"Nissa kamu sebentar lagi masuk perkuliahan ya?" tanya Kang Alvin, lelaki itu tengah memainkan garpu dan sendok.
Mereka berada di meja makan, kini Nissa juga ikut bergabung mungkin dia sudah sehat mendadak setelah kemarin dipaksa untuk diperiksa ke dokter.
"Iya, Kak." Gadis bertubuh kurus itu menjawabnya dengan sangat pelan, kepalanya terus menunduk tidak berani menatap ke arah iparnya.
"Mulai sekarang Kak Alvin yang tanggung. Jangan sungkan, Niss. Kamu kan adeknya Kak Rissa, berarti adek Kak Alvin juga." Seulas senyum terbingkai di wajahnya, begitu juga Rissa yang ikut bahagia karena memiliki suami sangat menyayangi keluarganya.
Bukan hanya kepada Nissa yang merupakan adik tiri istrinya, dia juga sangat memperhatikan kebutuhan mertuanya. Selalu menanyakan keinginan Nina dengan mudahnya dia memenuhinya.
"Makasih ya, Kang." Rissa mengusap lengan suaminya, senyumannya tidak pernah pudar dari wajahnya.
Kang Alvin mengangguk pelan, dia pula menyunggingkan bibirnya membentuk senyuman yang begitu manis terbingkai di wajahnya.
"Uang ibu habis," celetuk Nina.
Rissa memijat pelipisnya pelan, Nina memang suka belanja yang menurutnya tidak terlalu penting seperti baju seharga ratusan ribu serta tas branded. Padahal uang yang diberikan Kang Alvin itu lebih dari cukup. Baru saja seminggu, masa sudah habis. Meski pun suaminya memiliki banyak perusahaan yang selalu mendapatkan omset miliaran, tetap saja istrinya ingin selalu berhemat seperti halnya dulu sebelum dia menikah. Wanita itu memberikan uang secukupnya hanya untuk membeli beras serta lauk pauknya saja.
"Kalau habis yaudah, Bu. Alhamdulillah." Rissa menjawabnya santai, karena kalau dilayani dengan jawaban yang memanjakan ujungnya pasti dia minta lagi. Wanita itu tidak ingin membuat beban suaminya oleh ibu tirinya.
"Nanti saya transfer lagi, Bu." Sudut bibir Nina tertarik ke atas begitu mendengar jawaban dari menantunya.
"Makasih, Nak."
"Maaf ya, Mas." Rissa kembali mengelus lengan suaminya lembut. Jawaban Kang Alvin hanya dengan anggukan serta senyiman manis seperti biasanya. Lagipula dia tidak merasa terbebani oleh keluarga istrinya, justru pria itu senang bisa membahagiakan mereka.
Nissa tidak sekalipun ikut berbincang dengan keluarganya, pikirannya melayang entah ke mana. Bahkan sepiring nasi yang ada di depannya pun tidak sekali pun masuk ke dalam mulutnya. Gadis itu melirik arloji di tangannya, dia bangkit dari duduknya begitu mengetahui pukul tujuh pagi.
"Aku mau berangkat sekolah," ucap Nissa pelan.
"Bareng aja sama Kak Alvin yuk." Pria itu cepat meneguk segelas air putihnya.
"Enggak kak," jawab Nissa cepat.
"Bareng aja, Niss. Lagipula kantor Kang Alvin sama sekolah kamu searah kan? Daripada naik ojek." Rissa juga menyarankan sang adik.
Nissa terdiam, lalu dia meraih lengan kakaknya. "Kak Rissa juga ikut ya?"
"Masa kamu sekolah mau dianter sama kakak? Kayak anak TK dong." Rissa terkekeh dengan perlakuan adiknya.
"Nissa pengin diantar aja sama kakak."
Rissa terdiam, dia merasa ada kejanggalan dengan sikap adiknya. Biasanya Nissa selalu berangkat sendiri, tapi kali ini dia ingin diantar? Apa karena berangkat bareng dengan Kang Alvin membuatnya canggung?
"Yaudah kakak antar," jawab Rissa. "Sekalian mau beli pupuk buat tanaman juga."
Kang Alvin yang lebih dulu masuk ke dalam mobilnya di tempat pengendara. Diikuti dengan Rissa dan Nissa yang segera masuk ke dalamnya.
Di samping pengendara Rissa yang menempatinya, sedangkan Nissa terduduk di belakang. Dia membuka jendela kaca mobil, agar udara masuk dapat langsung dihirupnya.
"Sekolah Nissa itu di SMA Darmawangsa kan?" tanya Kang Alvin, sudut matanya melirik ke kaca di depannya sehingga sosok iparnya terlihat jelas di sana.
"Iya." Hanya kata itu yang keluar dari mulut Nissa. Padahal saat pertama kali dia berkenalan dengan Kang Alvin, gadis itu sering menyapanya dengan riang. Namun, kenapa dia berubah drastis?
