Dinda membuka laptopnya, melihat beberapa koleksi foto kebersamaannya dengan Ardzan waktu awal-awal mereka menjalin hubungan, dulu Ardzan tak pernah sekalipun menyentuhnya, tetapi Dinda juga bingung sampai saat ini, kenapa Ardzan bisa semudah itu berubah? Tapi, baik Ardzan yng dulu ataupun Ardzan yang sekarang, Ardzan tetap kekasihnya.
Suara bel terdengar dari arah luar pintu, Dinda langsung membukakan pintu, siapa tau Ardzan Kembali dan meminta maaf atas perlakuannya, ternyata yang datang bukan Ardzan, melainkan Dalvin.
“Wajah kamu kenapa memar? kamu abis di tampar sama siapa?” tanya Dalvin bertubi-tibi, membuat Dinda bingung harus menjawab apa.
Dinda berfikir sejenak, “Aku tadi jatoh, muka aku kena deh biru.”
“Yakin jatoh?” tanya Dalvin, ia seperti kurang percaya akan jawaban Dinda.
Dinda mengangguk, “Iya, Dalvin.”
“Mangkanya hati-hati, ambilin Kompresan air anget, kalau gak dikompres lebam di wajah kamu gak akan ilang.” Dalvin langs
Ardzan masuk ke dalam kamar hotelnya, ia tidak sendiri. Tetapi Bersama dengan Vionita, sekretarisnya di kantor. Dengan masih menggunakan piyamanya Dinda menghampiri Ardzan, Dinda terkejut melihat Ardzan merangkul Vionita dalam keadaan mabuk. Tidak, Vionita sama sekali tidak mabuk, tetapi Ardzanlah yang sepertinya dalam keadaan mabuk berat.“Ardzan kenapa, Vi?” tanya Dinda yang panik melihat kondisi Ardzan.“Dia terlalu banyak minum tadi di Bar,” ujar Vionita.Dinda mengambil tangan Ardzan, tetapi Ardzan malah menepisnya. Bahkan Ardzan mendorong tubuh Dinda hingga Dinda terpental ke lantai. Kekuatan Ardzan sepertinya tidak akan hilang walaupun ia dalam kondisi setengah sadar seperti ini, buktinya ya seperti ini.“Bia aku aja,” kata Vionita.Vionita membawa Ardzan ke kamarnya, sedangkan Dinda mengikutinya dibelakang. Dinda mulai membuka satu persatu pakaian Ardzan, mengganti pakaiannya Ardzan, Dinda mencoba untuk t
Ardzan tak pernah melepas rangkulanya terhadap Dinda, bahkan sampai masuk ke dalam restoran. Sedangkan Dalvin yang menatap mereka berdua hanya menelan salivanya. Shit! Ini bukan rencana Dalvin, kenapa Ardzan harus ikut?“Itu Lovely sama Angkasa,” ujar Dinda Ketika melihat Lovely dan Angkasa.Lovely, Ardzan dan Dalvin langsung menghampiri mereka berdua.“Apa kabar bro?” tanya Angkasa kepada Ardzan.“Saya baik,” ucap Ardzan dengan wajah datarnya.“Cuma lo ya yang dari dulu nyaingi wajah datar gue,” ujar Angkasa sambil terkekeh.Pasalnya Angkasa dan Ardzan waktu jaman sekolah disebutnya batu es, bedanya Angkasa lebih liar, ia punya geng yang terkenal seantero penjuru sekolah. Sedangkan Ardzan, diem yang emang benar-benar diam, atau kata anak jaman sekarang itu kurang gaul.Ardzan tersenyum tipis, “Anda lebih menang dari saya Kas.”“Lo juga masih kaku dan baku,&rdquo
Dinda terlelap dalam tidurnya, tetapi tiba-tiba sebuah tangan melingkar di pinggangnya, Dinda membuka matanya. Ia tersenyum mendapati Ardzan yang tertidur pulas disampingnya. Mungkin, Ardzan seharian cape, jadi membuatnya belum bangun tidur pagi ini.Dinda menatap lekat kedua mata Ardzan, dengan pelan Dinda mengelus wajah Ardzan.“Zan, bahkan perasaan aku masih sama… aku tidak bisa membincimu, sekalipun perlakuan kamu terhadapku menyakiti aku…” ucap Dinda dengan pelan.Dinda melingkarkan tangannya kepada Ardzan, lalu Kembali menutup matanya. Membiarkan perasaanya tenggelam, terlelap dalam tidurnya.Namun, baru saja Dinda menjelajahi alam mimpinya, Ardzan membangunkannya dengan kasar. Ardzan melempar tubuh Dinda ke lantai, hingga membuat Dinda terbangun.“BANGUN JUGA LO YA?!” Bentak Ardzan.“Sakit zan,” Dinda bangun dan menyamakan tingginya dengan Ardzan.Ardzan menatap Dinda dengan tat
Dinda dan Dalvin mengelilingi beberapa tempat yang menjual koleksi barang-barang untuk oleh-oleh dari bali, Dalvin paham Dinda pasti mengajaknya hanya ingin meminta saran barang apa saja yang cocok untuk Ardzan.“Vin, kayaknya Ardan suka kemeja pantai deh. Katanya kemaren dia gak bawa sama sekali, mau beli juga belum sempat. Ada sih satu di kasih pihak hotel, tap ikan sudah pernah dia pakai. Kamu tahu sendiri kan Ardzan orangnya bagaimana? Barang sekali pakai buang,” ujar Dinda sambil memegang kemeja pantai berwarna biru muda.“Kayaknya Ardzan lebih suka warna formal deh, hitam atau putih,” usul Dalvin.“Kamu tahu dari mana?” tanya Dinda bingung.“Ngapain kamu ajak aku kesini?” tanya balik Dalvin.“Buat minta saran.”“Nah, itu kamu tahu.” Dalvin terkekeh, “Aku emang gak terlalu dekat sama Ardzan bahkan gak deket, tapi pertama kali aku lihat dia, aku udah nebak kala
