Home / Romansa / NINE / Prolog

Share

NINE
NINE
Author: Mathima Zois

Prolog

Author: Mathima Zois
last update Last Updated: 2021-05-10 16:43:03

Seorang lelaki terduduk di sudut pasar, darah segar mengalir dari luka pada lengan dan kaki. Tubuhnya kaku, hanya organ wajah yang masih berfungsi. Kedua tangan dan kaki mati total, akibat putusnya syaraf vital yang terhubung ke otak. Ditilik dari luka yang minim namun fatal, jelas semua ini perbuatan seorang profesional.

Malam itu, sewajarnya suasana gang kota saat matahari tenggelam, sepi membungkam. Ini bukan kota besar dengan bangunan gagah menjulang, tak ada keramaian lebih di kala puncak malam datang. Kalau bukan derik serangga dan desau angin dingin, mungkin keadaannya seperti ruang hampa.

Lelaki itu sudah berusaha minta tolong, bahkan sampai teriakan terakhir. Tapi tak ada seorang pun yang datang. Dunia benar-benar membuang muka. Rasa sakit terlupakan sudah, menyisakan rassa takut dan putus asa.

Seorang gadis kecil berdiri di hadapan pemuda itu, dengan santai memutar sebuah pisau ditangan, serupa bocah memainkan pena. Lihai, jelas jika ia tidak seperti anak kebanyakan. Ketenangan yang menggaris pada  matanya sungguh di luar batas.

"Denis, 21 tahun, mahasiswa dan kau ... seorang pelaku pedofilia." Gadis itu membaca identitas dari kartu pengenal orang di hadapannya. Ia menghela napas berat sebelum melanjutkan, "sayang sekali kau salah memilih korban"

Lelaki bernama Denis menelan ludah, ketakutan tampak jelas terpancar pada matanya. Ia tak menyangka bocah yang seminggu terakhir menjadi target, punya kepribadian mengerikan. Siapa sebenarnya anak ini?

Permainan pisau berhenti, ia memasukkannya ke dalam tas. "Oh maaf, aku belum memperkenalkan diri. Walaupun, yah ... aku yakin paman pasti sudah tahu. Namaku Nina, 10 tahun, kelas 3." Nina tersenyum semanis mungkin, senyum yang malah membuat pria itu semakin diselubungi rasa takut. Tidak wajar gadis kecil bisa tersenyum saat tubuhnya berceceran darah.

Gadis berambut panjang itu memperhatikan pakaian sekolahnya, noda darah merembes dimana-mana, jelas tidak mungkin ia pulang dalam keadaan seperti ini. Bias-bisa ada orang yang melihat. 

"Gara-gara paman pakaianku jadi kotor, kalau sudah begini mau tidak mau aku harus menggantinya. Paman sih …." Ia mengomel panjang sembari membuka seragam sekolah.

Situasi seperti ini selalu diingatkan oleh pamannya, tak ada yang dapat mengetahui kapan ancaman tiba dan memaksanya bertindak tegas. Atau mungkin kejam. Maka untuk mencegah terjadinya hal yang tak diinginkan, ia selalu membawa dua setel pakaian ke mana pun.

"Sip, selesai!!!" soraknya menatap setelan seragam bersih yang ia kenakan, "Saatnya pulang"

Baru beberapa meter meninggalkan lelaki itu, langkah Nina terhenti, nasehat pamannya terngiang kembali, 'Jika terpaksa melakukan tindak kriminal, jangan pernah meninggalkan barang bukti, sidik jari, apalagi saksi.'

"Ups, hampir lupa," gumamnya beranjak kembali. "Halo paman, ada yang Nina lupa" gadis itu memungut seragam kotor, memasukkannya ke dalam ransel. Denis masih tegang, namun perlahan ketenangan muncul. Sepertinya anak hanya ingin pulang, jadi tak ada yang perlu ia takutkan lagi. 

"Paman tahu? Pamanku selalu berkata jika kita melakukan kejahatan, tidak boleh ada barang bukti. Nah, seragam sudah Nina bawa. Tak boleh ada sidik jari. Paman tahu sendiri tadi Nina memakai sarung tangan. Dan tidak boleh ada saksi …."

Mendengar kata terakhir gadis itu, wajah yang tadi menggurat syukur menegang kembali, rasa tenang yang tadi tercipta sirna bak tak pernah ada. Berkali ia berusaha minta tolong dengan sisa-sisa suara. Tapi nihil.

