Share

Chapter 4 : Fhotograph

Kelopak matanya mengerjap berkali-kali menyesuaikan cahaya remang yang dipancarkan lampu tidur di atas laci kayu. Kepalanya masih sedikit berdenyut ketika dirinya bangun dari posisi tidurnya. Terdiam sesaat kemudian menyadari bahwa dirinya merasa asing dengan ruangan yang didominasi warna putih yang sekarang ia tempati, jelas sekali ini bukan kamarnya.

"Kau sudah bangun."

Irene tersentak saat menyadari Reviline mengamatinya dari kursi yang terletak tak jauh di pojok kamar. Entah kenapa tiba-tiba potongan kejadian beberapa jam lalu kembali berputar seperti roll film sehingga membuat kepalanya pusing. Sontak gadis Broune itu segera menyibak selimut guna melihat pakaiannya masih terpasang dengan benar atau tidak. Sedangkan Reviline hanya tertawa samar melihat kelakuan gadis didepannya.

"Hey! Kau tidak melakukan hal-hal anehkan saat aku pingsan tadi." Tanya Irene was-was.

Menggelengkan kepalanya cepat, pemuda itu kemudian beranjak dari duduknya.

"Tidak boleh mendekat! Mau apa kau?"

Irene segera menutupi seluruh badannya dengan selimut tebal berwarna merah saat Reviline berjalan mendekat ke arah tempat tidur. Saat ini kondisinya sangat tidak menguntungkan baginya, bagaimana jika pemuda sialan itu hendak melakukan hal-hal aneh apalagi mengetahui bahwa beberapa jam lalu ia sempat ketahuan mengikuti pemuda Smith itu.

Tubuh gadis itu bahkan meremang mengingat perlakuan kasar yang ia dapat. Hingga sisi ranjang yang ia tempati berdenyit, Irene tidak ingin keluar dari balik selimut.

"Apa kau takut?" Tanya pemuda itu.

"Y—aa..." Jawab Irene. Suaranya bahkan terdengar bergetar.

Hening berapa saat membuat Irene meremat selimut yang ia gunakan. Entah apa yang dilakukan pemuda itu diluar sana.

"Apa ada hal lain selain rasa takut setelah apa yang kau lakukan padaku beberapa waktu lalu?" Irene bahkan tidak pernah diperlakukan kasar seperti itu oleh pria lain bahkan ayahnya saja tidak berani.

Terdengar helaan napas berat dari pemuda Smith hingga selimut yang ia gunakan tiba-tiba saja ditarik olehnya membuat wajah sembab Irene terlihat.

"Kau menangis?"

Tidak seperti biasanya, suaranya terdengar rendah tanpa penekanan. Pemuda itu hanya menatapnya tanpa berniat melakukan apa-apa

"Hari ini kau bahkan sudah banyak membuatku menangis, lalu kenapa baru bertanya sekarang? Kau seperti tidak merasa bersalah sama sekali." Lirihnya. Ia benci sekali kepada pemuda sialan di depannya. "Aku bukan gadis cengeng tetapi gadis lain mungkin akan berpikir sama sepertiku."

Irene terdiam ketika jemari Reviline mengelus pipi kananya kemudian menyeka sudut matanya. Ia bahkan tidak menyari bahwa air matanya sudah turun sejak beberapa saat lalu. Perlakuan pemuda Smith itu begitu lembut berbanding terbalik dari sebelum-sebelumnya.

"Maafkan aku."

Mata keduanya bertemu membuat Irene melihat tidak ada kebohongan didalamnya. Raut penyesalan terpancar dari wajah Reviline saat pemuda itu menatapnya sendu.

"Ak—"

Belum sempat ia berbicara, pemuda Smith itu kembali membuatnya tersentak ketika tangannya ditarik dengan lembut hingga kepalanya membentur dada bidang milik Reviline. Masih mencermati apa yang terjadi tetapi dirinya begitu nyaman berada diposisi saat ini. Entah bagaimana, pemuda itu bahkan mengelus rambut pirangnya beberapa kali sampai membuat rasa takut Irene hilang begitu saja. Aroma mint menguar dari tubuh Reviline begitu memabukkan hingga membuat Irene merasa frustasi. Hingga perlahan-lahan kelopak matanya terasa berat ketika pemuda Smith itu membisikan sesuatu ditelinganya. Suaranya begitu samar seperti lagu pengantar tidur hingga membuatnya tidur di pelukan Reviline.

