Darwin.Di hari kepindahan kami dari apartemen yang disewa Alana, aku sengaja memberi kejutan pada Alana dengan mendatangkan seluruh keluarganya dari Bandung. Hal itu sengaja kulakukan agar Alana langsung merasa betah di rumah yang baru kubeli ini. Apalagi, aku memang tak melibatkan Alana ketika mencari dan memilih rumah ini. Aku hanya tak ingin wanita hamil itu kecapean.Tak kusangka usahaku mendatangkan keluarga Alana demi melihat ia senang berhasil. Alana terkejut dan berkaca-kaca saat mengetahui Ayah dan Ibunya serta Mas Sofyan dan anak isterinya sudah ada di rumah baru kami. Aku bisa melihat bagaimana tatapan mata berterima kasih dari Alana ketika menatapku. Namun sayangnya, keluarga Alana tak bisa menginap. Dari awal memang Mas Sofyan sudah mengatakan bahwa sorenya mereka akan segera kembali ke Bandung karena Ibu Alana besok dijadwalkan untuk kontrol kesehatan beliau ke rumah sakit.Acara makan siang yang kupersiapkan tanpa sepengetahuan Alana juga berjalan dengan lancar. Aku m
Alana.“Bu, di depan ada kurir.” Rita melaporkan padaku.“Diterima aja seperti biasa, Rita. Paling juga kiriman makanan seperti biasa,” ujarku. Hingga saat ini Darwin memang masih rutin mengirim menu makanan sehat setiap hari padaku.“Tapi kali ini bukan mengantar makanan, Bu.”“Lalu apa? Kurirnya dari mana.”“Katanya dari butik apa gitu, Bu. Saya nggak ngerti.”Karena penasaran aku pun melangkah ke arah pintu.“Selamat siang. Dengan Bu Alana Larasati?”“Iya, benar.”“Kami dari gerai butik ....” Kurir itu menyebut butik ternama milik salah satu artis terkenal. “Kami mengantarkan pesanan dari Pak Darwin Rahardian. Silahkan diterima dan tanda tangan di sini, Bu. Di dalam paketnya juga ada undangan eksklusif untuk Pak Darwin dan Nyonya untuk menghadiri acara VVIP peluncuran model terbaru dari gerai kami.” lanjutnya.Aku menerima beberapa buah paper bag dengan logo brand selebriti tanah air yang juga dikenal sebagai desainer. Perlahan kukeluarkan satu-persatu isi paper bag yang baru saja
“Papaaaa!!!”Gadis kecil dengan rambut dikuncir dua segera berlari ke arah kami ketika melihaku dan Darwin di antara kerumunan penjemput di bandara.“Non, jangan lari-lari. Nanti jatuh!” seru Mbak pengasuhnya dari arah belakangnya. Namun gadis kecil itu tak peduli. Ia terus berlari hingga mendarat tepat dalam dekapan Papanya yang memang tengah menunduk menyambutnya.“Hai Mama Alana,” sapanya padaku. Aku tersenyum sambil melirik Darwin yang tengah mendekapnya erat.“Paling Inge yang ngajarin, Al.” Lelaki itu mengerti arti tatapanku padanya. Aku terkejut dengan caranya menyapaku, Mama Alana.“Kabar baik, Sayang. Jessy gimana kabarnya?” Aku mengusap-usap kepalanya.“Jessy baik, Mama Al. Kata dokter, Mama Jessy juga sekarang sudah sehat. Hanya Opa yang masih sakit nggak bisa jalan.” Gadis kecil itu berceloteh dengan riang.Dari cerita yang kudengar dari Darwin. Jessy memang tinggal bertiga dengan Opanya dan juga Inge. Karena kondisi Opa Jessy sudah tua dan hanya bisa duduk di kursi roda m
Darwin.Aku bukannya tak terganggu dengan ucapan Alana, sebelum Jessy mengatakan itu pada Alana, gadis kecilku itu juga sudah menagih janjiku padanya kemarin saat aku menemaninya di kamarnya. Menurut Inge kondisinya saat ini memang sudah banyak kemajuan. Bahkan keberangkatannya ke Singapura kali ini adalah untuk pemeriksaan terakhir sebelum ia benar-benar dinyatakan sembuh dan berhasil mengalahkan penyakit kankernya. Sambil memeluk tubuh Alana, pikiranku melayang di saat aku mengucapkan janjiku yang ternyata sampai sekarang masih diingat oleh Jessy, putriku.“Nge, aku sungguh-sungguh nggak mau bercerai,” ucapku pada Inge ketika ia mengatakan niatnya berpisah.“Tapi aku tetap akan mengajukan cerai ke pengadilan, Mas. Keputusanku sudah bulat.”“Kamu sedang sakit, Nge. Kamu sekarang justru sangat membutuhkanku untuk mendukungmu. Kenapa malah memilih bercerai?”“Aku mau berkonsentrasi menjalani pengobatanku, Mas. Aku tak mau terbebani dengan status sebagai istrimu.”“Aku tak pernah merasa
