Ini tentang luka, air mata dan seberkas impian dari seorang aku, yaa kisahku. Gadis yang direnggut segala impiannya dengan perjodohan dini yang dilakukan oleh orang tuaku sendiri. Aku pikir, semua akan semulus seperti kisah yang lain. Namun, kenyataan memaksaku menerimanya bahwa perjalanan ini amatlah terlalu berat bagi aku. Mungkin ini yang aku bisa deskripsikan sedikit. Tentang aku dan kisahku akan kalian tahu lebih dalam pada cerita ini.
View MoreMenerima sebuah kenyataan yang tak pernah terbayang sangatlah terasa pahit.
***
"Kamu akan menikah, Nak." Baru dua langkah aku berjalan mengangkat tas hitam dan juga nilai-nilai semester satu yang ada ditangan kananku menuju ke kamar terpaksa terhenti ketika mendengar kalimat seorang pria. Ada kata yang menarikku sehingga aku tidak melanjutkan masuk ke kamar. Menikah.
Tas hitam yang tadi kuangkat kini aku letakkan kembali. Masih berusaha mencerna perkataannya. Apa ini lelucuan semata? "Ma-maksud Bapak apa?" Yah dia orang yang kupanggil Bapak. Kami tinggal di desa kecil di mana para anak-anak memanggil orang tuanya ibu-bapak ataupun emak-pakle.
"Bapak sudah memutuskan bahwa kamu akan segera menikah. Bapak sudah menjodohkan kamu," ucap Bapak lalu berdiri dari duduk kemudian mendekatiku. Ada pula Ibu hanya terdiam saja menatapku bergantian dengan Bapak.
"Hena tidak salah dengar, 'kan? Ini hanya lelucuan 'kan, Pak. Hena masih sekolah," ujarku menatap Bapak yang mulai menarik aku duduk. Dengan polos aku mengikut dan duduk disebelah Ibu. Wanita itu langsung saja mengelus pundak seakan memberi energi untuk aku menerima sebuah kabar terbaru yang akan mengguncang diri ini.
"Bu, apa yang dikatakan Bapak itu benar?" tanyaku langsung saja diangguki Ibu. Mengeluarkan suarapun rasanya enggan. Mungkin Ibu belum siap mengatakan sesuatu padaku.
"Jadi begini Hena ... Bapak dan Ibu sudah memutuskan melakukan perjodohan dengan anak teman Bapak dari kota," kata Bapak. Langsung saja aku membulatkan mata kaget dengan kalimat yang Bapak katakan tadi. Hal yang tak pernah aku ingin dengar diusiaku sekarang.
"Hena masih sekolah, Pak. Hena masih kelas 3 SMK. Bahkan luluspun belum. Umur Hena masih 18 tahun juga. Apa ini tidak terlalu cepat?" ucapku masih sadar jika sedang berbicara dengan orang tua untuk tidak meninggikan suara meski aku mau itu. Siapa yang tidak terkejut saat baru pulang diberi tahu kabar perjodohan?
"Lalu kenapa jika umur kamu 18 tahun, Nak? Itu udah cukup buat nikah. Bahkan Ibu sendiri juga menikah tepat diumur 18 tahun dan semua baik-baik saja."
"Ta-tapi, Bu, itu dulu, jangan samakan dengan sekarang." Bahkan ulang tahunku baru 1 bulan yang lalu.
"Apa salahnya? Kamu tidak lihat anak mbak Halinu sudah menikah diumurnya seperti kamu," sahut Bapak membawa nama tetangga kami. Benar katanya, anak dari mba Halinu menikah 2 bulan lalu dan terpaksa berhenti sekolah.
"Rhena, kita udah putuskan ini baik-baik dan akan menjadi yang terbaik buat kamu," ucap Ibu meyakinkanku. Menutup mata sejenak lalu mengangguk.
"Hena masih ingin sekolah, nyelesain sekolah tinggal 1 semester. Hena punya mimpi pengen jadi Fashion Designer."
"Buat apa sekolah jauh-jauh Hena! Keluarin banyak uang dan ujung-ujungnya anak perempuan seperti kamu akan ngurus keluarga dan anak-anak kamu nanti!" tegas Bapak di mana dia menekan setiap katanya barusan.
Aku termenung mendengar ucapan Bapak. Tak menduga pikiran Bapakku akan sesempit ini. Demi cita-cita aku harus tinggal di rumah salah satu keluarga ibu di kota. Masuk ke sekolah SMK dengan mengambil jurusan Tata Busana. Aku ingin sekali menjadi Fashion Designer di mana aku sangat hobi menggambar dan mendesain satu rancangan baju meskipun belum sempurna.
