Tak ada yang tahu bagaimana jodoh datang, bisa saja seperti dengan melakukan satu perjodohan.
***
Rumah begitu rame pagi ini. Ibu-ibu tengah memasak untuk tamu. Ralat. Lebih tepatnya calon suamiku. Sumpah, aku tidak ikhlas mengatakannya. "Rhena, kamu belum siap-siap?" ucap satu tetangga yang baru saja datang.
"Iya nanti, Tante, ini masih pagi juga."
"Ini udah jam 10 loh, bentar lagi siang kamu belum mandi juga?"
Aku menyengir bagaikan kuda. Bagaimana mau mandi pagi sedangkan aku sibuk mengurusi tanaman samping rumah. Ibu sangat bersemangat mempersiapkan banyak hal sampai melupakan tanaman ini. Setelah itu aku harus membantu kedua adikku memilih pakaian juga menyetrikanya.
Lika dan Seni jauh lebih bersemangat dari aku. Adapun bapak pagi tadi keluar rumah entah sedang apa. Harapanku semoga bapak tidak harus meminjam uang hanya untuk lamaran ini. Dan aku sendiri? Masih dengan baju yang kupakai tidur dengan cepolan rambut asalan.
"Iya Tante nanti mandi, kok," ucapku memastikan.
"Cantik banget sih kamu. Calon suami kamu pasti bangga nikahin kamu. Yasudah aku kebelakang bantuin yang lain dulu, sana siap-siap," katanya lalu meninggalkan aku yang tengah memegang sapu habis menyapu teras rumah.
Bangga nikahin aku karena cantik? Sial. Aku bukan boneka jika hanya ingin dimiliki karena cantik. Aku harap calonnya nanti tidak berpikir seperti itu. Untuk apa menikah jika pikiran pendek seperti tadi dipertahankan. Ada-ada saja tante yang tadi ngomongnya ngelindur.
Aku menggeleng dan masuk ke rumah, menggantung sapu dibelakang pintu utama yang terbuat dari kayu. Langsung saja masuk ke kamar dari pada harus ditanya lagi kenapa belum siap. Aku tidak ingin berpikir negetif, jika terus seperti ini bisa saja aku melarikan diri seperti banyaknya drama ditelevisi.
Tapi lagi-lagi aku memikirkan kedua orang tua. Bagaimana mereka akan menghadapi tetangga nantinya ketika ditanya-tanya. Lalu bagaimana kedua adik perempuanku? Tidak kubiarkan terjadi. Kubiarkan menenggalamkan ego dan mimpi dari pada melihat ibu dan bapak menderita.
"Kak Hena," pekik Seni masuk ke dalam kamar. Anak itu terlihat sangat gembira.
"Kak Hena bentar lagi nikah, yeah!" serunya sambil berputar-putar seperti menari. "Nanti ada dong yang kasih aku tambahan uang jajan," lanjut Seni.
"Sini aku kepang rambutmu," ujarku menarik lengan Seni ke hadapanku. Aku mengambil sisir yang tadi aku pakai berada disampingku. "Seni lebih cantik kalau rambutnya diikat seperti ini."
"Kak, abis nikah nanti tidur di mana? Rumah kitakan cuma punya dua kamar." Syurr. Aku gelagapan ingin menjawab apa. Adapun yang ibu katakan tadi malam aku tidak akan tinggal di sini melainkan ke kota tinggal bersama suami.
"Nanti aku nggak tinggal di sini tapi akan ke kota."
"Maksud Kakak?"
"Aku akan tinggal di rumah suaminya Kakak."
"Kok gitu, sih?"
"Memang ketentuannya seperti itu, anak perempuan akan ikut suaminya. Kata Ibu seperti itu, Dek."
Seni langsung bergerak sampai kepangan rambutnya tadi belum sempat ku ikat kembali berantakan. "Tapi kak Embun tinggal di rumahnya, suminya tinggal bareng dia. Kenapa Kakak nggak bisa tinggal di sini?"
Aku terdiam. Bagaimana bisa kujawab pertanyaan Seni. Kenyataannya memang seperti itu kalau Embun tinggal di rumahnya bersama sang suami. Akupun bingung kenapa seperti itu dan apa yang bisa kujawabkan ke Seni?
"Hena kamu belum mandi juga." Ibu masuk langsung menegurku. "Sana mandi, udah siang belum siap juga," lanjutnya yang hanya kuangguki. Berkat Ibu aku terhindar dari pertanyaan Seni.
* * *
"Apa kamu menerima lamaran anak kami Deni kepada anak Anda Rhena," ucap satu pria sekaligus ayah dari anaknya. Tapi kenapa pemuda itu tidak ada di sini? Ke mana perginya?
