Dengan Langkah terburu-buru Dinda memasuki kantornya, beberapa karyawan terlihat memperhatikan Dinda, menatapnya dengan tatapan keheranan, mungkin mereka kebingungan melihat Dinda yang seperti lagi dikejar seseorang, padahal kenyataannya Dinda yang mengejar seseorang. Iya, Dinda mengejar kedatangan Ardzan, karena ia takut jika Ardzan datang lebih dulu pastinya Dinda kena omel lagi.
Dinda membuka laptopnya, melihat beberapa file yang masuk ke emailnya, terlihat sekali begitu numpuk! Dengan terpaksa Dinda membuka satu persatu file tersebut, untung saja Dinda mengerti isi filenya karena Dinda pernah berada diposisi Vionita dulu. Lagian kenapa begitu mudahnya Vionita mengeoper alihkan pekerjaannya, memangnya segitu sibuknya apa meeting mereka berdua, tidak! Dinda hanya bisa bergumam dalam hatinya, dan terus mengerjakan tugas yang Ardzan berikan kepadanya.
Suara telpon Dinda berdering.
Dengan cepat Dinda mengambil ponselnya di saku celananya, tertera nama Da
“BANGUN!” teriak Ardzan tepat ditelinga Dinda.Dengan wajah yang masih terlihat terkejut Dinda menatap Ardzan dengan tatapan bingung, kenapa ia bisa tidur di kantor? Astaga! Dinda ingat, ia menunggu Ardzan semaleman tetapi Ardzan tidak kunjung datang. Dinda merapihkan rambutnya, lalu berdiri mensejajarkan dengan tubuh tingginya Ardzan.“KALAU MAU TIDUR GAK USAH NGANTOR!” Bentak Ardzan.“Aku ketiduran semalem, aku gak sempat pulang. Aku kira kamu bakalan dateng, Taunya kan engga.”Ardzan mencengkram rahang Dinda, “Lo nyalahin gue?” Ardzan tersenyum sinis sekilas, “LAGIAN GUE GAK PERNAH NYURUH LO BUAT NUNGGUIN GUE!”Dinda diam.Benar, kemaren Ardzan tidak meminta Dinda untuk menunggunya Ardzan hanya menyuruh Dinda untuk Kembali ke kantor.“MANGKANNYA DENGERIN KALAU PAKE TELINGA LO! APA JANGAN-JANGAN TELINGA LO DIGADEIN?!”Dinda menarik nafas panjangnya, &ldqu
Dalvin masih berada di kantor Ardzan, ia menenangkan terlebih dahulu, ini memang bukan sepenuhnya kemauan Ardzan, tetapi Dalvin percaya apa yang ia pilih ini yang terbaik untuk kedepannya. Lagi pula Dalvin harus professional, pertunangannya dengan Alisya sangatlah penting bagi dirinya, tetapi bagi Dalvin kepercaan itu jauh lebih penting. Dalvin hanya tidak ingin mengecewakan klien dan karyawan perusahaan ini.Dalvin memeluk Alisya, dengan lembut ia mengelus rambut Alisya, “Sabar ya, kalau kita emang jodoh, mau ada halangan apapun kita pasti tetap akan menyatu Bersama selamanya.”Alisya menatap lekat mata Dalvin yang selalu membuat hatinya teduh, degan erat Alisya Kembali memeluk Dalvin, Alisya menangis di Pundak Dalvin, “Aku takut kamu ninggalin aku…”“Lis, aku pergi hanya satu bulan. Dulu waktu aku kuliah dan kerja di luar negeri kamu baik-baik aja, kamu kenapa? jangan nangis, aku gak akan pernah ninggalin kamu, kec
selesai makan siang, Dalvin dan Dinda Kembali ke kantor. Tetapi Dinda tidak Bersama Dalvin, ia lebih memilah menjaga kesalah pahaman, lagi pula Dalvin meminta ijin untuk membelikan makan Alisya terlebih dahulu, itu sebabnya Dinda ke kantor sendirian.Baru saja Dinda masuk ke dalam ruangannya, telapak tangan Dinda ditarik paksa oleh Ardzan, hingga Dinda terjatuh tepat di atas tubuh Ardzan. Ya, mereka terlihat bertumpuk, mereka sama-sama diam, menikmati deru nafas mereka masing-masih, keduanya saling menatap tanpa berkedip, Dinda tersenyum.“BERAT, MINGGIR GAK?!” Bentak Ardzan, menyuruh Dinda menjauh dari tubuhnya.Detak jantung Ardzan terasa sekali berdetak lebih cepat dari biasanya, Dinda tidak salah dengar. Itu tandanya Ardzan memang masih mencintai Dinda, dengan rasa percayanya Dinda yakin Ardzan memang mencintainya.Dinda merapihkan pakaiannya, yang terlihat berantakan akibat tubuhnya bertabrakan dengan tubuh Ardzan.Ardzan men
