Wildan.Kuciumi wajah putraku sesaat sebelum orang suruhanku mengantar ibu dan Lilis kembali ke kampung ibu. Hmmm, wangi bayi menguar memenuhi penciumanku, membuat hatiku merasakan kedamaian."Udah, Mas. Dari tadi kok ngendus-endus Bagas terus sih. Kalau Mas Wildan kangen nanti boleh video call ke nomor Lilis," ucap Lilis padaku."Jaga anakku baik-baik ya, Lis. Sebenarnya aku ingin sekali dia tinggal di sini bersamaku, tapi keadaan belum memungkinkan," sahutku."Tapi kan Lilis enggak mau tinggal di Jakarta, Mas. Lilis lebih senang tinggal di rumah ibu." Lilis balas menyahutku."Kalau kamu nggak mau, kan Bagas bisa tinggal dengan Mama Alana di sini, iya kan, Nak?" Aku masih menciumi tangan bayiku.Lilis menatapku lekat. "Bagas anak Lilis, Mas. Bukan Alana. Nggak mungkin Lilis melepasnya dan tinggal terpisah dengannya," sahut Lilis ketus."Sudah siap belum, Lis? Yakinkan tak ada barang yang ketinggalan, ya," seru Ibu yang sudah duduk di dalam mobil."Iya, Bu. Bentar lagi, Bagas masih di
"Alana ...," panggilnya lembut.Lelaki itu menggeser duduknya, mendekatiku. Aku masih terdiam. Ya Allah, beri aku kekuatan untuk menghadapi ini, doaku dalam hati. Namun bibirku masih serasa terkunci, tak mampu berbicara. Aku sadar, saat membuka mulutku, maka masa depan rumah tanggaku akan kupertaruhkan. Aku mungkin akan kehilangan masa-masa indah selama lima tahun bersama suamiku.“Mas tau, kamu sudah melihat semua berkas-berkas yang ada di tas laptoku,” ucapnya lirih. Tak sanggup lagi kutahan deraian air mataku. “Tega sekali kamu membohongiku, Mas. Sudah berapa lama kau menyembunyikan ini dariku? sudah berapa lama Mas Wildan mengkhianati pernikahan kita?” Tiba-tiba saja aku memperoleh kekuatan untuk berbicara setelah mengingat selembar surat keterangan lahir yang mencantumkan nama suamiku sebagai ayah dari bayi Lilis.Sakit sekali rasanya.Mas Wildan berusaha meraih pundakku, namum aku segera menampik tangannya. “Jangan sentuh aku! Aku jijik padamu, Mas!”“Alana ... jangan seperti
Alana.Mas Wildan sudah duduk di sofa ruang keluarga di rumah kami saat aku masuk ke dalam rumah.Entah kenapa, posisi duduk Mas Wildan mengingatkanku akan Lilis saat wanita itu duduk di sana menyusui bayinya. Aku pun teringat dengan foto bayi Lilis yang dipasang Mas Wildan di story whatsapp nya.“Duduk di sini, Al,” ucap lelaki itu sambil menepuk-nepuk sofa di sampingnya.Aku memilih duduk di sofa di depannya. Kulihat Mas Wildan menggeleng-gelengkan kepalanya menatapku.“Hanya beberapa hari tak bertemu, kamu sudah berubah begini. Mas kangen manjamu, Al.”“Kamu sendiri yang membuatku berubah, Mas. Sudah berapa lama kamu memblokir nomorku dari wa strory mu? Apa sejak kamu punya wanita lain? Oh, mungkin sejak Mas memasang foto nikah kalian, ya! Aku memang bodoh, kupikir selama ini aku adalah satu-satunya wanita yang berada di sisimu,” ucapku, mengingat bagaimana Mas Wildan memasang foto bayi Lilis di story wa nya, namun menyembunyikannya dariku agar aku tak dapat melihat pembaharuan sta
‘Ya Allah, mungkin jika Engkau sudi menghadirkannya di dalam rahimku, ini semua tak akan terjadi,’ bathinku pilu. Padahal, beberapa kali pemeriksaan yang kulakukan, semua hasilnya menyatakan aku wanita subur dan tidak punya hambatan untuk hamil. “Al, jangan mengira aku bahagia dengan menikahi Lilis. Tidak! Aku tak pernah merasa bahagia selain bersamamu. Bagi Lilis, hidupnya sudah berhenti saat Fadli meninggalkannya. Semua hal tentang Fadli terus diabadikannya. Di rumah ibu, di kamar Fadli, kamar yang kini menjadi kamar Lilis, semua masih seperti dulu, foto-fotonya bersama Fadli masih terpajang dengan rapi di sana. Lilis memang hidup, tapi perasaannya sudah mati, terkubur bersama jasad Fadli. Lilis setuju untuk kunikahi hanya karena agar dia bisa terus berada di sisi ibu. Baginya, berada dekat dengan ibu akan selalu mengingatkannya pada kekasihnya. Semua kehidupan Lilis hanya berisi Fadli dan semua kenangannya. Lilis bahkan rela memakai ponsel retak milik Fadli sampai sekarang, tanpa