Hanya membutuhkan waktu dua puluh menit untuk menempuh sekolah yang dituju. Kang Alvin menepikan mobilnya di samping sekolah.
Nissa hendak membuka kenop pintu mobil, tapi pergerakannya terhenti begitu Kang Alvin memanggilnya.
"Nissa."
Gadis itu menoleh ke arahnya, tapi pandangannya kembali menunduk seolah ada ketakutan yang dia sembunyikan.
"Kak Alvin lupa belum kasih kamu uang jajan," ucapnya. "Nih." Pria itu menyodorkan beberapa lembar uang berwarna merah.
"Ambil aja, Nissa." Rissa mengingatkannya, akhirnya gadis itu pun menerimanya.
"Makasih, Kak." Nissa pun cepat keluar dari mobil, dia juga tergesa masuk ke dalam sekolahnya. Mungkin, takut terlambat dan dicap sebagai siswa nakal.
Alvin melajukan mobilnya lagi, kali ini dia mengantarkan istrinya ke tempat toko khusus tanaman. Selama di perjalanan, tangan kiri suaminya meraih jemari Rissa lalu menggenggamnya dengan erat.
"Makasih ya, Mas. Sudah menerima keluargaku," ucap Rissa. Meski sebenarnya wanita itu masih terngiang-ngiang dengan bercak noda di seprainya, tapi perlakuan suaminya melupakan sejenak tentang hal itu.
"Iya istriku, Sayang."
Tidak berselang lama sebuah toko bernama Florist yang terpampang di depannya menjadi tujuan Rissa. Kang Alvin menepikan mobilnya di sana.
"Kamu langsung ke kantor aja. Aku biar naik taxi."
"Beneran? Awas jangan bohong ya. Naik taxi, jangan godain tukang ojek." Kang Alvin menatap tajam ke arah istrinya.
"Aku itu enggak kayak kamu. Emangnya kamu godain terus Bi Ratih." Bibir Rissa mengerucut kesal, karena Kang Alvin mencurigainya takut selingkuh padahal dia sendiri yang seringkali kepergok berduaan dengan pembantunya.
"Aku bukan godain, Sayang. Bi Ratih kan udah aku anggap sodara sendiri, begitu juga Zidan yang udah kayak anak sendiri."
Pemikiran Rissa kembali mengingat pada seprai bernoda darah. Apa mungkin itu darahnya Bi Ratih? Namun, dia baru saja mengingatnya jika pembantunya sudah mempunyai anak yang bernama Zidan seperti ucapan suaminya barusan. Apa janda berdarah lagi setelah pernah disentuh? Kalau memang bukan darahnya Bi Ratih, lalu di seprai itu darah siapa?
Keberadaan Clarissa memang berada di tangan Fatma, alasannya membawa bayi mungil itu karena dia ingin memiliki Alvin sepenuhnya. Dirinya sudah sangat terobsesi dengan sosok pri atersebut yang tidak bisa pergi dalam pikirannya. Makanya, dia memutuskan untuk membawa bayi tersebut diam-diam pada malam hari saat kedua matanya terlelap.Bayi mungil yang kini tengah berada di pangkuannya tampak gelisah, sepertinya dia ingin sesuatu, tapi hanya bisa merengek membuat Fatma kesal sendiri.“Aduh, jangan nangis terus dong, pusing deh dengernya.” Begitu yang disampaikannya, dia benar-benar tidak bisa habis pikir pada Clarissa yang tidak bisa diam.“Kamu mau apa sih? Mimi?” tanya Fatma. Dia mencoba menanyakannya pada bayi mungil nan menggemaskan itu .Akan tetapi, justru tidak ada jawaban yang didapatkannya. Hal itu membuatnya mendengus kasar karena dirinya tidak tahu harus bagaimana lagi.“Tapi aku bukan ibu kamu.” Dia mengatakannya dengan tegas, Fatma pikir jika bayi dalam pangkuannya itu akan s
Kehilangan Clarissa yang entah berada di mana, membuat Alvin benar-benar tidak tenang. Bahkan dia tak tahu harus mencarinya ke mana, tapi meski begitu, lelaki itu akan terus mencarinya.Rissa sedari tadi menangis tiada henti, dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, terlebih lagi sebelumnya Clarissa itu Bersama dengannya. Tentunya hal itu membuatnya sangat terpukul sekali.“Aku enggak tahu harus cari Clarissa ke mana lagi.” Rissa menundukkan pandangannya, dia benar-benar terpukul sekali atas kehilangan putrinya yang sampai saat ini entah berada di mana.“Kamu malah nyerah gitu aja?” tanya Alvin, dia menggeleng pelan seolah kebingungan sendiri dengan apa yang dikatakan istrinya.“Aku bukannya nyerah, Kang. Tapi, aku cuman berada di fase yang enggak tahu lagi harus kayak gimana ngadepin ini semua.” Perempuan itu menangis tiada henti. Mana ada seorang Ibu yang tidak menangis sama sekali saat anaknya hilang begitu saja.“Ini juga gara-gara kamu!” sergah Alvin, dia mengatakannya dengan
