6 tahun kemudian.
“Rey, kau tidak apa-apa ‘kan sering pindah sekolah karena ayahmu?”
Pemuda di belakang kemudi tidak menggubris, matanya serius menekuni setiap panel gambar di komik yang sedang ia baca, tiada satu pun kata terlepas dari pandangannya. Itu adalah komik detektif edisi khusus ‘Kasus dan Petunjuk’, tidak ada penyelesaian di bukunya. Lagipula Rey tidak butuh itu, ia sendiri yang akan menyelesaikannya.
“Rey? Kau tidak mendengar pertanyaan ibu?” Wanita di balik kemudi mendecak pasrah, anaknya selalu begitu serius saat membaca kasus-kasus fiksi. Bahkan jika tidak dilarang sang ayah, ia bisa saja menangani kasus sungguhan dengan kemampuannya.
Mobil putih meliuk anggun menyalip beberapa motor, menepi di depan sebuah gerbang sekolah. Halaman luas di pekarangan sekolah tampak lengang, jam pertama sudah dimulai lima menit lalu.
Pemuda bernama Rey sontak menutup komiknya saat mobil sepenuhnya berhenti.
“Aku mendengar pertanyaanmu, Bu. Aku selalu mendengarkannya. Hanya saja kau sudah menanyakan itu lebih dari lima kali sepanjang perjalanan pagi ini, dan tidak kurang puluhan ditambah pertanyaan sama tiap kali keluarga kita pindah rumah. Jadi aku tidak merasa harus menjawabnya.”
Rey beranjak setelah menutup pintu mobil, melambaikan tangan sembari tersenyum pada malaikan dunianya. Wanita itu membalas dengan senyum haru, tidak menyangka bayi kecilnya kini tumbuh menjadi pemuda tampan nan cerdas.
Satpam menghadang Rey di gerbang, namun segera mengizinkannya masuk setelah pemuda itu menjelaskan bahwa ia adalah murid pindahan yang baru masuk hari ini.
Rey menyusuri koridor sekolah mantap, melintasi ruang-ruang kelas menuju kantor kepala sekolah. Beberapa guru menatap sekilas saat berpapasan. Mereka sudah dikabari jika ada murid pindahan, jadi tidak terkejut ada anak baru yang melangkah santai di luar kelas saat jam pelajaran.
Kepala sekolah menyambut hangat murid baru yang kebetulan adalah anak dari teman dekatnya di masa kuliah dulu, rambut yang tak lagi hitam tersebut tampak disisir rapi mengikuti trend kekinian. Kacamata baca bertengger di tulang hidungnya.
“Selamat datang anak muda, bagaimana kabar ayahmu?” tuturnya ramah.
“Baik, Pak. Beliau menitipkan salam untuk anda, minta maaf karena belum bisa bertemu.”
Pria paruh baya itu terkekeh pelan di kursinya, beberapa guru senior melirik heran. Jarang sekali mereka menyaksikan kepala sekolah tertawa.
“Tak apa, tak apa, aku mengerti ayahmu pasti sibuk. Dia bisa datang kapan saja ke rumahku. Ayo langsung saja, akan kuantar kau ke kelasmu.”
Rey membungkuk kecil mempersilakan pria itu berjalan melewatinya, lalu mengekor dua langkah di belakang, meninggalkan ruang guru.
Keduanya masih menobrol kecil di perjalanan menuju lantai dua bangunan letter U tersebut, sesekali Rey tersenyum saat mendengar cerita menarik tentang ayahnya semasa kuliah. Tiba di pintu kelas, guru yang sedang mengajar menghentikan tulisannya.
Pak kepala sekolah melangkah masuk, suasana kelas langsung mencekam. Image beliau dia mata murid memanglah super killer, padahal tabiat aslinya tidak sepenuhnya demikian.
Pria berambut keputihan berdeham berat sebelum berucap, “Pagi ini sekolah kita kedatangan murid baru dari luar kota. Silakan masuk.”
Rey yang sejak tadi berdiri di luar melangkah masuk, berdiri tegap di depan kelas. Rambut dipotong rapi, binar mata tegas. Selarit senyum ia lukiskan saat menyapu pandang murid lain, menyapa ramah. Sosok dengan aura optimist yang amat kental.
“Perkenalkan dirimu.”
“Selamat pagi! Nama saya Rey. Mulai hari ini saya akan belajar bersama kalian, terima kasih! Ada pertanyaan?” Perkenalannya disambut bisikan di antara para murid perempuan.
Pemuda itu terlihat sangat tampan dan cerdas.
"Maaf, Rey. Nama lengkap?" Seseorang mengacungkan jari.
"Tak ada, namaku hanya Rey." Jawaban yang membuat semua orang heran. Rey? Hanya itu saja? Tidakkah orang tuanya memberi nama belakang?
