Share

Metromini

Author: holipehh
last update Last Updated: 2021-05-04 08:07:20

Setelah seminggu Dinda tidak masuk kerja, hari ini Dinda memutuskan untuk bekerja. Karena Dinda tidak ingin mengecewakan atasannya yang sekaligus kekasihnya itu, padahal kalau boleh jujur tubuh Dinda masih merasakan sakit, tetapi Dinda mencoba melupakan rasa sakitnya itu dan mencoba untuk terlihat baik-baik saja di depan banyak orang.

Dinda memasuki kantornya ditemani oleh Alisya, karena Dinda ditawarin ngantor bareng oleh Alisya, awalnya Dinda kira Alisya masih marah karena persoalan kemaren, ternyata Alisya tidak marah hanya saja Alisya kecewa, karena Dinda tidak jujur kepadanya.

“Din, istirahat bareng gue ya?” tanya Alisya.

Dinda mengangguk, “Oke, nanti gue ke ruangan lo, Lis.”

Alisya pergi ke ruangannya, sedangkan Dinda masuk ke dalam ruangannya.

“Ardzan?” Dinda sedikit terkejut melihat Ardzan yang duduk di kursi kerjanya dengan tangan yang Ardzan lipat di dada.

Ardzan menghampiri Dinda, “Lo bilang sama Alisya apa aja yang udah gue lakuin sama lo?” Ardzan bertanya pelan, namun terdengar jelas di kedua telinga milik Dinda.

“Engga,” Tepis Dinda, karena mamang itu yang terjadi, Dinda sangat tertutup sama siapapun, termasuk dengan Alisya, padahal mereka sudah sahabat dari kecil.

Ardzan membulatkan matanya, menatap mata Dinda dengan sangat tajam seperti akan keluar, “JUJUR!”

“Aku udah jujur Zan, aku gak certia apa-apa sama Alisya,” ujar Dinda.

Plak!

Ardzan menampar Dinda.

“Mulai berani bohong lo sama gue?!” tanya Ardzan dengan nada yang sangat tinggi.

“Sumpah Zan, aku gak—” ucapan Dinda terpotong oleh tamparan Ardzan.

Plak!

“Zan---”

Plak!

Ardzan menampar Dinda lagi, kali ini Ardzan menampar Dinda dengan sekuat tenaga, sedaggka Dinda hanya bisa menangis tersedu-sedu.

“Sekarang jujur sama gue, lo bilang apa aja sama Alisya tentang gue?” tanya Ardzan dengan nafas tersedu-sedu.

Dinda menggelengkan kepalanya, “Sumpah gak bilang apa-apa.”

Plak!

”Bisa gak sih jujur?!” bentak Ardzan.

“Aku jujur Ardzan, demi Tuhan aku ngomongin tentang kamu sama Alisya,” jelas  Dinda.

“KALAU GUE PERCAYA SAMA LO? MUSYRIK NAMANYA!” Bentak Ardzan lagi.

“Aku gak pernah minta buat kamu percaya sama aku, engga sama sekali. Tapi apa yang aku katakan, itu emang benar adanya.”

Plak!

Ardzan Kembali menampar Dinda.

“Di ajarin siapa lo ngelawan gue?!” tanya Ardzan.

“Aku gak diajarin sama siapa-siapa, aku cuma mau kamu tahu, kalau aku---” Lagi-lagi perkataan Dinda terpotong,

Ardzan meraih rambut hitam lurus milik Dinda, kemudian menarik rambut Dinda dengan sangat kencang, lalu menjambak rambuk Dinda dengan sangat kasar.

“sakit zan!...” rintih Dinda kesakitan.

“Tapi gue gak peduli! Mau lo sakit, atau mati aja sekalian. Biar gak usah jadi beban buat gue,” kata Ardzan.

Perkataan Ardzan membuat Dinda terdiam.