Gambar yang memperlihatkan sosok Alvin, membuat Rissa bertanya-tanya, siapa pengirimnya? Akan tetapi, dia juga mempunyai firasat jika orang yang mengirimkannya adalah Fatma. Pemikirannya itu ditanggapi dengan cepat olehnya sendiri. Namun, untuk apa dirinya mengirimkan terhadapnya? Atau mungkin hal itu seolah menunjukkan bahwa dia tengah berada di tempat yang sama seperti suaminya.“Padahal enggak usah kirim-kirim foto segala, lagipula aku udah tahu kalau dia itu satu tempat kerja sama suamiku.” Rissa menggeleng pelan, karena dirinya tidak habis pikir pada si pengirim. Hal itu membuatnya merasa cemas sendiri karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada suaminya.Maka dari itu, Rissa mencoba untuk menghubungi suaminya memintanya agar segera pulang. Namun, justru sambungan telepon darinya tidak saja diterima Alvin. Setelah banyaknya kejadian yang membuat Rissa semakin tidak tenang dalam menjalani kehidupannya, bahkan dia juga jadi lebih banyak memberikan Batasan terhadap suami
Alvin pergi ke tempatnya bekerja, dia berharap jika Fatma tidak lagi mengejarnya, karena wanita itu juga sudah tahu jika dirinya mempunyai keluarga. Mana mungkin dia terus berlaku seperti itu saja. Kesannya seperti tidak mengenakkan.“Selamat pagi, Pak.” Salah satu karyawan menghampiri Alvin, dia menyapanya dengan sangat ramah. Tentu saja, lelaki itu pula membalasnya dengan senyuman pula yang merekah.“Iya.” Alvin menyunggingkan senyumannya.Tidak lama kemudian, Fatma berjalan ke arahnya, senyumannya terlihat merekah. Wanita itu bahagia sekali saat kedua matanya beradu pandang dengan lelaki satu anak itu.Alvin berusaha untuk menghindarinya, dia segera melangkahkan kakinya ke arah ruangannya, tapi justru Fatma mengikutinya begitu saja seolah enggan ditinggalkan. Bahkan, saat lelaki itu hendak memasuki ruang kerjanya pun wanita itu mencekal pergelangan tangannya seolah menghentikannya begitu saja.Sikap Fatma membuat Alvin semakin tidak nyaman, bagaimana tidak seperti itu? Bahkan kala
Kali ini Rissa jauh lebih posesif pada Alvin, karena bagaimana pun juga suaminya itu pernah melakukan hal yang tidak seharusnya, membohonginya begitu saja. Tentu saja, hal itu justru membuatnya tidak suka atas perlakuannya. Seperti saat ini keduanya tengah berhadapan di meja makan, Rissa seolah tidak nafsu makan, karena segala hal yang terjadi begitu sangat melelahkan baginya. Wanita itu merasa jika Alvin sudah memberinya terlalu banyak luka, tapi justru dirinya semakin cinta terhadapnya. Dia juga bahkan tidak tahu harus bagaimana lagi menyikapi persoalan tersebut. Rissa memang selalu melakukan yang terbaik untuk rumah tangganya, tapi namanya juga hubungan percintaan yang sudah dijalin dengan kesucian memang selalu saja tidak bisa terlepas dari masalah. Munkin hal itu juga disebabkan dari traumanya di masa lalu yang membuatnya tidak bisa melepaskan Alvin begitu saja. Persembunyian mengenai Bi Ratih juga membuat Rissa seolah tidak bisa mempercayai sang suami sepenuhnya, meskipun Alv
Fatma masih saja terus mengusik Alvin, bahkan dia kali ini seringkali memberikan makanan buatannya. Namun, hal itu tidak membuat Kang Alvin luluh untuk memakannya. Fatma memberikannya untuknya, lalu dia akan menyerahkannya pada pekerjanya yang memang sedang bertugas ke ruangannya, entah itu cleaning service atau yang lainnya. Kang Alvin enggan menerimanya karena merasa takut akan terjadi seperti kejadian sebelumnya, bagaimana jika istrinya tahu kalau di kantor ada perempuan genit yang sedang berusaha menggodanya. Mungkin saja dia akan menggamparnya atau bisa lebih parah lagi enggan untuk memaafkannya. Meski sebelumnya pun Kang Alvin tidak berselingkuh, tapi dia merasa banyak bersalah bahkan seolah mengkhianati istrinya begitu saja, dia enggan melakukan hal seperti itu lagi. Sudah cukup baginya membohongi sampai dirinya nyaris kehilangan istrinya. "Ini untuk Bapak." Fatma tidak akan pernah menyerah memberikan makanan buatannya pada Alvin. Seperti biasanya, Alvin akan menolaknya se