Mas Arya mengajakku tidur, direbahkannya aku pada lengannya dan kami tidur dalam posisi berpelukan.
Hatiku terasa gerimis oleh sikap suami yang kembali manis. Sebenarnya jika ditinjau dari bahagianya rumah tangga kami, seharusnya aku tak perlu curiga begitu jauh pada Mas Arya. Cukup percaya bahwa dia akan menjaga hatiku dan memelihara kesucian ikatan yah sudah ia kukuhkan di hadapan Allah. Aku harusnya jadi wanita yang paling bahagia, suamiku tampan, gajinya besar, rumah kami juga mewah danntak kurang satu apapun. Njn sejak nomor asing itu masuk ke ponselnya dan melihat gelagat dia yang makin hari makin tertutup, kurasa memang ada yang tidak beres di sini. ** Adzan subuh berkumandang dan aku langsung bangkit untuk membersihkan badan dan menghamparkan sejadah pentas melangitkan doa agar terangkat semua beban dan praduga. Harapan yang kuuntai dari butiran tasbih yang bergulir adalah, semoga rumah tangga kami langgeng selamanya, semoga rumah ini adalah Jannah untuk kami berdua dan calon anak kami nanti. Semoga tidak ada ujian atau badai yang menerjang. Aku terus berdoa dan mensugesti diri sendiri bahwa semua dugaanku tentang perselingkuhannya adalah kebohongan dan apa yang dikatakan Mas Arya itulah kenyataan. Ya, itu kenyataan. Memperbesar curiga hanya akan menghancurkan rumah tangga, dan tidak lucu rasanya bercerai hanya karena prasangka. Sarapan dan pakaian Mas Arya sudah siap, pria yang setiap kali kutatap selalu menggetarkan hatiku, ia mendekat dan mengecup pipiku, melakukan hal yang sama yang selalu dilakukan selama ini, dan hatiku seolah ditumbuhi bunga oleh sikap mesranya. "Sayang, aku ada pertemuan untuk membahas proyek kemarin, kayaknya akan pulang lebih sore," ucapnya lembut. "Iya, lakukan saja Mas, aku akan baik baik saja di rumah." "Tapi kamu enggak akan khawatir dan curiga kan? Aku hanya sedang mencari nafkah lho, Sayang," imbuhnya sambil menggenggam tanganku yang duduk tepat disampingnya. "Ya tentu saja. Jika aku bosan berada di rumah maka aku akan pergi bersepeda, kamu tidak perlu khawatir," balasku tulus. "Oh ya kalau ada yang mencari katakan saja aku ada urusannya sangat penting dan kembali lebih lama dari biasanya. Suruh mereka mendatangi kantor esok harinya," balas Mas Arya. "Siap, Mas." Suamiku menjauhi pipiku dan mendekatkan wajahnya bersiap menciumku, namun tiba-tiba ponsel yang ada di dekatnya berdering dan terlihat dari ekor mataku bahwa kontak yang sedang menghubunginya adalah gambar seorang wanita. Ya, aku ingat! Gambar yang Cukup membuatku membulatkan mata, gambar wanita di kontak w******p-nya, dialah yang sedang menghubunginya sekarang, sayangnya aku tidak bisa melihat dengan jelas karena Mas Arya segera merebut HP itu dari tatapanku. "I-iya, halo," jawab Mas Arya sambil tersenyum gugup di depanku dan meminta izin agar dia bisa menjauhi meja dan akunk mengangguk. "Iya, ada apa, Bu?" Pandai sekali suamiku berpura-pura. "Oh siap, saya akan menemui ibu di kantor ibu," jawabnya sambil tertawa padahal aku tahu bahwa dia sedang sandiwara untuk menutupi kebohongannya. "Siapa Mas?" Tanyaku setelah pria itu menutup ponselnya. "Itu ... Seorang wanita yang memintaku untuk mendesain rumah impiannya?" Dia yang meminta? atau kalian yang sudah berselingkuh untuk membangun hubungan baru yang tidak boleh diungkapkan?! "Oh ya, Apakah dia orang kaya? Karena kulihat dari senyummu kau nampak akan memenangkan sebuah proyek yang berharga?" "I-iya