Kenapa perkatan Ardzan selalu menganggu pikirannya, kenapa Ardzan berbicara seperti itu? Ataukah memang benar, kalau Dinda hanyalah beban bagi Ardzan. Lantas kenapa Ardzan tidak pernah memutuskan hubungannya dengan Dinda?

Plak!

Ardzan menampar Dinda lagi, entah ini yang keberapa kalinya. Bahkan rasa sakit itu sudah tidak terasa lagi, mungkin sudah menyatu dengan kata terbiasa.

Ardzan menatap Dinda dengan tatapan sinisnya, seperti akan memakan Dinda hidup-hidup, “Kalau lo berani ngomongin tentang gue yang engga-engga, lo tahu sendiri akibatnya!” ancam Ardzan.

Setelah berbicara seperti itu Ardzan keluar dari ruangan Dinda, dengan cepat Dinda menutup pintunya agar tidak ada yang masuk keruagannya, ia takut mereka berpikiran yang engga-engga terhadap Ardzan.

****

Ardzan tidak bisa mengantarkan pulang Dinda, karena kata Ardzan dia ada meeting Bersama Vionita tentang pembangunan yang akan dilaksanakan dibagian utara Jakarta, projek lanjutan yang sempat ditunda karena papanya Ardzan sakit. Seharusnya projek ini Dinda yang menangani, karena Dinda dulunya adalah sekretaris papa nya, tetapi karena Dinda dipindah tugaskan menjadi staff administrasi, tugas Dinda dilanjutkan oleh Vionita, yang saat ini berstatus sebagai sekretaris Ardzan Dirgatoro, CEO Toro group.

Dinda duduk dibarisan paling belakang kursi metro mini, tidak terlalu sumpek karena hanya beberapa orang saja yang berada didalam meto mini ini. Mungkin karena banyaknya kendaraan pribadi menjadi imbas pada angkutan umum ini, tetapi sungguh Dinda lebih suka keadaan seperti ini, tidak terlalu ramai.

“Hey,”

Seseorag menyapa Dinda, tanpa disuruh orang itu duduk disebelah Dinda.

Dinda menengok ke arah sumber suara, “Dalvin?” tanya Dinda bingung, kenapa Dalvin bisa tiba-tiba berada disamping Dirinya.

Dalvin tersenyum dengan lebar, terlihat sekali giginya yang putih dan rafi, Dalvin menjadi semakin manis jika tersenyum seperti ini.

“Gak diantarkan Ardzan?” tanya Dalvin.

“Ardzan lagi ada meeting,” balas Dinda.

Dalvin mengangguk, seolah mengerti apa kata Dinda.

“Gak naik taxi o****e?” tanya Dalvn lagi.

Dinda menggeleng, “Enakan naik ini adem.”

Dalvin terkekeh, “Adem dari mana? Panas iya.”

“kata siapa? Mangkanya duduknya dekat jendela,” kata Dinda, sambil menunjuk jendela.

Astaga, Dalvin tidak kepikiran akan itu. Sedangan Dinda hanya tertawa melihat ekspresi Dalvin yang menatap dengan tatapan kosong, lucu sekali Dalvin.

“Kamu emang beda, pantas aja Ardzan dulu segitunya ngejar-ngejar kamu,” kata Dalvin, ia tersenyum sekilas.

“Bukan aku yang beda, hanya saja cara pandang orang lain sama aku. Oh iya, bukannya kemaren kamu bilang mau pergi ke bali? Jangan bilang gara-gara aku lagi kamu mengcencelnya gitu aja?”

Dalvin tertawa, “Enggalah, aku memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta, sampai urusan dan acara pertunangan aku selesai.”

“kirain karena aku lagi, tapi udah beres persiapannya?”

“Udah dong, Cuma ya tinggal printilan-printilannya, btw kamu dateng kan?” tanya Ardzan balik.

Dinda Diam.

Dinda bingung harus menjawab apa, Dinda takut mengecewakan Dalvin. Tetapi memang itu kenyataannya, ia tidak bisa hadir diacara pertunangan Dalvin dan Alisya, karena harus menemani Ardzan liburan di Bali. Apakah Dalvin bisa menerimanya seperti Alisya?

