Plakkkk! Gadis berambut panjang itu mengusap pipi kanannya karena terasa kebas. "Kamu hamil sama siapa, Nissa?" tanya Rissa dengan suara menggelegar. Padahal gadis itu baru saja pulang dari luar, tapi sudah disuguhi dengan tamparan serta pertanyaan pedas dari kakak tirinya. Mulut Nissa bungkam seribu bahasa seolah tidak bisa untuk berkata. Lidahnya terlalu kelu mengatakan segala hal yang terjadi pada dirinya, dia bahkan tidak bisa menceritakan semuanya dari awal hingga akhir. "Jawab pertanyaannya!" sergah Rissa lagi. Sesekali Nissa menggeleng pelan mencoba memberikan isyarat jika permasalahan tersebut hanya hoax. Lagipula kakaknya tahu dari mana. Bi Ratih cepat pergi ke dapur menjauhi masalah antara adik-kakak yang saling berseteru. Nina pula kini keluar dari kamarnya karena mendengar suara yang cukup mengganggu pendengarannya. "Bukti sudah ada di tanganku, Nissa! Kamu tidak bisa mengelak." Rissa mengacungkan surat yang dipegangnya. Selembar kertas berwarna putih itu memperlihatk
"Kenapa aku pula dilibatkan dalam permasalahan ini?" tanya Kang Alvin mengerutkan dahinya kebingungan. Nissa sedari tadi menutupi mulutnya dengan telapak tangan menyamarkan suara isak tangisnya yang pecah begitu saja. Sesekali gadis itu memeluk tubuh kurusnya dengan kedua tangan. Kisah hidupnya memang tidak seindah cerita dalam novel romansa selalu diawali dengan bahtera cinta dan diakhiri pula kebahagiaan. Sebagai seorang ibu yang berperan penting dalam kehidupan putrinya, Nina merasa gagal menjaga Nissa. Dia salah dalam mendidik anak kandungnya hingga kini nelangsa atas persoalan kehilangan kehormatannya. Bagaimana awak media mengetahui kenakalan anak gadisnya yang tengah mengandung satu bulan? "Noda itu, Kang. Noda itu apa milik adikku Nissa atas perbuatan kamu, hah?"Kekesalan Rissa sudah memuncak tepat di ubun-ubun, dia tidak bisa menahannya lagi. Perihal bercak noda yang selama ini menjadi tanda tanya dalam kepalanya hari ini terkuak begitu saja. Tanpa disadari tangannya meng
Nina merasa kecewa pada putri kandungnya yang sudah melakukan hal keji, dia melemparkan pandangannya ke arah lain meski Nissa membujuknya untuk menatap ke arahnya. Berulang kali Nissa bersimpuh pada sang ibu, tapi Nina tetap diam membungkam mulutnya. Dia sudah tidak ingin mengatakan apa pun lagi, karena kini hatinya sangat hancur saat mendengar pernyataan yang menusuknya bagai belati tajam. Di sana ada Kang Alvin juga yang menutup wajahnya, sesekali mengacak rambutnya frustasi. Awalnya dia hendak pergi mengikuti sang istri, tapi Nina mencegahnya membiarkan putri tirinya mempunyai waktu sendiri. "Apa benar kalian melakukan sesuatu di belakang Rissa?" tanya Nina akhirnya. Dia ingin memecahkan teka-teki yang membuat rumah tangga putri tirinya tidak harmonis. Wanita paruh baya itu mencoba untuk menyatukan segalanya yang telah hancur. Kini, dia tahu kejadian apa yang menimpa Rissa. "Aku tidak mungkin melakukan hal keji seperti itu dengan adik iparku, Mah." Kang Alvin membela diri. "To
"Keyla? Kenapa dia bisa mengenal Rissa?" tanyanya lirih nyaris tidak terdengar. Kang Alvin perlahan melangkah mundur mencoba menjauh dari kawasan kedua wanita yang tengah berbincang sambil sesekali menyesap kopi. Langkahnya terhenti di luar cafe yang bersatu dengan parkir motor dan mobil. Dia ingin mengajak istrinya pulang ke rumah, tapi nyalinya menciut begitu kedua matanya terpaku pada sosok wanita yang tengah terduduk di depan Rissa. Sebenarnya apa yang ditakutkan Kang Alvin sampai dia tidak berani menemui mereka? Apakah pria itu menyembunyikan rahasia besar hingga membuatnya ketakutan kalau pun Rissa mengetahuinya? Terlalu banyak teka-teki dalam hidupnya sampai istrinya sendiri tidak mengetahui apa yang terjadi. Langkahnya tergesa kembali memutar balik mobilnya. Dia pergi dengan segala kecemasan, sebenarnya Rissa dan Keyla sedang membicarakan apa? Lelaki itu sesekali memijat pelipisnya yang terasa pening. Pria itu terus saja memikirkan mereka, dia seolah ingin mencegah mereka