tentu saja, Sayang." Ia membelai pipiku dan langsung mengambil kunci mobil dan tas kerjanya, lalu bayang suamiku menghilang begitu saja dari balik pintu yang kemudian tertutup. Kulirik sisa makanan yang belum dia makan bahkan setengahnya, aku mendekat menyentuh sendok yang masih hangat oleh bekas tangannya,dan airmataku tumpah begitu. Entah kenapa tidak ada yang bisa aku lakukan selain menangis dan kenapa aku harus selemah ini. Aku kemudian tersadar bahwa jika terus membohongi diri sendiri dan mencoba untuk menolak kenyataan maka semua yang coba ditunjukkan oleh alam terlihat abu-abu dan nampak tersamarkan. Seharusnya aku bangkit dan mencari informasi, seharusnya aku membuktikan dengan mata kepala sendiri hingga mengambil kesimpulan. Maka tiba-tiba aku ambil ponsel dan menghubungi Bella, sesaat dia tidak mengangkat ponselnya namun aku terus mengulang panggilan tersebut sehingga wanita yang telah menjadi sahabatku selama 8 tahun lamanya mengangkat gawainya. "Halo, Bella,", ujarku dengan lembut. "Halo, Ris, ada apa?" "Enggak apa-apa aku cuma mau ngajakin kamu, kalau kamu lagi luang kota pergi makan yuk, ke sebuah restoran ayam bakar," ajakku. "Sorry, tapi aku gak bisa ...." "Kenapa?" "Lagi gak enak badan, naik asam lambung," balasnya. "Kamu mau aku bawakan obat?" Sampai di sini aku tidak mencurigainya, namun lebih kepada iba karena sampai hari ini sahabatku tidak memiliki teman di dalam hidupnya. "Enggak usah," jawabnya parau, " aku mau tidur aja ... gak mood kemana-mana," balasnya. "Baiklah." Sampai disini aku berpikir bahwa jika Bella sungguh sakit dan tidak kemana-mana artinya wanita yang menghubungi suamiku bukankah dia. Tadi Mas Arya sudah beralasan padaku bahwa dia akan menemui klien, bisa jadi Mas Arya berdusta dan malah menemui wanita yang ada di kontak ponselnya. Aku harus menemukan di mana suamiku berada sore nanti dan memergoki perbuatannya. * Tak sabar rasanya menunggu waktu bergulir, aku sudah bersiap dengan motorku dan akan pergi memeriksa kantor Mas Arya. Namun sebelumnya, aku ingin membelikan sahabatku obat-obatan dan pereda nyeri lalu aku akan mengantar ke apartemennya. Sayangnya sesampainya di apartemen Bella, baru saja aku hendak memarkirkan motor dan naik ke lantai lima tiba-tiba dari arah pintu keluar aku melihat Bella yang nampak terburu-buru dan segera mengeluarkan mobilnya. Entah kenapa aku langsung tergerak untuk mengikuti kemana sahabatku pergi. Mobilnya terus berkendara menuju sebuah hotel di pinggir kota, di dekat pantai yang cukup indah. Dan sekali lagi entah mengapa aku terus penasaran dan mengikutinya, salah langkah kakiku diarahkan dengan sendirinya. Aku mengendap-ngendap mengikuti wanita yang terlihat memasuki kamar 102. Karena tidak mampu membendung keingintahuan, perlahan aku menyusul dan tadinya akan mengetuk namun kuurungkan, kuputar handle pintu dan apa yang terlihat di dalam sana sangat mengejutkan. Tabung gambar suamiku tergeletak di lantai, aku tahu persis itu miliknya karena ada inisial nama Arya di bagian penutup. Dengan menahan nafas aku mencoba melangkah masuk, menghitung detak jantungku dan memastikan apa yang sedang terjadi di balik dinding yang langsung terhubung dengan tempat tidur mewah. Dan ternyata ... Suamiku dan Bella sedang saling melepas rindu, dan terjadi adegan sepasang kekasih yang sudah lama tidak berjumpa, bagaimana harus kugambarkan chemistry-nya. Bibirku bergetar ingin berteriak sementara