Share

Chapter 5 : The Beginning Of Game

Menerawang jauh ke nirwana biru, semburat putih terlihat mengelilingi. Burung-burung berlalu lalang menghiasi jalanan yang sudah bersih dari salju mematuk biji-bijian yang jatuh dari pepohonan. 

Reviline Smith baru saja keluar dari Coffe Shop sembari menenteng cup coffe Americano yang baru saja ia beli. Setelah memasuki mobilnya yang terparkir di dekat area pertokohan, ia kemudian menatap sinis seseorang yang duduk disamping kursi pengemudi.

"Bukankah aku sudah menyuruh managermu untuk menjemputmu kemari, Clara." 

Clara terdiam sembari memperhatikan kukunya yang sudah dipoles kutek berwarna merah mencolok tadi pagi. "Tidak. Aku sudah memberitahukan kepada managerku bahwa dia tidak perlu menjemputku." 

Reviline meremas setir mobil dengan begitu geram, "Apa yang kau katakan?" 

"Aku hanya ingin menikmati sebuah kencan." Jawabnya tanpa merasa bersalah sama sekali sembari menaikan satu kakinya ke kaki kirinya memperlihatkan paha mulusnya yang hanya terbalut dress minim dengan stocking pendek. "Bukankah aku sudah menunggu sangat lama untuk mendapatkan waktu luang agar bisa pergi denganmu. Ayolah, bagaimana dengan tiket VVIP-nya?" Rayu Clara. 

"Aku sudah memiliki kekasih." Ujar Reviline lalu menatap Clara penuh intimidasi. Sedangkan Clara hanya tertawa menanggapi. 

"Kau tidak pandai berbohong. Jangan membuat banyak alibi, aku tidak akan mudah tertipu begitu saja." Clara merangkul lengan Reviline dari samping untungnya kaca mobilnya berwarna hitam sehingga orang-orang diluar sana tidak bisa melihat apa yang sedang mereka lakukan. 

"Dasar manipulatif." Sarkas Reviline sembari menyingkirkan tangan Clara yang masih merangkulnya. 

"Kau tahukan bagaimana seorang Clara. Aku akan percaya jika memang kau mau memperkenalkannya kepadaku. Aku ingin tahu sejauh mana seleramu, melebihi diriku atau malah sebaliknya." Ujarnya dengan penuh percaya diri. 

"Lalu setelah itu terjadi apa yang akan kau lakukan?" Tanya Reviline setelah Clara membenarkan posisi duduknya. 

"Haha... Kau tipeku sekali. Simple saja jika memang benar dia melebihi ekspektasiku, aku akan mundur." Jawabnya tenang. 

Reviline menatap dia sinis, "Benarkah? Sepertinya tidak mudah bagimu untuk menyerah begitu saja. Ayolah Clara, aku tau bagaimana liciknya dirimu. Kau bahkan membuat Jacob membenciku setelah kau meninggalkannya begitu saja." 

Clara kemudian tertawa dibuat-buat lalu memegang tangan Reviline yang masih menggenggam setir mobil. "Dia yang bodoh dengan begitu tergila-gila padaku. Aku bahkan muak sekali melihat wajahnya." 

Kepala Reviline berdenyut menghadapi Clara. Otak perempuan ini sepertinya sudah gila sampai membuatnya tidak bisa berpikir logis. "Baiklah, aku akan mengenalkan kekasihku nanti tetapi setelah itu berhenti mengangguku dan kau tidak boleh menyentuhnya sama sekali." Ujarnya tajam. 

"Kita lihat saja." Tertarik perempuan itu sembari menyinggungkan senyum licik. 

Irene terlihat panik sembari merogoh kantong jaketnya yang tadi malam ia kenakan. Pagi ini ia baru menyadari dompet miliknya hilang padahal jelas-jelas malam tadi dia menaruhnya dikantong jaket. 

"Mom, melihat dompet miliku tidak?" Tanyanya ketika mendekat ke arah ibunya yang sekarang sedang asik menonton tv. Hari ini ibunya menghabiskan waktu liburnya yang hanya berlaku satu hari karena besok harus bekerja kembali. 

