Share

-7- Reasons

Kenapa kita bertemu?

Apakah itu sebuah pertanyaan?

Karena … adakah alasan untuk takdir bekerja?

“Kenapa …” newborn itu kembali bertanya, “kau memburuku?”

Dean mendengus pelan. “Kenapa kau membunuh makhluk sejenismu sendiri?” balas Dean.

“Karena mereka akan membuat masalah jika aku tidak membunuh mereka,” sahut newborn itu.

“Kau juga membuat masalah, tidakkah kau sadar?” dengus Dean. Dan itulah alasan Dean memburunya.

“Bukan tanpa alasan,” newborn itu membela diri. “Tapi, kau juga tidak bereaksi seperti vampir lainnya ketika kuserang,” lanjutnya.

“Dan bukan tanpa alasan,” Dean memakai kalimat pembelaan newborn itu. Dean tersenyum tipis mendengar dengusan mengejek newborn itu.

“Sebelumnya kau tampak selemah vampir lainnya. Tapi, tadi kau … bisa memulihkan tenagamu lebih cepat …” Newborn itu terdengar bingung.

Dean tak tahu kenapa ia terus menjawab rasa penasaran newborn itu, tapi entah kenapa, ia suka mendengar suara newborn itu. Ia hanya … menikmati percakapan mereka.

“Sudah kubilang, bukan tanpa alasan.” Dean berusaha menahan senyum ketika mengucapkannya.

“Kau sempat tak berdaya ketika aku menyerangmu dalam jarak dekat tadi,” kata newborn itu.

“Tapi, tidak lumpuh sepenuhnya,” tandas Dean.

“Tapi, tidak bisa bergerak, bukan? Itulah kenapa tadi kau tidak menangkapku!” seru newborn itu.

Sial, umpat Dean dalam hati. Newborn itu menyadari lebih cepat dari dugaan Dean. Dia tidak bodoh. Dean sudah hendak menyeberang, tapi ketika ia berlari ke arah sungai, hendak melompat, tiba-tiba tubuhnya membeku seperti beberapa saat lalu. Dean mengerang dalam hati ketika mendapati newborn itu sudah berdiri di depannya, dengan mata merah terfokus padanya. Lagi, napas Dean tertahan.

“Sekarang kau tidak bisa bergerak,” ucap newborn itu seraya menarik lepas tudungnya.

Dean tak menjawab dan hanya mengawasi rambut cokelat kemerahan newborn itu ketika angin memainkannya.

“Saat ini kau pasti sangat ingin mematahkan leherku.” Newborn itu tersenyum.

Pandangan Dean yang tadi tersita oleh helaian rambut newborn itu kembali terfokus dan Dean baru menyadari bahwa dia menatap ke arah leher newborn itu. Yah, newborn itu tidak tahu apa yang ada dalam kepala Dean.

“Kau pasti membayangkan dirimu mencabik leherku dengan taringmu,” kata newborn itu.

Salah. Dean berkata dalam hati. Aku ingin menyentuh rambutmu.

“Apakah aku harus membunuhmu?” tanya newborn itu.

Kau sudah membunuhku dengan banyak cara yang tak kau sadari, keluh Dean dalam hati.

“Tapi, aku senang bermain-main denganmu,” ucap newborn itu riang. “Beberapa hari ini terasa sangat membosankan, kau tahu?”

“Dan kau akan menghabiskan waktumu selamanya dengan itu,” akhirnya Dean berbicara.

“Benar,” sahut newborn itu. “Karena itu, aku tidak akan membunuhmu sekarang. Punya teman berbicara sepertimu cukup menyenangkan.”

Dean menyetujui dalam hati.

“Jadi kurasa, aku akan membiarkanmu mengejarku,” putus newborn itu santai.

Dean tak tahu apakah ia harus senang atau sedih dengan keputusan newborn itu. Ia senang karena newborn itu tidak akan membunuhnya, tapi menyedihkan juga memikirkan bahwa newborn itu membuat Dean tampak begitu lemah di hadapannya.

“Sampai jumpa lagi, Hunter,” newborn itu mengucapkan selamat tinggal. Dean bersiap, menunggu newborn itu mengambil jarak sedikit saja. Tapi kemudian, Dean dikejutkan dengan tangan newborn itu yang terangkat ke rambut Dean.

“Apakah rambutmu selalu seberantakan ini?” tanyanya santai, sebelum kemudian, ia melompat ke seberang sungai, tersenyum jail pada Dean dan berlari ke arah selatan.

Dean mendengus menertawakan dirinya sendiri. Ia terlalu terkejut untuk bergerak saat itu juga. Ia sama sekali tak menyangka, newborn itu akan melakukan hal seperti tadi. Dean tak dapat menahan senyum ketika ia menyeberang ke sisi barat dan berlari ke arah berlawanan, kembali ke kabinnya.

“Apakah rambutmu selalu tampak seindah itu?” Dean berbicara pada dingin yang ditembusnya.