"Maaf ya, Paman. Aku tidak bisa membiarkanmu hidup atau kau akan menyebarkan kejadian ini pada orang lain." tawanya ceria kemudian.

Dengan perlahan Nina merobek perut korban pertamanya dengan pisau bedah, sehati-hati mungkin agar tak menyentuh apa pun. Denis hanya berteriak tertahan, suaranya terkuras habis. Rasa seperti terbakar mencabik-cabik dadanya.

Tidak ada lagi harapan. Anak ini gila!

"Selesai,  sekarang aku pamit pulang dulu ya ..." ujarnya pada tubuh yang sudah di ambang kesadaran. 

Sebelum benar-benar beranjak, Nina melirik korban sekali lagi, mendekat sejenak,  mengambil sesuatu yang tergeletak di samping tubuh tak bernyawa. Percikan darah membekas pada benda tersebut.

"Sebagai kenang-kenangan, bolehkah kubawa boneka yang paman belikan tadi? Bonekanya lucu, walaupun ada niat jahat di baliknya" 

Ia pun pulang dengan senyum menghias di bibir.

-=9=-

"Seorang pemuda ditemukan tewas di sebuah pasar pagi ini, diduga korban meninggal akibat kehabisan darah. Beberapa luka sayatan ditemukan di tubuh korban ...." seorang pembawa acara di Channel TV menyiarkan berita pagi.

Saat itu hari minggu, Nina yang sedang bermain di rumah teman menoleh ke layar, membuat bola karet yang mereka mainkan terjatuh. Serempak anak-anak ber-yess kegirangan mendapat giliran main.

Di layar TV, tubuh seseorang telah ditutupi kain usang, mungkin warga yang pertama menemukan tubuh itu menutupinya dengan sembarang. Beberapa boneka dan mainan tergeletak di samping tubuh kaku itu, polisi mengamankannya sebagai petunjuk.

"Na!" panggil Mei membangunkan gadis mungil itu dari lamunan.

"Eh, iya?"

"Giliranmu." ujar anak dengan rambut sebahu  menyodorkan bola bekel ke arah Nina, namanya Riri. Dengan heran ia menoleh ke serakkan kerang yang hanya hilang dua sejak terakhir gilirannya.

"Huh? Kalian tidak bisa memainkannya, ya?" tanya Nina disambut tawa malu oleh teman-temannya.

"Kamu pintar, Na. Mainnya hebat, selalu menang." 

"Tak juga, aku cuma sedang beruntung." 

Jelas ia selalu menang, permainan ini memang kesukaannya. Paman yang mengajarkan, lalu ia membawanya ke sekolahan. Dulu, orang yang sudah Nina anggap sebagai ayah itu bilang, bahwa kombinasi bola karet dan segenggam kerang adalah permainan populer anak perempuan di kampung halaman beliau.

Tak terasa siang sempurna menjelang, terik membakar permukaan bumi, menebar kehidupan. Langit terlihat cerah, hampir tak tampak buih di keindahan laut semesta itu. Rei dan Riri sedari tadi sudah pamit, tinggallah Nina di rumah Deary. Karena jarak yang lumayan jauh, ia hanya bisa menunggu pamannya menjemput. 

Orang tua gadis berambut panjang itu meninggal dalam kebakaran, pergi dari sisi malaikat kecil mereka saat masih berumur dua bulan. Beruntung saat bencana itu terjadi, adik ayahnya sempat menolong, bak pangeran surga yang rela menerobos neraka demi menyelamatkan Nina kecil. 

Sayang hingga sekarang, sang paman malah lebih terlihat bak iblis. Seakan kebaikannya dulu hanya kedok tuk membuat ia terlihat seperti malaikat.

"Na, kamu tidak  pulang?" tanya Deary. 

Perempuan berambut gelombang dengan wajah kecokelatan itu adalah teman dengan pribadi paling baik, tak pernah pamrih atas segala bantuan yang diberikannya pada orang lain. 

"Kamu kan tahu sendiri kalau aku harus menunggu jemputan paman." Nina berkata sambil tetap memandang halaman, benaknya berkelebat memikirkan sesuatu. 

"Kenapa diam, Na. Apa yang sedang kau pikirkan?" 

"Bukan apa-apa, aku cuma berpikir tentang boneka ..." belum usai  kalimat gadis itu, sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan pintu pagar rumah Deary. "Eh, pamanku sudah datang, aku pulang dulu ya, Ry," lanjutnya berlari ke pria yang sudah membukakan pintu.

Deary tersenyum sembari melambaikan tangan melihat sahabatnya berlari.