Dalvin menyipitkan matanya, Dalvin bingung akan Dinda yang menjadi terdiam begitu saja, apakah ada yang salah dengan pertanyaanya?

Dalvin memegang Pundak Dinda dengan pelan, “Din, kamu gapapa?”’

Dinda terkekeh, “Eh engga Vin.”

Dinda terbangun dari lamunannya, ia harus jujur terhadap Dalvin, karena mau bagaimanapun juga Dalvin adalah sahabatnya Dinda.

“Kamu ada masalah?” tanya Dalvin.

Dinda menggeleng, “Engga, tapi ada beberapa yang menganggu pikiran gue.”

“Mau cerita sama aku?” tawar Dalvin.

“Aku takut malah nanti kamu marah sama aku.”

Dalvin tertawa pelan, “Marah kenapa? Lagian kapan sih aku pernah marah sama kamu?”

Dinda menggaruk kepalanya yang tak gatal, “Siapa tau gitu, kan gak ada yang tahu.”

“Yaudah aku janji apapun masalahnya aku gak akan pernah marah sama kamu,” ujar Dalvin.

Dinda menyodorkan jari kelingkingnya, “Janji?”

“Janji.” Dalvin menerima sodoran jari kelingkin Dinda, mereka saling mengaitkan satu sama lain kelingkingnya, dan berjanji dengan sepenuh hati.

Dinda mulai menceritakan apa yang ada difikirannya, bukan tentang kelakuan atau sikap dan sifat Ardzan kepadanya, melainkan tentang alasan kenapa Dinda nanti tidak bisa menghadiri acara pertunangan Dalvin dan juga Alisya. Sedangkan Dalvin yang mendengarnya hanya menggukan kepalanya, Dalvin tidak memaksa Dinda jika lagi ada acara, Dalvin juga tidak mempermasalahkan tentang hal itu, Dalvin mengerti akan posisi Dinda yang serba salah.

“Kamu gak marah sama aku?” tanya Dinda.

Dalvin tertawa, “ Kenapa aku harus marah? Aku mah gapapa, aku ngerti sama posisi kamu.”

“Makasih ya, Vin.” Sebenarnya Dinda tidak enak hati, tetapi mau bagaimana lagi.

“Lain kali bilang ya, kalau ada apa-apa atau masalah apa pun,” ucap Dalvin.

Dinda mengangguk, “Iya, Vin.”

Dalvin memang orang baik, sedari jaman SMP Dalvin selalu ada untuknya, tak pernah bosen mendengarkan ceritanya, bahkan tak pernah absen untuk melindunginya.

Dalvin mengantarkan Dinda pulang, tepat di depan rumahnya seperti waktu itu, ada rasa khawatir dilubuk hatinya, Dinda takut kalau Ardzan mengetahuinya lagi, atau memergokinya pulang bareng dengan Dalvin lagi.

“Kenapa?” Tanya Dalvin, ia heran melihat Dinda seperti orang ketakutan.

“Gapapa, kamu mau mampir dulu?” tanya Dinda balik, semoga saja Dalvin menolaknya, Dinda hanya berbasa-basi menawarkannya.

“Memangnya boleh?” tanya Dalvin lagi.

Sial! Kenapa Dalvin menanyakan hal itu, Dinda berdoa dalam hatinya semoga Dalvin tidak berfikiran untuk mampir terlebih dahulu.

“Bolehlah,” jawab Dinda.

Dalvin tersenyum sekilas sambil menganggukan kepalanya, “Tapi sayangnya aku ada janji sama Vio, tapi nanti aku pasti mampir ke rumah.”

Akhirnya Dinda bisa bernafas lega, “Yaudah gih pergi, hati-hati ya.”

Dalvin menaikan satu alisnya, ia merasa aneh terhadap Dinda, waktu tadi menyuruhnya untuk mampir, tetapi sekarang Dinda malah menyuruhnya untuk buru-buru pergi dari rumahnya.