Jam menunjukkan angka tiga pagi. Reviline Smith masih tetap terjaga sembari memantik rokok didepan tv yang sengaja tidak ia nyalakan. Sebenarnya dia bukan perokok aktif tetapi ia hanya merokok disaat situasi tertentu. Beberapa jam lalu yang membuatnya begitu frustasi atas apa yang telah ia lakukan kepada Irene Broune, tetangga depan rumahnya. Bagaimana pun, dia masih merasa bersalah tidak seharusnya ia berlaku kasar seperti tadi. Mengingat bagaimana tubuh gadis itu bergetar hebat akibat ulahnya membuatnya sangat menyesal.

Memejamkan matanya beberapa saat lalu memori masa lalu kembali berputar cepat dikepalanya. Teriakan disertai tangisan histeris masih terngiang jelas ditelinganya. Ibunya mencoba memukul ayahnya beberapa kali tetapi tidak bisa tangannya jangkau karena sang ayah menjambak rambut ibunya dengan kuat. Pekikan terdengar saat ayahnya menampar wajah sang ibu beberapa kali sampai terlihat jejak merah di pipi ibunya. Sudut bibirnya bahkan terlihat mengeluarkan darah tetapi ayahnya masih berlaku kasar tanpa ampun. Ibunya menangis kencang tetapi Reviline hanya bisa melihatnya dari celah pintu kamarnya yang sedikit terbuka.

Pemuda itu menghembuskan napas kasar disertai asap rokok yang keluar dari mulutnya. Memilih merogoh kantong longcoatnya lalu menengguk aspirin. Kepalanya ia sandarkan di sofa sembari melihat notifikasi yang baru saja masuk ke ponselnya.

'JALAN BLOUSE NOMOR 54, KOTA MARLEY.'

Reviline meremas puntung rokoknya yang sudah hampir habis terbakar, tenggorokannya jadi kering sekali. Kemudian melangkahkan kakinya menuju dapur guna untuk meredakan dahaganya padahal beberapa saat lalu dia sudah menghabiskan dua gelas coffe.

Setelah selesai dengan urusannya, Reviline kembali ke kamarnya. Gadis Broune itu masih terlelap di ranjangnya sejak dua jam yang lalu. Muka sembabnya masih terlihat karena gadis itu banyak menangis tadi padahal dirinya tidak bermaksud membuatnya ketakutan tetapi entah kenapa dirinya malah berbuat sebaliknya.

Kembali duduk di sisi ranjang sambil menatap gadis yang sekarang sedang tidur dengan posisi menyamping ke arahnya. Beberapa saat kemudian ponsel Irene berdering dari kantong jaket berwarna kuning yang tadi Irene pakai.

"Peter?" Ujar pemuda itu ketika melihat nama kontak si penelepon.

"Halo..." Ucap seseorang lelaki diseberang sana ketika teleponnya tersambung. "Ya! Irene, kau dimana? Aku sudah mencoba menghubungimu beberapa kali sejak tadi. Ibumu bilang kalau kau tidak pulang malam ini? Dia panik sekali mencarimu."

Kemudian helaan napas kasar terdengar dari sana. "Aku bahkan sampai berbohong kepada ibumu kalau saat ini kita masih berada di Art Gallery untuk mengerjakan pameran. Sekarang cepat beritahu kepada ku dimana kau sekarang ini!" Cerocos pemuda itu sampai membuat Reviline heran. Memang tadi ia sempat melihat banyak sekali notifikasi yang masuk ke ponsel milik gadis Broune itu. 

"Dia sedang berada di rumahku." Jawab Reviline.

"Tu—nggu. Kau siapa?" Tanya lelaki diseberang sana.

"Reviline Smith." Terangnya. "Irene ketiduran di rumahku setelah acara makan malam tadi." Lanjutnya bohong.

"Kau temannya? Lalu apa kalian hanya berdua saja di rumah?"

Reviline tersenyum sinis mendengar pertanyaan lelaki bernama Peter itu.

"Apa kau sepenasaran itu?" Tanyanya sarkas.

