Share

Chapter 3 : What Is Wrong?

Bak rollercoaster, kehidupan memang berjalan naik turun. Bedanya hanya terletak pada bagaimana caranya seseorang untuk menjalaninya, memilih melewati sampai akhir hingga menemukan jalan keluar atau hanya berputar pada porosnya. 

Lalu bagaimana untuk Reviline Smith? Untuk beberapa orang terkadang mengikuti alur tidak selamanya berakhir buruk tetapi apakah dia akan menyesal kemudian hari karena tidak berjuang sejak awal. Dirinya tidak punya mimpi lagi untuk saat ini padahal dulu semuanya ingin dia gapai tetapi hilang begitu saja ketika harapan itu pergi bersama luka yang sampai sekarang ia rasakan. 

Reviline sudah lebih dari setengah jam berkutat pada buku yang saat ini sedang ia baca. Sudah menjadi rutinitas baginya ketika ada waktu luang disela-sela pemotretan. Jadwal memotretnya hari ini dilanjutkan jam enam sore setelah jam satu siang tadi selesai sesi pemotretan kedua, saat ini temannya sedang menggantikannya memotret model perempuan didepan sana. 

Hingga beberapa saat kemudian, sofa yang berada disisi kanannya berdenyit. Seseorang duduk disana mengenakan dress hitam yang memperlihatkan paha putihnya dengan perpotongan leher dress yang memperlihatkan belahan dadanya. Dia salah satu model yang Reviline potret tadi, Clara Taylor. 

"Reviline.." 

Clara sengaja mengeser duduknya agar lebih dekat dengan Reviline akan tetapi pemuda itu tetap diam dan hanya fokus pada bukunya saja. Dia tidak peduli dengan Clara sama sekali. 

"Kau tahu, aku yang menyuruh agensiku untuk memilihmu sebagai photographer di pemotretan kali ini." Ucapnya lagi sambil memainkan rambut blonde yang sudah di curly oleh Hairstylist. 

Menghela napas kasar, Reviline lalu menutup buku bacaannya dengan cepat. Sudah berulang kali Clara mencoba mendekatinya sampai berhasil membuatnya muak. Wajahnya memang cantik dengan hidung mungil yang mancung, bibirnya tipis dipoles dengan lipstik merah yang mencolok. Clara merupakan model blasteran Amerika-Italia. 

"Aku senang sekali bisa bertemu denganmu lagi, tuan Smith."

Mungkin pria lain akan tergila-gila jika diperlakukan seperti itu oleh Clara tetapi berbeda dengan Reviline. 

"Kau semakin tampan saja." Godanya.

Reviline menatap dingin ke arah Clara. "Apa maumu?" 

Memilih memajukan tubuhnya kedepan dengan kepalanya ia sandarkan ditangan hingga membuat belahan dadanya begitu terlihat. Sengaja sekali untuk menarik perhatian Reviline. 

"Bukankah aku sudah memberimu tiket VVIP seminggu yang lalu. Lalu kenapa kau tidak datang?"

Pemuda Smith itu tertawa "Apa kau selalu seperti itu untuk mendekati seorang pria. Menyerahkan tubuhmu begitu saja?" 

"Tidak. Hanya untukmu saja, Sir." Dia dengan sengaja mengedipkan sebelah matanya.

"Apa kau tidak tahu malu? Bagaimana jika orang diluar sana mengetahui sikapmu ini." Netranya masih menatap Clara tajam seperti pedang yang menghunus lawannya. 

"Tidak. Aku lebih malu jika kau menolakku." Jawab Clara. 

Reviline tersenyum sinis. "Menjijikan sekali." Sarkasnya. 

Pemuda itu kemudian berdiri hendak meninggalkan Clara yang masih setiap menatapnya. 

"Berhenti menggangguku! Aku tidak tertarik sama sekali kepada jalang sepertimu." 

Reviline lalu melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan semantara disisi lain Clara hanya tertawa sinis mendengar ucapan pemuda Smith itu.

Menarik. 

"Nek, kenapa mengundangku untuk makan malam disini." Tanya Irene ketika dirinya berhasil masuk kedalam rumah milik keluarga Smith. 

