Share

-8- The Waiting

Never knew it would be this long

To see you in front of me

Dean mendapati tubuhnya terhipnotis ketika mata merah itu menatapnya. Ia tak bisa bergerak, tak bisa bernapas. Newborn itu berjalan ke arahnya, semakin dekat. Lalu, Dean merasakan tangan newborn itu di rambutnya.

“Apa rambutmu selalu seberantakan ini?” tanya newborn itu.

Dean tak bisa menjawab. Lidahnya kelu, seolah membeku di bawah pengaruh hipnotis newborn itu. Apa yang dilakukannya pada tubuh Dean?

Lalu, tangan newborn itu bergerak turun ke leher Dean.

“Hentikan,” Dean mendesis.

Newborn itu tersenyum miring. “Aku tahu kau menginginkan ini, Hunter. Aku tahu … kau menginginkanku.”

Dean mengernyit. Ia masih tak bisa bergerak ketika tangan newborn itu menyusuri lengannya turun, lalu naik lagi dan mendarat di dadanya.

“Apa yang kau inginkan dariku, Hunter?” bisik newborn itu di telinga Dean. Begitu menggoda. “Katakan padaku …”

“Menjauhlah … dariku,” desis Dean.

“Dan jika aku tidak mau?”

Dean belum sempat membalas protes itu ketika merasakan bibir newborn itu di lehernya. Newborn itu mengecupi leher Dean, membuat Dean menggeram. Bahkan saat ini, tubuhnya masih tak bisa bergerak. Dean ingin menyentuhnya juga.  

Namun, kemudian Dean merasakan tusukan tajam di lehernya. Lalu, Dean merasakan aliran panas darah di lehernya, menuju ke bibir newborn itu yang menghisapnya. Tidak mungkin. Dean bukan manusia. Seharusnya, tidak ada darah.

Dean mengerang merasakan sakit di lehernya. Seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya tidak begini.

Newborn itu melangkah mundur dan Dean bisa melihat bibir newborn itu berwarna merah, berlumuran darah. Darah Dean. Dean menyentuh lehernya. Ia bisa merasakan darah di sana. Tidak mungkin.

Dean perlahan jatuh berlutut, sebelum tubuhnya jatuh ke samping mendarat keras di lantai. Dean menatap newborn di depannya itu. Namun, pandangannya mulai samar. Dean mengerjap dan sosok newborn itu hilang, tergantikan oleh sosok dia.

“Kau … kenapa kau …?”

“Merindukanku?” Dia tersenyum miring.

Dean seketika tersentak bangun dan menatap sekelilingnya, menyadari ia berada di kamar di kabinnya. Tangan Dean refleks terangkat menyentuh lehernya. Tak ada darah ataupun luka di sana.

Dean menghela napas sembari menurunkan tangannya. Apa-apaan mimpi barusan?

***

“Kau benar-benar harus membunuhnya begitu ada kesempatan, Dean,” pesan Gabe ketika Dean menyelipkan pistol ke balik bajunya, bersiap untuk perburuannya malam itu.

“Tidurlah yang nyenyak dan jangan menungguku, Gabe,” balas Dean seraya menyimpan rantai ke saku jaketnya.

“Jangan main-main lagi kali ini, Dean,” Gabe mengingatkan, lebih tegas.

“Aku mengerti,” sahut Dean. “Aku tidak akan membiarkan diriku tampak lebih bodoh lagi di hadapannya.”

Yeah, jangan biarkan kecantikannya menghipnotismu lagi kali ini,” Gabe memberi semangat. “Ayolah, secantik apa pun, dia tetaplah vampir yang mengerikan!”

“Itu di luar kendaliku, Gabe,” desah Dean.

“Yah, setidaknya kau …”

“Apa ini jadi salahku jika dia tampak secantik itu?” kesal Dean. Ia tampak frustrasi.

Gabe berdehem. “Oke, baiklah, lupakan saja,” Gabe mengalah. Tampaknya ada yang salah dengan Dean dan kenyataan bahwa newborn itu cantik. Gabe jadi penasaran, secantik apa newborn itu? Tapi karena dia lebih menyayangi nyawanya, ia tidak akan menyesal jika ia tidak bisa melihat kecantikan newborn itu.

Dean mendesah lelah. “Aku pergi dulu,” pamitnya.

“Jangan lupa gunakan sabuk keselamatan,” sahut Gabe sarkatis.

Dean mendengus sebelum kemudian berjalan meninggalkan kabin, mengawasi keadaan sekitar, sebelum kemudian melompat ke arah hutan dan mulai berlari.