“Yaudah aku pamit ya, Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam…”

Bersambung…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • (NOT) PERFECT BOYFRIEND   Angin dan Ombak di Laut

    Dinda dan Dalvin mengelilingi beberapa tempat yang menjual koleksi barang-barang untuk oleh-oleh dari bali, Dalvin paham Dinda pasti mengajaknya hanya ingin meminta saran barang apa saja yang cocok untuk Ardzan.“Vin, kayaknya Ardan suka kemeja pantai deh. Katanya kemaren dia gak bawa sama sekali, mau beli juga belum sempat. Ada sih satu di kasih pihak hotel, tap ikan sudah pernah dia pakai. Kamu tahu sendiri kan Ardzan orangnya bagaimana? Barang sekali pakai buang,” ujar Dinda sambil memegang kemeja pantai berwarna biru muda.“Kayaknya Ardzan lebih suka warna formal deh, hitam atau putih,” usul Dalvin.“Kamu tahu dari mana?” tanya Dinda bingung.“Ngapain kamu ajak aku kesini?” tanya balik Dalvin.“Buat minta saran.”“Nah, itu kamu tahu.” Dalvin terkekeh, “Aku emang gak terlalu dekat sama Ardzan bahkan gak deket, tapi pertama kali aku lihat dia, aku udah nebak kala

  • (NOT) PERFECT BOYFRIEND   First Peluk

    Dinda terlelap dalam tidurnya, tetapi tiba-tiba sebuah tangan melingkar di pinggangnya, Dinda membuka matanya. Ia tersenyum mendapati Ardzan yang tertidur pulas disampingnya. Mungkin, Ardzan seharian cape, jadi membuatnya belum bangun tidur pagi ini.Dinda menatap lekat kedua mata Ardzan, dengan pelan Dinda mengelus wajah Ardzan.“Zan, bahkan perasaan aku masih sama… aku tidak bisa membincimu, sekalipun perlakuan kamu terhadapku menyakiti aku…” ucap Dinda dengan pelan.Dinda melingkarkan tangannya kepada Ardzan, lalu Kembali menutup matanya. Membiarkan perasaanya tenggelam, terlelap dalam tidurnya.Namun, baru saja Dinda menjelajahi alam mimpinya, Ardzan membangunkannya dengan kasar. Ardzan melempar tubuh Dinda ke lantai, hingga membuat Dinda terbangun.“BANGUN JUGA LO YA?!” Bentak Ardzan.“Sakit zan,” Dinda bangun dan menyamakan tingginya dengan Ardzan.Ardzan menatap Dinda dengan tat

  • (NOT) PERFECT BOYFRIEND   Jadi, Nyamuk?

    Ardzan tak pernah melepas rangkulanya terhadap Dinda, bahkan sampai masuk ke dalam restoran. Sedangkan Dalvin yang menatap mereka berdua hanya menelan salivanya. Shit! Ini bukan rencana Dalvin, kenapa Ardzan harus ikut?“Itu Lovely sama Angkasa,” ujar Dinda Ketika melihat Lovely dan Angkasa.Lovely, Ardzan dan Dalvin langsung menghampiri mereka berdua.“Apa kabar bro?” tanya Angkasa kepada Ardzan.“Saya baik,” ucap Ardzan dengan wajah datarnya.“Cuma lo ya yang dari dulu nyaingi wajah datar gue,” ujar Angkasa sambil terkekeh.Pasalnya Angkasa dan Ardzan waktu jaman sekolah disebutnya batu es, bedanya Angkasa lebih liar, ia punya geng yang terkenal seantero penjuru sekolah. Sedangkan Ardzan, diem yang emang benar-benar diam, atau kata anak jaman sekarang itu kurang gaul.Ardzan tersenyum tipis, “Anda lebih menang dari saya Kas.”“Lo juga masih kaku dan baku,&rdquo

  • (NOT) PERFECT BOYFRIEND   Mabuk?

