"Aku enggak mau ke dokter, Kak!" sergah Nissa.
"Kenapa? Kamu kan lagi sakit." ucap Rissa, mengelus puncak kepala sang adik dengan lembut. Ternyata ayahnya sudah lama meninggalkan mereka, kini Nissa sudah beranjak remaja dan Rissa merasa dia belum bisa menjadi kakak yang terbaik.
"Nissa sekarang baik-baik aja kok, Kak."
"Beneran?" tanya Rissa, menaikkan alisnya sebelah mencoba memastikan kebenaran dari ucapan adiknya.
Dia mengangguk pelan, lalu sudut bibirnya ditarik ke atas membentuk senyuman yang manis. Bingkai wajahnya kini terlihat kembali sumringah meski sepertinya gadis itu memaksakan senyumnya.
"Beneran, Kak."
"Kalau gitu kamu makan aja dulu ya. Kakak bawain makanan buat kamu, Sayang." Rissa memperlihatkan makanan yang kini dia letakkan di atas nakas dekat petidurannya.
Gadis berambut panjang yang dibiarkan terurai itu menganggukkan kepalanya pelan. Kalau pun memang sudah lapar pasti dia juga akan makan, tapi akhir-akhir ini Nissa tidak merasakannya mungkin karena banyaknya permasalahan yang membuatnya menjadi kenyang.
"Makasih ya, Kak."
"Oh iya kakak mau nanya, tadi sebelum masuk ke kamar kamu. Kakak dengar kamu sedang bicara sama seseorang, apa yang kamu takutkan, Sayang?" tanya Rissa, membelai rambut sang adik.
"Eng ... itu enggak bukan apa-apa," jawab Nissa gelagapan. "Aku ngobrol sama temen, dia ajakin nobar film horor, tapi aku tolak karena takut."
Keningnya mengernyit, Rissa seolah tidak paham dengan ucapan sang adik. "Bukannya kamu suka banget film horor, Nis?" tanyanya, membuat gadis itu memijat pelipisnya pelan. Batinnya menggerutu karena dia terlalu bodoh berbohong.
"Kalau sekarang, kata teman aku filmnya lebih serem banget, Kak."
"Kalau gitu kamu jangan ke mana-mana dulu, lagian Nissa kan lagi sakit."
Anggukkan pelan menjadi jawaban dari Nissa. Lagipula dia memang sedang malas ke mana pun, jika bisa hidupnya terus mengurung saja di dalam kamar.
Setelah banyak berbincang dengan sang adik, Rissa memutuskan pergi ke dapur untuk memasak makanan untuk suaminya saat nanti dia pulang.
Langkah Rissa terhenti begitu melihat Bi Ratih yang sudah berada di dalam dapur. Dia tengah memotong beberapa sayuran juga daging.
"Bi ... lagi apa?" tanya Rissa ketus. Dia menghampiri Bi Ratih yang sedari memfokuskan dirinya pada pisau tajam yang memotong sayuran.
"Masak buat Tuan, Nyonya."
Rissa mengepalkan tangannya, dia merasa tidak suka dengan perlakuan pembantunya yang begitu perhatian terhadap suaminya. Seharusnya dia yang kini melayani Kang Alvin, bukan lagi Bi Ratih.
"Biar sama saya saja, Bi." Rissa mengambil alih pisau itu dari pembantunya. "Kamu urus Zidan aja."
"Bantu Nyonya saja. Soalnya Zidan sedang tidur," jawabnya. "Jadi kalau saya bantu ibu, kan bisa kasih tahu apa saja kesukaannya Tuan."
Rissa menoleh ke arah Bi Ratih, menatapnya dengan tatapan tajam. Dia tidak bisa menerima perkataan pembantunya yang seperti mengagungkan dirinya karena mengetahui segala apa yang disukai dan tidak oleh suaminya.
"Memangnya cuma kamu yang tahu tentang suami saya? Saya lebih mengenalnya dan pastinya tahu apa pun tentang dia."
Bi Ratih membatin. "Nyonya belum mengetahui lebih dalam tentang Tuan."
Akhirnya Bi Ratih memutuskan untuk keluar dari dapur, membiarkan Rissa mengolah masakan itu sendirian. Dia juga tidak tahu apa yang membuat wanita itu selalu bersikap ketus seolah tidak suka terhadapnya.
Rissa membuka ponselnya lalu membuka aplikasi jutaan video yang bisa dia lihat, termasuk tutorial memasak. Sebenarnya, wanita itu belum bisa mengolah sajian makanan karena biasanya dia selalu saja membelinya dari luar.
Akan tetapi, dikarenakan dia kini sudah mempunyai suami sudah menjadi kewajibannya untuk memasak.
Banyak sekali masakan yang hari ini harus diolahnya. Berulang kali menyerah karena tidak bisa menakar bumbu penyedap rasa hingga akhirnya dia memasukkan semua yang ada di dalam tempatnya. Bahkan wanita itu pun tidak mencicipi lebih dulu, dia sudah yakin jika makanan buatannya akan membuat suaminya semangat memakannya.