“Kau ingin aku mengejarmu, kan? Maka kau akan mendapatkannya,” Dean berbicara pada kegelapan malam.

***

 Dean mulai frustrasi ketika sudah lewat tengah malam dan Dean belum juga menemukan newborn itu. Dean berhenti di sisi sungai di Aitkin. Dean merobohkan sebuah pohon di dekat sungai dengan menendangnya, menjatuhkannya ke arah sungai. Dean lalu mematahkan batang itu menjadi dua, dan mematahkannya lagi menjadi bagian lebih kecil. Lalu membelahnya, dengan cara menarik sisi kanan dan kiri batang yang sudah terpotong itu, hingga menjadi potongan kayu bakar.

Dalam hitungan menit, Dean sudah bosan dengan kegiatannya itu. Newborn itu belum juga lewat. Atau mungkin dia sedang berburu di kota? Dean mendengus kesal mendapati newborn itu tidak menunggunya. Tapi kemudian, Dean memaki dirinya sendiri. Memangnya untuk apa newborn itu menunggu dirinya?

Tapi … Dean juga menunggunya …

Astaga, cukup! Dean membentak dirinya sendiri. Ada apa dengannya? Kenapa Dean jadi seperti idiot begini hanya karena newborn kejam itu? Dean mengumpat kasar sebelum berlari menyusuri hutan ke kota berikutnya. Tak sampai satu jam, Dean sudah tiba di Brooklyn Park. Dari sana, ia mulai menimbang-nimbang untuk meneruskan ke Minneapolis atau ke Saint Paul.

Kemarin newborn itu ada di Saint Paul. Mungkin saat ini ia juga ke sana lagi. Tapi … tidak. Tidak mungkin. Dia pasti sudah berada jauh dari Saint Paul. Dean berusaha meredam kekecewaan dan melanjutkan larinya. Tapi begitu langkahnya mendarat di Minneapolis, ia merasakan keberadaan newborn itu.

Dean terdiam di tempatnya. Ia berjalan menuju pusat kota, mempertajam pendengarannya. Suara degup lambat jantung manusia yang sudah terlelap di rumah-rumah yang ia lewati tertangkap telinganya. Lalu, suara dengkur dan igauan. Dean juga sempat mendengar suara tangis bayi, yang tak lama kemudian mereda.

Lalu dari kejauhan, Dean mendengar suara tawa. Banyak tawa. Dan, akhirnya, Dean mendengar suara newborn itu.

“Jika kau memberitahukan kehadiranku pada orang-orang, akan kupastikan kau dan keluargamu yang akan mati besok,” suara yang terdengar dingin itu berucap santai. Tapi, betapa pun dinginnya suara newborn itu, di telinga Dean tetap terdengar … indah?

Dean segera mengusir pikiran terakhirnya seraya melompat ke atap rumah dan berlari menuju suara newborn itu.

“Apa kau … akan melawan mereka?” Sebuah suara lain terdengar cemas dan ketakutan.

Dean tersenyum menyadari siapa pun yang diusir newborn itu masih mencemaskan newborn itu.

“Bukan hal yang sulit,” sahut newborn itu angkuh.

Dean kembali tersenyum. Tentu saja bukan hal yang sulit.

“Apa aku … perlu memanggil polisi?” tawar suara yang tadi mencemaskan newborn itu.

“Tidak perlu,” cegah newborn itu ketus. “Pergilah, dengan begitu aku tidak perlu membunuhmu.”

Dean hampir tertawa, newborn itu benar-benar tidak tahu terima kasih. Ketika Dean tiba di gang sempit dan gelap di antara gedung-gedung tinggi, ia melihat wajah pucat seorang wanita paruh baya yang merepet di tembok di belakang newborn itu.

“Aku akan membantunya, Anda tidak perlu khawatir, Ma’am,” Dean berkata pada wanita paruh baya itu. Wajar jika dia mencemaskan newborn itu. Mungkin dia masih punya putra atau putri yang tampak seumuran dengan newborn itu. Bagaimanapun, newborn itu tampak masih cukup muda. Mungkin baru awal dua puluhan. Dan, dia cantik.

Tujuh kepala menoleh bersamaan ke arah Dean. Wanita paruh baya itu tampak lega ketika menghampiri Dean, menepuk lengannya, membisikkan terima kasih, lalu berlari pergi.

“Aku tidak perlu bantuanmu,” sambutan sengit newborn itu membuat Dean mendesah ketika kembali menatap ke depan.

“Aku hanya akan menonton, kalau begitu,” ucap Dean seraya berjalan ke tembok dan bersandar di sana.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
cocok ya mereka wkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status