jantungku membuncah oleh detakan cepat, dan dadaku mendadak sesak, napasku berat, terhimpit, tenggorokanku panas dan rasanya telinga ini langsung berasap. "Bella! Mas Arya!"Mereka langsung terkejut dan salah tingkah, di wanita mundur sambil mengusap bibirnya sementara Mas Arya langsung mendekat."Ariska, ngapain kamu di sini?" tanya Mas Arya yang masih tak sanggup menyembunyikan keterkejutan."Ngeliat kamu yang lagi pacaran dengan sahabatku," jawabku dingin. Aku maju dan mendekat dengan tatapan tajam pada mereka berdua "Kita gak pacaran? Ini hanya...." Mas Arya berusaha melindungi Bella di belakang punggungnya."Perselingkuhan kan ya?"tanyaku sinis dengan suara lantang."Bukan ... Ini bisa dijelaskan," ujar Mas Arya sambil menarik lenganku."Jangan mendekat kamu, Mas!" Aku berusaha menjauh darinya."... kamu juga Bella, aku gak nyangka ya, kamu setega ini dengan sahabat sendiri?!"Wanita itu bersembunyi sambil memeluk pinggang Mas Arya, melihat kemesraan mereka hatiku makin panas rasanya, terlebih ketika Mas Arya juga membalas sentuhan wanita itu dengan genggaman pasti.Apa yang harus aku ucapkan untuk menggambarkan bagaimana sakitnya perasaanku saat i
Sebenarnya aku ingin sekali menghajar Bella namun karena Mas Arya melindunginya, aku tak bisa berbuat banyak. Kuseret langkah meninggalkan lorong apartemen itu sambil mengusap air mata. Lututku lunglai dan tak bisa kubayangkan lagi betapa sudah berkeping kepingnya perasaan ini.Aku tidak menyangka dan kejutan yang ada di depan mata membuatku amat merasa, uka yang begitu buruknya.Kukendarai motor kembali ke rumah dengan hati remuk redam, jiwaku teriris dan luka di dalamnya berdarah tak karuan bentuknya. Aku sampai menghentikan motor dan turun untuk menangis di pinggir jalan. Sengaja kupilih tempat yang cukup gelap dan sepi agar bisa meluahkan sakit hati. Aku menangis meraung sejadi-jadinya, dan membungkuk dindekat drainase.Selagi tenggelam dalam kesedihan itu, seorang pria mendekat, pria yang memakai baju olah raga dan helm sepeda. Ia parkirkan sepeda di atas trotoar lalu mendekat padaku."Ada apa menangis Mbak? Tempat gelap seperti ini tidak aman untuk menangis sendiri," ujarnya sa
"Izinkan aku nikah sama Mas Arya," ucapnya meluncur begitu saja.Mendengar itu rasa-rasanya cangkir kopi yang kugenggam akan pecah karena kerasnya tekanan tangan menahan emosi. Ya Allah, ya Rabbi bisa-bisanya wanita yang kemarin bertengkar denganku datang ke rumah, duduk di kursi taman belakang dan meminta suamiku."Apa?" tanyaku pelan, setengah tak percaya."Aku sudah bicarakan ini dengan Ibu mertuamu, dan dia bersedia mengizinkan Mas Arya poligami," jawabnya. " ... tinggal keputusan dari kamu aja.""Aku gak percaya Ibu mertua melakukan itu," jawabku tertawa getir."Aku berani mengajakmu untuk membuktikan kata calon mertuaku, kau yang akan malu mendengar ungkapan setujunya nanti. Ayo pergi jika kau ingin menambah luka hati," jawabnya pelan namun menusuk jantung."Haruskah kamu menambah garam di atas luka yang ada?" Sisi lemahku muncul begitu saja."Kenyataan harus kau hadapi, sedang aku juga tak mau rugi. Mas Arya sudah menganggapku sebagai istri dan ibunya setuju aku jadi pendampin