Jika kalian bertanya kenapa aku harus ke kota buat sekolah? Karena desa kami belum didirikan sekolah SMA ataupun SMK, di sini hanya sampai tingkat SMP saja. Jika ingin lanjut sekolah setelah itu harus merantau ke kota. Mengingat jarak desa ke kota butuh waktu 8-9 jam perjalanan. Jika macet bisa menempuh selama 9-10 jam baru bisa sampai.
Selama sekolah aku tinggal di salah satu keluarga dari ibu. Karena aku sudah menumpang di rumah keluarga selama 1 semester akhirnya libur dan berniat menghabiskan liburan di desa tempatku lahir. Desa yang memiliki banyak beribu kenangan dan kebahagiaan tersendiri.
Aku akan membantu ibu ke pasar menjual sayur yang kami tanam di samping rumah. Membawakan makanan bapak siang hari ketika berada di sawah. Tapi, yang aku bayangkan sedikit berbeda. Aku pulang dihadapkan dengan kabar perjodohan.
Kertas nilai satu semester yang tadi aku perlihat ke bapak dan ibu sewaktu baru datang tadi langsung kukepal erat-erat sudah tak berguna lagi. Apa gunanya perjuanganku sejauh ini? Bahkan aku tidak pernah mempermasalahkan uang jajan selama ke sekolah dengan membawa lima ribu saja bahkan biasa tidak ada.
Siang hari aku pulang langsung membantu tante dengan membawa pesanan orang yang memesan jilbab online. Yah, tante membuka usaha dengan menjual berbagai macam jilbab. Meski usaha itu terbilang masih kecil. Tetapi ada yang membeli 1-4 orang tiap hari. Dan malam hari, aku akan berkutat dengan buku pelajaran juga mencoba mendesain-desain.
Yang dikatakan bapak benar menyakitiku sampai aku tidak dapat menjawabnya. Memang benar aku harus membayar SPP selama sekolah kemarin tapi bukan berarti karena itu aku harus dijodohkan bukan?
"Sudah menjadi keputusan. Kamu terima ataupun tidak terima akan terjadi juga. Orang itu akan datang dua hari lagi buat ngelamar kamu."
Deg!
Apa semuanya secepat ini? Dan aku harus melakukan apa? Apa harus lari dan pergi ke kota? Tapi, bagaimana dengan ibu bapak juga? Lalu bagaimana dengan kedua adikku nanti? Tidak mungkin aku melarikan diri. Itu bukan contoh yang baik sebagai seorang kakak. Aku harap ini hanya terjadi padaku bukan kepada kedua adik perempuanku nanti.
Yah, aku memiliki 2 adik perempuan. Lika yang masih duduk di bangku SMP dan masih berada di kelas 2. Sedangkan Seni masih duduk dikelas 5 SD. Aku tersenyum kecut mengingat mereka berdua. Ah, mungkin mereka berdua tengah bermain mengingat sekarang hari minggu.
"Baiklah, Hena akan mengikut saja apa keputusan Ibu dan Bapak." Setelah kalimat yang sama sekali tidak ingin aku keluarkan namun juga berhasil keluar membuat Bapak dan Ibu tersenyum. Aku hanya mengabaikan dan berdiri dari kursi rotan ini. Kursi tua nan mulai lapuk menghiasi ruang tamu sepetak kami.
Aku kembali mengangkat tasku sempat terabaikan tak jauh dari depan pintu kamar. Segera masuk ke dalam sana. Mataku tertuju ke benda bergambar sudah terbingkai. "Semoga kalian berdua selalu sehat dan selalu bahagia." Tanpa sengaja setetes air mata turun dari kelopak mataku.