Newborn itu … benar-benar menghipnotis Dean.

***

“Kau sudah bangun?” Dean tampak terkejut ketika dilihatnya Gabe sudah duduk di sofa ruang tengah sebelum fajar, menonton televisi.

Gabe melongok ke belakang Dean. “Kau membawa newborn itu kemari?” cemasnya.

Dean menggeleng. Gabe mendesah lega.

“Baguslah jika kau sudah membunuhnya. Aku tidak bisa tidur semalaman karena mengkhawatirkanmu. Aku agak khawatir juga jika kau membawanya kemari. Dia bisa saja lolos dari rantai itu dan memangsaku, kan?” Gabe mengungkapkan ketakutannya.

Dean mendengus seraya duduk di samping Gabe.

“Aku belum membunuhnya,” akunya.

“Sudah kuduga, kau pasti … apa?” Gabe terbelalak ke arah Dean. “Kau … belum membunuhnya?”

Dean mengangguk.

“Kau belum bertemu dengannya?” Gabe penasaran.

Dean mengangguk. “Sudah,” jawabnya seraya menyandarkan tubuh ke sofa yang nyaman itu, lalu mengangkat kaki ke meja di depannya.

“Dan … kau tidak membunuhnya?” Gabe menatap Dean seolah Dean sudah gila.

“Dia nyaris membunuhku,” sahut Dean santai.

Gabe terkesiap panik. “Benarkah? Lalu … lalu apa yang terjadi? Kau … berhasil melarikan diri? Kau … tidak terluka, kan?” Gabe meraih tangan Dean untuk memeriksanya. “Apa dia sempat menggigitmu atau …”

“Aku baik-baik saja, Gabe.” Dean menarik tangannya dari Gabe. “Dia tidak perlu melakukan itu untuk melukaiku, atau membunuhku.”

Gabe menatap Dean dengan bingung. “Dan apa maksudnya itu?”

“Aku dibuat tak bisa bergerak karena kekuatannya,” keluh Dean.

“Benarkah? Tapi … tapi … kau sudah meminum darah dan …”

“Bukan seperti itu,” sela Dean. “Ini tidak seperti serangan sinar mataharinya waktu itu. Ini … entahlah.” Dean mengedikkan bahu. “Aku hanya tidak bisa bergerak ketika dia menyerangku dalam jarak dekat. Tapi, begitu dia mengambil jarak, aku bisa bergerak kembali. Jadi, aku tidak benar-benar lumpuh seperti sebelumnya. Yah, setidaknya efek kekuatan newborn itu padaku sudah tidak separah sebelumnya.”

“Tidak separah sebelumnya?” cibir Gabe. “Katamu dia nyaris membunuhmu dan kau bilang itu tidak separah sebelumnya?” sinisnya.

Dean meringis. “Dia tidak akan membunuhku,” Dean berusaha menenangkan Gabe. “Dia masih ingin bermain-main denganku.”

“Bermain-main … astaga, Dean!” Gabe meledak. “Dia itu monster pembunuh yang kejam dan kau akan bermain-main dengannya? Baiklah, permainan macam apa yang kalian lakukan? Seperti permainan potong leher duluan?”

Membayangkan permainan yang diucapkan Gabe itu membuat Dean harus menahan senyumnya. Gabe sedang kesal dan dia bisa sangat mengesalkan jika sedang kesal. Terkadang Gabe memang suka berlebihan jika menyangkut keselamatan Dean.

“Aku harus mundur dan memikirkan strategi untuk menangkapnya, Gabe. Dan aku akan menangkapnya malam ini, begitu aku menemukannya,” janji Dean.

“Dan tidak ada main-main lagi,” Gabe mengingatkan.

“Hm,” Dean menggumam sebagai balasan.

“Aku serius, Dean.” Gabe menatap Dean tajam.

“Aku mengerti,” sahut Dean santai seraya bangkit dari duduknya dan pergi ke kamar untuk melemparkan diri di atas tempat tidur.

Dean menoleh ke jendela, menatap semburat fajar yang mulai muncul. Sebentar lagi musim dingin akan benar-benar berakhir. Tapi, hal yang paling seru baru akan dimulai.

Dean memejamkan mata, berharap ia bisa tidur. Tapi kemudian, wajah newborn itu muncul. Rambutnya tersibak dengan cara yang menakjubkan, tatapan matanya menghipnotis, suaranya … senyumnya …

Dean membuka mata dengan ngeri. Apakah dia baru saja memikirkan newborn mengerikan itu? Dean mengerang seraya memaki dirinya sendiri.

“Dia adalah musuh, Dean. Kau harus membunuhnya. Bukannya memikirkannya seperti ini, atau yang lebih parah, terhipnotis olehnya,” Dean mengomeli dirinya sendiri.

Yah, bukan berarti Dean ingin. Hanya saja … itu terjadi di luar kendalinya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status