Share

Metromini

Setelah seminggu Dinda tidak masuk kerja, hari ini Dinda memutuskan untuk bekerja. Karena Dinda tidak ingin mengecewakan atasannya yang sekaligus kekasihnya itu, padahal kalau boleh jujur tubuh Dinda masih merasakan sakit, tetapi Dinda mencoba melupakan rasa sakitnya itu dan mencoba untuk terlihat baik-baik saja di depan banyak orang.

Dinda memasuki kantornya ditemani oleh Alisya, karena Dinda ditawarin ngantor bareng oleh Alisya, awalnya Dinda kira Alisya masih marah karena persoalan kemaren, ternyata Alisya tidak marah hanya saja Alisya kecewa, karena Dinda tidak jujur kepadanya.

“Din, istirahat bareng gue ya?” tanya Alisya.

Dinda mengangguk, “Oke, nanti gue ke ruangan lo, Lis.”

Alisya pergi ke ruangannya, sedangkan Dinda masuk ke dalam ruangannya.

“Ardzan?” Dinda sedikit terkejut melihat Ardzan yang duduk di kursi kerjanya dengan tangan yang Ardzan lipat di dada.

Ardzan menghampiri Dinda, “Lo bilang sama Alisya apa aja yang udah gue lakuin sama lo?” Ardzan bertanya pelan, namun terdengar jelas di kedua telinga milik Dinda.

“Engga,” Tepis Dinda, karena mamang itu yang terjadi, Dinda sangat tertutup sama siapapun, termasuk dengan Alisya, padahal mereka sudah sahabat dari kecil.

Ardzan membulatkan matanya, menatap mata Dinda dengan sangat tajam seperti akan keluar, “JUJUR!”

“Aku udah jujur Zan, aku gak certia apa-apa sama Alisya,” ujar Dinda.

Plak!

Ardzan menampar Dinda.

“Mulai berani bohong lo sama gue?!” tanya Ardzan dengan nada yang sangat tinggi.

“Sumpah Zan, aku gak—” ucapan Dinda terpotong oleh tamparan Ardzan.

Plak!

“Zan---”

Plak!

Ardzan menampar Dinda lagi, kali ini Ardzan menampar Dinda dengan sekuat tenaga, sedaggka Dinda hanya bisa menangis tersedu-sedu.

“Sekarang jujur sama gue, lo bilang apa aja sama Alisya tentang gue?” tanya Ardzan dengan nafas tersedu-sedu.

Dinda menggelengkan kepalanya, “Sumpah gak bilang apa-apa.”

Plak!

”Bisa gak sih jujur?!” bentak Ardzan.

“Aku jujur Ardzan, demi Tuhan aku ngomongin tentang kamu sama Alisya,” jelas  Dinda.

“KALAU GUE PERCAYA SAMA LO? MUSYRIK NAMANYA!” Bentak Ardzan lagi.

“Aku gak pernah minta buat kamu percaya sama aku, engga sama sekali. Tapi apa yang aku katakan, itu emang benar adanya.”

Plak!

Ardzan Kembali menampar Dinda.

“Di ajarin siapa lo ngelawan gue?!” tanya Ardzan.

“Aku gak diajarin sama siapa-siapa, aku cuma mau kamu tahu, kalau aku---” Lagi-lagi perkataan Dinda terpotong,

Ardzan meraih rambut hitam lurus milik Dinda, kemudian menarik rambut Dinda dengan sangat kencang, lalu menjambak rambuk Dinda dengan sangat kasar.

“sakit zan!...” rintih Dinda kesakitan.

“Tapi gue gak peduli! Mau lo sakit, atau mati aja sekalian. Biar gak usah jadi beban buat gue,” kata Ardzan.

Perkataan Ardzan membuat Dinda terdiam.

Kenapa perkatan Ardzan selalu menganggu pikirannya, kenapa Ardzan berbicara seperti itu? Ataukah memang benar, kalau Dinda hanyalah beban bagi Ardzan. Lantas kenapa Ardzan tidak pernah memutuskan hubungannya dengan Dinda?