"Oh, terima kasih"
Setelah beberapa lama jenjang tanya-jawab, Rey berlalu meninggalkan depan kelas, duduk di kursi belakang yang masih kosong.
Pelajaran yang digurui oleh guru killer pun dimulai seperti biasa. Ketegangan tidak memudar dengan bertambahnya satu personil, tapi antusiasme anak baru itu tetap terjaga meski suasana bagai neraka.
Selain karena memang ia tidak pernah punya masalah dengan sikap sifat orang lain, ada hal yang lebih menarik perhatiannya ketimbang pelajaran. Sosok gadis berambut hitam panjang di depannya, yang bahkan sedari awal tidak sedikitpun melirik ke arahnya.
-=9=-
Dua orang murid perempuan sedang menikmati bakso di sebuah warung yang tampak ramai, jam istirahat baru dimulai. Konon warung bakso itu sudah ada sejak tahun pertama sekolah mereka didirikan. Dan kini menjadi warung legenda favorit para murid.
Gadis berambut gelombang kecokelatan mengangkat kumpulan mie di depan mata, menerawang sesuatu yang mengikat perhatiannya saat jam pelajaran tadi.
"Nina, bagaimana pendapatmu tentang Rey?" Tiba-tiba ia bertanya, masih menatap jauh di balik mie yang sedari tadi diangkatnya. Masa depan, mungkin.
“Rey siapa?”
Mendapati pertanyaannya dibalas tanya, ia mendengus sebal. “Si anak baru! Kau benar-benar tidak tahu, heh?”
"Oh, dia. Entahlah, aku tak peduli," singkat Nina pada gadis yang tidak lain adalah Deary.
Mereka memang dekat sejak kecil. Tak ada perubahan berarti dari teman baiknya selain tinggi badan dan bentuk tubuh. Rambut dan kulit masih seperti dulu, gelombang dan kecokelatan.
"Huh, kau ini, selalu saja menolak peduli terhadap laki-laki, padahal kamu sangat cantik, pintar, ...." Deary mengomel di sela makan, menasihati sahabatnya yang pendiam dan sama sekali tak memperhatikan.
"Na, kau tahu? Tadi malam 'The Number' beraksi lagi." Deary berhenti mengomel, mencari topik kesukaan si gadis sepi.
Nina terdiam sesaat sebelum menoleh, "Di mana kejadiannya?" tanyanya antusias.
"Di kota sebelah. Huh! Pembicaraan semacam ini barulah kau tertarik." Gadis berambut panjang mengulum senyum tipis sebagai balasan.
"Kau melihat beritanya sampai habis?"
"Enggak, cuma sekilas, tidak begitu tertarik dengan hal seperti itu!" cueknya mengibaskan rambut gelap bergelombang. Pembicaraan mereka berlanjut sampai bel tanda masuk berbunyi, semuanya mengenai misteri. Gadis pendiam serupa melati itu memang misterius.
Sejauh ini banyak laki-laki mengutarakan perasaan padanya, namun selalu ditolak. Meski ada beberapa yang berhasil mengajak kencan, semua berakhir sama, seperti dupa yang dibakar habis, hangus tanpa sisa. Tak pernah ada yang berhasil meluluhkan hati gadis itu, entah mengapa pendekatan mereka selalu berakhir dengan tembok pemisah.
Meski pada tahap awal kencan selalu berjalan lancar, tak pernah ada akhir bahagia, mereka selalu memilih untuk pergi. Mengapa? Hanya gadis itu sendiri yang tahu.
Matahari sudah mencapai batasnya mengangkasa, menumpahkan terik prahara, menyambut puncak penghidupan hari. Panasnya selalu dapat mengganggu aktivitas, disambut umpat dan gerutu penuh keluhan. Lupa jika tanpa ia, dunia mungkin tak pernah ada.
“Bagaimana kalau kita mampir ke rumahnya Nina untuk mengerjakan tugas kelompok?” usul Rey. Anthony, laki-laki jangkung berambut cepak yang menjadi ketua kelompok pun menyetujui, juga penasaran dengan rumah gadis pendiam itu.
Tadi saat jam pelajaran biologi, kelas dibagi menjadi lima kelompok untuk mengerjakan tugas bersama. Dan sungguh kebetulan Rey bisa satu kelompok dengan gadis itu.
Sebenarnya si anak baru sudah memperhatikan Nina sejak pertama kali menyapu pandang ke penjuru kelas. Wajah cantik berbalut rambut panjang yang sedikit melengkung di ujung, bibir tipis, juga bola mata hitam legam. Sungguh damai dipandang. Hanya ia yang tak menunjukkan gelagat tertarik untuk berteman, atau sekedar berkenalan. Gadis manis itu bahkan tidak meliriknya.