Nenek Ellen yang berjalan disampingnya hanya tersenyum. "Aku memasak banyak makanan malam ini jadi aku ingin mengundangmu dan ibumu kesini untuk makan bersama. Tapi sepertinya ibumu sedang sibuk sampai belum pulang sampai sekarang." 

Irene tertawa canggung. "Aku sudah memberi tahu ibuku tadi dan dia bilang akan pulang jam sembilan malam nanti. Dia juga bilang akan meluangkan waktunya lain kali untuk nenek."

"Salahku juga tidak memberi tahu kalian terlebih dahulu." Nenek Ellen menggeser kursi untuk Irene duduki tetapi segera ditahan oleh gadis itu.

"Tidak perlu repot-repot begitu, Nek. Aku bisa sendiri." Ujarnya sembari duduk dikursi yang ia pegang sedangkan nenek Ellen hanya tersenyum menanggapi. 

Diatas meja sudah ada banyak makanan yang disiapkan oleh nenek Ellen seorang diri. Bahkan di tengah meja terdapat beberapa lilin yang menyala sepertinya nenek Ellen memang suka sekali hal-hal klasik. Tetapi anehnya dirumah sebesar ini hanya dihuni dua orang saja, apakah itu tidak terlalu sunyi. Walaupun nenek Ellen bilang bahwa ada tiga orang asisten rumah tangga yang setiap paginya datang untuk mengurusi rumah tetapi pada sore harinya mereka akan pulang karena memiliki keluarga yang perlu diurusi juga. 

"Nek, sejak tadi aku tidak melihat Reveline?" Benar, sejak tadi matanya tidak pernah berhenti mengawasi sekitarnya guna menemukan keberadaan pemuda Smith itu tetapi sampai sekarang batang hidungnya masih belum terlihat. 

"Tadi pagi dia pergi untuk pemotretan mungkin sebentar lagi pemuda itu akan pulang itu juga kalau dia tidak mampir ke suatu tempat terlebih dahulu." 

Irene menganggukkan kepalanya mengerti. Pantas saja pemuda sialan itu tidak terlihat daritadi. Saat ini dia masih bisa bernapas lega tetapi tidak tahu untuk kedepannya. 

Sampai beberapa saat kemudian, pintu utama terbuka menampilkan sosok Reviline yang baru saja pulang. Pandangan keduanya bertemu ketika Reviline mendapati Irene sedang duduk dimeja makan bersama sang nenek. 

"Kau sudah pulang, Viline" 

Reviline berjalan mendekati meja makan lalu menengguk air putih yang dituangkan oleh neneknya.

 "Apa nenek yang membuat semua makanan ini?" Tanyanya saat melihat banyak makanan dimeja. 

"Tentu saja." 

"Kenapa nenek melakukannya padahal sudah ada orang yang dibayar untuk memasak disini." Ujar pemuda itu sedikit kesal. 

Nenek Ellen kemudian mengelus lengan cucunya pelan. "Kau ini. Sekali-kali nenek ingin memasak sendiri. Lagipula nenek sengaja membuat ini semua untuk tetangga kita." 

Netra tajam milik Reviline refleks mengarah ke Irene yang terlihat canggung dengan situasi sekarang ini. Dilihat dari mukanya saja, pemuda itu sudah tidak suka kepada Irene apalagi mengetahui bahwa neneknya memasak banyak makanan untuk dirinya. 

"Seharusnya ne—" 

"Sudah, cepat bersihkan tubuhmu setelah itu turun kebawah. Nenek tidak ingin kau sampai melewatkan makan malam kali ini." Ancam neneknya. 

Reviline lalu berjalan menaiki tangga untuk sampai ke kamarnya tetapi Irene masih ingat dengan muka kurang bersahabat yang ditujukan Reviline kepadanya. Astaga, dia jadi tidak enak kepada nenek Ellen. 

"Kalau dia bicara macam-macam kepadamu, hiraukan saja ya." Ujar nenek Ellen kepada Irene. 

Makan malam berjalan dengan lancar tetapi pemuda Smith itu tidak banyak berbicara. Dia hanya menyantap makanannya tanpa suara selain suara sendok yang ia gunakan. 

