Mas Arya mengajakku tidur, direbahkannya aku pada lengannya dan kami tidur dalam posisi berpelukan.
Hatiku terasa gerimis oleh sikap suami yang kembali manis. Sebenarnya jika ditinjau dari bahagianya rumah tangga kami, seharusnya aku tak perlu curiga begitu jauh pada Mas Arya. Cukup percaya bahwa dia akan menjaga hatiku dan memelihara kesucian ikatan yah sudah ia kukuhkan di hadapan Allah. Aku harusnya jadi wanita yang paling bahagia, suamiku tampan, gajinya besar, rumah kami juga mewah danntak kurang satu apapun. Njn sejak nomor asing itu masuk ke ponselnya dan melihat gelagat dia yang makin hari makin tertutup, kurasa memang ada yang tidak beres di sini. ** Adzan subuh berkumandang dan aku langsung bangkit untuk membersihkan badan dan menghamparkan sejadah pentas melangitkan doa agar terangkat semua beban dan praduga. Harapan yang kuuntai dari butiran tasbih yang bergulir adalah, semoga rumah tangga kami langgeng selamanya, semoga rumah ini adalah Jannah untuk kami berdua dan calon anak kami nanti. Semoga tidak ada ujian atau badai yang menerjang. Aku terus berdoa dan mensugesti diri sendiri bahwa semua dugaanku tentang perselingkuhannya adalah kebohongan dan apa yang dikatakan Mas Arya itulah kenyataan. Ya, itu kenyataan. Memperbesar curiga hanya akan menghancurkan rumah tangga, dan tidak lucu rasanya bercerai hanya karena prasangka. Sarapan dan pakaian Mas Arya sudah siap, pria yang setiap kali kutatap selalu menggetarkan hatiku, ia mendekat dan mengecup pipiku, melakukan hal yang sama yang selalu dilakukan selama ini, dan hatiku seolah ditumbuhi bunga oleh sikap mesranya. "Sayang, aku ada pertemuan untuk membahas proyek kemarin, kayaknya akan pulang lebih sore," ucapnya lembut. "Iya, lakukan saja Mas, aku akan baik baik saja di rumah." "Tapi kamu enggak akan khawatir dan curiga kan? Aku hanya sedang mencari nafkah lho, Sayang," imbuhnya sambil menggenggam tanganku yang duduk tepat disampingnya. "Ya tentu saja. Jika aku bosan berada di rumah maka aku akan pergi bersepeda, kamu tidak perlu khawatir," balasku tulus. "Oh ya kalau ada yang mencari katakan saja aku ada urusannya sangat penting dan kembali lebih lama dari biasanya. Suruh mereka mendatangi kantor esok harinya," balas Mas Arya. "Siap, Mas." Suamiku menjauhi pipiku dan mendekatkan wajahnya bersiap menciumku, namun tiba-tiba ponsel yang ada di dekatnya berdering dan terlihat dari ekor mataku bahwa kontak yang sedang menghubunginya adalah gambar seorang wanita. Ya, aku ingat! Gambar yang Cukup membuatku membulatkan mata, gambar wanita di kontak w******p-nya, dialah yang sedang menghubunginya sekarang, sayangnya aku tidak bisa melihat dengan jelas karena Mas Arya segera merebut HP itu dari tatapanku. "I-iya, halo," jawab Mas Arya sambil tersenyum gugup di depanku dan meminta izin agar dia bisa menjauhi meja dan akunk mengangguk. "Iya, ada apa, Bu?" Pandai sekali suamiku berpura-pura. "Oh siap, saya akan menemui ibu di kantor ibu," jawabnya sambil tertawa padahal aku tahu bahwa dia sedang sandiwara untuk menutupi kebohongannya. "Siapa Mas?" Tanyaku setelah pria itu menutup ponselnya. "Itu ... Seorang wanita yang memintaku untuk mendesain rumah impiannya?" Dia yang meminta? atau kalian yang sudah berselingkuh untuk