"Tidak. Sepertinya kau lupa meletakkannya dimana. Kau sudah mencarinya dikamarmu belum?" Tanya ibunya khawatir. 

Irene terlihat begitu frustasi memikirkan hilangnya dompet miliknya. "Sudah tetapi masih tidak bisa kutemukan." 

"Mungkin tertinggal di Art Gallery tadi malam." 

"What?..." 

Irene mencoba mencerna perkataan ibunya. Apa maksudnya dengan Art Gallery?

"Peter bilang tadi malam kalian menginap di Art Gallery karena masih mengerjakan sesuatu untuk pameran nanti." Ucap ibunya lalu menyeruput teh yang sudah hangat. 

'Pe-ter, bilang begitu?' Ujar Irene dalam hati. 

"Coba kau tanya Peter apa dia melihat dompet milikmu. Apa perlu Mommy yang menghubungi—"

"Tidak! Ti-tidak perlu. Aku akan menghubunginya sendiri, Mom." Cegah Irene panik. 

Kemudian Irene segera berjalan kembali ke kamarnya sebelum ibunya menatapnya heran. Dia harus banyak berterimakasih kepada Peter karena sudah membantunya berbohong kepada ibunya tadi malam. 

Mendudukan dirinya diranjang sembari mengacak rambutnya kasar. Kepalanya pusing mengingat bahwa terdapat barang-barang berharganya di dompet miliknya yang hilang. Bagaimana jika dompetnya berhasil ditemukan orang lain. 

"Argghhh....." 

Teriaknya frustasi. 

Sampai pintu kamarnya diketuk beberapa kali disusul suara ibunya dari balik pintu. 

"Irene, ada seorang pemuda yang dateng mencarimu. Cepatlah turun kebawah." Ucap ibunya. 

Apakah Peter yang datang? 

Dengan cepat Irene menuruni anak tangga untuk sampai di ruang tamu yang berada dilantai bawah. Sesampainya di sana ia melihat punggung tegap milik seorang pemuda kini tengah duduk membelakanginya. 

"Peter?" Sapanya. 

Tetapi alangkah terkejutnya dia ketika menyadari bahwa bukan Peter yang ada disana melainkan Reviline. 

"K-kau..." 

Pemuda Smith itu menatap Irene yang sekarang hanya terbalut kaos tipis berwarna putih dengan rambut sedikit acak-acakan. Gadis itu kemudian duduk di sofa sebrang sana sembari menatap Reviline malas. 

"Mau apa kau datang kemari?" Tanyanya ketus. 

Reveline kemudian terlihat mengeluarkan dompet cream milik Irene. "Aku ingin mengembalikan barang yang sepertinya milikmu."

"Kau menemukannya dimana?" Tanya Irene senang ketika dompetnya kembali.

Tiba-tiba ibunya datang membawa nampan dengan satu gelas coffe dengan beberapa cemilan diatasnya. 

"Bukannya dompet ini punyamu, Irene. Kau bahkan mencarinya tadi." Ibunya melihat dompet yang Reviline pegang. 

"I-iya Mom. Se-pertinya terjatuh tadi pagi sebelum aku masuk ke dalam rumah. Jadi Reviline menemukannya trotoar depan." Bohong Irene sedangkan Reviline tertawa samar ketika Irene memelototinya. 

"Oh, jadi namamu Reviline." Tanya ibunya lalu duduk disamping Irene. 

"Perkenalkan saya Reviline Smith, cucu dari nenek Ellen yang tinggal dirumah sebrang sana." Ucapnya sopan. 

"Wah, aku sudah akrab dengan nenekmu. Memang dia bilang memiliki cucu laki-laki tapi tidak terbayangkan bahwa cucunya sangat tampan." Ucap ibunya dengan antusias. 

"Ya! Apa yang kau bicarakan, Mom." Ujar Irene kesal setelah mengetahui bahwa ibunya begitu menyukai Reviline. "Peter bahkan lebih tampan." Dumalnya pelan tetapi masih terdengar oleh keduanya. 

"Panggil saja bibi Hanna, kau boleh datang kemari sesukamu. Bibi akan senang jika Irene mempunyai teman baru di tempat ini." Ibunya menatap Reviline dengan begitu ramah. 

