Darwin.“Papa pulang dulu, ya, Jessy,” pamitku pada Jessy setelah menemaninya berenang. Rumah mewah pemberian Ayah Inge atasnamaku ini memang dilengkapi dengan fasilitas kolam renang.Tadi sewaktu baru tiba di rumah ini mengantar Inge dan Jessy setelah mengambil beberapa barang Inge di hotel tempatnya menginap sebelumnya, aku sudah langsung mau berpamitan pulang. Namun Jessy menahanku dan merengek agar aku menemaninya berenang. Tak dapat kutolak permintaan putriku itu, aku pun menemaninya berenan. Kami baru berhenti ketika Inge dan Bi Ina, ART yang kupekerjakan di rumah ini datang dan menawarkan beberapa cemilan yang baru saja dibuatnya di dapur.Jessy-ku terlihat sangat ceria, ia terus menerus mengoceh mengajakku dan Inge bercanda. Setelah mencicipi cemilan yang disuguhkan Inge, aku pun kembali berpamitan untuk pulang pada Jessy. Namun ternyata gadis kecilku itu masih menolak, ia tak mengizinkanku untuk pulang meskipun Inge sudah membujuknya dan mengatakan jika Alana sedang menungguk
Alana.Akhirnya Darwin memutuskan menerima kontrak kerja dengan Kementrian, itu artinya pria itu akan benar-benar meninggalkanku beberapa waktu ke depan. Sejujurnya, aku merasakan kegelisahan yang amat sangat, tapi aku tak mau menampakkannya di hadapan Darwin. Ini adalah kesempatan bersar bagi karir dan perusahaannya, aku tak boleh jadi penghambat.Jika melihat kembali perjalanan kami ke belakang, aku sering tak percaya dengan apa yang kualami sampai di titik ini. Betapa dulu aku begitu membenci Darwin ketika mengetahui apa yang sudah dilakukannya padaku, terlebih saat mengetahui bahwa aku terlanjur mengandung karena insiden itu. Rasa frustasi bahkan pernah membuatku memikirkan untuk menggugurkan bayi yang hadir di luar ikatan pernikahan itu. Aku ingin sekali menghindarinya, membencinya dan melupakan semua yang terjadi. Namun ternyata Allah berkehendak lain, kondisi kehamilanku justru membuatku sangat membutuhkan pria yang merupakan ayah dari bayiku itu.Meski hatiku terus menolak keh
“Semoga prediksi dokter tadi nggak meleset ya, Al. Kalau pun meleset, hanya maju atau mundur satu atau dua hari. Aku akan usahakan pulang sebentar walau cuma beberapa hari untuk menemanimu melewati proses persalinan. Aku sudah mengajukan itu sebagai salah satu syarat kontrak kemarin,” ucap Darwin saat kami sudah kembali berada di dalam mobil setelah pulang dari dokter kandungan.“Oiya, siapkan semua persiapanmu ya, sayang. Aku akan mengantarmu dan Rita ke Bandung sebelum aku berangkat ke Jepang. Aku juga sudah mendiskusikan ini dengan Mas Sofyan, dia sekarang sedang mempersiapkan kepindahannya ke Bali,” lanjutnya.Yang kudengar dari Teh Niar, Mas Sofyan memang akan dimutasi ke Bali dengan jabatan yang lebih tinggi. Saat ini Mas Sofyan dan Teh Niar sedang mempersiapkan kepindahan mereka terutama sekolah Kevin ke Bali.Namun ternyata semua tak berjalan sesuai dengan rencana Darwin. Di hari dimana ia berencana akan mengantarku dan Rita ke Bandung, ternyata harus tertunda karena Mas Sofya
Inge.Sudah 2 hari ini aku dan Jessy berada di Jakarta menemani ayahku yang sedang dirujuk ke rumah sakit di Jakarta. Sebenarnya ayah tak mengizinkanku untuk ikut ke rumah sakit karena ayah sudah ditemani oleh dua orang asisten setianya yang sudah menemaninya selama bertahun-tahun. Ayah hanya berpesan agar aku fokus menemai dan menjaga Jessy serta menjaga diriku sendiri yang juga tak bisa dikatakan sudah benar-benar sehat meskipun tim dokter di Singapura menyatakan jika sel kanker di tubuhku sudah kalah pada pemeriksaan terakhir.Maka aku hanya sesekali menengok ayahku ke rumah sakit dan kemudian akan kembali ke rumah menemani Jessy. Jessy sendiri tak mau tinggal di hotel dan memilih untuk tinggal di rumah Mas Darwin selama kami berada di Jakarta, meskipun Papanya sedang berada di Jepang.Hari ini, setelah menjenguk ayah sebentar ke rumah sakit, aku tiba-tiba berpikir untuk menelpon Alana dan menanyakan kabarnya. Namun aku baru menyadari bahwa aku tak menyimpan kontak Alana di dalam