    Ardzan masuk ke dalam kamar hotelnya, ia tidak sendiri. Tetapi Bersama dengan Vionita, sekretarisnya di kantor. Dengan masih menggunakan piyamanya Dinda menghampiri Ardzan, Dinda terkejut melihat Ardzan merangkul Vionita dalam keadaan mabuk. Tidak, Vionita sama sekali tidak mabuk, tetapi Ardzanlah yang sepertinya dalam keadaan mabuk berat.“Ardzan kenapa, Vi?” tanya Dinda yang panik melihat kondisi Ardzan.“Dia terlalu banyak minum tadi di Bar,” ujar Vionita.Dinda mengambil tangan Ardzan, tetapi Ardzan malah menepisnya. Bahkan Ardzan mendorong tubuh Dinda hingga Dinda terpental ke lantai. Kekuatan Ardzan sepertinya tidak akan hilang walaupun ia dalam kondisi setengah sadar seperti ini, buktinya ya seperti ini.“Bia aku aja,” kata Vionita.Vionita membawa Ardzan ke kamarnya, sedangkan Dinda mengikutinya dibelakang. Dinda mulai membuka satu persatu pakaian Ardzan, mengganti pakaiannya Ardzan, Dinda mencoba untuk t

  • (NOT) PERFECT BOYFRIEND   Jadi, siapa yang bawel?

    Dinda membuka laptopnya, melihat beberapa koleksi foto kebersamaannya dengan Ardzan waktu awal-awal mereka menjalin hubungan, dulu Ardzan tak pernah sekalipun menyentuhnya, tetapi Dinda juga bingung sampai saat ini, kenapa Ardzan bisa semudah itu berubah? Tapi, baik Ardzan yng dulu ataupun Ardzan yang sekarang, Ardzan tetap kekasihnya. Suara bel terdengar dari arah luar pintu, Dinda langsung membukakan pintu, siapa tau Ardzan Kembali dan meminta maaf atas perlakuannya, ternyata yang datang bukan Ardzan, melainkan Dalvin. “Wajah kamu kenapa memar? kamu abis di tampar sama siapa?” tanya Dalvin bertubi-tibi, membuat Dinda bingung harus menjawab apa. Dinda berfikir sejenak, “Aku tadi jatoh, muka aku kena deh biru.” “Yakin jatoh?” tanya Dalvin, ia seperti kurang percaya akan jawaban Dinda. Dinda mengangguk, “Iya, Dalvin.” “Mangkanya hati-hati, ambilin Kompresan air anget, kalau gak dikompres lebam di wajah kamu gak akan ilang.” Dalvin langs

  • (NOT) PERFECT BOYFRIEND   Dasar Pacar Murahan!

    Dinda duduk di pinggir pantai yang berada tidak jauh dari hotelnya, Dinda menikmati dinginnya pantai, bersamaan dengan hembusan angin pagi yang membuat sekujur tubuhnya merasa kedinginan sedikit. Dalvin yang sedari tadi memperhatikan Dinda dari jauh, ia mendekati Dinda, melepas jaketnya dan menaruhnya di Pundak Dinda, lalu Dalvin duduk disebelah Dinda. “Katanya mau meeting?” tanya Dinda, dengan wajah yang melihat lurus ke depan. “Gak sepagi ini juga Dinda,” jawab Dalvin. Dinda terkekeh, “Siapa tahu gitu, kamu kan orangnya kerajinan.” “Tergantung, kalau kamu ikut aku pasti dateng paling awal.” “Loh, kok aku?” tanya Dinda bingung. Dalvin tertawa, “Kalau aku sama kamu kan kenal udah lama jadi gak boring aja gitu, kalau sama Ardzan kan lihat aja kaku banget dia.” “Ardzan gak kaku, mungkin belum akrab kali,” Dinda tersenyum. “Tapi, bukannya dari SMA dia gak banyak omong ya?” tanya Dalvin memastikan. Dinda men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status