Tak lama setelah Nina mendudukkan dirinya, mobil melesat meninggalkan rumah di tengah kota. Tangan kokoh sigap mengendalikan kendaraan, meliuk melewati kendaraan lain.

-=9=-

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • NINE   24. Epilog

    Pernahkah kalian mendengar hukum Singkronitas? Sebuah kebetulan yang terjadi dalam garis serupa, begitu rapi sehingga tampak lebih seperti sandiwara hidup yang direncana. Bahkan para ideologi masih meragukan eksistensi teori tersebut di dunia. Benarkah adanya? Para detektif menolak percaya, mereka yakin di dunia tidak ada suatu hal yang terjadi secara kebetulan. Pasti ada sesuatu kaitan, hal yang saling memicu suatu kejadian. Mereka menolak percaya. Tapi … bagaimana dengan kalian?-=9=- 31 Desember Pukul 11:49 Seorang lelaki tengah duduk bersama ayahnya di sebuah sofa panjang, berbataskan asbak

  • NINE   23. Self Injury

    Tubuh itu melangkah gontai, meninggalkan pekarangan rumah sakit dengan luka-luka yang telah mengering. Beberapa pasang mata menatap di kejauhan, seorang pria keluar rumah sakit dengan badan penuh luka? Awan pekat telah tersingkap, langit malam kembali menguar pesona, menampakkan bulan pucat yang gompal setengah. Waktu menunjukkan pukul 22:16, hanya setengah jam dari kejadian di jembatan tadi. Rey seharusnya menerima tawaran suster untuk diobati dulu, namun ia tidak bisa berpikir jernih. Tatapannya kosong dengan air mata yang sesekali berlinang. Pria itu hanya ingin sampai di rumah, merebahkan diri di kasur secepat mungkin, berharap segera bangun dari mimpi terburuk ini.'If you can't wake up from a nightmare, maybe you're not asleep' dengan cepat ia menggelengkan kepala, menepis kalimat mengerikan itu.  

  • NINE   22. Nine's End

    Mana yang kalian percayai lebih mendominasi lika-liku hidup; kemampuan diri, kesempatan, keberuntungan atau … takdir? Banyak yang beranggapan bahwa segala hal yang terjadi di kehidupan seseorang bergantung erat pada kemampuan yang dimiliki, entah itu tentang kesuksesan atau sebaliknya. Apa pun, semua risiko ada menurut kemampuan. Namun sebagian lain mengatakan kesempatanlah yang mengatur tragedi di sepanjang jalan yang kau lalui sejak lahir hingga menjelang ajal. Maka dengan kepercayaan ini, pengetahuan dan kepekaan atas datangnya sebuah momentum akan sangat berpengaruh terhadap pergerakan puzzle kehidupan. Pun ada kelompok yang bilang keselamatan langkah kaki manusia ada pada keberuntungan, entah bagaimana itu terjadi. Bilamana seseorang hidup dengan kesialan, mereka Akan menyebutnya kutukan. Dan mayori

  • NINE   21. First Kiss

    Kehidupan kerap digambarkan dalam berbagai macam bentuk, teori. Ada pihak mengatakan hidup layaknya sebuah telur dan ayam, yang lain bilang hidup berjalan lurus dari satu titik awal menuju akhir. Hidup memang rumit, karena tidak ada satu pun yang dapat tahu pasti bagaimana lingkungan kita ini berlangsung. Teori tercipta, namun penuh pertentangan. Tidak ada yang menjalar lurus. Setiap orang dengan pengetahuan dan ego menentukan opini masing-masing. Saling menyekat dan mengikat. Mengapa tak bersatu dan saling membahu? Ada sebuah teori yang datang dari penduduk bersorban, inti kehidupan yang menurut kepercayaan mereka adalah jawaban terdekat dengan semua teori. 'Hidup memiliki awal, dan setiap hal yang memiliki permulaan, maka memiliki akhir. Entah dalam bentuk seperti apa hal itu tercipta." &n

  • NINE   20. Kejutan

    Suatu siang yang hangat, dua anak manusia tengah bersenandung ria di sebuah kafe, diselingi senda gurau. Seorang gadis berambut sebahu dan lelaki tampan nan rapi. Mereka tampak menikmati alunan musik dari pemain piano di sudut ruangan, sambil sesekali melahap pesanan masing-masing. "Terima kasih, Rey. Kau sudah mau menemaniku jalan, biasanya aku sendirian di rumah jika libur. Jadi aku sangat senang." senyum mengembang, tampak senang ditemani berkeliling. "Santai saja, kita sahabat. Wajar kalau aku menemanimu." "Hmmm ... semisal aku minta lebih dari sahabat? Boleh?” goda sang gadis masih dengan senyum berbinar. Rey tertawa kecil, menggeleng perlahan sembari mengangkat telapak tangan, seperti juru parkir yang menyuruh pengemudi untuk berhenti.  