"Bagaimana pekerjaanmu hari ini, Viline?" Tanya sang nenek kepada cucunya. Sedangkan Irene menyibukkan diri dengan memotong steak yang ada dipiring miliknya. 

"Seperti biasanya." Jawab Reviline seadanya. 

"Kau tahu? Irene ini seorang pelukis. Dia bahkan akan ikut pameran di Art Gallery minggu ini." 

Nenek Ellen begitu antusias bercerita tentang Irene sampai Irene bingung menanggapinya seperti apa. Sedangkan Reveline hanya fokus kepada makanannya. 

"Yang nenek tahu kau suka sekali dengan karya seni. Dua minggu lalu bahkan kau pergi ke Hollo Museum. Nenek sarankan kau harus datang ke pameran yang Irene adakan." Seru neneknya. 

Namun, tiba-tiba pemuda Smith itu bangun dari duduknya. Membuat Irene dan nenek Ellen melihatnya bingung.

"Aku sudah selesai." 

"Viline. Kenapa tidak habiskan makananmu?" Teriak neneknya ketika pemuda itu berjalan kembali ke lantai atas. 

Sedangkan Irene hanya terdiam sesaat. Dirinya yakin pemuda itu tidak akan pergi ke pameran yang diadakan minggu ini karena memang dirinya menjadi salah satu panitia disitu. Pemuda itu tidak suka dirinya sama sekali. 

Tetapi dia tidak peduli. 

"Nek, terimakasih untuk makan malamnya. Masakanmu enak sekali." 

Irene baru saja selesai membereskan piring kotor yang digunakan untuk makan malam tadi bersama nenek Ellen. 

"Hehe. Kau pandai sekali memuji." Nenek Ellen mengantarkan Irene berjalan ke pintu depan.

"Benar, Nek. Kalau dibandingkan dengan masakanku, itu tidak ada apa-apanya. Seharusnya aku banyak belajar dari nenek. Ah, aku jadi malu sendiri." Ujarnya sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. 

Nenek Ellen tertawa mendengar ucapan Irene. "Tidak usah sungkan. Kau boleh datang kesini sesuka hatimu. Nenek akan dengan senang hati mengajarkanmu untuk membuat masakan yang enak." 

"Benarkah?.." Tanya gadis pirang itu begitu antusias. 

"Tentu saja." 

Irene lalu memeluk nenek Ellen sebelum memutuskan untuk kembali ke rumahnya. Ia senang sekali bisa bertemu dengan orang sebaik nenek Ellen mengingatkannya kepada neneknya yang tinggal diluar kota.

Sesaat setelah keluar dari gerbang depan halaman rumah milik keluarga Smith. Netra birunya menangkap sosok Reviline yang berbalut longcot berwarna hitam tengah berjalan di trotoar seorang diri. Sepertinya dia akan pergi ke suatu tempat jika dilihat dari langkahnya yang agak terburu-buru. 

Niat hati untuk tidak peduli tetapi sekarang dirinya malah mengikuti Reviline dari belakang. Pemuda Smith itu lalu berbelok ke kanan setelah melewati pertigaan kemudian menyusuri gang yang lumayan sempit hingga membuat Irene harus mengendap-endap untuk mengikutinya. Kondisi sekitarnya begitu remang, Irene bahkan baru mengetahui ada tempat seperti ini di Kota Hollo yang terbilang kota besar dengan mayoritas bangunan tinggi.

Tubuhnya meremang seketika mengetahui bahwa jalanan ini seperti jarang dilalui orang-orang. Bahkan sejak tadi dia tidak melihat orang disekelilingnya selain Reviline yang tiba-tiba saja mendadak berhenti didepan rumah dengan lantai dua didepan sana. 

Irene merapatkan tubuhnya ke pepohonan ketika Reveline mengamati kearah sekelilingnya sebelum memutuskan untuk masuk kedalamnya. 

Dilihat dari luar, lampu rumah yang sebelumnya padam kini menyala mungkin karena pemuda itu sudah menyalakannya.

"Apa ini rumahnya juga?" 

Bisik Irene sembari terus menatap ke arah rumah yang Reviline masuki. 