membangun hubungan baru yang tidak boleh diungkapkan?! "Oh ya, Apakah dia orang kaya? Karena kulihat dari senyummu kau nampak akan memenangkan sebuah proyek yang berharga?" "I-iya tentu saja, Sayang." Ia membelai pipiku dan langsung mengambil kunci mobil dan tas kerjanya, lalu bayang suamiku menghilang begitu saja dari balik pintu yang kemudian tertutup. Kulirik sisa makanan yang belum dia makan bahkan setengahnya, aku mendekat menyentuh sendok yang masih hangat oleh bekas tangannya,dan airmataku tumpah begitu. Entah kenapa tidak ada yang bisa aku lakukan selain menangis dan kenapa aku harus selemah ini. Aku kemudian tersadar bahwa jika terus membohongi diri sendiri dan mencoba untuk menolak kenyataan maka semua yang coba ditunjukkan oleh alam terlihat abu-abu dan nampak tersamarkan. Seharusnya aku bangkit dan mencari informasi, seharusnya aku membuktikan dengan mata kepala sendiri hingga mengambil kesimpulan. Maka tiba-tiba aku ambil ponsel dan menghubungi Bella, sesaat dia tidak mengangkat ponselnya namun aku terus mengulang panggilan tersebut sehingga wanita yang telah menjadi sahabatku selama 8 tahun lamanya mengangkat gawainya. "Halo, Bella,", ujarku dengan lembut. "Halo, Ris, ada apa?" "Enggak apa-apa aku cuma mau ngajakin kamu, kalau kamu lagi luang kota pergi makan yuk, ke sebuah restoran ayam bakar," ajakku. "Sorry, tapi aku gak bisa ...." "Kenapa?" "Lagi gak enak badan, naik asam lambung," balasnya. "Kamu mau aku bawakan obat?" Sampai di sini aku tidak mencurigainya, namun lebih kepada iba karena sampai hari ini sahabatku tidak memiliki teman di dalam hidupnya. "Enggak usah," jawabnya parau, " aku mau tidur aja ... gak mood kemana-mana," balasnya. "Baiklah." Sampai disini aku berpikir bahwa jika Bella sungguh sakit dan tidak kemana-mana artinya wanita yang menghubungi suamiku bukankah dia. Tadi Mas Arya sudah beralasan padaku bahwa dia akan menemui klien, bisa jadi Mas Arya berdusta dan malah menemui wanita yang ada di kontak ponselnya. Aku harus menemukan di mana suamiku berada sore nanti dan memergoki perbuatannya. * Tak sabar rasanya menunggu waktu bergulir, aku sudah bersiap dengan motorku dan akan pergi memeriksa kantor Mas Arya. Namun sebelumnya, aku ingin membelikan sahabatku obat-obatan dan pereda nyeri lalu aku akan mengantar ke apartemennya. Sayangnya sesampainya di apartemen Bella, baru saja aku hendak memarkirkan motor dan naik ke lantai lima tiba-tiba dari arah pintu keluar aku melihat Bella yang nampak terburu-buru dan segera mengeluarkan mobilnya. Entah kenapa aku langsung tergerak untuk mengikuti kemana sahabatku pergi. Mobilnya terus berkendara menuju sebuah hotel di pinggir kota, di dekat pantai yang cukup indah. Dan sekali lagi entah mengapa aku terus penasaran dan mengikutinya, salah langkah kakiku diarahkan dengan sendirinya. Aku mengendap-ngendap mengikuti wanita yang terlihat memasuki kamar 102. Karena tidak mampu membendung keingintahuan, perlahan aku menyusul dan tadinya akan mengetuk namun kuurungkan, kuputar handle pintu dan apa yang terlihat di dalam sana sangat mengejutkan. Tabung gambar suamiku tergeletak di lantai, aku tahu persis itu miliknya karena ada inisial nama Arya di bagian penutup. Dengan menahan nafas aku mencoba melangkah