“Al, aku benar-benar mau punya anak banyak dari kamu. Setelah bayi ini lahir kita langsung program lagi, ya.” Ia memeluk tubuhku yang sudah susah untuk merapat padanya karena perut buncitku yang menghalangi.“Abang nggak liat gimana repotnya Nafisa sekarang? Menurut Nafisa itu karena ia menyepelekan memasang alat kontrasepsi dan akhirnya hamil lagi, padahal Baby Almira masih sangat membutuhkan perhatiannya,” ucapku.“Tapi aku pasti akan membantumu mengurus anak-anak kita, Al. Nggak seperti suami Nafisa yang justru sering meninggalkan keluarganya karena kesibukannya.”“Abang jangan bahas itu dulu deh. Bayi ini aja belum keluar, Bang!”Lelaki itu terkekeh, kemudian berusaha mendekapku lebih erat.“Papa!! Mama Alana!!!” Suara Jessy memngagetkan kami, membuat Darwin spontan melepaskan tubuhku.“Loh, Jessy ... sejak kapan berdiri di situ, Sayang?” tanyaku pada gadis kecil manis itu.“Sejak tadi, Mama Al. Papa dan Mama mau punya banyak bayi? Jessy senang sih punya adik, tapi jangan banyak-b
Alana.“Kamu kenapa, Al? Kok jadi pucat gini?” Darwin menatapku heran ketika aku kembali ke hadapannya dan Jessy.“Nanti aku ceritain, kita ke ruangan Nafisa aja dulu.”Aku belum sanggup menceritakan tentang pertemuanku dengan Mas Wildan barusan karena aku sendiri masih merasa syok.Setibanya kami bertiga di ruang rawat Nafisa, ternyata keadaaannya tidaklah seburuk yang kuduga, setidaknya ia masih kelihatan lebih segar dan kuat dibanding aku dulu saat ngidam dan harus dirawat. Menurut cerita Nafisa yang masih bersemangat berceloteh, Mas Pram hanya terlalu mengkhawatirkannya sehingga membawanya ke rumah sakit. Baby Almira pun sudah mulai terlihat mau digendong oleh pengasuhnya, sehingga apa yang kukhawatirkan tadi tidaklah terjadi.Jessy yang datang bersama misinya untuk menemani Baby Almira bermain pun langsung melaksanakan misinya, kedua bocah itu langsung terlihat akrab, Baby Almira bahkan tertawa cekikikan saat Jessy menggodanya dengan berbagai macam wajah dan suara lucunya. Aku te
Tiba-tiba aku terbayang bayi yang diajak Lilis kemari waktu itu. Anak Mas Wildan dan Lilis yang wajahnya sangat mirip dengan Mas Wilda.“Ehm, apa kabarnya anakmu, Mas? wajahnya mirip sekali denganmu.”“Kamu pernah bertemu Bagas selain waktu dia baru lahir dan menginap di rumah kita?”Ah, kalimat Mas Wildan kembali melemparku ke masa lalu saat Lilis dan bayinya serta Ibu menginap di rumahku dan Mas Wildan saat itu. Buru-buru kuhapus semua banyangan pahit itu dari kepalaku.“Lilis pernah ke sini bersama Bagas, Mas.”Kulihat Mas Wildan terkejut lalu menatap intens padaku. “Apa yang ia katakan padamu?”“Waktu itu Lilis datang untuk memintaku mencabut laporan atas kasus Mas Wildan.”“Aku sudah bercerai dengan Lilis, Al," lirihnya sambil menarik nafas panjangAku terkejut mendengarnya, namun memilih diam tak menanggapi. Aku tak pernah mau terlibat dengan urusannya dan Lilis.“Dia tak pernah berubah, ia selalu hidup dalam bayangan kekasihnya. Baginya aku hanya sekedar ayah biologis dari Baga
Darwin.Hari ini aku benar-benar dibuat pusing dengan hasil meeting dengan pihak Kementrian Konumikasi dan Informatika tentang kerjasama proyek yang akan perusahaanku garap. Bagaimana tidak, tender yang sudah hampir kami menangkan di depan mata sebagai pihak ketiga atas proyek Kementrian mengharuskanku untuk berangkat ke Jepang dalam waktu dekat ini. Karena proyek ini juga akan bekerjasama dengan pemerintah Jepang. Mengingat beberapa pendiri perusahaanku adalah WNA Jepang, maka perusahaan kami tak memiliki kesulitan memenangkan tender besar ini.Namun sayang, kesempatan emas bagi perusahaan kami yang sudah di depan mata membuatku justru merasa galau. Kondisi kehamilan Alana yang sudah memasuki bulan ketujuh membuatku tak bisa meninggalkannya jauh-jauh. Terlebih pekerjaan kami di Jepang nantinya belum pasti akan memakan waktu berapa lama. Sedangkan aku adalah salah satu pendiri utama perusahaan yang harus langsung turun tangan untuk mega proyek ini.Karena merasa pusing akan mengambil