"Dengan izin Allah kami menerima lamarannya," ucap Bapak berada disampingku. Aku hanya tersenyum kecut ketika orang-orang tersenyum bahagia dan memberi ucapan selamat.
"Waktunya pemasangan cincin." Saat kalimat tadi terucap saat itulah seorang pemuda masuk ke rumah.
Apa dia calonnya? kataku untuk pertama kali. Aku tidak pernah melihat pemuda ini sebelumnya. Ibu hanya bilang nama lengkap, umurnya sudah 29 tahun. Telah bekerja sebagai salah satu direktur muda bertahun-tahun lalu diperusahan pamannya dan memiliki usaha loundri besar dan sudah memiliki 5 cabang juga.
Ketika ibu bercerita aku hanya mengagguk dan menjawab seadanya. Aku memang mulai tertarik ketika ibu menceritakan kekayaannya. Aku akui dan tidak munafik akan itu. Tapi, jika bisa memilih aku lebih baik melanjutkan sekolah dari pada menikah diumur 18 tahun.
Spontan aku kaget ketika pemuda ini sudah tiba dihadapanku dan siap memasangkan cincing pertunangan. Cincing ikatan kami untuk lebih kejenjang yang serius. Lagi-lagi aku hanya tersenyum ketika cincing mahal masuk ke jari manisku.
Kemudian aku yang memasangkan cincin kepadanya. Entah berapa uang yang harus dikeluarkan membeli cincin berlian untukku. Semua ibu-ibu bertepuk tangan senang melihat ketika aku berhasil memasangkan cincin ke tangan Deni. Mereka bersorak ria dan memberi kembali ucapan selamat.
Setelah acara selesai tamu a.k.a keluarga Deni, eh. Aku harus memanggilnya apa sekarang? Kak? Paman? Om? Mengingat umur kami terpaut 11 tahun.
Sekilas aku menatap calonku, saat itu dia juga menatapku. Mata kami akhirnya beradu satu sama lain. Kini pertanyaan-pertanyaan memenuhi kepala. Kenapa dia menerima perjodohan ini? Apa spesies perempuan di luar sana punah sampai mau ke anak kecil sepertiku?
Apa ada niatan khusus maka dari itu menerima perjodohan ini? Ataukah dia hanya ingin main-main saja? Ah! Lagi-lagi pikiran negetif memenuhi kepalaku. Lagian kenapa juga harus sama aku? Jika aku jadi dia lebih baik memilih perempuan yang sepadan dan seumur dari pada aku bukan?
Dia adalah seorang gadis yang ceria meski psikisnya tetap saja sedang terluka.***Tinggal beberapa hari aku akan menjadi seorang istri dari direktur tampan. Hal yang tak pernah aku bayangkan sama sekali. Bahkan tak pernah kumimpikan sekalipun. Mungkin itulah dikatakan jodoh. Kata orang sejauh manapun dia jika berjodoh akhirnya akan tetap bertemu.Ada juga yang pacaran bertahun-tahun hanya menjaga jodoh orang di mana harus rela melepaskan dengan menerima yang sudah pasti. Tak heran juga, rata-rata seperti itu saling meninggalkan karena satu pilihan orang tua. Itu lebih baik, umurnya sudah mencukupi. Sedangkan aku? 18 tahun? Apa tidak terlalu muda? Meski ku akui di luar sana banyak yang sudah menikah diumur itu.Aku sendiri bingung bagaimana mengur
Pertemuan kami hanya sekadar kebetulan saja.***"Jangan ngelamun, Rhena!" tegur Nea membuat lamunanku buyar seketika."Astaghfirullah kaget." Aku mengusap dadaku. Semoga jantung di dalam sana tidak copot akibat Nea mengagetkan. "Menikah saja aku belum siap apalagi memikirkan persoalan anak," lanjutku."Terus kenapa menerima pernikahan ini?""Itu karena orang tuaku yang menjodohkan." Aku menunduk tak ingin menatap Nea. Ada perasaan malu di dalam jiwaku mengumbar. Andai bisa menghentikan dengan semudah membalikkan telapak tangan atau dengan membeli pakaian yang masih bisa dikembalikan ke penjual jika tidak cocok seperti pasar dikampung."Tolak aja sebelum terlambat, Rhena.""Nggak perlu, Nea, mungkin ini yang terbaik. Kata ortuku saja sepe
Mungkin pertemuan kita ini hanya sekadar pertemuan yang tak akan berarti apa-apa.***Hari demi hari berlalu begitu cepat. Tak terasa acara pernikahan akan terselenggarakan. Ibu, bapak, aku dan Nea ke kota mengecek gedung tempat berlangsungnya pernikahan. Bukan itu saja melainkan orang tua Deni memesang beberapa kamar di hotel di mana jarak antara gedung dan hotel cukup dekat hanya bersampingan saja.Ketika orang tuaku masuk gedung. Aku lebih memilih menarik Nea tidak masuk ke sana. Mengajak Nea berkeliling. Lebih tepatnya sedang mencari makan siang untuk kita berdua.Jujur saja aku tidak ingin ambil pusing persoalan pernikahan meski yang akan menikah itu aku. Aku hanya mengikut apa kata orang tuaku saja. Dan lebih memilih mencari makan disekitaran dari pada menghabiskan waktu di dalam gedung.