"Tentu saja, bagaimana jika Irene dalam bahaya. Aku tidak bisa menjamin bahwa kau tidak akan berbuat yang tidak-tidak kepadanya." Jawab Peter dingin.

Reviline kemudian tertawa. "Aku kekasihnya."

Hening beberapa saat, "Be-narkah? Dia tidak pernah memberitahuku bahwa dia memiliki kekasih."

Reviline kemudian menatap Irene yang masih terlelap. "Tentu saja, bukankah itu sebuah privasi. Lalu kenapa kau sampai sekaget itu? Apa kau memiliki hubungan lain dengan kekasihku?" Tanyanya dingin.

Peter terdiam diseberang sana, "Ti-tidak. Kami hanya berteman, tidak lebih dari itu. Ma—"

"Bukankah aku sudah menjelaskannya dengan begitu jelas. Kau bahkan tidak perlu berlebihan begitu mengkhawatirkan kekasihku. Dia sedang terlelap sekarang jadi berhenti menghubunginya."

Berhenti sejenek, "Aku tidak suka kau terlihat begitu dekat dengan kekasihku. Jadi, harusnya kau tahu batasanmu sampai dimana. Jangan bersikap tidak tahu diri dengan mendekati kekasih orang lain." Sarkasnya tajam sedangkan seseorang disana hanya diam mencermati. Kemudian Reviline memilih memutuskan sambungan teleponnya.

Tangannya mengelus rambut pirang milik Irene dengan lembut. Dia menatap wajah gadis Broune itu, bulu matanya terlihat begitu lentik dengan hidung mungil yang lancip. Bibirnya tipis dengan tahi lalat kecil di sudut bibir kanannya. Kulitnya seputih porselen sangat kontras dengan warna alami rambutnya yang berwarna pirang. Mata Reviline bahkan tak bisa berpaling dari wajah Irene, entah kenapa gadis itu seperti mempunyai magis tersendiri hingga membuat Reviline betah untuk menatapnya.

So beautiful.

"Kau tahu, luka ditubuhmu mungkin bisa sembuh tetapi berbeda dengan luka dihatimu. Jika hatimu terluka, sakitnya akan meninggalkan bekas kemudian hilangnya perlu waktu yang lama."

Reviline meremang ketika mendapati foto lama keluarganya yang terpampang didinding rumahnya dulu. Pemuda itu membisu padahal banyak kata yang ingin ia lontarkan. Benar, hatinya begitu sakit.

Ketiganya terlihat tersenyum bahagia bahkan Reviline masih ingat, dirinya sempat menangis sebelum sesi foto dimulai akan tetapi ibunya berhasil membujuknya dengan alasan akan dibelikan banyak mainan baru di tokoh mainan paman Sam setelah pemotretan keluarganya selesai.

Irene menatap Reviline dari samping ketika pemuda itu masih terdiam ditempatnya menatap foto keluarga berukuran besar yang terdapat didinding. Sebentar lagi ia akan pulang ke rumahnya bersama Reviline setelah semalaman menginap di rumah milik pemuda itu. Irene tidak ingin membuat ibunya khawatir karena tadi malam ia tidak memberi kabar apapun.

"Tunggu, ayahmu seorang dokter?" Gadis Broune itu terlihat memegang sebuah bingkai foto yang terdapat sosok lelaki berpakaian seragam khas Dokter. Seketika gadis itu tersentak kaget mendapati Reviline membanting bingkai foto yang tadi ia pegang hingga pecah berserakan.

"Reviline, apa yang kau...?" Teriak Irene   marah tetapi dirinya segera terdiam mendapati muka pemuda didepannya berubah pucat hingga keringat dingin terlihat disekitar pelipis.

"He-yy! Kau baik-baik saja?" Gadis itu begitu panik sembari menempelkan telapak tangannya di kening Reviline beberapa kali. "Tidak demam. Lalu kenapa wajahmu pucat sekali?"

"Aku ingin pulang." Lirih pemuda didepannya samar hampir tidak bisa didengar oleh Irene.

"Baik-lah, kita pulang." Irene berjalan mengekori Reviline keluar dari rumah yang dulu keluarga Smith tempati.

Pandangannya mengarah kepada punggung didepannya yang begitu kokoh tetapi baginya punggung itu begitu rapuh hingga ingin sekali ia rengkuh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status