Setelah tugas kantor selesai Dinda memutuskan untuk langsung beranjak keluar dari kantor, ia hanya ingin menenangkan hatinya, menenangkan pikirannya, itu sebabnya ia pergi ke rumah sakit tempat dimana papahnya di rawat.Dinda menghampiri papanya yang terbaring lemah dirumah sakit, Dinda memegang pergelangan papanya dengan pelan.“Pa.. papa kapan bangun?” tanya Dinda pada papanya, ia tahu papanya tidak bisa menjawabnnya, tetapi Dinda yakin papanya pasti mendengar ucapannya.“Pa.. Dinda kangen papa… pa, aku Ardzan berubah, Ardzan gak sama seperti Ardan yang waktu pertama kali Dinda kenal.. Ardzan berubah semenjak jadi pacar Dinda.. Ardzan sering marahin Dinda pa, Ardzan suka mukulin Dinda..”Dinda diam, ia memeluk papanya.“Pa.. Ardzan kasar sama Dinda sekarang.. tapi…”Tanpa sadar air mata Dinda sudah mengalir membasahi wajah Dinda.“Tapi.. Dinda gak bisa mengakhiri hubungan Dinda
Dinda terbangun dari tidurnya, Dinda tersenyum menatap wajah papanya, ia selalu Damai saat bersama papanya, “Pa, Dinda pamit dulu.. Dinda janji, Dinda akan sering temui papa.. maaf ya kalau kemaren Dinda jarang kesini, Dinda terlalu sibuk sama kerjaan Dinda sampai Dinda gak ada waktu buat jengukin papa, maaf pa..”Dinda menyelimuti tubuh papanya, merapihkan tempat tidur papanya, Dinda melebarkan senyumnya, matanya tak lepas memandang papanya, “Cepet sembuh ya pa..”Dinda melangkahkan kakiya, menutup pintu kamar rawat inap papanya, dan berjalan meninggalkan rumah sakit itu. Dinda menyalakan ponselnya, karena dari semalam ia sengaja mematikan ponselnya, lagi pula tiak ada yang menunggunya untuk memberi kabar.Namun, baru saja Dinda membuka ponselnya, terlihat dari layar 1000+ pesan masuk dan 1000+ panggilan tak terjawab menghiasi layar ponsel milik Dinda itu.Dinda membuka isi pesannya, sudah ia tebak Ardzan pasti akan memakinya kare
Dinda mencintai Ardzan tanpa syarat, Dinda rela menunggu sangat lama, karena ia yakin suatu saat nanti es batu yang ada pada diri Ardzan akan mencair, sikap dingin dan kasarnya akan berubah sejalan dengan waktu, Walaupun Dinda harus bersabar tanpa batas, itu gak masalah bagi Dinda.Dinda tersenyum melihat ke arah Ardzan yang sibuk menyetir, karena hari ini mereka akan ke bandara, untuk pergi ke Bali. Iya, sekarang waktunya liburan untuk mereka berdua, Dinda berharap dengan mereka liburan berdua, akan membuat keadaan menjadi lebih baik.“Kenapa lo liatin gue terus?” tanya Ardzan yang sebenarnya dari tadi paham akan Dinda yang terus memperhatikannya.Dinda menggelengkan kepalanya, “Engga, aku Cuma lihat pemandangannya aja.”Ardzan menaikan satu alisnya, “Pemandangan apaan? Gue tahu gue ganteng!”Dinda tertawa pelan.“Kenapa ngetawain?” tanya Ardzan dengan wajah yang terlihat serius.&ldquo
Ardzan dan Dinda tiba di hotel bintang tujuh, hotel paling terkenal di Bali dengan segala fasilitasnya yang sangat mewah. Iya, mereka saat ini sudah berada di pulau Bali, dan itu artinya liburan keduanya telah dimulai.“Kamar gue yang ini, 102.” Ardzan menunjuk pintu kamarnya, “Dan kamar lo, yang itu.”Dinda mengangguk, “Iya, Zan.”“Lo gak boleh masuk ke kamar gue, tapi gue boleh masuk semau gue ke kamar lo,” jelas Ardzan.Tentu saja Dinda membulatkan matanya, karena itu tidak adil baginya.“Gak bisa gitu dong Zan,” kata Dinda membela dirinya sendiri.“Kalau lo bisa bayar sendiri, silahkan! Tapi, selagi masih gue yang bayarin, gue berhak ngelakuin apa aja yang gue suka!” ujar Ardzan, sambil tersenyum sinis, lalu masuk ke dalam kamarnya.Sedangkan Dinda hanya diam mematung, Dinda bingung kalau begini caranya Ardzan tandanya memanfaatkan keadaan, tetapi ia yakin Ard
Dinda duduk di pinggir pantai yang berada tidak jauh dari hotelnya, Dinda menikmati dinginnya pantai, bersamaan dengan hembusan angin pagi yang membuat sekujur tubuhnya merasa kedinginan sedikit. Dalvin yang sedari tadi memperhatikan Dinda dari jauh, ia mendekati Dinda, melepas jaketnya dan menaruhnya di Pundak Dinda, lalu Dalvin duduk disebelah Dinda. “Katanya mau meeting?” tanya Dinda, dengan wajah yang melihat lurus ke depan. “Gak sepagi ini juga Dinda,” jawab Dalvin. Dinda terkekeh, “Siapa tahu gitu, kamu kan orangnya kerajinan.” “Tergantung, kalau kamu ikut aku pasti dateng paling awal.” “Loh, kok aku?” tanya Dinda bingung. Dalvin tertawa, “Kalau aku sama kamu kan kenal udah lama jadi gak boring aja gitu, kalau sama Ardzan kan lihat aja kaku banget dia.” “Ardzan gak kaku, mungkin belum akrab kali,” Dinda tersenyum. “Tapi, bukannya dari SMA dia gak banyak omong ya?” tanya Dalvin memastikan. Dinda men