Menerima sebuah kenyataan yang tak pernah terbayang sangatlah terasa pahit.***"Kamu akan menikah, Nak." Baru dua langkah aku berjalan mengangkat tas hitam dan juga nilai-nilai semester satu yang ada ditangan kananku menuju ke kamar terpaksa terhenti ketika mendengar kalimat seorang pria. Ada kata yang menarikku sehingga aku tidak melanjutkan masuk ke kamar. Menikah.Tas hitam yang tadi kuangkat kini aku letakkan kembali. Masih berusaha mencerna perkataannya. Apa ini lelucuan semata? "Ma-maksud Bapak apa?" Yah dia orang yang kupanggil Bapak. Kami tinggal di desa kecil di mana para anak-anak memanggil orang tuanya ibu-bapak ataupun emak-pakle."Bapak sudah memutuskan bahwa kamu akan segera menikah. Bapak sudah menjodohkan kamu," ucap Bapak lalu berdiri dari duduk
Mungkin ini memang kenyataan untuk takdirku.***Matahari mulai terbit dari timur menampakkan cahayanya malu-malu. Setelah menunaikan kewajibanku disubuh tadi sebagai umat muslim. Aku kembali ke tempat tidur di mana kedua adikku masih terlelap dalam mimpinya. Hanya terdiam masih mengingat hari kemarin.Setelah termenung sekitaran 15 menit aku langsung mencepol rambut seadanya. Memakai bedak putih sebelum keluar dari kamar. Tanpa mencari Ibu sudah aku duga beliau berada disamping rumah, di mana ada kebun kecil berukuran 5 x 5 cm untuk ditanami seperti sayur kangkung, wortel, tomat dan cabai juga ada bawang merah dan bawang putih.Mengingat tanah yang ada di desa kami sangat subur sehingga sangat menguntungkan untuk menanam sayur ataupun buah. Bahkan bebe
Tak ada yang tahu bagaimana jodoh datang, bisa saja seperti dengan melakukan satu perjodohan.***Rumah begitu rame pagi ini. Ibu-ibu tengah memasak untuk tamu. Ralat. Lebih tepatnya calon suamiku. Sumpah, aku tidak ikhlas mengatakannya. "Rhena, kamu belum siap-siap?" ucap satu tetangga yang baru saja datang."Iya nanti, Tante, ini masih pagi juga.""Ini udah jam 10 loh, bentar lagi siang kamu belum mandi juga?"Aku menyengir bagaikan kuda. Bagaimana mau mandi pagi sedangkan aku sibuk mengurusi tanaman samping rumah. Ibu sangat bersemangat mempersiapkan banyak hal sampai melupakan tanaman ini. Setelah itu aku harus membantu kedua adikku memilih pakaian juga menyetrikanya.
Dia adalah seorang gadis yang ceria meski psikisnya tetap saja sedang terluka.***Tinggal beberapa hari aku akan menjadi seorang istri dari direktur tampan. Hal yang tak pernah aku bayangkan sama sekali. Bahkan tak pernah kumimpikan sekalipun. Mungkin itulah dikatakan jodoh. Kata orang sejauh manapun dia jika berjodoh akhirnya akan tetap bertemu.Ada juga yang pacaran bertahun-tahun hanya menjaga jodoh orang di mana harus rela melepaskan dengan menerima yang sudah pasti. Tak heran juga, rata-rata seperti itu saling meninggalkan karena satu pilihan orang tua. Itu lebih baik, umurnya sudah mencukupi. Sedangkan aku? 18 tahun? Apa tidak terlalu muda? Meski ku akui di luar sana banyak yang sudah menikah diumur itu.Aku sendiri bingung bagaimana mengur
Pertemuan kami hanya sekadar kebetulan saja.***"Jangan ngelamun, Rhena!" tegur Nea membuat lamunanku buyar seketika."Astaghfirullah kaget." Aku mengusap dadaku. Semoga jantung di dalam sana tidak copot akibat Nea mengagetkan. "Menikah saja aku belum siap apalagi memikirkan persoalan anak," lanjutku."Terus kenapa menerima pernikahan ini?""Itu karena orang tuaku yang menjodohkan." Aku menunduk tak ingin menatap Nea. Ada perasaan malu di dalam jiwaku mengumbar. Andai bisa menghentikan dengan semudah membalikkan telapak tangan atau dengan membeli pakaian yang masih bisa dikembalikan ke penjual jika tidak cocok seperti pasar dikampung."Tolak aja sebelum terlambat, Rhena.""Nggak perlu, Nea, mungkin ini yang terbaik. Kata ortuku saja sepe
Mungkin pertemuan kita ini hanya sekadar pertemuan yang tak akan berarti apa-apa.***Hari demi hari berlalu begitu cepat. Tak terasa acara pernikahan akan terselenggarakan. Ibu, bapak, aku dan Nea ke kota mengecek gedung tempat berlangsungnya pernikahan. Bukan itu saja melainkan orang tua Deni memesang beberapa kamar di hotel di mana jarak antara gedung dan hotel cukup dekat hanya bersampingan saja.Ketika orang tuaku masuk gedung. Aku lebih memilih menarik Nea tidak masuk ke sana. Mengajak Nea berkeliling. Lebih tepatnya sedang mencari makan siang untuk kita berdua.Jujur saja aku tidak ingin ambil pusing persoalan pernikahan meski yang akan menikah itu aku. Aku hanya mengikut apa kata orang tuaku saja. Dan lebih memilih mencari makan disekitaran dari pada menghabiskan waktu di dalam gedung.
Kebahagiaan itu nyata, namun, bukan diperuntukkan kepadanya.•••Semua orang membaca doa ketika kata sah itu terlontar saat pemuda berumur 29 tahun mengucapkan ijab kabul yang kedua kalinya. Ucapan pertama kurang tepat karena terlalu gugup. Mungkin dia sedang memikirkan sesuatu dan tidak konsentrasi.Gedung putih terhiasi banyak bunga dan properti lain menambah kesan kememewahannya. Jujur saja aku sangat tercengang menatap semua ini saat pertama kali masuk di mana ibu berada disamping menuntunku duduk ditempat ijab kabul.Bukan lagi calon suami, lebih tepatnya suami. Yah beberapa detik yang lalu aku sudah menjadi istri sahnya baik secara agama dan hukum.Menghela napas begitu berat ketika kata amin terucap. Bola mataku berkeliling melihat betapa bahagianya mereka melihat seora
Telah terjadi, kini menguatkan mental untuk menghadapi.•••Aku menghela napas begitu berat dan masalah kasur setelah mengganti pakaian dari tas yang ibu bawakan 1 jam lalu. Ibu juga memintaku mengganti dan istirahat di kamar hotel sebelum besok pulang. Otot-otot badanku rasanya kaku juga tulang punggungku terasa remuk."Hari yang sangat melelahka