Share

Masa lalu vs Masa depan

Setelah seluruh pekerjaan selesai, Dinda diminta Ardzan untuk mengirim laporan hasil presentasi minggu lalu ke anak perusahaan Toro Group, karena akan ada meeting ulang besok pagi. Dinda pergi sendiriian, karena Ardzan masih ada jadwal meeting berdua dengan Vionita katanya, Dinda hanya bisa mengangguk mengikuti perintah Ardzan, mau bagaimanapun Ardzan adalah bosnya, Dinda harus mengikuti perintah Ardzan.

Dinda berjalan menyusuri kantor anak perusahaan Toro Group, perusahaan ini tidak sebesar Toro Group, tetapi lebih dari kata mewah untuk ukuran anak perusahaan. Karyawan disini semuanya telah mengenal Dinda yang berstatus sebagai kekasih Ardzan, mereka kagum terhadap Dinda, karena bisa menaklukan Ardzan, anak pemilik Toro Group. Mereka mengira kehidupan Dinda sangatlah Bahagia, menyenangkan, karena adannya Ardzan, Ah! Mereka mungkin akan menarik kata-kata itu jika mengetahui sifat asli Ardzan yang menakutkan.

“DINDAA!” Panggil seorang Laki-laki dibelakang Dinda.

Dinda menengok, ternyata itu Dalvin.

“Dalvin? Kok kamu ada disini?” Tanya Dinda bingung.

Dalvin tertawa, “Aku bekerja disini.”

“Hah? Gimana-gimana?” Dinda kaget mendengar penuturan Dalvin, ia tidak percaya Dalvin bekerja di perusahaan ini.

“Aku bekerja disini, PT. Toro Tiga, anak perusahaan ke Tiga Toro Group,” jelas Dalvin.

“Tapi, bukannya kemaren kamu bilang kerja di hotel?” tanya Dinda lagi memastikan.

“Aku resign, terpaksa.”

“Kenapa?”

“Sebenarnya, aku menggantikan Ayah aku. Dulu ayah yang bekerja disini, tetapi semenjak kemaren ayah sakit dan sampai saat ini masih dirawat, ayah memintaku untuk menggantikannya sebagai director utama di Toro Tig aini, yaudah mau bagaimana lagi, aku gak bisa nolak perintah ayah,” Dalvin menjelaskan dengan terperinci.

Dinda mengangguk, ia mulai paham apa yang dimaksud oleh Dalvin, “Maaf, aku gak bermaksud buat nanya-nanya,” kata Dinda.

Dalvin tertawa sekilas, “Lah, kenapa minta maaf?”

“Aku gak enak aja, Dalvin ish!”

Dalvin terkekeh pelan, “Kenapa sih kamu selalu lucu dari dulu? Gak pernah juga berkurang sifat kepo nya,” ledek Dalvin.

“Aku bukannya kepo Dalvin, aku hanya peduli, kamu kan sahabat aku,” tentu saja Dinda membela dirinya.

“Iya-iya aku tahu, jadi apa yang harus saya kerjakan ibu bos?” ledek Dalvin Kembali.

Dinda mencubit pinggang Dalvin, “Apaan sih! Jangan kayak gitu, aku bukan ibu bos! Aku sama kamu aja jabatannya tinggan kamu, Pak Dalvin yang terhormat!”

“Kan calon istri pewaris tunggal Toro Group,” Dalvin tertawa.

Sedangkan Dinda Diam, kenapa Dalvin sangat menyebalkan. Dinda paling tidak suka kalau diledek seperti itu, dia malu jika nantinya akan direndahkan oleh Dalvin, karena terlalu ketergantungan pada Ardzan.

Dalvin mengerutkan alisnya, ia bingun kenapa Dinda menjadi mendadak tidak bersuara, apa perkataannya ada yang salah?

“Kamu kenapa?” tanya Dalvin.

“Gapapa,” Dinda mencoba menetralkan suasana, “Oh iya, ini berkas dari Ardzan, katanya pelajari buat besok pagi meeting.”

Saat Dinda berbalik dan ingin melangkahkan kakinya, pergelangan tangan Dinda ditahan oleh Dalvin.

“Aku nanya kamu kenapa?” tanya Dalvin lagi penasaran.

“Aku bilang gapapa belum cukup?” tanya Dinda balik.

Dalvin tersenyum, “Aku anterin kamu pulang ya?”

Dalvin memang manusia teraneh! Dinda menjawab dengan tidak jelas, tetapi Dalvin malah tersenyum.

“Aku bisa naik taxi, atau angkutan umum, Vin.” Tolak Dinda.

Dalvin menarik pergelangan tangan Dinda, berjalan menuju tempat dimana mobil tua Dalvin terparkir. Sedangkan Dinda hanya bisa melongo melihat tingkah Dalvin yang seperti ini.

Dalvin membukakan pintu mobilnya, seakan menyuruh Dinda untuk segera masuk kedalam mobilnya, Dinda mengikutinya ia masuk kedalam mobil tua milik Dalvin ini.

Dalvin menjalankan mobil dengan kecepatan standar.

“Vin, jangan ke kantor ya?” pinta Dinda.

“Kenapa? Bukannya ini masih jadwal ngantor ya?” tanya Dalvin, ia heran.

“Iya sih, tapi aku udah beres kerjaannya. Anterin aku pulang aja ya?”

Tanpa adanya rasa curiga sedikitpun Dalvin mengangguk, “Oke”

“Makasih, Vin.” Dinda tersenyum.

“Sama-sama,” balas Dalvin, ikut terseyum walau hanya sekilas.