Kebahagiaan itu nyata, namun, bukan diperuntukkan kepadanya.•••Semua orang membaca doa ketika kata sah itu terlontar saat pemuda berumur 29 tahun mengucapkan ijab kabul yang kedua kalinya. Ucapan pertama kurang tepat karena terlalu gugup. Mungkin dia sedang memikirkan sesuatu dan tidak konsentrasi.Gedung putih terhiasi banyak bunga dan properti lain menambah kesan kememewahannya. Jujur saja aku sangat tercengang menatap semua ini saat pertama kali masuk di mana ibu berada disamping menuntunku duduk ditempat ijab kabul.Bukan lagi calon suami, lebih tepatnya suami. Yah beberapa detik yang lalu aku sudah menjadi istri sahnya baik secara agama dan hukum.Menghela napas begitu berat ketika kata amin terucap. Bola mataku berkeliling melihat betapa bahagianya mereka melihat seora
Telah terjadi, kini menguatkan mental untuk menghadapi.•••Aku menghela napas begitu berat dan masalah kasur setelah mengganti pakaian dari tas yang ibu bawakan 1 jam lalu. Ibu juga memintaku mengganti dan istirahat di kamar hotel sebelum besok pulang. Otot-otot badanku rasanya kaku juga tulang punggungku terasa remuk."Hari yang sangat melelahka
Masih bisa terhindar, entah untuk hari esok.•••Aku mengatur napas pelan-pelan dan mulai berusaha menetralkan diri. Sangat bingung dalam keadaan sekarang. Bersyukur dia tidak memaksaku untuk melakukan hubungan intim. Meskipun melakukannya dalam hubungan suami istri adalah hal yang wajar.Beberapa menit kemudian aku sedikit mendengar dengkuran pelan darinya. Mungkin dia juga sangat kelelahan hari ini. Pelan-pelan aku turunkan tangan dari perut kecilku. Setelah itu bangun diam-diam agar dia tidak menyadari.Mengusap dada saat berhasil lolos dari kasur tadi. Aku segera berjalan ke toilet untuk mencuci muka. Tak lupa menggosok gigi meski tadinya sudah. Setelah gosok gigi, aku menatap cermin besar di sana lalu kembali mencuci muka.
Menyusuaikan diri pada lingkungan baru tidaklah mudah.•••Setelah kejadian semalam tanpa sengaja mama dan papa mertua mendatangi kamar kami dengan raut wajah begitu panik. Dari ketukan pintu saja bisa menjelaskan mereka khawatir. Aku tidak sadar akan membangunkannya malam-malam akibat suaraku begitu keras.Saat terdengar ketukan pintu Deni langsung saja meninggalkan aku sedang berada dibawahnya. Segera kuperbaiki posisi pakaian dan rambut berantakan akibat meronta begitu keras saat dipelukannya. Namun, kekuatan perempuan seperti diriku kalah dengan Deni.Kami begitu terkejut mendapati pria dan wanita di mana kulit-kulitnya mulai termakan usia. Mereka langsung bertanya ada apa antara kami? Samar-samar aku melihat Deni hanya tersenyum jail sampai dereran giginya terlihat. Jujur saja aku
Semua akan baik-baik saja.•••Mama dan papa mertua pamit ketika barang kami sudah masuk ke rumah baru. Setelah mobil mereka menghilang dari penglihatan. Aku kemudian masuk rumah mengekor dibelakang punggung Deni penuh kecemasan bukan kebahagiaan.Betapa terkejutnya aku saat pertama kali menginjakkan kaki. Rumah sangat bersih dan sudah terisi barang layaknya rumah pada umumnya. Rumah minimalis berdesain mewah. Entah berapa banyak lagi uang yang dikeluarkan Deni membeli ini dan seisinya."Sini aku tunjukin seisi rumah." Aku hanya mengangguk lanjut mengekor dibelakangnya.Pandangan pertama ketika masuk dihadapkan ruang tamu. Setelah itu ada rak buku, televisi dan satu sofa panjang untuk bersantai sekaligus menjadi ruang kelurga.Dekat sofa ada pintu kamar. "Kamar kit