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi mulus Dinda, ia memegang pipinya dan merintih kesakitan, tetapi laki-laki itu kembali menamparnya, kali ini pipi bagian kanan Dinda."Zan, sakit..." rintih Dinda.Ardzan Dirgantoro, kekasihnya."KALAU LO MASIH NGELAWAN PERINTAH GUE? LO TAU SENDIRI AKIBATNYA!" Bentak Ardzan tepat di telinga Dinda.Ardzan mendorong tubuh Dinda dengan kasar, hingga Dinda terpental.Ardzan tersenyum dengan sinis menatap Dinda, lalu keluar dari ruangan kerja Dinda, Ardzan menggebrak pintu dengan sangat keras.Sedangkan Dinda, ia hanya bisa menangis sambil merintih kesakitan.Hanya karena Dinda menolak makan siang dengan Ardzan, padahal Ardzan tahu sendiri kalau alasannya karena kerjaan Dinda belum selesai. Ardzan memang selalu seperti ini ketika Dinda menolak permintaannya, tak peduli hal itu besar maupun kecil.Dinda bekerja di perusahaan milik papanya Ardzan, sebagai staff Administrasi. Sedangkan Ardzan sebagai
"Gue mau kita liburan bulan depan," kata Ardzan."Tapi Zan, kerjaan aku numpuk," balas Dinda.Ardzan menggebrak meja, "Gue gamau tau!"Dengan deru nafas yang berhembus dengan kasar Ardzan menatap Dinda dengan membulatkan matanya, Ardzan tidak boleh dibantah!"Tapi, Zan-" ucapan Dinda Terpotong.Ardzan menarik degan paksa rambut Dinda, dengan sangat keras, ia tak peduli Dinda meringis kesakitan, yang terpenting tidak ada yang berani terhadapanya."Zan--sakit..." rintih Dinda kesakitan.Ardzan semakin kencang menarik rambut Dinda, "Gue gak peduli!"Ardzan selalu saja seenaknya, seolah-olah Dinda tidak punya perasaan, tidak punya rasa sakit, Ardzan selalu mementingkan dirinya sendiri, ia tidak peduli bagaimana hati dan pikiran Dinda.Ardzan melepas tarikannya dari rambut Dinda, kali ini ia beralih ke rahang Dinda, ia mencengkram dengan kasar dan sangar kencang rahang milik Dinda.Ardzan membulatkan matanya, menatap Dinda denga
Setelah pekerjaan hari ini telah selesai, Dinda memutuskan untuk segera bergegas pergi dari kantor agar bisa pulang lebih awal.Di tempat Parkir terlihat Ardzan tengah beridiri di depan mobil mersi putih miliknya, Ardzan melipat tangannya di dada, wajahnya yang sangat tampan serta gayanya yang cool membuat Ardzan diperhatikan oleh karyawannya yang berada disekitaranya.Dinda menghampiri Ardzan, "Kamu gak pulang duluan?""Masuk," Ardzan berlalu dari hadapan Dinda, ia masuk ke dalam mobilnya.Sesuai perintah Ardzan, Dinda masuk ke dalam mobil Ardzan."Kenapa?" Tanya Dinda pelan.Ardzan memukul kemudinya dengan kasar, "Lo tahu gak sih gue nungguin lo berapa lama?!"Dinda menggeleng, karena jujur Dinda tidak mengetahui kalau Ardzan menunggunya pulang.Ardzan menatap Dinda dengan tatapan yang sangat tajam, matanya seperti akan keluar."SATU JAM GUE NUNGGUIN LO!" bentak Ardzan, dengan deru nafas yang terengah-engah."Maaf, tadi a
Dinda memainkan ponselnya, membuka aplikasi sosial media miliknya, instagram.Dinda tersenyum ketika melihat fotonya dengan Alisya, Dalvin dan Dirinya. Mereka bertiga memang sudah sahabatan semenjak duduk di bangku SMP, Alisya yang tomboy, Dalvin yang pintar walau nakal, dan Dinda yang tidak terlalu banyak bicara.Dulu ketika masih sekolah, mereka hampir setiap hari menghabiskan waktu bersama, tidak pernah ada kata bosen mengganggu pikiran mereka. Tetapi, mereka terpaksa harus berpisah, ketika Dalvin memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di Australia, jarak yang sangat jauh. Hingga, tiga tahun yang lalu Dinda mendapat kabar kalau Dalvin balik lagi, dan menjalin hubungan yang cukup serius dengan Alisya.Dinda tersenyum, ia sungguh tidak menyangka kedua sahabatnya ini bejodoh, ia ikut bahagia melihat mereka berdua akan segera melaksanakan pertunangan. Tetapi ia juga bingung, bagaimana caranya ia membucarakan hal ini kepada Ardzan, sedangkan Ardzan pasti m