masuk, menghitung detak jantungku dan memastikan apa yang sedang terjadi di balik dinding yang langsung terhubung dengan tempat tidur mewah. Dan ternyata ... Suamiku dan Bella sedang saling melepas rindu, dan terjadi adegan sepasang kekasih yang sudah lama tidak berjumpa, bagaimana harus kugambarkan chemistry-nya. Bibirku bergetar ingin berteriak sementara jantungku membuncah oleh detakan cepat, dan dadaku mendadak sesak, napasku berat, terhimpit, tenggorokanku panas dan rasanya telinga ini langsung berasap. "Bella! Mas Arya!"Keesokan hari kuterima pesan dari kantor polisi agar kami datang dan memberikan keterangan. Meski aku masih trauma tapi tidak ada pilihan lain, aku harus menyelesaikan urusan ini agar bisa segera dituntaskan."Kamu sudah siap?" tanyanya ketika aku sedang mengenakan anting."Iya, mari kita hadapi.""Kamu yakin bisa bertemu dengan pria yang sudah nyaris membunuhmu?""Dia mungkin sedang khilaf dan diburu nafsu, Mas," ucapku sambil menyentuh dada Mas Roni dan merapikan dasinya."Tetap saja, dia nyaris membahayakan ibu anakku," balasnya mengecup keningku."Terima kasih telah selalu menjagaku," ucapku."Sama sama, Sayang."Aku dan dia meluncur menuju ke kantor polisi menemui petugas dan memberi keterangan yang mereka inginkan."Boleh saya bertemu dengan Pak Arya?" tanyaku pada petugas setelah mengambil keterangan dari kami."Ngapain sih sayang?" "Mau nanya aja," balasku sambil memberinya isyarat agar aku mempercayainya."Untuk apa?""Mungkin dia ingin bertemu Bilal, Mas," ucapku lirih.
"Lepaskan aku, lepaskan!" teriakku berusaha melepaskan diri."Aku tak tahu caranya lagi agar kau bisa tetap bersamaku," ujarnya mencoba mengangkat diri ini dan membawaku pergi."Hentikan, atau aku akan berteriak, dan membuat semua orang terbangun," ucapku di pagi yang masih gelap, kondisi villa yang besar, kamar tidur kami yang berada di lantai dua, agak jauh dari depan sini membuat teriakanku sulit di dengar Mas Roni."Biarkan mereka bangun," ujar Mas Arya sambil menarik tubuhku dengan keras ke arah danau."Kamu mau membawaku ke mana?""Ke mana saja, bila perlu kita akan mati berdua," ucapnya sambil mengikat kaki dan tanganku dengan tali rafia yang dia bawah."Apa yang akan kau lakukan ...?" tanyaku dengan suara gemetar."Lihat saja," jawabnya sambil melilit tali tersebut pada kedua tangan dan tubuh lalu menguncinya ke belakang punggungku, kakiku juga begitu. Kuperhatikan tatapan mata liar dan gerakan tangan gemetarnya yang dilapisi sarung tangan. Dia terlihat akan membunuhku tap
"Lepaskan aku, lepaskan!" teriakku berusaha melepaskan diri."Aku tak tahu caranya lagi agar kau bisa tetap bersamaku," ujarnya mencoba mengangkat diri ini dan membawaku pergi."Hentikan, atau aku akan berteriak, dan membuat semua orang terbangun," ucapku di pagi yang masih gelap, kondisi villa yang besar, kamar tidur kami yang berada di lantai dua, agak jauh dari depan sini membuat teriakanku sulit di dengar Mas Roni."Biarkan mereka bangun," ujar Mas Arya sambil menarik tubuhku dengan keras ke arah danau."Kamu mau membawaku ke mana?""Ke mana saja, bila perlu kita akan mati berdua," ucapnya sambil mengikat kaki dan tanganku dengan tali rafia yang dia bawah."Apa yang akan kau lakukan ...?" tanyaku dengan suara gemetar."Lihat saja," jawabnya sambil melilit tali tersebut pada kedua tangan dan tubuh lalu menguncinya ke belakang punggungku, kakiku juga begitu. Kuperhatikan tatapan mata liar dan gerakan tangan gemetarnya yang dilapisi sarung tangan. Dia terlihat akan membunuhku tap