"Pasien atas nama Alvin Mahendra di ruangan mana ya, Sus?" tanya Rissa pada seorang wanita yang mengenakan pakaian serba putih. "Oh pasien yang baru saja mengalami kecelakaan ya?" tanyanya. Rissa membenarkan pertanyaannya, wanita itu mengangguk pelan. "Ada di ruangan nomer 102, Bu. Sudah dipindahkan ke ruang rawat kok." Wanita berhijab pashmina berwarna khaki cepat bergegas ke arah ruangan yang disebutkan oleh suster. Langkahnya sangat cepat karena keinginannya segera bertemu dengan pria yang sangat dicintainya. Mengingat perlakuan pria itu yang menutupi segala rahasianya, kehidupannya penuh dengan misteri hingga Rissa pun sebagai istrinya tidak mengetahui segala tentangnya. Akan tetapi, tidak membuatnya membenci sepenuhnya pada Kang Alvin. Mana mungkin dia membiarkan suaminya kesakitan di dalam rumah sakit sendirian, pria itu sangat membutuhkan seseorang hadir di sampingnya. Siapa lagi jika bukan dirinya yang harus terduduk di sana. Melihat dari balik kaca jendela kedua matanya
Angin menerpa wajahnya pelan, sesekali rambutnya melambai ke setiap arah mana saja begitu terpaan menghembus ke arahnya. Nissa terduduk di atas kursi panjang berwarna putih yang memang sengaja disediakan teruntuk para pengunjung yang mendatangi taman. Keberadaan di sana tidak begitu ramai, karena hari ini bukan hari libur. Dia menunggu kedatangan lelaki yang sudah menjanjikan jika dirinya akan segera datang menemuinya yang tengah kebingungan tidak jelas arah. Ponselnya terus saja dihidupkan barangkali ada pesan atau panggilan masuk dari lelaki yang tengah ditunggunya. Akan tetapi, sudah lama sekali dia tidak saja muncul memperlihatkan batang hidungnya. "Kamu ke mana sih, Delon?" tanyanya pelan. Dellon Anggara, kekasih Nissa yang selama ini dia sembunyikan keberadaannya. Dia tidak pernah mengumbar hubungannya dengan lelaki itu, karena terlalu banyak mata-mata yang berkeliaran. Gadis itu takut jika keluarganya memandang Dellon sebelah mata karena dari keluarga yang tidak berada.
"Aku enggak bisa nikahin kamu, Niss." Delon mengatakannya dengan tegas, rahangnya mengeras seolah ada tekanan yang selama ini terpendam. Di sisi lain gadis berambut panjang yang kini diikat dengan karet gelang berwarna hijau tua tertunduk dalam. Banyak prasangka buruk yang berkeliaran memenuhi kepalanya. Bagaimana jika tidak akan ada lelaki lain yang menerimanya selain Delon? "Kenapa? Kenapa, Delon?" tanya Nissa, suaranya terdengar serak karena sedari tadi dia terisak menangis. "Keluarga kamu mana mau menerimaku. Aku tidak mempunyai apa-apa." Delon membuang wajahnya ke arah lain, dia hanya tidak ingin menatap kedua bola mata gadis itu terlalu lama. "Urusan itu biar aku yang menjelaskan pada mereka." Nissa menyeka air matanya dengan kasar. Dia mencoba untuk tetap tegar meski hatinya sudah patah, hancur bahkan tidak lagi berbentuk. Lelaki yang mengenakan jaket berwarna hijau army itu memijat pelipisnya yang terasa pening. "Aku mana bisa menafkahimu, Nis.""Lalu, bagaimana dengan ba
Beberapa kali Kang Alvin mengerjapkan matanya, begitu pandangannya sudah jelas terbuka sempurna dia mendapati istrinya yang tengah tertunduk di samping brankar. Kedua tangannya dijadikan tumpuan sebagai bantal. Kang Alvin mengelus puncak kepalanya pelan, terlihat sekali wajah istrinya terlihat sangat lelah. Entah sudah berapa lama dia terbaring tidak berdaya di sana. Terakhir kali berkomunikasi dengan Rissa karena permasalahan Nissa disangkut pautkan dengan bercak darah di seprai mereka sewaktu malam pertama. Kisahnya diakhiri dengan tragedi kecelakaan yang nyaris merenggut nyawa, tapi bersyukurlah dia masih diberi kesempatan untuk hidup dan memandangi wajah cantik istrinya. Kedua mata Rissa perlahan terbuka begitu dia merasakan ada sentuhan hangat di pipinya. Begitu menoleh ke sampingnya dia mendapati Kang Alvin yang tengah tersenyum. "Kang, sudah bangun?" tanya Rissa. Suaminya mengangguk pelan, senyumannya tidak pudar dari bingkai wajahnya. Rissa pula membalas lengkungan sepert