Aku sudah sangat lelah menangis hingga jatuh tak sadarkan diri di pelukan suami. Keesokan hari kubuka mata dengan lemah, berharap bahwa kejadian kemarin hanya mimpi yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Membayangkan aku akan membagi suami dengan Bella membuatku ingin menghentikan waktu sampai di sini saja, aku ingin diam di titik ini dan tidak ingin melangkahkan kaki maju ke depan dan tersakiti.“Kamu udah bangun , Sayang?” Tanya Mas Arya yang datang dan berlutut di depanku, menatap matanya yang selalu mengisyaratkan cinta dan melelehkan hati, air mata ini kembali tumpah begitu saja.“Aku berharap tidak akan pernah bangun lagi dari tempat ini, Mas, aku terlalu pengecut untuk menerima kenyataan pahit.”“Aku tahu, ini kesalahan terbesarku yang terlalu terjebak hawa napsu, aku lupa mencemaskan perasaanmu, hingga aku terseret jauh.” Ia mendesah sambil mengusap wajahnya, lantas menggenggam tanganku dengan penuh cinta.“Semalam Bella menginap di sini untuk merawatmu, ia baru pulang pagi
"Astaga apa yang kamu lakukan pada Bella?" tuding ibu mertua yang langsung menunjuk wajahku dengan telunjuknya. Aku tersinggung, dan harga diriku tertampar oleh sikapnya."Ibu ... kenapa ibu mengkhawatirkan dia? Padahal dia yang salah?" tanyaku dengan suara parau, menahan sesak di dada."Ya Tuhan ... kamu ini Ariska! Kejam sekali kamu, saking benci dan cemburunya hingga tega melakukan ini, ya ampun ... Aku baru tahu jahatnya kamu!" jerit ibu mertua. Sementara wanita yang pura pura-pura pingsan itu mengedipkan mata padaku tanpa sepengetahuan ibu mertua, ia mengejek dan melecehkanku.Apa yang lebih menyakitkan dari ini ketika sikap ibu mertua begitu arogan, seolah buta akan kenyataan sebenarnya."Astaga apa yang harus kulakukan?" Ibu panik dan memanggil supirnya Pak Ridwan untuk menggendong wanita itu."Dia tidak pingsan, tapi hanya berpura-pura," ucapku."Diam kamu! kalo sampai Bella benaran hamil dan terjadi sesuatu pada calon cucuku, aku akan memberimu pelajaran," jawabnya berteri
Setelah beberapa jam duduk sendiri sambil menguras air mata, aku bangkit dan menurunkan koper yang ada di atas lemari, membuka resleting dan sekali lagi menghela napas panjang lalu memilih pakaian yang akan kubawa dari dalam lemari.Leih baik aku pergi daripada aku terhina di dalam rumah sendiri. Diabaikan dan diperlakukan seperti manusia yang tidak layak dihargai.Meski aku tahu, aku tidak punya tujuan dan uang, tidak tahu harus melangkah dan pergi ke mana, tapi aku harus menguatkan hati, toh, bertahan di sini sama dengan membunuh diri.Memangnya siapa yang bisa tahan, suaminya direbut dan bermesraan di depan mata, sementara mertua yang harusnya bersikap netral atau mengingatkan anaknya malah menyudutkan posisiku sebagai wanita dan menantu?"Ah, ya Allah, mengapa begini sekali takdirku?"Entah akan bagaimana masa depan rumah tangga kami, tadinya aku masih bisa berharap untuk membuka hati dan kesadaran Mas Arya, tapi, apa daya. Ibu mertua lebih berkuasa dan mendominasi anaknya. Lagip
Lama menghabiskan waktu untuk menangis memeluk diri di balik pintu kamar sementara suamiku hanya terdiam di dalamnya. Dia tidak berinisiatif sama sekali untuk keluar dan menahan kepergianku.Bisa kutebak, bahwa Ibunya sudah mengambil keputusan untuk menyuruhnya memilih antara aku atau calon wanita yang akan dinikahi.Ah, aku tahu, aku berat melakukan semua yang tapi tidak ada pilihan lain selain pergi.Sungguh malu untuk pulang ke rumah orang tua ketika aku sudah menjanjikan mereka bahwa kehidupanku akan langgeng dan tidak akan membebani mereka dengan berbagai masalah pribadiku.Lagi pula, jarak rumah orangtua dan tempat ini sangat jauh, berbeda pulau aku terdampar dan bingung harus bagaimana.Kubuka pintu gerbang, flat besi itu bergeser dan menimbulkan suara. Kubalikkan badan untuk sekali lagi melihat tempat yang dulu kusebut istana dan surga.Rasa sayangku pada bangunan itu sama dengan cintaku pada suami, tapi, aku tak bertakdir untuk tetap bersama mereka.Ketika kulangkahkan kak