Plak!

Ardzan menampar Dinda lagi, entah ini yang keberapa kalinya. Bahkan rasa sakit itu sudah tidak terasa lagi, mungkin sudah menyatu dengan kata terbiasa.

Ardzan menatap Dinda dengan tatapan sinisnya, seperti akan memakan Dinda hidup-hidup, “Kalau lo berani ngomongin tentang gue yang engga-engga, lo tahu sendiri akibatnya!” ancam Ardzan.

Setelah berbicara seperti itu Ardzan keluar dari ruangan Dinda, dengan cepat Dinda menutup pintunya agar tidak ada yang masuk keruagannya, ia takut mereka berpikiran yang engga-engga terhadap Ardzan.

****

Ardzan tidak bisa mengantarkan pulang Dinda, karena kata Ardzan dia ada meeting Bersama Vionita tentang pembangunan yang akan dilaksanakan dibagian utara Jakarta, projek lanjutan yang sempat ditunda karena papanya Ardzan sakit. Seharusnya projek ini Dinda yang menangani, karena Dinda dulunya adalah sekretaris papa nya, tetapi karena Dinda dipindah tugaskan menjadi staff administrasi, tugas Dinda dilanjutkan oleh Vionita, yang saat ini berstatus sebagai sekretaris Ardzan Dirgatoro, CEO Toro group.

Dinda duduk dibarisan paling belakang kursi metro mini, tidak terlalu sumpek karena hanya beberapa orang saja yang berada didalam meto mini ini. Mungkin karena banyaknya kendaraan pribadi menjadi imbas pada angkutan umum ini, tetapi sungguh Dinda lebih suka keadaan seperti ini, tidak terlalu ramai.

“Hey,”

Seseorag menyapa Dinda, tanpa disuruh orang itu duduk disebelah Dinda.

Dinda menengok ke arah sumber suara, “Dalvin?” tanya Dinda bingung, kenapa Dalvin bisa tiba-tiba berada disamping Dirinya.

Dalvin tersenyum dengan lebar, terlihat sekali giginya yang putih dan rafi, Dalvin menjadi semakin manis jika tersenyum seperti ini.

“Gak diantarkan Ardzan?” tanya Dalvin.

“Ardzan lagi ada meeting,” balas Dinda.

Dalvin mengangguk, seolah mengerti apa kata Dinda.

“Gak naik taxi o****e?” tanya Dalvn lagi.

Dinda menggeleng, “Enakan naik ini adem.”

Dalvin terkekeh, “Adem dari mana? Panas iya.”

“kata siapa? Mangkanya duduknya dekat jendela,” kata Dinda, sambil menunjuk jendela.

Astaga, Dalvin tidak kepikiran akan itu. Sedangan Dinda hanya tertawa melihat ekspresi Dalvin yang menatap dengan tatapan kosong, lucu sekali Dalvin.

“Kamu emang beda, pantas aja Ardzan dulu segitunya ngejar-ngejar kamu,” kata Dalvin, ia tersenyum sekilas.

“Bukan aku yang beda, hanya saja cara pandang orang lain sama aku. Oh iya, bukannya kemaren kamu bilang mau pergi ke bali? Jangan bilang gara-gara aku lagi kamu mengcencelnya gitu aja?”

Dalvin tertawa, “Enggalah, aku memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta, sampai urusan dan acara pertunangan aku selesai.”

“kirain karena aku lagi, tapi udah beres persiapannya?”

“Udah dong, Cuma ya tinggal printilan-printilannya, btw kamu dateng kan?” tanya Ardzan balik.

Dinda Diam.

Dinda bingung harus menjawab apa, Dinda takut mengecewakan Dalvin. Tetapi memang itu kenyataannya, ia tidak bisa hadir diacara pertunangan Dalvin dan Alisya, karena harus menemani Ardzan liburan di Bali. Apakah Dalvin bisa menerimanya seperti Alisya?