Tapi yang demikian malah membuat anak cerdas itu memandangnya, ada hal yang menarik dari gadis ini. Sesuatu, ya, ada sesuatu yang dijaga baik-baik dalam kesendirian. Dibenam dalam-dalam di balik permukaan sunyi. Entah apa, tapi Rey tahu pasti dugaannya mustahil meleset.
Awalnya Nina menolak usulan tersebut mentah-mentah, tapi setelah berpikir, ia putuskan tuk menerima kedatangan mereka meski ragu.
Di perjalanan, pikirannya memacu kencang. Terlalu banyak risiko membawa teman ke rumah, namun akan lebih berbahaya jika tak ada yang pernah berkunjung. Jelas lebih mencurigakan.
‘Aku tidak mungkin menahan mereka, apalagi Deary yang sedari kecil belum pernah melihat rumahku. Aku tidak bisa terus berlindung dibalik bayang-bayang atau mereka akan curiga, sesekali aku harus menunjukkan diriku. Harus! Kuharap paman sedang pergi.’
Ia bergumam dalam diam, memantapkan keputusan diri.
-=9=-
Pernahkah kalian mendengar hukum Singkronitas? Sebuah kebetulan yang terjadi dalam garis serupa, begitu rapi sehingga tampak lebih seperti sandiwara hidup yang direncana. Bahkan para ideologi masih meragukan eksistensi teori tersebut di dunia. Benarkah adanya? Para detektif menolak percaya, mereka yakin di dunia tidak ada suatu hal yang terjadi secara kebetulan. Pasti ada sesuatu kaitan, hal yang saling memicu suatu kejadian. Mereka menolak percaya. Tapi … bagaimana dengan kalian?-=9=- 31 Desember Pukul 11:49 Seorang lelaki tengah duduk bersama ayahnya di sebuah sofa panjang, berbataskan asbak
Tubuh itu melangkah gontai, meninggalkan pekarangan rumah sakit dengan luka-luka yang telah mengering. Beberapa pasang mata menatap di kejauhan, seorang pria keluar rumah sakit dengan badan penuh luka? Awan pekat telah tersingkap, langit malam kembali menguar pesona, menampakkan bulan pucat yang gompal setengah. Waktu menunjukkan pukul 22:16, hanya setengah jam dari kejadian di jembatan tadi. Rey seharusnya menerima tawaran suster untuk diobati dulu, namun ia tidak bisa berpikir jernih. Tatapannya kosong dengan air mata yang sesekali berlinang. Pria itu hanya ingin sampai di rumah, merebahkan diri di kasur secepat mungkin, berharap segera bangun dari mimpi terburuk ini.'If you can't wake up from a nightmare, maybe you're not asleep' dengan cepat ia menggelengkan kepala, menepis kalimat mengerikan itu.  
Mana yang kalian percayai lebih mendominasi lika-liku hidup; kemampuan diri, kesempatan, keberuntungan atau … takdir? Banyak yang beranggapan bahwa segala hal yang terjadi di kehidupan seseorang bergantung erat pada kemampuan yang dimiliki, entah itu tentang kesuksesan atau sebaliknya. Apa pun, semua risiko ada menurut kemampuan. Namun sebagian lain mengatakan kesempatanlah yang mengatur tragedi di sepanjang jalan yang kau lalui sejak lahir hingga menjelang ajal. Maka dengan kepercayaan ini, pengetahuan dan kepekaan atas datangnya sebuah momentum akan sangat berpengaruh terhadap pergerakan puzzle kehidupan. Pun ada kelompok yang bilang keselamatan langkah kaki manusia ada pada keberuntungan, entah bagaimana itu terjadi. Bilamana seseorang hidup dengan kesialan, mereka Akan menyebutnya kutukan. Dan mayori
Kehidupan kerap digambarkan dalam berbagai macam bentuk, teori. Ada pihak mengatakan hidup layaknya sebuah telur dan ayam, yang lain bilang hidup berjalan lurus dari satu titik awal menuju akhir. Hidup memang rumit, karena tidak ada satu pun yang dapat tahu pasti bagaimana lingkungan kita ini berlangsung. Teori tercipta, namun penuh pertentangan. Tidak ada yang menjalar lurus. Setiap orang dengan pengetahuan dan ego menentukan opini masing-masing. Saling menyekat dan mengikat. Mengapa tak bersatu dan saling membahu? Ada sebuah teori yang datang dari penduduk bersorban, inti kehidupan yang menurut kepercayaan mereka adalah jawaban terdekat dengan semua teori. 'Hidup memiliki awal, dan setiap hal yang memiliki permulaan, maka memiliki akhir. Entah dalam bentuk seperti apa hal itu tercipta." &n
Suatu siang yang hangat, dua anak manusia tengah bersenandung ria di sebuah kafe, diselingi senda gurau. Seorang gadis berambut sebahu dan lelaki tampan nan rapi. Mereka tampak menikmati alunan musik dari pemain piano di sudut ruangan, sambil sesekali melahap pesanan masing-masing. "Terima kasih, Rey. Kau sudah mau menemaniku jalan, biasanya aku sendirian di rumah jika libur. Jadi aku sangat senang." senyum mengembang, tampak senang ditemani berkeliling. "Santai saja, kita sahabat. Wajar kalau aku menemanimu." "Hmmm ... semisal aku minta lebih dari sahabat? Boleh?” goda sang gadis masih dengan senyum berbinar. Rey tertawa kecil, menggeleng perlahan sembari mengangkat telapak tangan, seperti juru parkir yang menyuruh pengemudi untuk berhenti.  