Padahal alasan terbesarnya Dinda hanya tidak ingin adanya kesalahpahaman lagi, yang akan menyebakan Ardzan Kembali marah kepadanya. Lagi pula Dinda tidak enak hati jika karyawan lain melihatnya datang berdua Bersama Dalvin.

Setelah mereka sampai dirumah Dinda, Dalvin langsung pamit ke kantornya, karena masih ada hal yang harus ia kerjakan, soal laporan proposal yang harus ia pelajari hari ini.

“Serius gak akan mampir?” tanya Dinda memastikan sebelum turun dari mobil tua milik Dalvin ini.

Dalvin menggeleng, “Pengennya mampir, tapi deadline mengejar,” kata Dalvin dengan lesu.

Sedangkan Dinda tersenyum lega, karena ia hanya basa-basi menawarkan Dalvin untuk mampir.

“Yaudah hati-hati ya, kabarin kalau udah sampai kantor,” ujar Dinda.

Dalvin tersenyum dengan lebar, ia mengangguk, “Pastinya.” Dalvin menatap Dinda dengan intens, “kamu juga baik-baik ya dirumah,” lanjut Dalvin.

“Iya Dalvin, btw makasih ya tumpangannya, Makasih juga udah mau jadi orang palinng baik dari jaman sekolah,” kata Dinda sambil tersenyum.

Dalvin terkekeh, ia mengacak-ngacak rambut Panjang Dinda sekilas, “Kamu mah suka berlebihan, kalau aku orang baik terus kamu apa? Kamu jauh lebih baik dari aku Din, Ardzan beruntung punya kamu.”

“Jadi kapan mau pulang?” tanya Dinda sambil tertawa.

“Oh jadi ngusir ya?” tanya Balik Dalvin, ia tersenyum dengan sinis.

“Bukannya gitu, tap ikan—”

Dalvin tertawa dengan keras, karena dari jaman sekolah Dinda selalu panik kalau Dalvin tiba-tiba marah terhadapnya, wajah Dinda terlihat seperti kepiting rebus sekarang, Dalvin memang menyebalkan!

Dinda turun dari mobil Dalvin, ia tersenyum melihat Dalvin di kaca mobil, “hati-hati.”

Dalvin mengangguk sambil tersenyum, lalu menjalankan mobilnya dengan kecepatan standar. Sementara pandangan Dinda tidak pernah lepas dari mobil tua milik Dalvin, yang semakin lama semakin menghilang dari pengelihatannya, kemudian Dinda beranjak masuk ke dalam rumahnya, dengan wajah yang kelihatan sekali sangat Bahagia.

Bukannya Dinda membanding-bandingkannya terus dengan Ardzan, tetapi entah kenapa Dalvin jauh sekali dengan Ardzan, Dalvin selalu memperlakukannya dengan sangat baik, seakan-akan Dinda adalah miliknya. Ah! Dinda seharusnya tidak boleh berfikiran seperti ini, perasaanya terhadap Dalvin telah hilang, bahkan mungkin tidak tersisa sama sekali, yang ada saat ini perasaannya kepada Ardza, Dinda sangat mencintai Ardzan.

Suara ketukan pintu terdengar sangat keras, padahal baru saja Dinda masuk ke dalam rumahnya, dengan cepat Dinda Kembali membuka pintu.

“SURUH SIAPA LANGSUNG PULANG?!” bentak Ardzan yang tiba-tiba ada didepan rumah Dinda.

Hati Dinda bergemuruh, tubuh ia bergetaran, sungguh Dinda saat ini ketakuatan, ia takut kalau Ardzan melihatnya diantarkan oleh Dalvin lagi, Dinda takut Ardzan marah lagi terhadapanya.

“SIAPA YANG NYURUH LO PULANG?!” Tanya Ardzan dengan nada yang sangat tinggi.

Dinda menggeleng, “Gaada Zan,” jawab Dinda dengan pelan.

“TERUS KENAPA PULANG?!” Tanya Ardzan lagi, nafas Ardzan bergemuruh tangannya sudah gatal ingin menampar Dinda.

“A—kku—” kata Dinda terbata-bata.

“GUE GAMAU TAU, SEKARANG LO BALIK LAGI KE KANTOR, KERJAIN TUGASNYA VIO!” Suruh Ardzan.

“Tapikan itu bukan tugas aku,” tentu saja Dinda menolaknya.

Mata Ardzan membulat, ia menatap Dinda dengan sangat tajam, “LO NGEBANTAH GUE?!”

“Tap-“

“GAADA TAPI-TAPIAN, GUE BOS LO, JUGA GUE PACAR LO! JADI, SELAMA LO MASIH BERSTATUS MENJADI PACAR GUE, LO HARUS NGIKTUTIN APA YANG GUE MAU!” Kata Ardzan menjelaskan dengan penuh penekanan.

Dinda terpaksa mengangguk, “Yaudah.”

Ardzan tersenyum dengan licik, “Oke gue tunggu di kantor, lo ke kantor duluan gue ada meeting lagi sama Vio.”

Dinda melempar pandangan kearah Vionita yang berada di dalam mobil mewah milik Ardzan, ternyata sedari tadi Vionita ada di dalam mobil Ardzan. Dinda tidak ada berfikiran negative tentang Ardzan maupun Vioinita, Dinda selalu berfikir positive kalau hubungan antara Ardzan dan Vionita hanya sebatas rekan kerja yang kebetulan setiap hari bertemu.

Air mata Dinda menetes setelah Ardzan dan mobilnya menghilang dari pandangannya, Dinda menseka air matanya dengan cepat, Dinda tidak boleh lemah! Dinda menutup pintu rumahnya, lalu berjalan menuju halte bus untuk Kembali ke kantornya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status