"Lepaskan aku, lepaskan!" teriakku berusaha melepaskan diri."Aku tak tahu caranya lagi agar kau bisa tetap bersamaku," ujarnya mencoba mengangkat diri ini dan membawaku pergi."Hentikan, atau aku akan berteriak, dan membuat semua orang terbangun," ucapku di pagi yang masih gelap, kondisi villa yang besar, kamar tidur kami yang berada di lantai dua, agak jauh dari depan sini membuat teriakanku sulit di dengar Mas Roni."Biarkan mereka bangun," ujar Mas Arya sambil menarik tubuhku dengan keras ke arah danau."Kamu mau membawaku ke mana?""Ke mana saja, bila perlu kita akan mati berdua," ucapnya sambil mengikat kaki dan tanganku dengan tali rafia yang dia bawah."Apa yang akan kau lakukan ...?" tanyaku dengan suara gemetar."Lihat saja," jawabnya sambil melilit tali tersebut pada kedua tangan dan tubuh lalu menguncinya ke belakang punggungku, kakiku juga begitu. Kuperhatikan tatapan mata liar dan gerakan tangan gemetarnya yang dilapisi sarung tangan. Dia terlihat akan membunuhku tap
Pria itu memang terlihat mencari sesuatu, mondar-mandir di depan gerbang dengan aksen yang begitu gelisah kadang dia mendongak kearah pintu dan kadang juga menatap ke arah CCTV. Aku tidak bisa memastikan bahwa itu mas Arya meski cara jalan dan tinggi badan yang sama.Jujur aku menjadi tidak tenang saja jadinya, karena tahu persis orang yang akan mencariku hanya Mas Arya."Tuan, apa Tuan Roni mau melihatnya?""Iya saya ingin memeriksa CCTV dan sekali lagi jika pria itu terlihat datang silakan buka pintu gerbang dan tanyakan apa keinginannya, jawabnya pada si pelayan "Jangan terburu-buru Mas, bagaimana kalau itu adalah psikopat jahat yang berniat membantai kita semua? bukankah buka pintu adalah hal konyol, kenapa tidak lapor polisi saja?""Polisi tidak akan memeriksa kalau kita tidak punya bukti, minimal kita harus tahu siapa pelakunya dan mengenal wajahnya. Aku berniat untuk menemui pria itu," gumam suamiku sambil berlalu dari depanku."Mas ...."Ah, rasanya mencegahnya sudah tidak be
Mungkin sebelum ini aku belum pernah datang ke vila yang begitu megah dan indah, rumah mewah berlantai dua yang terletak di bagian paling atas bukit dengan pemandangan hamparan rumput dan bunga warna warni, hijau kebun teh dan sebuah danau di bagian belakangnya, membuat tempat ini seperti destinasi liburan impian.Mas Roni menghentikan mobilnya tepat di pintu utama membunyikan klakson lalu dua orang penjaga kebun dan vila menyambut kedatangan kami. Seorang pria kurus dengan tinggi sedang yang kutaksir berumur 50 tahun dan seorang wanita yang kutebak adalah istrinya. Mereka terlihat menyambut ramah."Oh, tuan sudah sampai?" mereka menyongsong kami ke depan pintu mobil dengan senyum bahagia "Iya, kami baru saja sampai," jawab Mas Roni sambil membuka pintu mobil dan menyalami pekerjanya."Bagaimana perjalanannya, Tuan?" tanya wanita yang sebagian rambut kepalanya sudah memutih."Nyaman dan menyenangkan, bagaimana menurutmu, Sayang?" tanyanya padaku."Iya, Mas, Alhamdulillah, aku cuku