Jangan salahkan jika seorang takut pada situasinya."Good morning, Dear," sapa Deni kala Rhena menggeliat manja. Meskipun rambut acak-acakan wajahnya tetap terlihat cantik natural tanpa polesan make up. Sudah banyak yang mengakui Rhena cantik dan jika dilihat dia tak seperti anak sekolah sewaktu belum menikah.Perlahan mata Rhena terbuka. Deni tersenyum bahagia lalu cepat mengecup kening istrinya. Tidak sadar jam berapa dia tidur semalam, Rhena lalu menepuk kening kala mengingat belum menunaikan kewajibannya tadi subuh."Aauuughh." Langsung saja Rhena ingin bangun dari tidur dan meringis kesakitan pada bagian intim tubuhnya."Hati-hati, Sayang." Dengan sigap Deni membantu Rhena dan berusaha menutupi tubuh indah milik Rhena dengan selimut mengingat dia sedang tidak memakai apapun. Tersadar akan hal itu Rhena langsung terkejut seakan lupa kejadian semalam.Menggeleng kecil mengingat kejadian. Mata kini tertuju pada Deni di samping tak berbaring lagi. Dia sudah memakai handuk dipinggang
Pengakuan bagaikan hasutan merobohkan diri.Author POVLumatan kecil antara bibir sepasang suami istri tu terhenti. Deni menatap Rhena penuh keyakinan bahwa dirinya benar menyayangi sang istri. Perlahan menarik pergelangan tangan Rhena menuju kamar. Perempuan itu hanya mengekor tanpa banyak bertanya.Sampainya dalam kamar Deni menuntun Rhena duduk ke kasur lalu kembali menutup pintu kamar. Untung saja rumah juga sudah dikunci tadinya. Perempuan itu hanya terdiam membisu, entah apa yang sedang dipikirkan hingga bisa menurut begitu saja.Deni kembali kepada Rhena. "Kenapa diam saja?" tanya laki-laki yang sudah menjadi suami sah dari Rhena hanya dibalas gelengan kecil."Kamu mau tidur?" Lagi-lagi Rhena menggeleng. Seharusnya dia mengantuk dan tidur tapi pertengkaran tadi membuat rasa kantuk hilang seketika."Boleh?" Entah apa yang sudah memasuki Rhena barusan. Dia hanya mengangguk polos. Apa mengiyakan suaminya kembali menciumnya. Kemungkunan bukan itu yang dimaksud Deni melainkan hal la
Aku tidak pernah bermaksud untuk mendatangkan rasa cemburu itu.Aku menghela napas lega kala mobil Vaeru melaju meninggalkan pakarangan rumah. Viyata sangat beruntung memiliki kakak seperti Vaeru yang sangat menyayangi sang adik. Bahkan, mereka masih bercanda sebelum pamit tadi.Pagar ku dorong dan menguncinya kembali. Di mall setelah menonton kami bertiga memutuskan membeli baju yang sama.Baru saja ingin mengetuk pintu rumah ternyata Deni lebih dulu membuka pintu Aku tersenyum melihatnya. Dia hanya terdiam lalu meninggalkanku sendiri di ruang tamu."Kamu sudah makan?" tanyaku. Mata melirik jam pada dinding telah menunjukkan pukul sebelas malam. Aku menggigit bibir bawah sedikit kikuk. Apalagi Deni tadi hanya menghiraukan pertanyaanku dan masuk ke dalam kamar.Apa dia lagi marah? batinku bersuara.Setelah semua pintu termasuk pagar aku kunci. Dan mengecek dapur melihat makanan ternyata Deni sudah makan. Aku sempat masak sebelum dia mengantarku tadi. Perlahan aku masuk ke kamar, Deni
Sungguh untuk memberi tahu kenyataan pada orang lain aku belum bisa mengungkap sebenarnya.Deni memberi izin malam ini. Bahkan dia mengantarku ke mall tempat kami janjian. Sebenarnya Oza dan Viyata ingin menjemput tapi aku melarangnya takut sewaktu-waktu Deni tidak memberi izin. Setelah aku sampai 30 menit yang lalu, Deni juga mengatakan keluar malam ini bersama temannya mengingat ada urusan pekerjaan."Temenin gue pipis dong. Please!" Viyata membujuk Oza di mana kami sedang berada di dalam salah satu tono kosmetik."Apaan sih, ngerepotin orang mulu." Oza mendengus kesal. "Sini gue temenin cepet," lanjutnya dibalas cengiran."Rhena, lo tolong tunggu di luar ya, kaka gue mau datang. Mau ikut nonton." Langsung saja Viyata memberikan HP nya ke aku. "Kalau dia telepon angkat aja, dia nggak tahu posisi kita. Tunggu di sini aja ya!" Tanpa menunggu aba-aba dari aku, dia langsung menarik tangan Oza ke toilet.Aku menghela napas. Kebetulan ada sofa duduk tak jauh dari toko kosmetik tadi. Menun