Tiga jam bergelut di dalam dapur, kini Rissa bisa bernapas lega karena masakan buatannya sudah selesai dia sajikan. Dia segera menyambar ponselnya untuk menghubungi suaminya agar cepat pulang.
"Assalamu'alaikum, Kang."
"Waalaikumsalam, Sayang." Suaranya begitu lembut terdengar, Rissa melupakan permasalahan mengenai noda serta kedekatan suaminya dengan Bi Ratih sejenak.
"Kamu cepet pulang ya, Kang. Aku udah masakin makanan yang banyak buat kamu." Rissa mengulum senyumnya, maklum saja mereka pengantin baru.
"Oh kamu yang masak, Sayang? Ke mana Bi Ratih?" tanyanya.
Pertanyaan membuat hati Rissa terasa terbakar, justru dia tidak ingin mendengar nama pembantunya, tapi suaminya yang lebih dulu menanyakan keberadaannya.
"Iya aku yang masak. Kenapa kamu cari Bi Ratih sih, Mas? Sekarang kan aku istri kamu, jadi mulai hari ini dan seterusnya aku yang akan melayani kamu sepenuh hati, termasuk menyajikan masakan."
Untuk beberapa saat Kang Alvin terdiam, dia mungkin merasa dirinya bersalah karena sudah membuat istrinya kesal. Dia bisa merasakan kejanggalan itu, sepertinya Rissa cemburu karena suaminya terlalu dekat dengan pembantunya yang merupakan janda beranak satu.
"Maaf ya, Sayang. Aku sekarang pulang ya. Tunggu ya, Sayang."
Sambungan telepon pun terputus, Rissa menatap layar ponselnya geram yang menampilkan fotonya dengan Kang Alvin.
***
"Ini semuanya kamu yang masak, Sayang?" tanya Kang Alvin.
Rissa mengangguk membenarkan pertanyaan suaminya. Bi Ratih cepat menghampiri Kang Alvin, mengambil alih kantong yang dibawa sang Tuan. Lalu, kini dia meraih piring, dan juga telaten mengambil sebagian sajian makanan.
"Biar sama saya saja!" Rissa merebut sendok dari tangan Bi Ratih, dia menambah menu makanan yang lain.
"Tuan tidak suka omelette, Nyonya."
"Diam! Kamu jangan banyak protes!"
Kang Alvin memijat pelipisnya pelan, kepalanya terasa pening jika dia terus dihadapkan dengan dua wanita seperti ini. Bi Ratih mundur ke belakang, membiarkan Rissa untuk menyuguhi suaminya sendiri.
"Sekarang yang melayani Kang Alvin hanya aku! Kamu jangan, Bi Ratih!"
Keberadaan Clarissa memang berada di tangan Fatma, alasannya membawa bayi mungil itu karena dia ingin memiliki Alvin sepenuhnya. Dirinya sudah sangat terobsesi dengan sosok pri atersebut yang tidak bisa pergi dalam pikirannya. Makanya, dia memutuskan untuk membawa bayi tersebut diam-diam pada malam hari saat kedua matanya terlelap.Bayi mungil yang kini tengah berada di pangkuannya tampak gelisah, sepertinya dia ingin sesuatu, tapi hanya bisa merengek membuat Fatma kesal sendiri.“Aduh, jangan nangis terus dong, pusing deh dengernya.” Begitu yang disampaikannya, dia benar-benar tidak bisa habis pikir pada Clarissa yang tidak bisa diam.“Kamu mau apa sih? Mimi?” tanya Fatma. Dia mencoba menanyakannya pada bayi mungil nan menggemaskan itu .Akan tetapi, justru tidak ada jawaban yang didapatkannya. Hal itu membuatnya mendengus kasar karena dirinya tidak tahu harus bagaimana lagi.“Tapi aku bukan ibu kamu.” Dia mengatakannya dengan tegas, Fatma pikir jika bayi dalam pangkuannya itu akan s
Kehilangan Clarissa yang entah berada di mana, membuat Alvin benar-benar tidak tenang. Bahkan dia tak tahu harus mencarinya ke mana, tapi meski begitu, lelaki itu akan terus mencarinya.Rissa sedari tadi menangis tiada henti, dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, terlebih lagi sebelumnya Clarissa itu Bersama dengannya. Tentunya hal itu membuatnya sangat terpukul sekali.“Aku enggak tahu harus cari Clarissa ke mana lagi.” Rissa menundukkan pandangannya, dia benar-benar terpukul sekali atas kehilangan putrinya yang sampai saat ini entah berada di mana.“Kamu malah nyerah gitu aja?” tanya Alvin, dia menggeleng pelan seolah kebingungan sendiri dengan apa yang dikatakan istrinya.“Aku bukannya nyerah, Kang. Tapi, aku cuman berada di fase yang enggak tahu lagi harus kayak gimana ngadepin ini semua.” Perempuan itu menangis tiada henti. Mana ada seorang Ibu yang tidak menangis sama sekali saat anaknya hilang begitu saja.“Ini juga gara-gara kamu!” sergah Alvin, dia mengatakannya dengan
Gambar yang memperlihatkan sosok Alvin, membuat Rissa bertanya-tanya, siapa pengirimnya? Akan tetapi, dia juga mempunyai firasat jika orang yang mengirimkannya adalah Fatma. Pemikirannya itu ditanggapi dengan cepat olehnya sendiri. Namun, untuk apa dirinya mengirimkan terhadapnya? Atau mungkin hal itu seolah menunjukkan bahwa dia tengah berada di tempat yang sama seperti suaminya.“Padahal enggak usah kirim-kirim foto segala, lagipula aku udah tahu kalau dia itu satu tempat kerja sama suamiku.” Rissa menggeleng pelan, karena dirinya tidak habis pikir pada si pengirim. Hal itu membuatnya merasa cemas sendiri karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada suaminya.Maka dari itu, Rissa mencoba untuk menghubungi suaminya memintanya agar segera pulang. Namun, justru sambungan telepon darinya tidak saja diterima Alvin. Setelah banyaknya kejadian yang membuat Rissa semakin tidak tenang dalam menjalani kehidupannya, bahkan dia juga jadi lebih banyak memberikan Batasan terhadap suami
Alvin pergi ke tempatnya bekerja, dia berharap jika Fatma tidak lagi mengejarnya, karena wanita itu juga sudah tahu jika dirinya mempunyai keluarga. Mana mungkin dia terus berlaku seperti itu saja. Kesannya seperti tidak mengenakkan.“Selamat pagi, Pak.” Salah satu karyawan menghampiri Alvin, dia menyapanya dengan sangat ramah. Tentu saja, lelaki itu pula membalasnya dengan senyuman pula yang merekah.“Iya.” Alvin menyunggingkan senyumannya.Tidak lama kemudian, Fatma berjalan ke arahnya, senyumannya terlihat merekah. Wanita itu bahagia sekali saat kedua matanya beradu pandang dengan lelaki satu anak itu.Alvin berusaha untuk menghindarinya, dia segera melangkahkan kakinya ke arah ruangannya, tapi justru Fatma mengikutinya begitu saja seolah enggan ditinggalkan. Bahkan, saat lelaki itu hendak memasuki ruang kerjanya pun wanita itu mencekal pergelangan tangannya seolah menghentikannya begitu saja.Sikap Fatma membuat Alvin semakin tidak nyaman, bagaimana tidak seperti itu? Bahkan kala
Kali ini Rissa jauh lebih posesif pada Alvin, karena bagaimana pun juga suaminya itu pernah melakukan hal yang tidak seharusnya, membohonginya begitu saja. Tentu saja, hal itu justru membuatnya tidak suka atas perlakuannya. Seperti saat ini keduanya tengah berhadapan di meja makan, Rissa seolah tidak nafsu makan, karena segala hal yang terjadi begitu sangat melelahkan baginya. Wanita itu merasa jika Alvin sudah memberinya terlalu banyak luka, tapi justru dirinya semakin cinta terhadapnya. Dia juga bahkan tidak tahu harus bagaimana lagi menyikapi persoalan tersebut. Rissa memang selalu melakukan yang terbaik untuk rumah tangganya, tapi namanya juga hubungan percintaan yang sudah dijalin dengan kesucian memang selalu saja tidak bisa terlepas dari masalah. Munkin hal itu juga disebabkan dari traumanya di masa lalu yang membuatnya tidak bisa melepaskan Alvin begitu saja. Persembunyian mengenai Bi Ratih juga membuat Rissa seolah tidak bisa mempercayai sang suami sepenuhnya, meskipun Alv
Fatma masih saja terus mengusik Alvin, bahkan dia kali ini seringkali memberikan makanan buatannya. Namun, hal itu tidak membuat Kang Alvin luluh untuk memakannya. Fatma memberikannya untuknya, lalu dia akan menyerahkannya pada pekerjanya yang memang sedang bertugas ke ruangannya, entah itu cleaning service atau yang lainnya. Kang Alvin enggan menerimanya karena merasa takut akan terjadi seperti kejadian sebelumnya, bagaimana jika istrinya tahu kalau di kantor ada perempuan genit yang sedang berusaha menggodanya. Mungkin saja dia akan menggamparnya atau bisa lebih parah lagi enggan untuk memaafkannya. Meski sebelumnya pun Kang Alvin tidak berselingkuh, tapi dia merasa banyak bersalah bahkan seolah mengkhianati istrinya begitu saja, dia enggan melakukan hal seperti itu lagi. Sudah cukup baginya membohongi sampai dirinya nyaris kehilangan istrinya. "Ini untuk Bapak." Fatma tidak akan pernah menyerah memberikan makanan buatannya pada Alvin. Seperti biasanya, Alvin akan menolaknya se