Sudah kutebak kira kira kehebohan apa yang akan terjadi karena perbuatanku semalam, minimal aku akan dicari Mas Arya lalu dipukuli atau paling parah ditangkap polisi. Tap apa, setidaknya aku sudah melampiaskan sakit hati padanya.Tentang Irene yang juga kupikirkan, ia pasti syok jika tiba tiba di rumah tetangganya terjadi keramaian. Dia pasti curiga padaku, namun aku yakin ia tak akan membuka mulut sudah membawaku ke apartemennya karena itu sama saja mengundang kecurigaan polisi jika kami ternyata bersekongkol untuk menyakiti Bella.Kuganti baju dan mengubah potongan rambut ke sebuah salon, membeli kaca mata dannsetelah mewah khas istri orang kaya lalu memanggang dengan santainya. Pergi ke barat kota untuk mencari unit yang bisa disewa murah lalu melanjutkan hidup dengan menjadi guru les privat atau apa saja. Bisa juga jadi sales kosmetik atau bandar arisan Abal Abal. Aku tak takut dan entah mengapa rasa sakit memberiku energi lebih untuk berani dan melawan. Akan kutuntut dendamku
Setelah Mas Arya pergi aku langsung melepaskan pelukan dari Roni dan entah mengapa, terjadi kecanggungan di antara kami untuk beberapa saat."Ma-maaf aku sudah memelukmu," ucapku malu."Tidak masalah, aku juga senang dipeluk," jawabnya sambil mengulum senyum dan menatapku dengan jahil."Apa kau berharap bahwa adegan tadi terjadi sedikit lama?" ucapku berkacak pinggang sambil menerka arti dibalik senyumnya."Ya, siapa yang tidak mau, kau sangat cantik dan menatap wajahmu membuat hatiku meleleh," jawabnya dengan pandangan mata lebih lama, tanpa berkedip dan makin gugup diri ini di buatnya, entah kenapa juga di saat bersamaan hatiku berdesir, konyol sekali."Hei, jangan tatap aku seperti itu," kataku mendekat dan berusaha mengalihkan wajahnya, namun ia menangkap tanganku dan membuat tubuh semakin dekat padanya."Yang aku katakan tadi adalah kejujuran," ucapnya sambil mendekatkan wajah, tatapannya serius, aku memundurkan diri dan karena tidak seimbang badan ini hampir terjatuh, dia denga
"Jadi selama ini kau menipuku, dan memanfaatkan kelemahanku?""Aku tidak menipumu, apa yang kulakukan adalah bentuk kepedulian, aku tulus melakukannya," jawabnya di tangga.Kususul dia karena merasa gemas dan masih penasaran."Tapi ... siapa yang memintanya, apakah aku terlihat sangat menyedihkan, sehingga kau mengasihani aku sebegitu besarnya?" Mungkin pertanyaanku akan menyinggungnya. Tapi entahlah, aku ingin sekali mengatakannya."Aku tak bermaksud menyinggungmu. Aku tak mengungkap identitasku agar kau tak merasa canggung, tolonglah, aku tak punya niat buruk."'"Lalu niatmu apa? Apa karena kasihan saja melihatku tersakiti, kau ingin menikahiku, kenapa?""Karena aku sudah bosan mencari calon istri dan selalu berakhir disakiti, kuputuskan untuk menikahi wanita yang cukup menyentuh hati ketika pertama kali melihatnya, kuputuskan untuk menikahi wanita secara random dan spontan saja, kemana Tuhan mengarahkan penglihatan dan hatiku.""Tidakkah itu aneh, aku bukan orang yang tepat.""Y