"Mom, aku bukan anak introvert begitu. Kenapa malah menyuruhnya sering-sering datang kemari. Nantinya juga aku akan mempunyai banyak teman baru disini." Ucapnya kesal sepertinya merasa terpojokkan. 

"Baiklah, terserah kau saja. Yang jelas, kau harus bersikap baik kepada tamu kita ini." Ancam ibunya setelah itu memilih pergi ke dapur. 

Irene kemudian melihat Reviline yang kini tengah menikmati secangkir coffe buatan ibunya.  

"Apa kau sibuk malam nanti?" Tanya pemuda Smith itu sampai ke intinya. 

Meremas jemarinya perlahan, "Tidak. Ada apa?" Tanyanya begitu penasaran. 

Reveline lalu menatap Irene sesaat. "Bisakah kau membantuku? Untuk kali ini saja." 

Irene tercengang kaget mendengar penuturan pemuda di depannya. "Wow. Apa aku salah dengar tadi?" 

Pemuda Smith itu masih tetap tenang terhadap respon Irene. "Kau menolongku. Bukankah sudah jelas?" Ucapnya penuh penekanan.

"Wah? Luar biasa. Kau baru saja meminta bantuan kepadaku." Ledek Irene lalu menatap Reviline konyol. Sedangkan pemuda itu memutar bola matanya malas, ayolah berhenti bermain-main. 

"Apa yang bisa aku bantu?" Tanya Irene serius. 

"Bisakah kau membantuku dengan cara berpura-pura menjadi kekasihku?" Tutur Reviline hingga membuat Irene tercengang kaget. 

"APA!!"

Yang benar saja, Reviline Smith baru saja menyuruhnya untuk menjadi kekasihnya. Walaupun semata-mata itu hanya sebuah kebohongan tetapi tetap saja bukankah itu hal gila. 

"Ak—"

"Hanya berpura-pura sampai batas waktu tertentu. Saat ini aku sangat membutuhkanmu untuk suatu kondisi yang tidak terduga." Jelas pemuda Smith itu. 

Terdiam sesaat, "Apa yang akan aku dapat setelah itu? Maksudku aku tidak ingin melakukan hal yang tidak begitu menguntungkan untuk diriku sendiri." 

Pemuda itu lalu menyeruput coffenya lagi. "Tentu, aku akan menuruti permintaanmu setelah itu asal kau mau membantuku." 

Irene berpikir sejenak, "Menarik. Baiklah, aku akan membantumu." Setujunya. "Asal, tepati janjimu setelah itu." 

Reveline tersenyum sinis, lalu memanggukan kepalanya perlahan. 

"Lalu apa yang akan aku lakukan malam nanti?" Tanya Irene penasaran. 

Pemuda itu lalu menyerahkan sebuah undangan berwarna pink dengan tinta emas didalamnya. Sepertinya acara formal karena designnya begitu cantik. 

"Undangan acara makan malam di suatu perusahaan. Kau harus berdandan cantik untuk malam ini oleh karena itu aku sudah menyediakan ini untukmu." Ujarnya sembari menyerahkan tiga tas kantong dengan satu box berisi baju dan perlengkapan untuk malam nanti. 

"Bukannya ini terlalu berlebihan? Kau bahkan sudah menyiapkannya sebanyak ini." Ucap Irene. 

"Tidak. Buatlah dirimu berbeda malam ini. Sekitar jam tujuh nanti aku akan datang lagi untuk menjemputmu kemari." Reviline lalu mengambil ponsel miliknya yang terdapat di kantong celananya.

Irene kemudian terlonjak kaget ketika ponselnya berbunyi.

 "Lagi, aku sudah menyimpan nomormu di ponselku ketika kau tertidur malam kemarin. Jadi jika ada perlu apapun tinggal kabari saja." Ucap pemuda Smith itu tanpa merasa bersalah sama sekali. 

"YA!!!! BERANI SEKALI KAU MENGOTAK ATIK PONSEL MILIK ORANG LAIN!" 

Teriaknya ketika pemuda Smith itu berjalan keluar dari rumahnya sambil tersenyum penuh kemenangan. 

Shit, he's crazy boy! 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status