik yang lalu aku sudah menjadi istri sahnya baik secara agama dan hukum.Menghela napas begitu berat ketika kata amin terucap. Bola mataku berkeliling melihat betapa bahagianya mereka melihat seora
Telah terjadi, kini menguatkan mental untuk menghadapi.•••Aku menghela napas begitu berat dan masalah kasur setelah mengganti pakaian dari tas yang ibu bawakan 1 jam lalu. Ibu juga memintaku mengganti dan istirahat di kamar hotel sebelum besok pulang. Otot-otot badanku rasanya kaku juga tulang punggungku terasa remuk."Hari yang sangat melelahka
Masih bisa terhindar, entah untuk hari esok.•••Aku mengatur napas pelan-pelan dan mulai berusaha menetralkan diri. Sangat bingung dalam keadaan sekarang. Bersyukur dia tidak memaksaku untuk melakukan hubungan intim. Meskipun melakukannya dalam hubungan suami istri adalah hal yang wajar.Beberapa menit kemudian aku sedikit mendengar dengkuran pelan darinya. Mungkin dia juga sangat kelelahan hari ini. Pelan-pelan aku turunkan tangan dari perut kecilku. Setelah itu bangun diam-diam agar dia tidak menyadari.Mengusap dada saat berhasil lolos dari kasur tadi. Aku segera berjalan ke toilet untuk mencuci muka. Tak lupa menggosok gigi meski tadinya sudah. Setelah gosok gigi, aku menatap cermin besar di sana lalu kembali mencuci muka.
Menyusuaikan diri pada lingkungan baru tidaklah mudah.•••Setelah kejadian semalam tanpa sengaja mama dan papa mertua mendatangi kamar kami dengan raut wajah begitu panik. Dari ketukan pintu saja bisa menjelaskan mereka khawatir. Aku tidak sadar akan membangunkannya malam-malam akibat suaraku begitu keras.Saat terdengar ketukan pintu Deni langsung saja meninggalkan aku sedang berada dibawahnya. Segera kuperbaiki posisi pakaian dan rambut berantakan akibat meronta begitu keras saat dipelukannya. Namun, kekuatan perempuan seperti diriku kalah dengan Deni.Kami begitu terkejut mendapati pria dan wanita di mana kulit-kulitnya mulai termakan usia. Mereka langsung bertanya ada apa antara kami? Samar-samar aku melihat Deni hanya tersenyum jail sampai dereran giginya terlihat. Jujur saja aku