Mengetahui kenyataan bahwa pria ini adalah sosok yang penting, aku merasa takut untuk dekat dengannya, khawatir pada sikap lembut yang akan membuatku terbawa perasaan hingga merasa nyaman, lalu pada akhirnya perasanku dikecewakan, ya, aku merasa harus menjaga jarak saat ini juga."Maaf, aku tak bisa lama-lama, aku harus pulang," ucapku menjauh dari ruangan itu."Lho bukannya kita baru sampai?""Maaf, aku tak bisa lama di sini, aku merasa tidak sehat," jawabku membuka pintu, namun gerakan pemuda itu juga tak kalah sigapnya.Dia menahan tanganku yang memegang lengan pintu lalu menatapkpu dengan tatapan lembut, lalu mengarahkan punggung tangannya di keningku untuk memeriksa bahwa aku sakit atau tidak."Tapi, suhu tubuhmu normal, kau kenapa?""Aku hanya merasa tidak nyaman, aku pulang ya," ucapku menjauh dengan langkah cepat.Roni mengejarku sampai ke pintu lift, namun segera kupencet tombol ketika aku telah berhasil masuk ke dalamnya, sehingga ia tak bisa menyusul masuk ke dalam lift.Ke
Pemuda itu pergi, meninggalkan aku dan Irene dengan sejuta kegamangan yang sulit kami pahami. Entah kenapa meski kusebut ia malaikat penyelamat, tapi aku juga penasaran, tertarik kepada latar belakang dan alasan kenapa dia mau melakukan ini untukku."Masak, baru kenal mau nikahin Mbak, kan aneh?""Mungkin itu hanya cara dia untuk menenangkan kita, tidak mungkin juga ada orang yang ujug-ujug datang lalu menikahi tanpa mengenal atau menjajaki.""Tapi bisa saja dia sudah lama melihat Mbak dan menaksir, dan di saat dia sudah mendapatkan kesempatan, dia lalu menunjukkan dirinya.""Ah, analisamu terlalu jauh, dia hanya kebetulan bertemu dengan kedua kali dan mungkin merasa kasihan."Airin yang daritadi berguling di tempat tidur langsung bangkit dan mendekat padaku lalu menyentuh bahuku."Bagaimana kalau ungkapan dia tentang rencana ingin menikahi Mbak, ternyata sungguh dilakukannya?""Yah, aku bukan anak kecil yang mau saja diarahkan ke mana kehendak orang lain. Aku juga berpikir Irene,"
Dia memelukku, berkali kali mencium bahuku mengatakan kalimat 'maaf. Berulang ulang tanpa henti."Apakah sungguh hamil, sungguh kau hamil?" Pria itu terlihat menangis namun juga dia tersenyum bahagia. Aku berusaha melepas pelukannya dan menepisnya mundur dariku."Siapa yang mengatakan itu, itu tidak benar, aku tidak hamil, aku mandul," jawabku dengan tatapan nanar."Jangan berbohong," ujarnya meraih jemariku."Ini kenyataan, aku tidak mengandung!" jelasku tegas."Teman kamu sudah memberi tahuku," ungkap Mas Arya berusaha memeluk lagi.Tiba-tiba dari balik pintu, Irene muncul dan menatapku dengan Iba sekaligus memberi isyarat minta maaf."Irene apa maksudmu?""Mbak, katakan aja yang sebenarnya, mbakngak bisa begini, tersiksa sendiri," ujar Irene pelan."Ya, ampun, aku baik baik aja, aku gak hamil! Jangan beritahu apa apa lagi, dia bukan suamiku lagi, aku tidak punya hubungan apa apa dengannya," jawabku."Mas Arya .. Mbak Bella dan ibunya Mas datang kemari dan mengintimidasi Mbak Risk
"Sungguhkah kau pernah melihat saya?" Pertanyaan itu hanya pertanyaan pura-pura saja, karena aku tidak tahu harus menjawab apa. "Iya, Mbaknya lupa, kenalkan saya Bima, Mbaknya namanya, siapa?" "Saya Ariska." "Kalau mau, saya berniat mengantarkan Mbak Ariska pulang, karena hari mulai mendung dan khawatir jam operasional bis kota sudah berakhir," ucapnya. Kupikir benar saja omongannya, waktu memang sudah menunjukkan pukul 5 sore dan itu artinya aku tidak perlu mengharapkan bis lagi. "Saya akan menumpang taksi online saja," ucapku pelan. "Hmm, kenapa harus membayar kalo ada yang gratis, saya bukan orang jahat kok, kalo misalnya Mbak Ariska ragu, mbak bisa duduk di belakang," jawabnya. Aku sesaat ragu, namun kembali pria itu meyakinkanku. "Ayo, hari sudah mulai hujan," ajaknya sembari menunjuk rintik-rintik hujan yang mulai berjatuhan. "Baiklah jika kau memaksa, tapi izinkan saya membayarnya," jawabku pelan. "Ya, terserah Mbak saja," jawab Pria itu yang kemudian mmbangkit, menyer