Tetapi bangunan rumah didepannya sepertinya tidak cukup terurus karena rumput liar tumbuh subur dihalaman depannya, beberapa cat ditemboknya bahkan sudah terkelupas. Apakah Reviline baru saja membeli rumah ini dari seseorang lalu berniat merenovasinya. 

Ah, dia bingung sendiri. Kemudian dirinya dikagetkan suara kucing yang tengah menggeram dari dalam tong besar yang sudah berkarat tidak jauh dari tempatnya. 

"Hush... Pergi sana!" 

Perintahnya tetapi kucing liar itu tetap menggeram dari balik sana hingga membuat Reviline keluar karena mendengar keributan dari luar lalu menghampiri tong besar didepan sana. Dia benci kucing, hidungnya akan gatal jika terkena bulu milik hewan itu.

"DUKKK..."

Saat Irene membalikan badannya berniat untuk kembali ke rumah tiba-tiba saja kakinya tergelincir di salju hingga membuatnya jatuh. Reviline yang melihat seseorang didepan sana segera berjalan menghampirinya. 

"Akh... Sakit sekali!" Gerutu Irene seraya merasakan sakit dibagian tulang ekornya. Dirinya bahkan hampir menangis sekarang ini. 

"Kau baik-baik saja?..." Tanya seseorang yang kini berdiri tepat disampingnya. 

Irene mengerjapkan matanya berapa kali, jelas sekali Reviline saat ini ada disampingnya. Lalu bagaimana jika pemuda itu tahu bahwa dia mengikutinya dari tadi tetapi disini begitu gelap karena ada pohon besar yang menghalangi cahaya lampu jalanan. 

"A-aku tidak papa." Ujar Irene bohong. 

Irene tersentak ketika pemuda itu membalikan badannya hingga wajah keduanya hanya berjarak beberapa senti saja.  

"Kau mengikuti daritadi." Sarkas Reviline penuh penekanan. Dia bahkan meringis saat bahunya diremat dengan kencang oleh pemuda didepannya. 

"Akh...Lepaskan aku!" Pinta Irene. Tulang ekornya masih terasa sakit ditambah lagi dengan ulah si pemuda sialan..

Irene memekik kaget saat Reviline menggendongnya dengan cepat, 

"Ya! Kau mau membawaku kemana?" Teriak Irene sambil beberapa kali memukuli bahu pemuda itu. 

"Turunkan aku! Dasar, pemuda cabul!" Lanjutnya. 

Akan tetapi Reviline enggan menuruti permintaannya hingga membawanya kedalam rumah yang tadi pemuda itu masuki. Seketika juga Irene terdiam ketika mendapati beberapa foto dengan berbeda ukuran terpajang di ruang tamu.

Reviline menghempaskan begitu saja tubuh Irene diatas sofa berwarna cream didepannya. Sedangkan Irene merasakan sakit disekujur tubuhnya memang benar pemuda itu tidak berperasaan sama sekali. 

"Kenapa kau malah membawaku kesini?" Tanya Irene sambil menatap Reviline yang masih berdiri didepannya.

"Harusnya aku yang bertanya, kenapa kau bisa sampai kesini?" Tanya Reviline kembali.

Netranya tidak berhenti menghunus gadis itu dengan tajam. Jelas sekali bahwa dia tidak suka seseorang mengikutinya dengan cara seperti ini.

"Apa yang kau lakukan dengan mengikutiku?" Intonasinya terdengar berubah seketika membuat Irene ketakutan. 

"Apa kau yang disuruh pria sialan untuk mengawasiku?" Lanjutnya sambil mencengkram wajah Irene dengan kencang. Saat ini gadis itu begitu takut berhadapan dengan pemuda didepannya, dirinya bahkan tidak tahu apa yang dikatakan Reveline.

Pria sialan, siapa dia? 

"KATAKAN JALANG!!" 

Teriak Reviline membuat air mata yang sejak tadi Irene tahan turun dengan sendirinya. Tubuhnya bahkan bergetar ketakutan seraya mengucapkan kata maaf berkali-kali karena sudah mengikuti pemuda itu. Hingga satu tamparan berhasil mengenai wajahnya membuat Irene tidak sadarkan diri. 

She's doesn't know anything.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status