“Menurut percakapan petugas medis yang kudengar tadi, Mbak memang sedang kontraksi dan sudah mengalami pembukaan rahim. Itu artinya Mbak Alana memang akan segera melahirkan,” jawabku lembut.Kulihat wanita itu meneteskan air matanya.“Sabar ya, Mbak Al. Banyak-banyak istighfar agar prosesnya dipermudah oleh Allah. Aku yakin Mbak pasti bisa.”“Terima kasih sudah menolongku tadi, aku nggak tau kalau kamu nggak datang tadi. Aku sudah menghubungi sahabatku tapi ternyata ia sedang berada di luar kota.”Aku mengangguk dan tersenyum padanya. Wanita itu terlihat sangat cantik meskipun wajahnya pucat menahan rasa sakitnya. Pantas saja Mas Darwin begitu menggilai wanita ini, bahkan Jessy pun dari kemarin sudah berkali-kali merengek padaku untuk bertemu dengan Mama Alana-nya.“Nge ... tadi kenapa laki-laki itu ada di sana? Kenapa ia bisa ada di rumahku?”“Kebetulan aku bertemu dengannya saat ia menanyakan alamat rumah Mbak Alana di pos jaga, maka aku segera meminta tolong padanya untuk mengantar
Alana.Sama sekali tak pernah terlintas dalam pikiranku jika aku akan melalui salah satu momen paling bersejarah dalam hidupku tanpa didampingi orang-orang terdekatku. Air mataku menetes ketika seorang perawat meletakkan bayiku di dadaku. Bayi laki-laki yang baru saja kulahirkan dengan perjuangan hidup dan mati seorang diri, tanpa didampingi suami ataupun orangtua dan keluargaku. Hanya ada Inge, wanita yang merupakan mantan istri dari suamiku yang begitu sabar menemaniku dan memberiku kekuatan disaat aku merasakan kesakitan luar biasa.Kuciumi pucuk kepala bayiku sambil terus meneteskan air mata, air mata haru sekaligus air mata kesedihan. Impian untuk melalui proses persalinan dengan didampingi Darwin, ayah dari bayiku, ternyata tak bisa terwujud. Bahkan hingga saat ini Darwin masih belum bisa dihubungi, ia belum tau sama sekali bahwa bayinya telah lahir.“Dia mirip Mas Darwin, Mbak Al,” bisik Inge padaku.Wanita itu pun terlihat begitu terharu, entah bagaimana aku harus berterimakas
Mas Sofyan dan Teh Niar segera berdiri di samping ranjangku. Teh Niar dengan cekatan segera mencuci tangannya kemudian menggendong bayi yang masih berada di atas tubuhku. Sedangkan Mas Sofyan menatap tajam padaku, seolah memastikan bahwa aku baik-baik saja.“Bayinya belum diazani, Mas,” ucapku.Air mata haru kembali menetes di pipiku ketika Mas Sofyan dengan khidmat melantunkan azan di dekat kuping bayiku. Bayi di dalam gendongan Teh Niar itu pun menggeliat ketika mendengar lantunan azan dari pamannya.Perawat kemudian membawa bayi yang belum kuberi nama itu kembali ke ruang bayi. Kelahirannya yang maju dari tanggal perkiraan membuat bayiku masih harus ditempatkan di dalam inkubator untuk mematangkan beberapa organ-organ pentingnya. Inge sendiri sudah berpamitan padaku dan juga pada Mas Sofyan dan Teh Niar setelah berbincang sebentar dengan mereka, Mas Sofyan benar-benar mengucapkan terima kasih pada wanita itu karena telah menemaniku melewati proses persalinan dk saat orang-orang te
Darwin.Pukul 20:00 waktu Jepang saat aku dan tim baru selesai dengan seluruh rangkaian kesibukan luar biasa kami hari ini. Aku terkejut bukan main ketika menyalakan ponselku dan menerima deretan pesan dari nomor Alana dan juga Mas Sofyan. Tingginya kedisiplinan di Jepang membuatku memilih sengaja men-nonaktif-kan ponselku seharian ini agar tak mengganggu aktivitas padatku. Semua isi pesan yang berderet di ponselku memberiku satu kesimpulan, Alana telah melahirkan bayiku hari ini!Apa yang terjadi pada Alana-ku? Mengapa ia melahirkan sekarang? Jauh dari prediksi yang diberikan oleh dokter kandungannya. Siapa yang menemaninya di sana saat ia harus menahan sakit? Bagaimana kondisinya dan juga bayi kami? Padahal aku sudah berjanji akan pulang ke Jakarta untuk menemaninya melalui proses persalinannya. Memikirkan semua itu membuat kepalaku hampir meledak. Dengan tangan gemetar dan perasaan tak menentu aku melakukan panggilan video pada nomor Alana.Tak berapa lama kemudian layar ponselku