Wildan.Susah payah aku berusaha mengajak Alana bicara dan meyakinkannya bahwa hubungan kami akan baik-baik saja, bahwa kehadiran Bagas tidak akan merubah hubunganku dengannya. Namun Alana sungguh keras kepala, bahkan istri kesayanganku itu menolak saat aku hendak menyentuhnya.Ah, harga diriku sedikit terluka. Selama lima tahun bersamanya, tak pernah sekalipun Alana menolakku, apalagi mengucapkan kata “jijik” padaku. Ingin sekali aku marah padanya, namun masih berusaha kutahan, semata agar Alana tak semakin berontak dan menolakku.Padahal saat ini, aku sungguh menginginkan keintiman dengannya, aku sudah sangat rindu padanya setelah beberapa hari bertugas di Balikpapan. Biasanya saat aku pulang setelah beberapa hari meninggalkannya sendirian di rumah, Alana akan menyambutku dengan manja, dengan pakaian-pakaian seksi yang sehari-hari dikenakannya ketika berada di rumah. Sayangnya kali ini meski aku sudah mati-matian meyakinkannya, Alana tetap berontak ketika aku mencumbunya. "Aku mau
Krucukkk! Krucukkk! Ah,sial! sekarang perutku pun meronta minta diisi. Aku memang belum makan apa pun pagi ini. Tadi hanya sempat menyeruput kopi kental di Kafe Jingga. Huhhh! Dengan malas kuraih ponselku dan memesan beberapa jenis makanan lewat layanan go food.Kupejamkan mata sambil bersandar di sofa. Baru saja hendak terlelap, aku kembali dikejutkan oleh bunyi ponselku."Pak Wildan, Anda sekarang di mana?" Itu suara atasanku, pemilik perusahaan pertambangan tempatku bekerja sebagai manager keuangan.“Saya sedang di rumah, Pak.”“Pak Wildan, Anda meninggalkan pekerjaan penting di Kantor Cabang Balikpapan tanpa izin? Apa Pak Wildan tau apa akibat dari ketidakprofesionalan Anda ini? Saat ini, kantor pusat sedang menghadapi perlawanan dari oknum yang menyusup di kantor Balikpapan. Mereka punya backing orang dalam pemerintahan, dan dua orang bawahan Anda yang Anda percayakan untuk menangani kasus di sana sudah berada dalam genggaman mereka. Kini mereka sudah tau strategi dan hasil temua
Alana.Sudah tiga hari ini aku berada di Bandung, sejak Mas Sofyan menyuruhku untuk ikut dengannya setelah menyaksikan pertengkaranku dengan Mas Wildan waktu itu. Sebenarnya aku belum siap jika permasalahan rumah tanggaku diketahui oleh keluargaku, terutama ayah dan ibuku. Mereka berdua sudah sepuh, aku tak ingin membuat mereka bersedih. Namun kehadiran Mas Sofyan tepat di saat aku keluar dari rumah membuatku tak bisa menyembunyikannya lagi.“Jangan melamun aja, Nak. Apa Ibu boleh masuk?” Tiba-tiba saja ibuku sudah muncul di depan pintu kamarku saat aku tengah duduk melamun di tepi tempat tidurku memikirkan nasib rumah tanggaku.“Eh ... Ibu, silahkan masuk, Bu,” jawabku. Ibu menatap mataku sendu, aku tau begitu banyak kata yang ingin terucap dari wanita yang telah melahirkanku itu.“Ibu tadi udah ngetuk pintu berkali-kali loh. Alana nggak dengar?” Ibu seperti mengetahui jika aku terkejut melihat beliau sudah berdiri di depan pintu kamarku.“Hehe ... maaf, Bu,” jawabku.Sejak aku dan M
“Jika itu terjadi pada Ibu, mungkin Ibu akan lebih memilih melepasnya. Terus terang saja, Ibu adalah wanita yang mengagungkan kesetiaan. Bagi Ibu, bagaimana bisa kehidupan rumah tangga bisa harmonis jika tak ada kesetiaan pada pasangan. Tapi sekali lagi itu menurut Ibu, untuk masalah rumah tangga Alana sendiri, Ibu ingin Alana mengikuti kata hati Alana. Jika memang cinta Alana masih begitu besar pada suamimu, maka tak ada salahnya memaafkan dan memulai semuanya dari awal. Sebab berpisah tak selamanya menyelesaikan masalah, bisa saja memilih berpisah justru membuat kita lebih tersiksa, ketika cinta sudah tak lagi dalam genggaman. Maka, hanya Alana yang tau bagaimana hati Alana. Ibu sarankan Alana sholat istikarah ya, Nak. Minta petunjuk pada Allah agar Alana bisa memutuskan yang terbaik, tanpa ada penyesalan di kemudian hari.”“Apa mungkin karena Alana bukan muslimah yang taat maka Allah memberi cobaan ini? Maafkan Alana belum bisa menjadi wanita soleha seperti Ibu.”“Jangan berburuk s