  • NINE   19. Special Target

    Satu detik berlalu .... Dua, tiga ... waktu berjalan begitu lamban. Tak ada yang terjadi, padahal Rey sudah terbayang-bayang akan seperti apa kematian. Apa rasanya saat jantung, organ yang memberimu kehidupan, ditusuk mati sampai berhenti memberi detak. Tapi nihil, sampai detik merangkak ke angka belasan, bahkan hingga rangkaiannya menggunung menit, tidak ada yang terjadi. Hanya kesunyian yang mendekap, ia masih menutup mata. 'Apakah aku sudah mati? Seperti inikah kematian? Hampa, tanpa rasa sedikit pun?' Bahu gadis di pelukannya berguncang, membuat lelaki itu sadar bahwa diri masih menapaki hidup. Perlahan, dengan segenap keberanian ia membuka mata, melirik kedua tangan Nina yang menggenggam erat tepi baju. Tidak ada pisau disana. Apakah berhasil? Samar isak tangis terdengar, sungguh pilu meski tak beriring air mata.

  • NINE   18. Bertaruh Dengan Kematian

    Sebuah keluarga tampak tenteram berkumpul di ruang tengah malam itu, sepasang kekasih dengan satu anak laki-laki cerdas yang sedang jatuh cinta. Ayahnya pulang ketika sore, tepat sebelum Rey pergi menemani Deary mengunjungi makam sang ibunda. Setelah mengantarkan gadis itu pulang, ia harus melaporkan banyak hal tentang Nina. Terutama kepada sang Ayah. "Ayo, Nak. Ceritakanlah pada ayahmu ini." Itu bukan permintaan, tapi perintah. "Ya jadi ... begini, Yah ...." saat kemudian, kisah itu meluncur tanpa hambatan, namun tetap dengan versi tanpa kecurigaan atau petunjuk-petunjuk yang ia dapatkan. Sementara ini hanya diri sendiri yang boleh tahu semua itu. "Oh, jadi begitu. Kau sudah bilang ‘kan padanya? Tapi belum dijawab." Pria gempal di hadapannya

  • NINE   17. Tekad Sahabat

    Suasana kelas cukup riuh, beberapa murid asyik bermain handphone mereka masing-masing, sebagian lain sibuk mengerjakan PR yang belum tuntas. Mengingat guru galak yang akan masuk pada jam pelajaran pertama, sontak tugas langsung jadi prioritas utama. Rey sedari pagi sudah duduk, anak pertama yang datang ke sekolah, bahkan sebelum cahaya matahari menyamarkan rembulan. Meski tugas sudah selesai tepat setelah diberikan, ia tetap rajin, khususnya akhir-akhir ini. Tepatnya setelah deklarasi kematian dari organisasi penuh teror itu. Sudah tiga minggu sejak kabar dari 'The Number' membanjiri lautan media massa, entah internet, koran, atau stasiun televisi. Hampir semua Channel memperbincangkan teror demi teror yang semakin tanpa jeda. Enggan memberi napas. Bulan ini bahkan sudah 12 orang yang mati, korbannya acak, dari berbagai daerah. Warga sipil hanya bisa berharap bukan yang jadi sasar

  • NINE   16. Deary De La Rosa

    Semburat keemasan memeluk pagi, tampak hangat, begitu tenteram. Diiringi alunan melodi alam nan indah, jejak embun masih setia terjaga pada ujung dedaun tumbuhan yang menghiasi tiap jendela kamar pasien. Segar di mata, nyaman di hati. Seorang anak laki-laki tengah membereskan kamar, merapikan kamera dan alat perekam. Sesekali dengan senyum mengembang menatap gadis yang terbaring menjelajah mimpi. Setelah memastikan semua beres, dengan hati-hati ia duduk di sisi pembaringan, membangunkan sang permaisuri dengan lembut. Penuh kasih. Mereka bak replika kisah putri salju di dunia nyata. Hanya saja tidak ada pangeran atau tidur selamanya. "Nina, bangun yuk." Gadis manis itu menguap saat merasakan pipinya ditepuk lembut, lalu mata terbuka perlahan dengan segala kantuk yang menggelayut manja

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status