Teman yang benar teman tidak meninggalkan dalam keadaan apapun.•••Sore hari Oza dan Viyata datang ke rumah berniat menjengukku. Awalnya kaget melihat aku yang tidak berbaring di kasur layaknya orang sakit malah membersihkan halaman. Padahal aku sudah melarangnya menjenguk mengingat sudah sembuh tinggal pusing sedikit saja. Baru saja Deni keluar beralasan ada urusan, Oza dan Viyata datang."Gue pikir lo udah sekarat," ejek Oza. Kami sedang duduk di teras luar. Karena kursi teras hanya ada dua jadinya aku mengambil satu kursi makan dari dapur untuk diduduki."Astaghfirullah, jangan sampai ih. Gue cuman demam aja."Disisi lain Viyata menikmati makanan yang dia bawa sendiri bersama Oza. Memang banyak makanan, ada buah mangga,
Perasaan ini semakin nyata akan benih cinta yang tumbuh.•••Melakukan hubungan intim pada status yang halal sebagai suami dan istri merupakan kebutuhan tiap pasangan untuk memperoleh keturunan nantinya. Namun, hal ini aku belum bisa wujudkan dikarenakan ketakutan mengingat umur masih terbilang muda untuk merasakan hamil.Meskipun demikian, hari semalam berhasil menciptakan benih-benih dalam hatiku. Deni berhasil mengambil firs kiss yang kusimpan baik untuk suami ku nantinya. Aku memang awam untuk perihal itu tapi adanya Deni yang selalu berusaha memberi kenyamanan tiap sentuhan bibir dan menikmati tubuh mungil ini.Hanya saja, jika untuk lebih jauh. Lagi-lagi kukatakan aku belum bisa melakukannya. Deni sangat senang atas afsu terladeni meskipun organ intimnya tidak menyentuh. Cukup bagian tubuh dari ku dirasa
Perasaan luluh ini memang dari dalam bukan settingan.•••Aku menggeliat merasakan diriku masih sama dengan kemarin. Mencari handphone dan melihat jam, ternyata sudah pukul setengah enam pagi. Aku melihat Deni masih mendengkur dengan membelakangiku.Kain yang mengompres diriku semalam aku lepas dan perlahan turun dari kasur. Pusing di kepala masih bisa tertahan, aku harus mengganti pakaian dan pembalut takut bocor terkena sprei.Mengingat kejadian kemarin aku pikir Deni kembali ke kantor ternyata pemuda itu memilih tinggal di rumah. Katanya aku lagi sakit takut jika kenapa-napa sendiri dalam rumah.Sore menjelang malam Deni membantuku ke kamar mandi mengganti pakaian dan m
Karakter yang berubah-ubah.•••Setelah kejadian tadi aku tersadar di jam 5 pagi. Tubuh rasanya remuk seakan habis bertengkar hebat bermain fisik. Untuk bangun saja badanku lemas dan terasa sakit. Aku langsung menggeleng kala bangun dari tidur.Entah kenapa kepala aku rasanya sangat berat tuk aku angkat, pusing seperti sedang terjadi gempa. Aku memegang dahiku sendiri dan terasa hangat. Apa aku sedang sakit?Aku mengesot ke dinding, memegang dinding untuk membantuku memopang tubuh berdiri. Perutku juga terasa keram sekali. Dengan sekuat tenaga akhirnya aku berhasil berdiri meski pusing itu melanda.Gagang pintu kupegang erat, di mana tangan kanan tengah memegang perut. Aku menghela napas berat berusaha ke kamar mandi bagian dapur mengambil air wudhu. Kaki terseret-seret kupaksakan.Aku tidak boleh sakit, siapa yang akan mengurus rumah dan memasakkan Deni? Aku tersenyum kecut, meski sedang lemas seperti ini ju
Jeritan hati kecil tidak dapat terdengar.•••Deni frustasi dan mengacak rambutnya. Napas tidak beraturan sudah diselimuti oleh rasa marah. "LAKUKAN SAJA APA YANG AKU MINTA, RHENA!" ucapnya menarikku kembali duduk tapi aku tepis erat."Tidak! Atas dasar apa aku lakukan perintahmu?" tanyaku membantah mulai memberanikan diri meski terselip rasa takut di dalam dada."Kamu istriku, sudah sewajarnya kita melakukan hubungan intim ini!" Tatapan Deni kali ini benar tajam. Aku hampir menciut melihatnya."Sudah aku katakan aku belum siap dan jangan memaksaku." Masih dengan sesenggukan menghapus jejak air mata. Aku tidak ingin terlihat lemah seperti ini."Kenapa kamu membantah, hah? Apa pemberianku selama ini ke kamu itu tidak cu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments