"Selamat datang!" Nina membukakan pintu gerbang untuk yang lain.
Terpukau. Mereka takjub melihat rumah Nina, akhirnya gadis misterius yang sudah lama dikenal memberi tahukan kediamannya. Jelas terlihat bahwa ia adalah anak dari keluarga kaya, rumah tingkat 2 dengan halaman luas dan pagar kokoh nan elegan.
Bangunan bertingkat dengan gaya khas Eropa, lengkap dengan ornamen-ornamen indah. Pagar tinggi menjadi pembatas antara halaman dan jalan, memiliki arsitektur yang tak jauh berbeda. Warna krem dan cokelat mendominasi dinding luar, balkon luas dibangun tepat di atas teras.
Di sisi kanan dari arah masuk, ada satu jendela besar pada masing-masing lantai, menghadap langsung ke halaman. Tak lupa balkon kecil di jendela lantai dua. Sedangkan di lain sisi, tebing buatan setinggi tiga meter menyatu dengan dinding, menumpahkan air terjun langsung ke kolam ikan di bawahnya.
Desain yang begitu memukau. Wajar saja, karena tanpa ada yang tahu, itu adalah rumah orang terkaya di kota.
Semua berjalan pelan menuju pintu masuk, masing-masing mata belum bisa diam, memandang sudut-sudut memukau rumah temannya. Apalagi saat pintu kokoh tinggi dibuka, terbukalah mulut mereka takjub.
"Wow! Benar ini rumahmu, Na?" komentar Deary yang telah lama penasaran dengan rumah sahabat kecilnya. Gadis berambut gelombang itu mencoba duduk di sofa mewah ruang tamu, kagum betapa nyamannya benda itu.
Yang ditanya cuma membalas dengan tersenyum. Setelah teman-temannya puas mencoba dan memperhatikan ruang tamu, tuan rumah mengajak mereka ke ruang keluarga, ruangan terluas dan paling cocok untuk mengerjakan tugas.
"Na, senapan M110 yang ada di dinding itu … asli?" tanya Rey.
Nina tertegun, lupa jika barang pribadi pamannya banyak yang dipajang di dinding.
"Eee … bukan, itu cuma replika, paman suka mengoleksi barang sejenis itu," dalihnya menjawab setenang mungkin, tak boleh ada kecurigaan merekah di antara mereka.
"Hmmm ... apa pamanmu yang bilang? Kalau iya, berarti dia berbohong, jelas-jelas itu asli." Si anak baru berkata tegas, begitu yakin. Nina tersentak kaget, tapi berusaha tak memperlihatkannya. Bagaimana dia tahu?
"Wahhh. Bagaimana kau bisa mengetahuinya, Rey?" Anthony yang dari tadi diam angkat bicara.
"Ada yang aneh jika memang itu senjata replika. Perhatikan, banyak baret-baret samar di pegangan dan bagian bawah senapan yang menandakan pernah dipakai, jika memang replika seharusnya benda ini sangat mulus dan terawat. Lalu di ujung larasnya tak ada lapisan barel tambahan, yah... yang ini tak bisa dijadikan bukti pasti karna tak semua replika menggunakannya. Lalu coba perhatikan, debu di permukaannya tipis, itu berarti habis digunakan belum lama ini," jelasnya.
“Ta-tapi pamanku memang selalu merawatnya, ia sering membersihkan koleksinya karena benda-benda itu sangat ia sayangi. Pamanku juga sering memperagakan cara menggunakan senapan dengan itu, mungkin itu sebabnya banyak baret dan goresan.” Nina terpatah berdalih, memberi alasan sebisanya.
Rey menggeleng tenang, “Jika memang demikian, pamanmu tidak akan memajangnya hanya dengan besi di dinding. Kalau benar-benar menyayangi replica senapan dengan kualitas tinggi, ia pasti akan membeli kotak kaca khusus. Apalagi memeragakan pengguanaan senapan? Aku tidak yakin itu benar. Karena bagaimanapun goresan ini hasil nyata dari pengalaman. Senapan ini asli, Nina.”
Gadis itu menunduk kaku.
"Cool! Kau belajar dari mana hal semacam itu?" Riri bersemangat, rambut pendeknya menari kecil diterpa angin, ia adalah perempuan paling pendek di kelas. Sahutan pujian lain mengikuti. Hanya gadis pemilik rumah itu yang tetap membisu.
"Tentu bisa karena aku seorang detektif." pengakuan yang membungkam semua orang.
"Hah? sungguh?!" selidik Deary bercampur antara heran dan tak percaya, jelas gila jika anak sepantaran mereka jadi detektif.
"Tentu saja …," Rey sengaja menggantungkan kalimatnya, membuat yang lain semakin penasaran. "bukan. Ayahku yang detektif, jangan terlalu percaya," lanjutnya mengundang tawa teman-teman, menyadari betapa mudahnya mereka percaya. Suasana pun ceria kembali.
"Bah! Aku saja yang anggota tim basket tidak mengerti hal begitu." sahut Anthony menambah tawa lainnya. Memang apa hubungan basket dengan senapan?
Nina, hanya dia yang tersenyum tipis, tak ikut mengumbar tawa. Meski yang lain kelihatannya menganggap tadi itu angin lalu, sepertinya gadis ini tidak.
Melihatnya Rey merasa bersalah, lalu mengusulkan untuk memulai diskusi mereka.
‘Apa yang salah? Kenapa dia terlihat tidak senang? Padahal aku mencoba membuatnya terkesan, apakah ada kata-kataku yang salah?’ Beberapa pertanyaan berkecamuk di benak anak muda itu, tak tega melihat gadis di hadapannya cuma berseri dalam diam.
Setidaknya dengan mengerjakan tugas, dia dapat melihat wajah cantik itu berbicara.
Kerja kelompok mereka tidaklah mudah. Tapi dengan kehadiran anak bernama Rey, semua berjalan secepat mengerjakan soal matematika sekolah dasar. Dia cerdas, brilian, ramah, pribadi yang mudah bergaul dengan teman baru. Mereka merasa tertolong.
Tugas selesai saat mentari mulai tergelincir manja di ujung cakrawala, membuat arakan awan putih bak terbakar, menjadi api membara di langit jingga. Lukisan angkasa berlatarkan semesta kemerahan. Sungguh karya alam yang begitu indah di mata.
Nina mengantar mereka ke jalan raya terdekat, melambai dari tikungan perumahan tempatnya tinggal. Melepas kepergian sahabat dan teman-teman.
Suasana sore itu sungguh tenteram, layaknya sahabat karib yang terkait ikatan hati, senyum tulus bermekaran di wajah mereka. Gadis pendiam itu melempar senyum, memandangi punggung kawannya hingga hilang di belokan.
Tepat punggung kawannya lenyap dari pandangan, diliriknya jam tangan, lalu dengan wajah serius berlari secepat mungkin kembali ke rumah.
“Semuanya harus beres sebelum paman pulang.”
-=9=-
Seorang gadis berlari kencang, membanting pintu rumah hingga berdebam, tak burung-burung beterbangan dari pohon sekitar. Gejolak emosi hampir membuatnya hilang kendali. Ia tersengal, peluh membanjiri dahi dan wajah. Rambut berantakan, seragam sekolah kusut. Belum sempat mengganti pakaian sepulang sekolah tadi.
"Dasar detektif sialan!" umpatnya memukul pintu, membuat suara gaduh.
Ia terdiam lama, sebisa mungkin menenangkan diri dan mengatur nafas, kejadian tadi benar-benar membuat jantungnya berdegup kencang. Jika bukan karena detektif sialan itu, pasti sore ini akan lebih menyenangkan.
Setelah tenang, ia beranjak menuju ruang keluarga, tempat dimana TV diletakkan. Dengan remote di tangan, ia langsung mencari-cari Channel dengan berita terkini. Trending topik tentang 'The Number', pembunuh bayaran kelas kakap yang dilakoni sosok misterius.
"Ini dia!!" Gadis itu bersorak, yang dicarinya sudah ada di depan mata.
"Pagi ini seorang pria tua pemilik saham tertinggi di pusat perbelanjaan kota terbunuh. Diduga 'The Number' adalah dalang di balik semua ini, sebuah tulisan 'EIGHT' dengan angka 9 kecil diujungnya menjadi sebuah petunjuk yang mengatakan bahwa pria itu adalah korban terakhir bulan ini, para...." Pembawa acara di TV menyiarkan topik hangat hari ini.
Ada kilatan aneh yang terpancar di mata gadis berambut panjang saat melihat berita sore itu, perlahan seringai menghias bibir, lalu menjelma senyuman keji. Ia beranjak ke ruang kerja sang paman, menyalakan komputer, lalu membuka beberapa file dan situs ilegal yang diwariskan pendahulu mereka. Mulai membaca.
"Louis Anthony ... nama yang keren. Kau akan menjadi korban pertama untuk bulan depan."
-=9=-
Pernahkah kalian mendengar hukum Singkronitas? Sebuah kebetulan yang terjadi dalam garis serupa, begitu rapi sehingga tampak lebih seperti sandiwara hidup yang direncana. Bahkan para ideologi masih meragukan eksistensi teori tersebut di dunia. Benarkah adanya? Para detektif menolak percaya, mereka yakin di dunia tidak ada suatu hal yang terjadi secara kebetulan. Pasti ada sesuatu kaitan, hal yang saling memicu suatu kejadian. Mereka menolak percaya. Tapi … bagaimana dengan kalian?-=9=- 31 Desember Pukul 11:49 Seorang lelaki tengah duduk bersama ayahnya di sebuah sofa panjang, berbataskan asbak
Tubuh itu melangkah gontai, meninggalkan pekarangan rumah sakit dengan luka-luka yang telah mengering. Beberapa pasang mata menatap di kejauhan, seorang pria keluar rumah sakit dengan badan penuh luka? Awan pekat telah tersingkap, langit malam kembali menguar pesona, menampakkan bulan pucat yang gompal setengah. Waktu menunjukkan pukul 22:16, hanya setengah jam dari kejadian di jembatan tadi. Rey seharusnya menerima tawaran suster untuk diobati dulu, namun ia tidak bisa berpikir jernih. Tatapannya kosong dengan air mata yang sesekali berlinang. Pria itu hanya ingin sampai di rumah, merebahkan diri di kasur secepat mungkin, berharap segera bangun dari mimpi terburuk ini.'If you can't wake up from a nightmare, maybe you're not asleep' dengan cepat ia menggelengkan kepala, menepis kalimat mengerikan itu.  
Mana yang kalian percayai lebih mendominasi lika-liku hidup; kemampuan diri, kesempatan, keberuntungan atau … takdir? Banyak yang beranggapan bahwa segala hal yang terjadi di kehidupan seseorang bergantung erat pada kemampuan yang dimiliki, entah itu tentang kesuksesan atau sebaliknya. Apa pun, semua risiko ada menurut kemampuan. Namun sebagian lain mengatakan kesempatanlah yang mengatur tragedi di sepanjang jalan yang kau lalui sejak lahir hingga menjelang ajal. Maka dengan kepercayaan ini, pengetahuan dan kepekaan atas datangnya sebuah momentum akan sangat berpengaruh terhadap pergerakan puzzle kehidupan. Pun ada kelompok yang bilang keselamatan langkah kaki manusia ada pada keberuntungan, entah bagaimana itu terjadi. Bilamana seseorang hidup dengan kesialan, mereka Akan menyebutnya kutukan. Dan mayori
Kehidupan kerap digambarkan dalam berbagai macam bentuk, teori. Ada pihak mengatakan hidup layaknya sebuah telur dan ayam, yang lain bilang hidup berjalan lurus dari satu titik awal menuju akhir. Hidup memang rumit, karena tidak ada satu pun yang dapat tahu pasti bagaimana lingkungan kita ini berlangsung. Teori tercipta, namun penuh pertentangan. Tidak ada yang menjalar lurus. Setiap orang dengan pengetahuan dan ego menentukan opini masing-masing. Saling menyekat dan mengikat. Mengapa tak bersatu dan saling membahu? Ada sebuah teori yang datang dari penduduk bersorban, inti kehidupan yang menurut kepercayaan mereka adalah jawaban terdekat dengan semua teori. 'Hidup memiliki awal, dan setiap hal yang memiliki permulaan, maka memiliki akhir. Entah dalam bentuk seperti apa hal itu tercipta." &n
Suatu siang yang hangat, dua anak manusia tengah bersenandung ria di sebuah kafe, diselingi senda gurau. Seorang gadis berambut sebahu dan lelaki tampan nan rapi. Mereka tampak menikmati alunan musik dari pemain piano di sudut ruangan, sambil sesekali melahap pesanan masing-masing. "Terima kasih, Rey. Kau sudah mau menemaniku jalan, biasanya aku sendirian di rumah jika libur. Jadi aku sangat senang." senyum mengembang, tampak senang ditemani berkeliling. "Santai saja, kita sahabat. Wajar kalau aku menemanimu." "Hmmm ... semisal aku minta lebih dari sahabat? Boleh?” goda sang gadis masih dengan senyum berbinar. Rey tertawa kecil, menggeleng perlahan sembari mengangkat telapak tangan, seperti juru parkir yang menyuruh pengemudi untuk berhenti.  
Satu detik berlalu .... Dua, tiga ... waktu berjalan begitu lamban. Tak ada yang terjadi, padahal Rey sudah terbayang-bayang akan seperti apa kematian. Apa rasanya saat jantung, organ yang memberimu kehidupan, ditusuk mati sampai berhenti memberi detak. Tapi nihil, sampai detik merangkak ke angka belasan, bahkan hingga rangkaiannya menggunung menit, tidak ada yang terjadi. Hanya kesunyian yang mendekap, ia masih menutup mata. 'Apakah aku sudah mati? Seperti inikah kematian? Hampa, tanpa rasa sedikit pun?' Bahu gadis di pelukannya berguncang, membuat lelaki itu sadar bahwa diri masih menapaki hidup. Perlahan, dengan segenap keberanian ia membuka mata, melirik kedua tangan Nina yang menggenggam erat tepi baju. Tidak ada pisau disana. Apakah berhasil? Samar isak tangis terdengar, sungguh pilu meski tak beriring air mata.
Sebuah keluarga tampak tenteram berkumpul di ruang tengah malam itu, sepasang kekasih dengan satu anak laki-laki cerdas yang sedang jatuh cinta. Ayahnya pulang ketika sore, tepat sebelum Rey pergi menemani Deary mengunjungi makam sang ibunda. Setelah mengantarkan gadis itu pulang, ia harus melaporkan banyak hal tentang Nina. Terutama kepada sang Ayah. "Ayo, Nak. Ceritakanlah pada ayahmu ini." Itu bukan permintaan, tapi perintah. "Ya jadi ... begini, Yah ...." saat kemudian, kisah itu meluncur tanpa hambatan, namun tetap dengan versi tanpa kecurigaan atau petunjuk-petunjuk yang ia dapatkan. Sementara ini hanya diri sendiri yang boleh tahu semua itu. "Oh, jadi begitu. Kau sudah bilang ‘kan padanya? Tapi belum dijawab." Pria gempal di hadapannya
Suasana kelas cukup riuh, beberapa murid asyik bermain handphone mereka masing-masing, sebagian lain sibuk mengerjakan PR yang belum tuntas. Mengingat guru galak yang akan masuk pada jam pelajaran pertama, sontak tugas langsung jadi prioritas utama. Rey sedari pagi sudah duduk, anak pertama yang datang ke sekolah, bahkan sebelum cahaya matahari menyamarkan rembulan. Meski tugas sudah selesai tepat setelah diberikan, ia tetap rajin, khususnya akhir-akhir ini. Tepatnya setelah deklarasi kematian dari organisasi penuh teror itu. Sudah tiga minggu sejak kabar dari 'The Number' membanjiri lautan media massa, entah internet, koran, atau stasiun televisi. Hampir semua Channel memperbincangkan teror demi teror yang semakin tanpa jeda. Enggan memberi napas. Bulan ini bahkan sudah 12 orang yang mati, korbannya acak, dari berbagai daerah. Warga sipil hanya bisa berharap bukan yang jadi sasar
Semburat keemasan memeluk pagi, tampak hangat, begitu tenteram. Diiringi alunan melodi alam nan indah, jejak embun masih setia terjaga pada ujung dedaun tumbuhan yang menghiasi tiap jendela kamar pasien. Segar di mata, nyaman di hati. Seorang anak laki-laki tengah membereskan kamar, merapikan kamera dan alat perekam. Sesekali dengan senyum mengembang menatap gadis yang terbaring menjelajah mimpi. Setelah memastikan semua beres, dengan hati-hati ia duduk di sisi pembaringan, membangunkan sang permaisuri dengan lembut. Penuh kasih. Mereka bak replika kisah putri salju di dunia nyata. Hanya saja tidak ada pangeran atau tidur selamanya. "Nina, bangun yuk." Gadis manis itu menguap saat merasakan pipinya ditepuk lembut, lalu mata terbuka perlahan dengan segala kantuk yang menggelayut manja