Dalvin menyipitkan matanya, Dalvin bingung akan Dinda yang menjadi terdiam begitu saja, apakah ada yang salah dengan pertanyaanya?

Dalvin memegang Pundak Dinda dengan pelan, “Din, kamu gapapa?”’

Dinda terkekeh, “Eh engga Vin.”

Dinda terbangun dari lamunannya, ia harus jujur terhadap Dalvin, karena mau bagaimanapun juga Dalvin adalah sahabatnya Dinda.

“Kamu ada masalah?” tanya Dalvin.

Dinda menggeleng, “Engga, tapi ada beberapa yang menganggu pikiran gue.”

“Mau cerita sama aku?” tawar Dalvin.

“Aku takut malah nanti kamu marah sama aku.”

Dalvin tertawa pelan, “Marah kenapa? Lagian kapan sih aku pernah marah sama kamu?”

Dinda menggaruk kepalanya yang tak gatal, “Siapa tau gitu, kan gak ada yang tahu.”

“Yaudah aku janji apapun masalahnya aku gak akan pernah marah sama kamu,” ujar Dalvin.

Dinda menyodorkan jari kelingkingnya, “Janji?”

“Janji.” Dalvin menerima sodoran jari kelingkin Dinda, mereka saling mengaitkan satu sama lain kelingkingnya, dan berjanji dengan sepenuh hati.

Dinda mulai menceritakan apa yang ada difikirannya, bukan tentang kelakuan atau sikap dan sifat Ardzan kepadanya, melainkan tentang alasan kenapa Dinda nanti tidak bisa menghadiri acara pertunangan Dalvin dan juga Alisya. Sedangkan Dalvin yang mendengarnya hanya menggukan kepalanya, Dalvin tidak memaksa Dinda jika lagi ada acara, Dalvin juga tidak mempermasalahkan tentang hal itu, Dalvin mengerti akan posisi Dinda yang serba salah.

“Kamu gak marah sama aku?” tanya Dinda.

Dalvin tertawa, “ Kenapa aku harus marah? Aku mah gapapa, aku ngerti sama posisi kamu.”

“Makasih ya, Vin.” Sebenarnya Dinda tidak enak hati, tetapi mau bagaimana lagi.

“Lain kali bilang ya, kalau ada apa-apa atau masalah apa pun,” ucap Dalvin.

Dinda mengangguk, “Iya, Vin.”

Dalvin memang orang baik, sedari jaman SMP Dalvin selalu ada untuknya, tak pernah bosen mendengarkan ceritanya, bahkan tak pernah absen untuk melindunginya.

Dalvin mengantarkan Dinda pulang, tepat di depan rumahnya seperti waktu itu, ada rasa khawatir dilubuk hatinya, Dinda takut kalau Ardzan mengetahuinya lagi, atau memergokinya pulang bareng dengan Dalvin lagi.

“Kenapa?” Tanya Dalvin, ia heran melihat Dinda seperti orang ketakutan.

“Gapapa, kamu mau mampir dulu?” tanya Dinda balik, semoga saja Dalvin menolaknya, Dinda hanya berbasa-basi menawarkannya.

“Memangnya boleh?” tanya Dalvin lagi.

Sial! Kenapa Dalvin menanyakan hal itu, Dinda berdoa dalam hatinya semoga Dalvin tidak berfikiran untuk mampir terlebih dahulu.

“Bolehlah,” jawab Dinda.

Dalvin tersenyum sekilas sambil menganggukan kepalanya, “Tapi sayangnya aku ada janji sama Vio, tapi nanti aku pasti mampir ke rumah.”

Akhirnya Dinda bisa bernafas lega, “Yaudah gih pergi, hati-hati ya.”

Dalvin menaikan satu alisnya, ia merasa aneh terhadap Dinda, waktu tadi menyuruhnya untuk mampir, tetapi sekarang Dinda malah menyuruhnya untuk buru-buru pergi dari rumahnya.

“Yaudah aku pamit ya, Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam…”

Bersambung…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status