Satu detik berlalu .... Dua, tiga ... waktu berjalan begitu lamban. Tak ada yang terjadi, padahal Rey sudah terbayang-bayang akan seperti apa kematian. Apa rasanya saat jantung, organ yang memberimu kehidupan, ditusuk mati sampai berhenti memberi detak. Tapi nihil, sampai detik merangkak ke angka belasan, bahkan hingga rangkaiannya menggunung menit, tidak ada yang terjadi. Hanya kesunyian yang mendekap, ia masih menutup mata. 'Apakah aku sudah mati? Seperti inikah kematian? Hampa, tanpa rasa sedikit pun?' Bahu gadis di pelukannya berguncang, membuat lelaki itu sadar bahwa diri masih menapaki hidup. Perlahan, dengan segenap keberanian ia membuka mata, melirik kedua tangan Nina yang menggenggam erat tepi baju. Tidak ada pisau disana. Apakah berhasil? Samar isak tangis terdengar, sungguh pilu meski tak beriring air mata.
Sebuah keluarga tampak tenteram berkumpul di ruang tengah malam itu, sepasang kekasih dengan satu anak laki-laki cerdas yang sedang jatuh cinta. Ayahnya pulang ketika sore, tepat sebelum Rey pergi menemani Deary mengunjungi makam sang ibunda. Setelah mengantarkan gadis itu pulang, ia harus melaporkan banyak hal tentang Nina. Terutama kepada sang Ayah. "Ayo, Nak. Ceritakanlah pada ayahmu ini." Itu bukan permintaan, tapi perintah. "Ya jadi ... begini, Yah ...." saat kemudian, kisah itu meluncur tanpa hambatan, namun tetap dengan versi tanpa kecurigaan atau petunjuk-petunjuk yang ia dapatkan. Sementara ini hanya diri sendiri yang boleh tahu semua itu. "Oh, jadi begitu. Kau sudah bilang ‘kan padanya? Tapi belum dijawab." Pria gempal di hadapannya
Suasana kelas cukup riuh, beberapa murid asyik bermain handphone mereka masing-masing, sebagian lain sibuk mengerjakan PR yang belum tuntas. Mengingat guru galak yang akan masuk pada jam pelajaran pertama, sontak tugas langsung jadi prioritas utama. Rey sedari pagi sudah duduk, anak pertama yang datang ke sekolah, bahkan sebelum cahaya matahari menyamarkan rembulan. Meski tugas sudah selesai tepat setelah diberikan, ia tetap rajin, khususnya akhir-akhir ini. Tepatnya setelah deklarasi kematian dari organisasi penuh teror itu. Sudah tiga minggu sejak kabar dari 'The Number' membanjiri lautan media massa, entah internet, koran, atau stasiun televisi. Hampir semua Channel memperbincangkan teror demi teror yang semakin tanpa jeda. Enggan memberi napas. Bulan ini bahkan sudah 12 orang yang mati, korbannya acak, dari berbagai daerah. Warga sipil hanya bisa berharap bukan yang jadi sasar
Semburat keemasan memeluk pagi, tampak hangat, begitu tenteram. Diiringi alunan melodi alam nan indah, jejak embun masih setia terjaga pada ujung dedaun tumbuhan yang menghiasi tiap jendela kamar pasien. Segar di mata, nyaman di hati. Seorang anak laki-laki tengah membereskan kamar, merapikan kamera dan alat perekam. Sesekali dengan senyum mengembang menatap gadis yang terbaring menjelajah mimpi. Setelah memastikan semua beres, dengan hati-hati ia duduk di sisi pembaringan, membangunkan sang permaisuri dengan lembut. Penuh kasih. Mereka bak replika kisah putri salju di dunia nyata. Hanya saja tidak ada pangeran atau tidur selamanya. "Nina, bangun yuk." Gadis manis itu menguap saat merasakan pipinya ditepuk lembut, lalu mata terbuka perlahan dengan segala kantuk yang menggelayut manja