Setelah jam kerja berakhir, aku menaiki taksi menuju komplek rumah Mas Arya yang merupakan rumahku dulu.Kuhentukan taksi dan menyuruhnya menunggu, lalu menelpon Mas Arya dan memintanya menurunkan perhiasanku."Kamu ambil sendiri aja, aku lagi sakit, pusing," ucapnya."Aku udah bilang, aku enggan ketemu Bella," jawabku."Bella gak ada, aku sendirian di rumah.""Apa mungkin setelah pernikahan kalian wanita itu tidak tinggal di rumah?""Dia memang tinggal di rumah dan sedang keluar bersama Mama," jawab Mas Arya dengan datar."Oh ya ...." Nada bicaraku tercekat karena tadinya ingin menanyakan dimana wanita itu tidur, apakah dia tidur juga di ranjang yang sama dengan panjang yang pernah kami pakai atau di tempat lain? Tapi, satu saja aku sudah tahu jawabannya."Aku akan masuk ke dalam dan segera pergi," jawabku, mematikan ponsel lalu masuk ke dalam.Ketika pintu terbuka Mas Arya yang baru turun dari lantai 2 langsung berpapasan denganku. Tatapan mata kami beradu dan aku langsung membuang
Mobil ambulans mendengungkan sirine yang tak kalah kalapnya dengan perasaanku sekarang, sakit diperut, luka di hati, tubuh yang lemah, semua adalah paduan sempurna yang akan membunuhku, lalu aku sadar bahwa semuanya sudah terlambat untuk diperbaiki. Akhirnya diri ini jatuh dalam kesendirian, dan habis sudah.Kubuka mata perlahan, mencoba memindai dan menyesuaikan pandangan mata terhadap cahaya ruang rawat yang terang.Pakaianku susah diganti dengan baju rumah sakit, di tangan tertancap selang infus. Aku berusaha ingin bangkit namun kepalaku pusing, mendadak berputar dan tidak ada yang bisa kulakukan selain pasrah diranjang.*Matahari beranjak naik, meninggi menimbulkan kesilauan yang memantul dari balik jendela kaca, aku terbangun.Ketika kubuka mata, seorang perawat sedang memeriksa selang infus dan menggantinya dengan botol baru."Suster apa saya boleh pulang hari ini?""Oh, maaf Bu, belum boleh karena kondisi ibu dan calon bayi Ibu sedang lemah.""Apa yang terjadi pada saya?""Ane
Setelah seminggu berlalu Aku sama sekali tidak tahu apa yang telah terjadi kepada Bella dan kandungannya, tidak ada kabar saama sekali, hanya Irene yang sesekali menelpon dan memberi tahu bahwa akhir akhir ini tugas kantornya sangat menumpuk dan cukup menyita waktu, aku bisa maklum, sehingga kukatakan padanya agar dia tak perlu terlalu mengkhawatirkanku.Ketukan di pintu ketika aku hendak berangkat kerja, mengangetkan sekali. Perlahan kubuka dan ibu mertua berdiri di sana.Aku enggan pengen sekali untuk berurusan dengan wanita ini karena dia pasti akan selalu menyudutkanku, namun tak sopan rasanya jika aku harus mengusirnya."Tidak perlu khawatir, aku datang untuk terakhir kalinya menjumpaimu," desisnya dengan tatapan mata kejam."A-ada apa, Bu?" Aku takut dan galau khawatir dia telah mengetahui kehamilanku dan berencana untuk merebut bayiku."Ini ambillah," ungkapnya sambil melempar kertas ke wajahku.Kupungut kertas-kertas yang jatuh dan entah kenapa dadaku semakin bergemuruh karen